Selasa, 08 Oktober 2013

NEGERI SUNGSANG di Bojonegoro

sastra-bojonegoro








 

Gerilya Negri Sungsang I

(Catatan perjalanan di Desa Jono, Temayang, Bojonegoro)
Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/

1. Keberangkatan

Setelah melakukan latihan ‘terakhir’ dalam proses naskah teater Negri Sungsang pada 20 Januari 2012, seluruh awak Komunitas Suket Indonesia berdiskusi khusus mengenai pementasan dua hari berikutnya tanggal 22 Januari di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Bojonegoro dan 23 Januari 2012 di Desa Maibit, Kecamatan Rengel-Tuban.
Fokus pembicaraan seputar perlengkapan dapur, properti panggung, kendaraan dll, yang alkhasil diputuskan berangkat pada 21 Januari, dengan perhitungan tiga mobil: Satu Taff dan dua Colt, cukup untuk mengangkut 25 personel dan alat perlengkapan. Sengaja KSI memersiapkan segala perbekalan termasuk alat dapur sekali pun supaya tidak merepotkan tuan rumah.

Sekitar jam 15.30, tiga mobil para teaterawan meluncur dari Jombang menuju Desa Jono, Kecamatan Temayang Bojonegoro. Langit memayungi rombongan dengan cara berbeda, sebab sepanjang perjalanan diguyur hujan. Begitulah kiranya supaya perjalanan menjadi catatan mengesankan. Sebab tidak hanya diguyur hujan dan berselimut kabut tipis, namun satu di antara mobil rombongan mengalami kerusakan kipas kaca pengibas air. Sehingga, perjalanan sempat berhenti hingga lima kali, karena sopir harus memasang tali penarik-ulur manual pada gagang kipas. Bisa dibayangkan betapa mengesankan, salah seorang yang duduk di sebelah sopir bertugas menjadi pengganti mesin kipas sepanjang perjalanan, itu pun tali sempat putus berkali-kali. Keadaan demikian menjadi tantangan tersendiri bagi sopir yang juga merangkap awak Jaran Dor. Apalagi selepas jalur Lengkong-Kertosono, mobil memasuki kawasan alas perbukitan Lengko (perbatasan Nganjuk dengan Bojonegoro). Sopir terpaksa ekstra konsentrasi mengendalikan setir pada tanjakan, tikungan yang acapkali curam. Rombongan sampai di Desa Jono pukul 19.30, seperti rencana survei beberapa hari sebelumnya oleh sesepuh KSI: Catur, Sinyo dan Lek Mujib, rombongan jujug di Sanggar Anugrah desa Jono yang pernah ditempati Konggres Sastra Jawa (KSJ) III pada 28-30 Oktober 2011.

2. Pak Dasuki Kepala Desa + Seniman

Sesampai di Sanggar Anugrah desa Jono, rombongan disambut Pak Kades Dasuki. Selaku tuan rumah, Pak Dasuki mempersilahkan rombongan menggunakan segala fasilitas yang ada di sanggar. Sebagian anggota menggelar tikar yang sengaja di bawa dari Jombang, namun Pak Dasuki juga memersilahkan memakai tikar yang ada. Sebagian awak KSI yang lain menyetting panggung, dengan harapan besok seharian sudah harus beristirahat total, kecuali jalan-jalan mengenal lingkungan sekitar. Sedang sebagian lagi sibuk memasak.

Dari dua ruangan, separuh bagian depan ditempati seperangkat gamelan. Melihat gamelan tertata lengkap, awak KSI yang terbiasa bermain Jaran Dor dari desa Mojowarno Jombang langsung menabuh. Mereka duduk di masing-masing jenis alat: kendang, kenog, saron, gambang, gong dll. Suasana pun semakin gayeng dengan tembang tembang Jawa nan rancak. Saya berfikir, “laiyo, arek arek iki kok isoae ngaransemen seperangkat gamelan, padahal Jaran Dor yang mereka punyai alatnya cuma kendang, ketipung, jidor.” Bahkan dari gebyakan musik gamelan tersebut, hingga menggelitik Kades Dauki bergoyang bersama beberapa rombongan, hihihi.

