Selasa, 25 Desember 2012

Gus Ris Fondatin Louncing Tiga Buku

sastra-bojonegoro.blogspot.com







Gus Ris Fondation Louncing Tiga Buku Jilid 2 
















 


Sabtu, 20 Oktober 2012 12:13:37 WIB
Reporter : Tulus Adarrma

Bojonegoro (beritajatim.com) - Tiga buku baru terbitan Gus Ris Fondation, yang ditulis oleh para sastrawan dan penulis asli Bojonegoro dilauncing hari ini. Peluncuran buku dilakukan di Hotel Pazia Bojonegoro, dengan tema 'Bojonegoro Merayakan Gagasan'.

Mereka para penulis, adalah Nanang Fahrudin, yang menulis bukunya dengan judul "Buku yang Membaca Buku". Dalam tulisanya didalam buku setebal 93 lembar itu adalah upaya penulis agar para pembaca lebih bisa mengakrabkan diri dengan dunia buku dan tulis menulis.

Seperti yang tertulis dalam isi buku itu, lebih dari pengalaman penulis pribadi, bagaimana ia dengan caranya sendiri mengakrabkan diri dengan buku yang dibacanya serta pengalaman-pengalamannya mendapatkan buku bermutu.

"Buku saya yang paling tipis dan bahasanya Indonesia, ini beda dengan yang lain yang 2 karya lain menggunakan bahasa Jawa. Tapi ini semua sama karena intinya ingin menyampaikan pesan," ujar Nanang Fahrudin, Sabtu (20/10/2012).

Proses pencarian saat mencari buku, dan pada akhirnya dibeli itu juga disebutkan dalam buku tulisannya."Buku kecil saya ini sebenarnya saya persembahkan untuk buku-buku yang sudah saya baca," katanya.

Buku kedua, yang ditulis oleh Wartawan Senior, Kang Zen Samin, dengan judulnya Untu Emas. Kang Zen melalui Untu Emasnya itu berharap tetap para generasi muda tetap melestarikan budaya Jawa. "Budaya Jawa itu Adiluhung, kebak tuntunan dari anak Kecil hingga Dewasa," ujar Kang Zen.

Dan buku ketiga, dengan judul Wayang Urip, yang ditulis oleh Yonathan Rahardjo. Dalam bukunya itu, ditulis dengan cara Jawa Kontemporer. Penulis, pria yang juga sebagai seorang manteri hewan itu, memberikan pengertian bahwa setiap diri manusia merupakan tokoh pewayangan. "Karakter satu orang itu mewakili satu wayang," jelasnya.

Seakan hari ini para penulis sedang merayakan gagasan. Sebelumnya, Gus Ris, juga sudah melauncing 3 buku, yakni, Catatan Sastra dan Cerita Kecil Tentangnya, yang ditulis oleh Anas Abdul Ghofur, Gara-gara ka Giri-giri, ditulis oleh sastrawan Jawa, Djayus Pete, dan Cerita dari Mojodelik yang ditulis Muhammad Rokib.

Gur Ris Fondation, berharap dengan peluncuran buku pada jilid kedua yang bertema"Bojonegoro Merayakan Gagasan" itu bermaksud untuk mengangkat para penulis, khususnya di kabupaten Bojonegoro. "Pekarya akan ditempatkan sejajar dengan para pengambil kebijakan di Daerah masing-masing," kata Agus Susanto Rismanto, Owner GusRisFondation. [uuk/ted]

Ombak Wengi, Ombak Kahuripan

Add

image


















Ombak Wengi

 
Ombak Wengi
BERMULA dari sebuah sentilan, lalu jadilah sebuah bunga rampai puisi. Demikianlah Yusuf Susilo Hartono (YSH), yang dikenal luar sebagai salah satu wartawan senior seni rupa itu melatarbelakangi buku kumpulan puisi jawa, atau geguritan berjudul Ombak Wengi.Antalogi 99 Puisi Jawa (Geguritan) Kontemporer Pilihan 1981-2011.

Syahdan, dia bercerita, pada tahun 90-an ketika mengikuti Kongres Bahasa Indonesia, Profesor Suripan Sadi Hutomo -yang dikenal sebagai HB Jassin Sastra Jawa- mengatakan kepada dirinya, jika dia telah menjadi pengkhianat Sastra Jawa karena telah menyeberang ke Sastra Indonesia, dan mulai emoh menulis Sastra Jawa lagi, "Hanya gara-gara saya harus menyambung nasib bekerja ke Jakarta, dan meninggalkan Bojonegoro sebagai akar Sastra Jawa saya," katanya.

