Kamis, 20 Oktober 2011

Kongres Sastra Jawa III, Masih Melawan?

   Kongres Sastra Jawa III, Masih Melawan?
Add

.            Kongres Sastra Jawa III, Masih Melawan?










Oleh Sucipto Hadi Purnomo
(Suara Merdeka, 16 Oktober 2011)

Masih ingat Kongres Sastra Jawa (KSJ)? Kongres yang pernah disebut-sebut sebagai tandingan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) itu bakal digelar lagi untuk kali ketiga, 28-30 Oktober 2011 mendatang, di Bojonegoro Jawa Timur.
Sebegitu perlukah digelar kembali kongres itu? Masihkah para penggeraknya punya nyali dan energi untuk kembali mengoreksi Kongres Bahasa Jawa yang telah lama bergerak sekadar jadi arisan mengumpulkan makalah, kontes pidato, namun miliaran rupiah anggaran negara dihabiskan?

Sekadar menyegarkan ingatan, KSJ I digelar di Solo, 2001. Kongres kala itu diadakan untuk mengakomodasi para satrawan Jawa dan anak-anak muda pemikir kebudayaan Jawa yang terabaikan oleh KBJ. Maklumlah, sebagai kongres pelat merah, KBJ lebih tepat disebut sebagai rapat dinas yang dibingkai dalam kegiatan ilmiah lewat penumpukan makalah. Padahal, setiap harinya yang bergelut dengan jagat bahasa dan sastra Jawa adalah sastrawan itu.
Tak ayal lagi, KSJ pun menjelma sebagai perlawanan. Setidaknya sebagai sindiran paling tandas. Ketika KBJ, yang ditopang oleh tiga pemerintah provinsi: Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, dianggarkan miliaran rupiah dari uang rakyat, justru KSJ diadakan secara swaragat.
Mereka yang datang dan terutama yang tergabung sebagai panitialah yang membiayai kegiatan itu. Pengalaman saya sendiri ketika menjadi ketua panitia KSJ II tahun 2006 di Semarang, harus ikut merogoh kocek dalam-dalam sekaligus menyiapkan BPKB di dasbor mobil jika sewaktu-waktu harus menggadaikannya lantaran harus menutup kekurangan biaya penyelenggaraan. Maklumlah, panitia harus ngopeni akomodasi dan konsumsi lebih dari seratus peserta dan puluhan pembicara selama tiga hari.
Untunglah saat itu, Arswendo Atmowiloto di tengah-tengah perannya sebagai pembicara kongres, menelepon dan berhasil ’’memaksa’’ Irwan Hidayat, bos Jamu Sido Muncul dan Suwarno Serad, jajaran pemimpin Djarum Kudus untuk menyumbang kegiatan tersebut dalam bilangan belasan juta rupiah.
Selaku ketua panitia, saya pun langsung ambil mikrofon dan di tengah-tengah kongres saya umumkan agar para peserta mengambil kembali uang pendaftaran ke sekretariat.
Tak hanya itu, setiap peserta juga mendapatkan buku sastra Jawa secara cuma-cuma yang antara lain diupayakan oleh sastrawan Jawa yang juga dosen Universitas Negeri Surabaya, Sugeng Wiyadi atau yang terkenal dengan nama pena Keliek SW. Kejadian yang nyaris sama dengan KSJ I di Taman Budaya Surakarta.
Semangat macam itulah yang kemudian mampu menjadi magnet, sehingga tak sedikit sastrawan, budayan, akademisi, dan tokoh lainnya hadir sebagai pembicara. Padahal, dalam surat permohonan selalu tersebutkan ’’panitia tidak bisa memberikan honorarium dan biaya transportasi, kecuali penginapan dan konsumsi ala kadarnya’’. Maka hadir dan menjadilah pembicara Darmanto Jatman, Ahmad Tohari, Ki Enthus Susmono, Dr Sudharto MA, Suparto Brata, RM Setyadji Pantjawidjaja, MASudi Yatmana, Prof Rahmat Djoko Pradopo, Triyanto Triwikromo, dan puluhan pengarang Jawa lainnya.
Tak pelak, nukilan suasana itu merupakan ledekan terhadap KBJ yang digelar tak lebih dari sekadar proyek. Ya, sebuah proyek yang digelar sebagai aktualisasi mereka yang bermental proyek, yakni meraup keuntungan dari kegiatan kebudayaan macam begini. Yang penting bathi, soal apa hasilnya, nanti.
Model Sekalipun kerap kali dianggap sebagai ’’barisan sakit hati’’, KSJ (tanpa bermaksud nggunggung dhiri) telah berhasil mengingatkan bahwa tidak sepatutnya mencari untung dari ’’tlatah cengkar’’ yang masih juga digeluti para pendekar sastran Jawa. KSJ juga telah berhasil menyuguhkan model, bagaimana semestinya semua pihak yang peduli terhadap bahasa dan sastra Jawa bersatu padu secara guyub rukun membangun sinergi. Persis dengan tema yang diusung kala itu ’’Saabipraya amrih Kuncara’’, yang kurang lebih artinya bersamasama supaya meraih kejayaan.

