sastra-bojonegoro.blogspot.com
TUKANG SUMUR
”SUMBER AGUNG LANCAR”
(PAK JOLENO)
MENERIMA PANGGILAN
HUBUNGI : 085678977771
Reklame dari
bahan seng bekas talang itu terpaku pada pohon mangga di sudut halaman rumahnya sejak tigabelas tahun lalu. Itulah profesi
Joleno yang tinggal di belakang SDN Panjunan I-II Kalitidu bersama isteri dan
dua anaknya. Profesi yang digelutinya sebagai hasil transformasi pengetahuan
dari mendiang ayahnya menjadi semakin langka saat ini, padahal kebutuhan air
bagi setiap orang sangatlah vital. Maklumlah jaman sekarang serba instan,
segala kebutuhan bisa terpenuhi secara cepat dan tepat, meninggalkan hal-hal
yang konvensional alias kuno.
Dulu orang memenuhi
kebutuhan MCK-nya cukup menceburkan diri di sungai pinggiran desa atau di mata
air berupa sendang atau air
terjun. Kalau tak mau berjalan keluar pekarangan rumah dibikinlah sumur galian
yang dalam perkembangannya menjadi sumur pompa, sehingga lahirlah profesi
tukang gali sumur seperti yang ditekuni Joleno. Jaman sekarang PDAM sudah masuk
desa, mengolah air tanah dan air bengawan
menjadi bersih yang dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah penduduk. Tiap bulan
tinggal bayar rekening di kantor PDAM kecamatan, tak usah repot bersusah-payah ngangsu¹). Sementara bagi Joleno tak
setahun sekali mendapat panggilan untuk menggali sumur dan itu berarti dapur
istrinya tak mengepul kalau cuma mengandalkan satu jenis pekerjaan. Pada setiap
kesempatan Joleno meringankan tangan untuk memegang pekerjaan serabutan yang diminta tetangganya. Terkadang menjadi kuli angkut
barang di pasar, diselingi menjadi kuli bangunan. Pada kesempatan lain mengayuh becak tak
lama berganti menjadi tukang parkir
jalanan, lalu kembali menggali
sumur.
Cap ”Sumber Agung
Lancar” sengaja dipilih agar membias pada upayanya mengais nafkah dan menjaring
rejeki. Dia selalu berharap agar hasil
kerjanya menjadi sumber yang meluap, baik lembaran rupiah maupun semburan air sumur galiannya. Setelah
airnya berhasil keluar diharapkan juga bisa lancar dan langgeng. Nomer
ponselnya sangat pas dengan karakter usahanya, agar orang-orang mudah mengenal
sekaligus mengingatnya. Akhiran ”…….77771” bukanlah kebetulan, tetapi memang
dicarinya dengan upaya keras dari konter ke konter seantero Kalitidu hingga
Cepu. Nomer itu haruslah bertuah atau mempunyai aura magis yang mengayomi pemegangnya.
Joleno mendapat nomer itu atas kegigihannya menyimak kitab ’erek-erek’ yang dipinjamnya dari Nardi
Kuncir. Nomer ”777” melambangkan pitulungan dari tiga arah, sedangkan ”71”
adalah tafsir gambar sumur. Klop! Nama Nardi Kuncir muncul sebagai tokoh di
sini, setelah Joleno. Selain mereka berdua ada lagi Hari Guru alias Hari Balung
dan Dimun. Keempatnya mudah ditemui di warung kopi tepian lahan jati. Dari
komunitas warung itu Joleno sering mendapat pesanan menggali sumur. Kalau sudah
begitu dia mempersiapkan diri dan peralatannya sekaligus mengumpulkan anggota
tim penggali sumur. Timnya berjumlah empat orang, dia dan tiga orang asisten,
tetapi ketiganya jelas bukan Nardi, Hari dan Dimun. Kalau untuk urusan menggali
sumur Joleno lebih suka mengajak adik ipar dan dua orang keponakannya. Kalau bersama
Hari Balung dan dua koleganya itu jelas diajak nggladhak balung²). Area
perburuan tulang dan batuan itu sepanjang aliran bengawan atau punden-punden di
seputar bekas wilayah kadipaten Jipang Panolan masa lalu. Yang terngiang di
telinga Joleno adalah ucapan khas sang ’maestro’ Hari
Balung:
”Jaman sekarang anjing
saja tak mau tulang, kamu manusia kok malah mengais-ngais tulang..”