Suasana pun berlanjut dengan cerita masa kecil Pak Dasuki yang sudah mengamen jaranan. “Saya mengamen jaranan itu sejak jejaka kecil, teman saya Pak Rekimo ini (sambil menunjuk seorang lebih tua yang berdiri di sampaing Pak Dasuki). Kalau Saya kecapekan waktu mengamen ya digendong Pak Rekimo. Pernah suatu kali pulang mengamen tidak mendapat uang, Pak Dasuki dan Pak Rekimo terpaksa harus mencopot garpu sepeda ontelnya untuk dijual rongsokan. Kadang baju yang baru dibeli pun terpaksa dijual untuk ongkos pulang.

Bersama Pak Rekimo, Pak Dasuki pun akhirnya mendirirkan ketoprak Ngesti Budoyo pada tahun 1969. Bahkan, demi membayar surat perizinan ketoprak, Pak Rekimo hingga menjual baju DPR-nya (merk kain terkenal waktu itu). “kulo niki belani kesenian, sampek kulo rewangi adol celono, gadekno sewek. Begitu pula Pak Dasuki, belani ketoprak hingga dibelani menjual tegalan. ” Alkhasil, anak Pak Rekimo kini menjadi Kades di desa sebelah. Demikian juga Pak Dasuki, dia tidak menyangka kalau dahulunya hanya menjadi lurahe ketoprak, kini menjadi luran desa betulan.

Demikianlah bersama Pak Rekimo, Pak Dasuki kini mengelolah Sanggar Anugrah Desa Jono. Usaha Pak Dasuki berkembang hingga memiliki 14 bus transportasi jurusan Bojonegoro-Nganjuk. Sementara Pak Rekimo diangkat menjadi pemangku sanggar. Sekarang Sanggar Anugrah rutin ditempati latihan. Beberapa komunitas yang inten latihan adalah Dwijo Laras, kelompok Porgu (Para Guru sekecamatan Temayang setiap hari Jum’at, Wahyu Taruno Budoyo (latihan Jaranan) tiap hari Selasa, latihan musik Kulintang Dwijo Laras pada Kamis malam, Rabu latihan pedalangan yang dipandu Ki Dalang Ragil, Minggu khusus komunitas anak anak yang bernama Mardisiwi. Keberadaan sanggar memang sudah ada turun temurun, namun baru diresmikan namanya tahun 1961.

3. Peyek Jompong, Makam Mbah Jono Puro

Tanggal 22 pagi para aktris Negri Sungsang berbelanja ke pasar ‘Krempyeng’, pasar dadakan yang berjarak 500 m dari sanggar. Sedang mBah Catur, Lek Mujib yang dikawal mas Isa (Jamah Maiyah Bojonegoro) berburu ke rumah salah satu warga yang terkenal memroduksi rempeyek jompong (daun jati muda). Namun keinginan menganalisa ‘rempeyek jompong’ gagal karena orangnya sudah minggat ke Banyuwangi. Sementara Saya, Hadi dan awak Jaran Dor berziarah ke malam Mbah Sejono Puro, sesepuh yang dianggap mbabat alas Jono. Itulah kenapa disebut desa Jono, berasal dari nama Sejono Puro yang artinya: siapa yang mempunyai hajat di desa Jono pasti terkabul dan disepuro. Keunikan makam Eyang Jono Puro adalah terdapat sebagian tanah yang tidak basah walau terguyur hujan. Bagi Saya, menziarahi makam Mbah Jono Puro artinya silaturakhim kultur dan budaya. Mematurnuwuni perintis sejarah yang mendirikan republik ini. Kami tidak mendoakan, tetapi mengajak ruh mbah Jono untuk berdoa bersama atas paseduluran yang kami jalin antar desa. Tentu saja bukan bersilaturrakhim secara riel, sebab mBah Jono sudah berubah menjadi padatan partikel yang berbeda dengan jasat yang masih hidup.

Khusus mbah Catur dan beberapa sesepuh Jaran Dor juga bertamu ke rumah sesepuh Jaranan Desa Jono. Sedang anggota yang lain menuruti perintah Pak Dasuki agar ledang, yakni bersiaran keliling desa sambil membawa speaker dan tabuhan.