.       Pertanyaannya kembali, bagaimana dengan KSJ III? Akankah hajatan budaya itu kembali melanggengkan perlawanan. Sepanjang yang saya tangkap dari beberapa pertemuan persiapan, mulai dari Solo hingga Padangan Bojonegoro, tidaklah tampak mengemuka hasrat untuk menjadikan kongres ini sebagai ajang untuk melakukan tandingan. Meski demikian, dengan penyelenggaraan yang kembali beriringan dari sisi waktu sekaligus tempat yang samasama di Jawa Timur ( KBJ IV di Surabaya 27-30 November 2011), sulit dimungkiri bahwa kedua kegiatan itu tak punya hubungan.
Memang, KSJ III diniatkan untuk memampangkan reputasi sastra Jawa, setidaknya selama lima tahun terakhir ini sekaligus mencari terobosan untuk mengoptimalkan daya hidup sastra Jawa masa kini. Namun, KSJ tetap saja dipandang perlu agar ’’mekanisme kontrol’’ yang pernah didorongkan itu tidak ’’kepaten obor’’ meski sesungguhnya sastra Jawa terus berdinamika. Dengan begitu, KSJ tidak perlu menyubordinasikan diri atas kekuatan dan pihak mana pun, termasuk terhadap KBJ.
Sekalipun demikian, sekali lagi, mengulangi hal yang sama, sebagaimana pada KSJ I dan II, hanyalah sebuah kemunduran belaka. Membangun sinergi dengan siapa pun, termasuk dengan para ’’pengawal’’ KBJ untuk kemudian berbuat secara nyata bagi bahasa dan sastra Jawa, bukan sekadar gagah di wacana tetapi kopong ada tingkat aksi jauh lebih urgen. KSJ sesungguhnya telah memiliki modal sejarah sekaligus modal sosial.
Apakah para penggerak kongres yang ketiga ini mampu mengoptimalkan modal itu, mari kita lihat kiprah mereka.

..          Sucipto Hadi Purnomo, ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ)    dan dosen Sastra Jawa Unnes

                                                                                                                                  caption

Rabu, 19 Oktober 2011

"PASEWAKAN" Kongres Sastra Jawa III di Bojonegoro

http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
 
-->   Kongres  Sastra Jawa III  Digelar  di  Bojonegoro



Bottom of Form
















            Minggu, 16 Oktober 2011 09:51:39 WIB
  
Reporter : Tulus Adarrma 


        Bojonegoro (beritajatim.com) - Para pegiat sastra Jawa akan menggelar Kongres Sastra Jawa (KSJ        III di Kota Bojonegoro pada 28-30 Oktober 2011 di Desa Jono Kecamatan Temayang Bojonegoro.

Bonari Nabonenar Ketua panitia KSJ III mengatakan, KSJ III ini terselenggara setelah para sastrawan yang sebelumnya sukses melakukan kongres pertama yang berlangsung di Taman Budaya Surakarta Solo pada (2001), kemudian KSJ II di Sanggar Paramesthi Semarang (2006). 