Berangkat dari sentilan itu, YSH yang tidak hanya menulis puisi, tapi juga melukis sketsa, juga melakukan reportase di sejumlah media tentunya dan menjalankan sejumlah organinasi kesenian, akhirnya terus mengasah jiwa sastra Jawanya. "Tidak semua jadi gurit, tapi apapun itu, harus menjadi penanda dalam hidup saya," imbuh dia.

Maka, langkah selanjutnya, setelah mengkurasi sejumlah geguritannya yang membentang dari tahun 1981 hingga 2011, maka lahirlah buku ini. Sejauh mana geguritan YSH memaknai kehidupan metropiltan seperti Jakarta? Sangat berwarna. Atau dalam bahasa Titah Rahayu dari Kalawarti Jaya Baya, menuliskan,"Guritan-guritane YSH ngelengake aku marang lukisan-lukisan sketsane. Spontan, jujur, lugas, open, serta trengginas nangkep moment. Prasaja neng nyeni."

Seberapa spontan, jujur, terbuka, lugas, bersahaja dan mengandung nilai seni dari 99 kumpulan puisi Jawa ini? Tentu sangat gegabah jika langsung mengamini pendapat di atas. Meski yang pasti, menyimak puisi Jawa bukan pekerjaan mudah, menimbang nilai rasanya -jika menilik acuan geografis, Sastra Jawa diasup masyarakat Jawa Tengah dan Timur yang sangat mempunyai perbedaan lebar dalam hal nilai rasa bahasa Jawa.

Tapi apapun itu, buku Ombak Wengi ini telah malih menjadi semacam kazanah kehidupan Indonesia dari kaca mata seorang penyair, pelukis, pewarta, dan organisator yang baik. Sebab di dalamnya berbagai sajak, atau guritnya bernarasi tentang berbagai hal. Dari ihwal hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan negaranya, hingga manusia dengan dirinya sendiri.

Teristimewa untuk ihwal manusia dengan Tuhannya, terlihat jelas pada gurit "Adan", "Angon", "Jejapa", "Kere", "Ombak Wengi", "Rembulan Ing Pucuk Esuk", "Kembang Jatirogo", "Ngilo", dan masih banyak gurit lainnya. Dari sini sangat bisa dibaca jika aku orang pertama adalah sosok yang religius. Karena hampir semua perkara senantiasa YSH membawa-bawa Gusti Allah dalam guritnya.

Meski dalam beberapa hal, YSH langsung memilih posisi bersemuka dengan pembuat kebijakan negeri ini. Seperti terlihat di gurit berjudul "Jula-Juli Monas", "Jare Demokrasi", "Gendera Mung Bisa Dedonga", "Indonesia Sia-Sia", "Ndonyane Iklan" dan beberapa lainnya. Atau simaklah sebentar pada gurit berjudul "Bangsa Apa Iki"? YSH pada bait terakhirnya itu, dia menuliskan: //Bangsa apa awake dhewe iki/ Maling pada ngganggi dasi lan lenga wangi luar neger/Angka-angka ing layar komputer departemen/ munyer seser jungkir walik kaya dene akrobat/ Dadi angka-angka sekongkol miliaran lan triliunan/ banjur wong0wing padha wijik sikil lan tangan/ Mbuwang saben awu iblis lan setan/ Banjur sajadah digelar. Allahu AKbar/ Gusti Allah Nyuwun Ngapura!//.

Demikianlah YSH yang pada tahun 84-an bersama Arswendo Atmowiloto dan George Quin (Ahli Sastra Jawa dari Australia) pernah "menghidupkan" Sastra Jawa via bendera Sanggar Sastra "Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB)" mengguritkan perasaannya. Menyaksikan Indonesia, juga kehidupan dan Tuhan dari kaca mata kesenian dan kewartawanannya. Tercatat sampai saat ini, setelah bekerja di berbagai media cetak, YSH sekarang menjabat sebagai Pemred majalah Visual Art.
=========================
Judul buku : Ombak Wengi.Antalogi 99 Puisi Jawa (Geguritan) Kontemporer Pilihan 1981-2011.
Penulis : Yusuf Susilo Hartono.
Penerbit: Elmatera.
Cetakan: I, Oktober 2011
Tebal buku : VII - 114 halaman.
(Benny Benke/CN15)   

Senin, 24 Desember 2012

Setia Tanpa Jeda

Add
link buku ini di Leutika Prio disini

Judul: Setia Tanpa Jeda
ISBN: 978-602-225-216-0
Terbit: Desember 2011
Tebal: 206 halaman
Harga: Rp. 43.200,
PENULIS BUKU SETIA TANPA JEDA

Deskripsi:
Setia Tanpa Jeda merupakan kumpulan cerpen dan puisi pilihan yang terseleksi dari hampir 400 peserta yang mengikuti ajang lomba UNSA Award 2011. Di antaranya memuat cerpen terbaik UNSA Award 2011, yaitu “Senja Terakhir” karya Zoel Ardi, dan puisi terbaik UNSA Award 2011, yaitu “Ziarah Malam Qamariyah” karya Shohifur Ridho’i.