4. Diskusi di Warung Lek Subari dan Musium Malam

Sejak pertama kedatangan rombongan memang diamping PakDe Uban, sosok seniman sepuh yang mengamping hampir seluruh proses berkesenian di Jawa Timur pojok Barat Laut. Sambil jagongan di warung Lek Bari yang berada di depan sanggar, Pak De Uban bercerita masa lalunya ketika mengadakan pementasan di Wonosalam-Jombang bersama Cak Yusron. Meskipun rombongan tidak ingin merepotkan tuan rumah, ternyata PakDe Uban mentraktir sipapun yang ada di warung Lek Bari. Alasan PakDe Uban sederhana namun mendalam,”dayoh iku koyok mayit, dikapaknoae karo tuan rimahe, kudu manut,” sungguh sebuah ungkapan sesepuh yang jaman sekarang tak terdengar lagi.

Sejak pukul 11.00 para pedagang berdatangan, sementara mulai pukul 13.00, beberapa kawan sastrawan, teaterawan juga hadir, terlihat Kang Heri dkk (seniman Bojonegoro, Timur Budi Raja (penyair Madura), Denny Mizhar (Networker Malang), Nurel Javissyarqi (penyair Lamongan), Pak Agung (wartawan Antara), Bonari (sastrawan Trenggalek) dll yang Saya belum mengenal.

Pada jam 13.00 sekitar 25 mahasiswa berbagai Universitas di Malang berdatangan, otomatis warung Lek Bari berjubelan, Pak De yang sudah akrab dengan mereka spontan “ayo, siapa yang ingin bertanya pada KSI dipersilahkan, mumpung bertemu, kuras habis ilmunya, daripada mendatangkan ke kampus kalian.” Warung Lek Subari berubah drastik menjadi CafĂ© diskusi. Saya, Lak Mujib, Ragil dan Mbah Catur digelontori berbagai pertanyaan seputar kepenulisan, pembuatan majalah, menembus media dll. Diskusi warung berakhir setelah jam memungkinkan untuk napak tilas mahasiswa Malang tersebut bersama Pakde Uban mengunjungi Musium Malam yang berjarak 2 KM dari desa Jono. Musium Malam adalah museum di perbukitan terbuka yang berisi fosil tulang belulang ikan laut, bebatuan karang yang usianya diperkirakan sejak pulau Jawa menjadi dasar lautan. Sebab mustahil kerangka ikan dan bebatuan laut yang kadar garamnya tinggi bisa berada di Desa Jono, perbukitan yang jauh dari Laut Utara Jawa.

5. Sekilas Pementasan Negri Sungsang

Sesuai jadwal, pementasan di mulai jam 19.30 dengan terlebih dulu dibuka oleh Camat Temayang. Dalam prolognya Camat Temayang mengatakan betapa kehadiran KSI ke depan akan menjadi media promosi tersendiri bagi Desa Wisata Jono. Sebab setelah mereka pulang ke Jombang, pasti mereka bercerita perihal Desa Jono, getok tular cerita itulah yang sebanding media promo yang tak terkirakan jika dihitung dengan uang. Selain itu Camat Temayang juga memaparkan keunggulan Desa Wisata Jono yang juga mempunya produk unggulan, yakni Sawo Jono dan Pisang khas.

Sekitar 20 menit sebelum pementasan, gerimis tipis (klepyur) mulai turun. Namun penonton makin datang berdesakan dan tak menghiraukan gerimis, padahal separuh arena penonton berupa alam terbuka. Apalagi musik Jaran Dor mulai giro dan para penunggang Jaran Kepang mulai beratraksi dengan tarian khas Jaran Dor yang berbeda bentuk dengan Jaran Kepang umumnya (kulonan), penonton kian terserap.

Atraksi seni tradisi Jaran Dor dalam pementasan Negri Sungsang bertugas menjemput aktor mengawali aktingnya. Namun dibanding waktu latihan, durasi pementasan bertambah menjadi 2 jam. Sebab akhir atraksi Jaran Dor, penari jaran kesurupan, sehingga rekan lain segera menyuiti (bersiul) dari balik layar supaya kuda kesurupan mengejar. Sesampai di belakang layar, dua kuda yang kesurupan segera disembuhkan.