Acara yang digelar setiap lima tahun sekali ini selalu menggunakan tema yang berbeda. Untuk KSJ III kali ini, panitia mengangkat tema ”Peranan Sastra Jawa Modern Dalam Pergaulan Nasional dan Global”.

Dalam acara tersebut, panitia menyiapkan agenda berupa persidangan-persidangan untuk menghasilkan rekomendasi usulan untuk kebijakan pemangku sastra Jawa, baik pemerintah maupun swasta.

"Karena kongresnya para satrawan Jawa, penulis dan pengarang, jadi untuk menandai acara kali ini kita membuat antologi (kumpulan puisi Jawa) yang akan dilaunching dalam acara nanti,” imbuh Bonari disela melakukan gladi bersih di Desa Jono Bojonegoro, Sabtu (15/10/2011).

Acara yang akan di gelar di Desa Jono Kecamatan Temayang Bojonegoro yang terkenal dengan wisata alamnya ini dengan target 200 peserta. ”Yang melibatkan puluhan sastrawan Jawa, komunitas Sastra Jawa, dan kelompok teater dari berbagai kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jakarta,” tandasnya.
[uuk/but]
         http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
         Bojonegoro (beritajatim.com) 

Militansi yang Menghidupi Sastra Jawa

Ichwan Prasetyo
http://www.facebook.com/ichwan.prasetyo

Hari Sabtu, 29 Oktober 2011, saya datang di acara Kongres Sastra Jawa (KSJ) III di Desa Wisata Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Saya mendapat jatah berbicara di sesi tentang media massa berbahasa Jawa di tengah perkembangan media massa berbahasa Indonesia. KSJ III diselenggarakan tiga hari, Jumat-Minggu, 28-30 Oktober 2011.
Lokasi acara adalah sebuah desa berjarak 22 kilometer ke arah barat dari ibukota Kabupaten Bojonegoro. Sebuah desa yang sepi tapi bersih dan asri. Untuk menuju ke lokasi acara, panitia KSJ III menyediakan fasilitas penjemputan. Peserta datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Sarana transportasi umum menuju lokasi acara dari ibukota Kabupaten Bojonegoro hanya bus 3/4 jurusan Bojonegoro-Nganjuk PP yang kebetulan milik Kepala Desa Jono.

Namun, bus yang hanya beberapa unit itu jeda kedatangan dan keberangkatannya sangat lama, bisa lebih dari satu jam. Angkutan yang paling cepat adalah ojek, sekali jalan Rp 20.000-Rp 25.000 tergantung negosiasi dengan pengemudinya. Dari Solo saya sengaja memilih numpang bus angkutan umum, sekalian bernostalgia zaman muda dulu ketika sering beravonturir ditemani ransel, selembar kaus cadangan, sikat gigi, handuk kecil dan buku bacaan. Saya sampai di Terminal Bus Rajekwesi Bojonegoro pukul 11.30 WIB dan jatah sesi saya adalah pukul 13.30 WIB. Demi memburu waktu, saya memutuskan menyewa ojek.

Pak Sarno, tukang ojek itu, saya temui saat salat Duhur berjemaah di musala terminal bus itu. Orangnya sederhana. Dia sebenarnya petani. Saya dikenalkan dengan Pak Sarno oleh imam musala terminal itu. “Kalau mau ngojek dengan tukang ojek yang biasa salat di sini saja,” kata imam musala yang akrab disapa Pak Mardi itu.

Di sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 20 menit, Pak Sarno bercerita tentang kehidupan sehari-harinya. Dia sebenarnya petani dan peternak. Dia punya lahan di dekat Terminal Bus Rajekwesi. Dia punya beberapa ekor sapi. Ngojek dia sebut sebagai hiburan semata. “Yah, alhamdulillah, Mas, ada hiburan. Hari ini saya bersyukur setelah salat ketemu panjenengan, dengan diawali ibadah insya Allah rezeki saya barokah,” kata dia.

Pak Sarno memang sangat ramah, khas orang Jawa. Kami berboncengan sepeda motor Honda produksi tahun ’90-an menyusuri jalan beraspal nanmulus menuju Desa Jono, sebuah desa wisata di kawasan Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Satu kilometer sebelum lokasi acara, kami kehujanan.