Para penulis di dalam buku ini terdiri dari para penulis muda yang karya-karyanya telah banyak dipublikasikan, baik dalam bentuk buku maupun pada media cetak. Di dalam buku ini pula terdapat beberapa penulis berprestasi yang telah memenangkan berbagai perlombaan menulis di tingkat nasional. Artinya, buku ini menampilkan karya para penulis muda berbakat, yang perlu dikedepankan demi kian semaraknya dunia literasi tanah air.


Penulis: Zoel Ardi, Shohiful Ridho I, Dkk.

CERPEN
(1) Zoel Ardi. (2) Ika Pratiwi. (3) Eko Hartono (4) Rama J Mawardi (5) Rana Wijaya Soemadi. (6) Rafif Amir.(7) Ade Batari.(8) Ardy Kresna Crenata. (9) Desti Adzkia. (10 Sandza. (11) Dariansyah Putra. (12) Ahmad Ijazi H.(13) Aia Aisyah Yusdiyani. (14) Ragil Kuning. (15) Pretty Angelia Wuisan (16) Yetti A. Ka (17) Dang Aji Sidik (18) Nessa Kartika

PUISI
(01) Shohifur Ridho Ilahi (02) Dalasari Pera (03) Kurnia hidayati. (04) M. Maniro AF (05) Gampang Prawoto(06) Kemas Ferri Rahman (07) Rini Febriani Hauri. (08) Edu Badrus Shaleh (09) Zen AR (10) El Fasya. (11) Dee Dyantry (12) Usup Supriyadi (13) Ibeth Beth-I (14) Oksa Puko Yuza(15) Azzam Asrawi (16) Wldansyah basthomy ion

Sabtu, 15 Desember 2012

PSJB Ultah ke 30


Ultah ke 30, Pamarsudi Sastra Jawa Butuh Regenerasi 
 
















Reporter : Tulus Adarrma

Bojonegoro (beritajatim.com) -- Jarak rumah yang rindang dengan pohon dan burung yang banyak berkicau didepan rumah milik JFX Hoery yang akrab dipanggil Rama Hoery, di Jalan Diponegoro 59 B Padangan Bojonegoro harus ditempuh sekitar 1 jam perjalanan jika lalu lintas normal, namun karena banyak truk proyek yang hilir mudik sehingga harus molor hingga 1,5 jam dari Kota Bojonegoro.

Namun setelah sampai, panas penat perjalanan serasa luntur karena terdengar merdu suara siter yang dimainkan oleh Ny Rukini, Menyambut tamu yang datang dalam acara ulang tahun Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) ke 30, Minggu (01/07/2012)

Upacara dilakukan dengan model sangat sederhana, yakni duduk lesehan dibawah pohon yang rindang di depan rumah. Namun karena berkumpul para sastrawan jawa dan indonesia sehingga menjadi sangat meriah.

Apalagi dihiasi dengan pembacaan geguritan (puisi), diiringi musik solo siter menambah khas tentang kesederhanaan yang guyup rukun. Selain hanya berkumpul dan hajatan, mereka para sastrawa ini juga berdiskusi tentang proses mereka dan karya-karya mereka.

Rama Hoery, sebagai Ketua PSJB mengatakan, jika setelah PSJB ini masuk diusia yang ke 30, diharapkan anggotanya yang kini sudah mencapai sekitar 30an orang itu bisa lebih produktif. "Dengan gotong royong untuk menerbetkan buku sendiri.
Setiap tahun harapanya bisa produktif, agar bisa diaplaksikan di kongres sastra jawa," harapnya, Minggu (01/07/2012).

Seperti karya kumpulan cerkak milik Sri Setya Rahayu, Rembulane wis Ndhadhari, kumpulan dari 30 cerkak yang bercerita tentang sebuah perjalanan. "Ini diharapkan juga menjadi semangat untuk para generasi muda untuk mempelajari sastra jawa. Sehingga ada regenerasi baru," lanjut Rama Hoery yang juga sebagai jurnalis senior jawa itu.

Sebab dalam pelestarian sastra jawa ini, katanya, sudah waktunya untuk regenerasi, kepada yang muda-muda. Sementara melihat trend anak muda saat ini lebih sedikit yang melirik sastra jawa dibanding dengan sastra indonesia. "Sebenarnya bahasa jawa menjadi pakar budaya nasional, sehingga harus mempelari sastra jawa yang dari leluhur,"pungkasnya. [uuk/ted]