Bagi KSI pentas di desa merupakan pilihan, maka tidak heran selama pertunjukan suara penonton gaduh dan bersautan sehubungan dengan adegan. Peran Ki Bolo Siji Dan Ki Bolo Sewu yang merupakan gambaran ‘wong deso’ berfungsi tepat menghubungkan pemaknaan penonton yang tidak mengenal apa itu teater. Mereka menggap pementasan Negri Sungsan adalah Jaranan yang memakai lakon cerita. Ki Bolo Siji dan Ki Bolo Sewu yang keluar dari kerumunan penonton membuat tepuk sorak riuh. Saya yang memerankan Ki Bolo Sewu, harus akting ndlusup di pangkuan Pak Camat ketika adegan ditakuti tokoh Sampok. Hahaha. Hingga pertunjukan berakhir, penonton tidak bubar, mereka mengira masih ada adegan lakon lagi dan masih kurang puas menonton.

6. Diskusi Seusai Pementasan

Seusai pementasan diskusi dipandu oleh PakDe Uban. Ia mengutarakan keterpukauannya melihat dua kepala desa (seniman) beserta istri masing-masing. Camat Temayang dalam diskusi tersebut menyatakan siap suatu saat manggung di Mojowarno, sebab di Jono juga ada seni Samboyo, yaitu jaranan yang memakai lakon. Timur Budiraja yang juga hadir menyatakan tidak menyaksikan Negri Sungsang secara jelas karena padat penonton. Timur juga akan belajar lebih banyak dari gerakan KSI.

Pak Agung (wartawan Antara) mengatakan kagum dan heran, kok beraninya terater main di desa dan bisa membuat penonton tidak beranjak hingga pertunjukan usai. Berbeda dengan Bonari Nabonenar melihat sudut pandang. Ia mengacungkan jempol pada KSI yang merajut persaudaraan antar desa di kala sering terjadi tawuran antar desa di mana-mana. Sementara Pak Dasuki menjadi gong penutup sidkusi yang mengutarakan terimakasih sebab cuaca tidak hujan seperti hari sebelumnya dan menyatakan kecewa jika KSI suatu saat tidak tampil di desa Jono kembali.