Kami berteduh di sebuah toko batik khas Bojonegoro yang belakangan saya ketahui ternyata juga milik Kepala Desa Jono. Beberapa orang yang berada di toko itu, laki-laki dan perempuan, remaja dan tua, mempersilakan kami masuk ke dalam, namun kami tolak. Saya merasakan kembali keramahan khas wong Jawa.

Dan sebagaimana jamaknya wong Jawa, kami berdua sudah cukup puas diizinkan berteduh di tritisan toko batik itu. Sesekali, mereka mengajak ngobrol kami yang kedinginan berteduh di tritisan tokok itu. Sekitar 20 menit kami berteduh.

Setelah pamit kepada penunggu toko itu, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi acara. Pak Sarnolah yang bertanya-tanya rute menuju tempat KSJ III. Sekitar 300 meter dari lokasi acara terlihat spanduk dan umbul-umbul yang memandu arah menuju lokasi acara, sebuah rumah berdesain joglo yang sederhana, tak jauh dari rumah Kepala Desa Jono.

***

Tiba di lokasi acara pas makan siang. Saya yang sudah kelaparan langsung ikut antre makan di belakang pendapa bangunan joglo itu. Di sana, saya melihat sastrawan dan budayawan Arswendo Atmowiloto dan begawan sastra Jawa Suparto Broto berbaur dengan peserta lain, bersama-sama makan siang di tempat yang sederhana itu.

Mereka berdua tak diistimewakan. Ikut antre mengambil makanan, kemudian memilih tempat sendiri untuk duduk. Mereka akrab berbaur dan berbincang-bincang dengan komunitas sastrawan dan pencinta sastra Jawa yang sangat beragam itu, laki-laki perempuan, tua muda, bahkan ada beberapa remaja.

Bangunan joglo itu berdinding setengah batako dan setengah kayu. Lantainya hanya plesteran semen yang kasar. Menu makan siang yang disajikan adalah menu khas masakan desa di kawasan Bojonegoro. Semua serba pedas, tapi saya suka. Benar-benar masakah khas desa. Ada gudangan, sayur tewel atau gudek dengan kuah yang pedas rasanya, ada bothok, tempe goreng, nasi jagung, nasi liwet, nasi tiwul dan berbagai jenis masakan khas pedesaan lainnya.

Di acara itu saya juga bertemu Diah Hadaning, perempuan yang sudah berpuluh-puluh tahun menggeluti sastra Jawa. Ketemu pula dengan sastrawan Jawa Bambang Nursinggih dari Jogja yang masih produktif menulis cerita cekak (Cerkak). Dari kalangan muda ada Sucipto Hadi Purnomo, esais dan dosen sastra Jawa di Universitas Negeri semarang (Unnes). Saya lihat pula wajah-wajah yang tak asing di dunia sastra Jawa.

Sayang, saya tak ketemu Daniel Tito, mantan wartawan yang kini konsisten menggeluti sastra Jawa dan nyambi jadi kontraktor di Sragen. Dia datang hari Jumat. Saya juga tak ketemu dengan Ki Demang Sokowaten yang nama aslinya Sudharto yang kini punya website khusus tentang sastra dan budaya Jawa. Website milik Ki Demang asal Jogja ini diakses dari seluruh penjuru dunia, tingkat kunjungannya cukup tinggi. Situs ini selalu diperbarui dan lumayan menyediakan banyak referensi tentang budaya dan sastra Jawa.

Saya merasa mendapatkan sesuatu yang luar biasa di forum yang begitu cair. Kejawaan sangat terasa di acara itu. Semua orang ramah. Saling bertegur sapa walau tak kenal. Seorang lelaki separuh baya yang sempat menyapa saya, langsung memuji-muji dan menepuk pundak saya begitu saya memperkenalkan diri dari Harian Umum SOLOPOS. Laki-laki itu adalah dosen di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang beberapa kali membaca suplemen berbahasa Jawa Jagad Jawa di SOLOPOS yang terbit tiap kamis.

“Wah, njenengan sing kerep nulis ning Jagad Jawa ya. Wah apik tenan, Mas. Apik banget,” kata dia sembari antre untuk mengambil nasi. Saya merasa senang karena ternyata media tempat saya bekerja dikenal banyak sastrawan Jawa. Dan memang tak hanya laki-laki itu yang langsung berbinar matanya ketika saya mengenalkan diri sebagai jurnalis SOLOPOS. Begitu mendengar kata SOLOPOS, mereka langsung menyebut Jagad Jawa.

Forum KSJ III memang sungguh luar biasa. Itu kesan saya. KSJ berasal dari ide para sastrawan Jawa yang merasa jengah dengan rutinitas Kongres Bahasa Jawa (KBJ) yang difasilitasi pemerintah, namun hingga kini tak kuasa membangkitkan budaya, bahasa dan sastra Jawa agar menjadi kuncara lagi. Sebagaimana dua KSJ sebelumnya, KSJ III juga diselenggarakan berbekal militansi murni.

Semua peserta, narasumber dan panitia urunan minimal Rp 100.000 untuk membiayai acara yang dihadiri kurang lebih 200 orang selama tiga hari itu. Menurut Ali Syafaat, salah seorang anggota panitia KSJ III, Pemkab Bojonegoro memberikan bantuan Rp 15 juta yang habis untuk biaya konsumsi. Pemprov Jatim punya komitmen memberi bantuan, tapi sampai acara terselenggara, uangnya belum cair.

Ketua KSJ III Bonari Nabonenar mengatakan KSJ memang terselenggara dengan bekal militansi. Semua peserta dan pembicara yang tergolong sastrawan Jawa senior, sastrawan Jawa yunior, pencinta sastra Jawa, guru dan dosen Bahasa Jawa, pengamat sastra Jawa dan lainnya, datang atas biaya sendiri, bahkan urunan untuk mendukung acara itu.

Tapi, menurut saya, justru itulah semangat yang sampai kini sanggup menghidupi dunia sastra Jawa. Dalam salah satu sesi diskusi, Diah Hadaning mengatakan sastrawan Jawa harus menjadi seniman sastra Jawa, bukan tukang sastra Jawa. Seniman sastra Jawa hadir dan berkarya karena panggilan nurani untuk melestarikan dan mengembangkan sastra Jawa. Sedangkan tukang sastra Jawa berkarya demi mendapatkan honor, bayaran atau keuntungan materi lainnya. Di dunia sastra Jawa–saat ini,kata Diah, tukang sastra Jawa takkan bertahan hidup.

“Tapi kondisi seperti ini memang tak boleh dibiarkan terus-menerus. Pemerintah tetap harus berperan serta, bahkan berada di garis depan, untuk menghidupkan, memberdayakan dan mengembangkan sastra Jawa,” kata Yusuf Susilo Hartono, sastrawan Jawa dari Jakarta, dalam salah satu sesi diskusi.

Menurut Bonari, strategi jangka panjang KSJ memang untuk mengangkat harkat dan martabat sastra Jawa–dan tentu saja dengan demikian juga budaya Jawa. Tiga kali KSJ diselenggarakan memang belum menunjukkan efek nyata atas kehidupan sastra Jawa. Sastra Jawa hingga kini tetap termarginalkan, terpinggirkan dari arus besar kebudayaan di negeri ini. Tetapi, militansi itu, kata Bonari, dia pastikan takkan luntur. Sastra Jawa yang tengah sakit terbukti tetap melahirkan sastrawan-sastrawan Jawa generasi muda.

JFX Hoeri, seorang laki-laki tua motor penggerak Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB) dan juga menjadi anggota panitia KSJ III, adalah salah satu tokoh senior sastra Jawa yang hingga kini tak kenal lelah menularkan kecintaannya pada sastra Jawa. Di PSJB, dia bersama Ali Syafaat dan pengurus lainnya tak pernah lelah menyelenggarakan workshop kecil-kecilan bagi generasi muda yang berminat dan tertarik dengan sastra Jawa. PSJB juga rutin menyelenggarakan lomba menulis geguritan dan Cerkak yang kemudian secara swadaya diterbitkan menjadi buku antologi.