*) Peserta Temu Sastra Jawa Timur 2011 /25 Januari 2012
   

Kekuatan Sastra

sastra-bojonegoro









Kekuatan Sastra, Sebagai Benteng Kultur Lokal di Tengah Era global*
Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti kajian buku di Sindikat Baca – salah satu komunitas penggerak literasi di Bojonegoro - kebetulan yang dibicarakan pada saat itu adalah novel Bukan Pasar Malam karya Pramodya Ananta Toer. Seorang tokoh fenomenal, sastrawan nasional terkenal bahkan sudah meng-internasional. Karya-karyanya sering dibedah, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam kegiatan tersebut – kebanyakan yang datang adalah mahasiswa - ada diskusi panjang tentang sastra. Di tengah-tengah diskusi, muncul sebuah pertanyaan; apakah sastra bisa memberi perubahan positif pada masyarakat ? Menanggapi pertanyaan itu, seorang kawan di samping saya ikut menambahkan bahwa sastra menurutnya hanya membuat pembaca melambungkan hayali (angan-angan) belaka. Karenanya dia tidak begitu tertarik pada dunia sastra. Menanggapinya, saya katakan bahwa kalau itu yang ditangkap adalah nilai hayali atau hayalannya saja mungkin ada benarnya. Apalagi jika dia seorang intlektual atau mahasiswa. Sebagaimana dikatakan Gunnar Myrdal “Kepercayaan seorang mahasiswa ialah keyakinanya pada kebenaran itu adalah segala-galanya dan bahwa khayalan itu merusak, terutama khayalan-khayalan yang oportunistis”[1].
Tetapi berbicara sastra tidak sesederhana itu tentunya. Ada sejarah panjang tentang pertarungan dan kritik pada sastra itu sendiri. Seperti yang dikisahkankan oleh Gunawan Muhammad dalam bukunya Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2005). Dalam bukunya tersebut ia menceritakan bagaimana pertarungan hebat sastrawan nasional terkemuka pernah terjadi pada pasca kemerdekaan. Yakni pada masa demokrasi terpimpin waktu itu. Pertarungan dan kritik sastra dimulai dari Pramodya Ananta Toer yang menyerang-mengkritik habis beberapa karya sastra yang waktu itu dimuat di majalah Sastra saat itu. Ia menuduh beberapa sastrawan anti-revolusi, menganggap tulisan-tulisan mereka telah berpihak pada the perspiring and toiling masses, pro-Barat, dan lain sebagainya. Puncak dari konfrontasi tersebut adalah dilarangnya Manifestasi Kebudayaan 8 Mei 1964. Ada pula tokoh sastra pada saat itu yang sampai masuk penjara, dan ada yang harus menandatangani noktah permintamaafan pada Pimpinan Besar revolusi, yakni Presiden Soekarno sendiri.
Begitu juga pada masa pasca reformasi, terjadi pula polemik sastra, seperti yang terjadi pada Taufik Ismail versus Hudan Hidayat, dkk. Taufik Ismail dalam pidatonya di depan Akademi Jakarta (2006) menyerang beberapa sastrawan yang mengumbar seksualitas, vulgar dan nakal dengan sebutan GSM (Gerakan syahwat merdeka) atau FAK (Fiksi Alat Kelamin). Menurutnya, gerakan mereka akan mendistorsi/mengikis ahbis budaya malu. Selain itu juga, masih menurutnya, gerakan itu ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, serta disokong kapitalisme dunia. Serangat maut Taufik Ismail ini kemudian dijawab oleh Hudan Hidayat dalam artikelnya dengan argumentatif-logis. Katanya, “ Tuhan itu lebih "nakal" dari Taufik Ismail. Dalam sebuah ayat dari surat-Nya (QS 7 ayat 22), Tuhan Yang Maha Imajinatif menggambarkan Adam dan Hawa telanjang, setelah melanggar "aturan main". Begitu salah satu pembelaannya.
Saya tidak ingin terlalu jauh membahas polemik tersebut, kenyataannya bahwa sastra mengandung falsafah moral dan karakteristik yang berbeda-beda dan tersembunyi di balik jubah para penulisnya. Sastra, seperti dikatakan oleh kalangan pemerhati sastra bahwa merupakan gambaran kehidupan. Ia adalah cerminan kehidupan yang seringkali disumberkan dari kenyataan sosial. Karena bersumbernya dari kenyataan social itulah, sastra bisa dipandang sebagai “kebenaran” penggambaran atau yang digambarkan oleh si-penulis. Kebenaran itu meliputi nilai-nilai humanisme, releguitas, social-budaya, meski kadang nilai-nilai tersebut dikemas dalam bentuk kiasan-kiasan.
Ada beberapa karya sastra yang menghebohkan bahkan memberi sumbangan pengaruh pada paradigma masyarakat, bahkan menembus dimensi social-politik. Seperti novel Max Havelar karya Eduard Douwes dengan nama samara Multatuli. Novel ini dikatakan bisa menghebohkan parlemen pemerintahan Belanda waktu itu karena kekejaman penjajahan pada penduduk pribumi di wilayah Hindia Belanda (Selanjutnya bernama Indonesia) dilukiskan dalam novel tersebut. Potret dari kemiskinan dan kesadisan penjajah ini, kemudian melahirkan sebuah perubahan politik yang dikenal dengan sebutan ‘politik etis’. Meski kemudian politik etis ini tidak sesuai dengan harapan awal perintisannya. Namun keberadaan novel itu telah menjadi perhatian beberapa kalangan.