Dalam KSJ III, Halim HD, pekerja jaringan kebudayaan dari Solo, mengingatkan bahwa narasi besar cita-cita menghidupkan dan memberdayakan sastra Jawa tak boleh lepas dari kebudayaan Jawa. Halim mengemukakan contoh keberhasilan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa mengembangkan kebudayaan Jawa. Menurut Halim, dengan mencontoh Ki Hajar Dewantara, narasi besar cita-cita menghidupkan dan mengembangkan sastra Jawa akan berhasil ketika kebudayaan Jawa hidup dan dihidupi dalam keluarga, dunia pendidikan dan masyarakat luas.

Saya sepakat dengan lontaran Halim ini. Dan saya juga sepakat bahwa kini sastra Jawa tetap hidup karena militansi para pencintanya. Militansi ini yang perlu dikembangkan guna menciptakan budaya literasi kejawaan. Sebenarnya, jika melihat sejarah, wong Jawa sesungguhnya masyarakat yang menjunjung tinggi budaya literasi. Karya-karya besar sastra Jawa era dulu adalah bukti tingginya budaya literasi wong Jawa.

Sayangnya, kini budaya literasi itu semakin menipis. Kini, generasi muda Jawa, memilih membelanjakan uang demi HP terbaru, atau gadget teknologi informasi dan komunikasi lainnya, daripada untuk membeli dan membaca buku–apalagi untuk bacaan berbahasa Jawa. Kesimpulan sementara saya, militansi para pencinta sastra Jawa itulah yang sampai kini menghidupi sastra Jawa. Militansi itu tak boleh surut. Sampai kapan pun selama masih ada wong Jawa. Militansi itu yang menjadi benteng terakhir budaya dan sastra Jawa dari gempuran globalisasi yang antikebudayaan dan kemanusiaan itu.

31 Oktober 2011
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/ichwan-prasetyo/militansi-yang-menghidupi-sastra-jawa/10150438439374874


 tion

Senin, 10 Oktober 2011

PUISI Ngatmi "Kehadiranmu" Untuk Kang Yoto

     Edisi Khusus Desa Terpenccil
     saatra-bojonegoro.blogspot.com
 Ngatmi saat Membacakan puisinya
'
' .        
.      KEHADIRANMU

                                          Karya: Ngatmi
.    
 aku muncul pada pagi hari
dan aku yang selalu menyinari bumi
.    
aku adalah matahari
yang ingin menyinari bumi

 .   
menyinari dan menerangi bumi

.    
aku muncul pada pagi hari
memang panas namun aku

tidak membakar tumbuhan dan tubuhmu
.    
di bumi aku hadir
untuk menyinari pagi yang cerah
karena aku diciptakan oleh Allah

.    
aku ingin selalu bisa hadir
menemani dan menerangi mahluk hidup
yang sangat membutuhkan sinarku

.    
cahayaku…
aku hadir dan menghadirkan kesejahteraan  

.    
Tawaran, 27 September 2011
.    
.   

cahayaku…
aku hadir dan menghadirkan kesejahteraan    
aku adalah matahari
 yang ingin menyinari bumi
aku muncul pada pagi hari
dan aku yang selalu menyinari bumi



                                                             
             Ayo…!     Bojonegoro
   
          YO......                     '''''''
'''''''''
''''''' .    
.    
 YO....TO...    .          
      Tawaran, 08 Oktober 2011
                              
ion

Minggu, 09 Oktober 2011

Ketika Penggurit Lain Sibuk Menjinakkan Kata


Add

Ketika Penggurit Lain 
Sibuk Menjinakkan Kata
Judul : Layang Seka Paran
Pengarang :Suryanto Sastroatmodjo
Halaman :107, ix (87x81,5 cm)
Penerbit : Cantrik, Malang, 2003



Judul resensi in selengkapnya adalah: Ketika Penggurit Lain Sibuk Menjinakkan Kata, Suryanto Sastroatmodjo telah asyik mempermainkannya


Banyak penikmat sastra Jawa menilai aneh geguritan (puisi) Suryanto Sastroatmodjo, selanjutnya disingkat SSA. Puiisi yang susah dipahami seperti ini biasa disebut orang sebagai black poetry. Tapi, bagi yang telah lama malang-melintang di dunia kejawen, bagi mereka yang akrap dengan dunia batin orang Jawa, guritan-guritan SSA yang terkumpul dalam antologi Layang Pangentasan (LP) ini justru akan mengasyikkan.

Rama Sudiyatmana menulis antologi Layang Saka Suwarga dan Widodo Basuki memilih Layang Saka Paran untuk buku kumpulan geguritannya. Balai Bahasa Yogyakarta pun menerbitkan antologi bersama dengan judul Layang Saka Gunung Kidul. Dan masih setumpuk lagi kumpulan guritan yang diberi judul dengan idiom “layang” (surat), yang, tampaknya memang amat digemari sastrawan Jawa. Meskipun ikut-ikutan menggunakan “layang”, orisinalitas geguritan SSA tak bisa diragukan. Banyak renungan zaman, psikologi waktu, kondite kejawen, dan sejenisnya selalu bertebaran. Mungkin, penggurit ingin “mengentaskan” kemiskinan humaniora kita lewat suratnya. Inilah kepedulian sejati.

LP memuat 85 buah guritan warna-warni. Ibarat orang berlaga, cukup menebarkan keringat mistis. Di tengah rimbunan daun mistik, SSA menorehkan gagasannya dengan sematan rasa. Ini sebuah pioner dalam geguritan. Yang unik, dia selalu mengukuhkan ungkapan khusus. Sebuah ungkapan njawani, yang kaya makna, misalnya di dalam geguritan Tarupala, Wantilan, Lambangsari, Kapangsari, Galuga dan lain-lain – rasa Jawa selalu dipurba. Di situ tanaman kejawen amat subur makmur. Penuh dengan catatan zaman yang disandikan menggunakan estetika Jawa asli (deles).

Perkara yang sesungguhnya romantik, yang di tangan penyair lain dengan gampang “terjerumus” ke dalam permainan erotika – diekspresikan SSA dengan langsung menyentuh falsafah hidup Jawa. Itulah daya estetika SSA yang penuh simbol. Coba saja tengok geguritan berjudul Lelangen ini:

Angin sore aleledhang ndumuk ron-ron mlinjo
Uga nyenggol sinoman
Angin lirih lan lilih, ning tabete isih cumithak walaka
Terang gumilang lamun aku isih kelepetan pamrih
Ngayunake manuk podhang
Selagine kayungyung mring kedasih

Terjemahannya:

Anngin yang bertiup sore hari berhembus menyerempet daun-daun mlinjo/Juga menyenggol daun muda/Angin bergerak lembut dan pelan, tapi masih tetap terasa/Terang sekali jika aku masih masih ada pamrih/Menginginkan burung kepodang/Yang sedang tergiur pada burung kedasih

Dari kutipan geguritan itu, tampak peristiwa besar permainan asmara digarap manis. Penggurit dengan piawainya bermain metafora, dengan memilih kata burung kepodang dan kedasih. Idiom burung ini amat njawani. Warna kepodang dan nama kedasih, amat romantis dalam kehidupan orang Jawa. Namun oleh penggurit diekspresikan secara impresif, tidak vulgar. Kata-kata yang cukup menembus rasa, diuntai secara tersamar. Dan, inilah hakikat sebuah geguritan yang layak dinikmati sebagai sebuah guratan nyali yang benar-benar menantang, terutama di hadapan para intelektual muda Jawa yang ingin menakar seberapa kokoh ia masih berakar pada kultur Jawa.