Selanjutnya ada novel “Djalan Tak Ada ujung” karya Mochtar lubis, “Tjerita dari Blora” karya Pramodya Ananta Toer, mampu menjadi bacaan penting yang dapat menginspirasi semangat revolusi mahasiswa, sebagaimana yang tergambar dari catatan Soe Hok Gie. Ada pula novel Zaratustra karya Nietzse, dan masih banyak lagi karya-karya sastra yang menjadi rujukan dalam sumbangsihnya bagi pengembangan falsafah moral, nilai-nilai social-politik dan lain-lain. Bahkan tidak kurang beberapa aktifis kemanusiaan, seperti feminisme-gender memperjuang nilai-nilai tersebut melalui sastra, baik novel, puisi maupun yang lainnya.
Sastra Lokal Bojonegoro Sebagai Solusi di Tengah Globalisasi ?
Di tengah kekhawatiran adanya akulturasi budaya asing di Bojonegoro, sebagai konsekuensi dari dampak geliat industrialisasi-globalisasi, maka perlu ada upaya strategis-praktis guna mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada. Globalisasi, sebagimana dikatakan oleh Francis Wahono Nitiprawiro, bahwa secara bahasawi dapat didefinisikan sebagai proses menjadikannya satu bumi, satu dunia. Akan tetapi, karena selain dari tatanan bahasa, globalisasi sebagai konsep juga dicetuskan oleh berbagai tatanan lain yang saling terkait, seperti ekonomi, politik-ideologi, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya maka globalisasi memiliki berbagai pengertian (Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 2000).
Masih menurutnya, sebagai pengertian budaya, globalisasi tidak hanya merupakan harmonisasi ide-ide dan norma-norma, seperti pluralitas keberagaman, hak asasi, namun juga gaya hidup konsumerisme dan pornografi.proses demikian merupakan gerakan menuju kewargaan dunia universal yang melampui batas-batas kebangsaan.[2]
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa globalisasi berpotensi melemahkan ikatan-ikatan tradisional dan menimbulkan benturan nilai-nilai, khususnya humanitas masyarakat Bojonegoro yang masih kental. Begitu juga pergeseran otonomi individualistik diperkirakan makin besar. Bagi kalangan tertentu, hal ini mungkin bukan suatu ancaman, karena telah dibekali edintitas cultural yang kuat. Lantas bagi kaum awam, khususnya kaum muda dan ABG (Anak Baru Gede) yang masih labil dan gampang terpengaruh.
Sebagai bentuk pewaspadaan dini atas bakal terbentuknya ‘redefinisi budaya’ dan masyarakat terbuka, dunia sastra yang disebut sebagai roh kebudayaan, menurut saya memiliki andil besar dalam beberapa hal. Pertama, menjaga nilai/etika, atau humanitas lokal. Dikatakan oleh Plato bahwa sastra merupakan mimesis, yaitu tiruan realita[3]. Sehingga dengan begitu, perlu ada gerakan bersama – khususnya bagi yang berkecimpung di dunia sastra – dalam mewujudkan karya sastra berbasis lokalitas. Realita - seperti tatanan nilai/etika, historis, setting lokasi, hendaknya di-copy dalam perwujudan sastra berbasis daerah ini. Butuh perjuangan serius memang. Termasuk kesadaran penuh dari lembaga-lembaga pendidikan sastra baik formal maupun non-formal, pemerintah daerah, akademisi dan masyarakat umum. Dibutuhkan pula ruang/media publikasi luas dan mudah dijangkau. Kegiatan yang sifatnya kampanye budaya terus ditingkatkan, dan lain-lain.
Kedua, mengglobalkan nilai lokalitas Bojonegoro. Seperti yang dijelas di atas, bahwa globalisasi menciptakan tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa melewati batas-batas ideologis, geografis, social politik. Dengan begitu, melalui dunia sastra potret kehidupan – meliputi social-budaya, politik, sejarah, dan sumberdaya daerah bisa jadi ikut terbawa dalam ruang globalitas. Meski ini terkesan muluk-muluk, dalam ranah jangka panjang musti harus dipikirkan. Sebagaimana karya-karya Pramodya Ananta Toer, ternyata mendapat pengakuan dunia internasioanal.
Ketiga, sebagi benteng dari keterasingan identitas dan karakter masyarakat lokal. Di tengah-tengah modernitas saat ini, saya memandang ada keasingan pada identitas atau jati diri ke-Indonesiaan kita. Bukannya saya tidak suka, tapi saya melihat – khususnya pemuda – lebih terobsesi meniru gaya atau tren luar negeri. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran, apa jadinya jika identitas ke-Indonesiaan kita mulai luntur ?
Demikian sebatas pemikiran yang saya buat sebagai refleksi atas pergeseran nilai dan keterasingan identitas masyarakat terhadap nilai-nilai local wisdom. Semoga bermanfaat.

*Aw. Abde Negara
Tukang Sapu di Sindikat Baca !
& Mahasiswa STIE Cendekia Bojonegoro