Juga dalam segi kebahasaan, SSA bisa disejajarkan dengan Sutardji, misalnya, yang sama-sama sebegitu kuat ikatan mereka dengan bahasa ibu; Sutardji dengan bahasa Melayu-Riau, akar bahasa Indonesia, sedangkan SSA dengan bahasa Jawa. Maka, tidak sepertihalnya penggurit muda lainnya yang menulis puisi berbahasa Jawa, yang tampak masih sering disibukkan urusan menemukan dan menjinakkan kata, SSA sudah berada pada tahap mempermainkannya, menyulam kata-kata lama dengan kata-kata baru, mengawinkannya. Ketika penggurit lain masih sibuk “mencari” SSA sudah asyik bermain-main dengan stilisasi.

LP sarat dengan gurit-gurit kebatinan. Doa-doa spiritual Jawa yang penuh greget kearifan, sangat kuat menggema melalui guritan-guritan di dalam LP ini. Bangunan-bangunan rasa yang sanggup melewati batas-batas kemanusiaan, cukup mengalir. Ini tak juga jauh dari sosok SSA sendiri sebagai “pujangga muda” dalam sastra Jawa modern. Dia, hampir tak mengubah wacana rasa yang penuh makna. Aspek-aspek bawarasa, selalu dia gelar dengan bahasa yang spesifik, cukup menyentuh nurani.

Dari geguritan biasa, balada, sampai prosa liris (gatra ginupita), tampak tak pernah bergeser seujung rambutpun – bahwa SSA tetaplah SSA. Kreativitas yang matang inilah yang mungkin jarang dimiliki oleh penggurit lain. Jiwa yang betul-betul sepuh (tua) selalu menyembul langsung dalam jantung geguritannya. Itulah sebenarnya masalah gaib dan ngelmu karang di era R. Ng. Ranggawarsita, yang selalu dia taati dan kemudian tumbuh dalam karyanya.

Hanya saja, memang ada kesan mitologis-pragmatis yang belum tertangkap – ketika dia melukiskan sebuah balada. Tak semua balada yang dia sampaikan harus bernuansa sedih. Bukan pula sebuah catatan yang cukup menggores dunia Jawa, tapi disebutnya balada. Tampaknya SSA memaknai balada hanya sebagai goresan peristiwa besar dalam hidup. Sebut saja Balada Galih Remujung, Balada Segara Wedang, Balada Tanpa Nama, dan sebagainya.

Geguritan SSA dengan warna apapun diekspresikan tetap sarat dengan religiusitas Jawa. Itulah agama Jawa. Itulah agama ageming aji, yang banyak didengungkan lewat babad-babad. Terlebih, kalau pembaca berkenalan dengan prosa lirik berjudul Kekeran Wingit. Gaya pengucapan semacam itu tampaknya belum banyak diminanti oleh penggurit lain. Ungkapan yang dialogis dan estetis khas SSA, cukup menawarkan hal-hal yang adiluhung. Lagi-lagi peristiwa mistis, harus menyelimuti dunia geguritannya. Dan, itulah pencarian (dan sekaligus penemuan?) SSA atas makna hidup bagi orang Jawa. Falsafah yang meloncat-loncat ini, diserbu, ditelanjangi, dan diliris-prosakan, dan semakin enak. Maka, bersiaplah untuk lega sehabis menikmati sebuah santapan LP ini. Paling tidak, batin kita akan terbuka, bahwa ada batas surga-neraka, bapa akasa-ibu pertiwi, dan seluruhnya terbentang di hadapan manusia. Di hadapan kita. (Suwardi Endraswara, penggurit/pengarang sastra Jawa/Indonesia, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa UNY)
                                                                                                              caption
Suryanto Sastroatmodjo (Almarhum)
Penyair kelahiran Bojonegoro --sekarang bermukin di Yogyakarta-- ini berusaha menggali dan memaknai kembali beberapa aspek kebudayaan Jawa dalam visi manusia masa kini. Suatu usaha transformasional terhadap kebijaksanaan dan keluhuran kebudayaan Jawa yang patut dihormati. Keluhuran itulah yang sangat dominan muncul dalam tataran kebatinan Jawa (Kejawen). “Sesuatu” yang sekarang banyak dipelajari kembali oleh orang Jawa dari berbagai sudut karena menjadi “sesuatu” yang dapat memberikan alternatif dalam pencarian nilai bagi perjalanan hidup manusia Jawa.