Kemarau ini sumur-sumur
kerontang, air enggan keluar
dari sumbernya. Joleno dan timnya kewalahan menerima permintaan untuk
memperbaiki sumur, bahkan istrinya sendiri juga merengek minta sumurnya segera
diperbaiki. Rasanya semua tanah di kawasan
Ngasem, Gayam Kalitidu dan sekitarnya sudah keropos. Minyak kandungannya disedot
dari titik-titik lokasi yang mengandung minyak dan gas. Akibatnya air tanah pun
menjadi langka, keseimbangan ekosistem terganggu. Bumi menangis, sawah-sawah
pun meringis tak lagi berselimut hijau daun padi, palawija maupun tembakau dan
pohon jati. Kondisi yang terpotret dalam sajak Gampang Prawoto:
Kuthaku mabur ngawiyat
ilange keluk once mbako
nimbule crobong lenga.
puser bumi manglung mangetan
kemrengseng swarane sedan
kalah seru swarane spatu lerekan
prag-prog, brag-brug
ngidak-idak lemah warisan
ngurug dalan wetune pangan
ngosak-asik pranatan
nyadhong dhuwit sewan
kamar.
puser bumi munggah
sakilan
dol-tinuku
sadalan-dalan, warung
warung cilik nawakake
sawah apa tegal, kanthi sewan
dadi simpenan utawa cara gadhen.
puser bumi mudhun
sakilan
banyu panguripan
wutah ing sadhengah papan
gumrojog, kemricik
kaya swarane lenga
sesidheman
klesak-klesik
mumpung bojomu mlebu awan
janjian.
puser bumi minger ngalor-ngetan
kalisari lawange tutupan
gandhul disangoni telung-yutan
widadari mabur saparan-paran
mula bapake arang mangan
icip pecel, njajal soto, imbuh
rawon
wareg, ra kawruhan.
----------------- ³)
Galian Joleno di
pekarangan rumahnya sendiri sudah mencapai duabelas meter, tetapi belum ada
tanda-tanda ditemukan setetes pun
air. Kali ini dia mengerjakan sumur sendiri tanpa tim, karena memang tidak ada
anggaran penunjangnya alias swadaya mandiri. Lokasi galiannya tepat di selatan “Museum
13”, bekas wc tua SDN Panjunan yang disulap Hari Balung menjadi gudang
penampungan benda-benda purbakala seperti fosil gajah, rusa, kerbau, kerang,
keong, keris, batu akik, batu nisan dan sebagainya.. Sudah berpindah dua titik
penggalian membuat Joleno kehabisan semangat. Segenap kemampuannya dicurahkan
untuk menyentuh permukaan air dalam tanah, tetapi masih gagal juga. Bak
seorang pujangga, Joleno pun sebenarnya sudah menerapkan semacam mantera sebelum
mengawali pekerjaannya, semacam ritual bubak-bumi 4) selamatan
dan mohon berkah ridho Gusti Allah, Nabi Muhammad, Nabi Khidlir, Syeh Abdulkadir dan Sunan
Kalijaga. Penggali sumur dalam hal menancapkan mata bor atau ganconya juga
menggunakan langgam macapat 5) dalam arti ”maca papat-papat”nya. Dalam mengukur
kedalaman galian menggunakan lonjoran
6) pipa paralon yang
panjangnya empat meter per lonjor 7) Jadi dengan mudah menghitung berapa
kedalaman galian berdasarkan lonjoran
pipa paralon yang sudah dimasukkan. Kalau tiga lonjor berarti sudah mencapai duabelas meter, hasil perkalian tiga
kali empat meter.
”Bagaimana kang, bisa keluar pa nggak sumurku?” Parsiti –istrinya-- menyela penuh harap ketika Joleno beristirahat
di bawah pohon mangga sembari
mengusap keringat yang meleleh di dahinya. Joleno menghela nafas berat.
”Sabar ti.. kamu itu
tinggal mateng saja kok cerewet. Aku
ini juga sudah susah-payah menggali, tapi semua kan kembali pada nasib, keluar apa tidak
nanti. Doakan sajalah, jangan ngrepoti dengan pertanyaanmu itu.”
”Tanya kok nggak
boleh. Aku kan
harus segera masak, mencuci dan mandi to
kang.. Apa mau kalau aku lebus 8).” sambar Parsiti sambil berlalu kembali ke habitatnya,
dapur. Meski begitu sang suami masih menimpali:
”Sumurmu masih sempit,
ti.. perlu waktu agar mata borku lancar menembus dasarnya..”
Usai salat duhur Joleno
melanjutkan pekerjaannya. Kali ini rencananya menambah satu lonjor lagi sebagai lonjor terakhir. Kalau sudah masuk berarti kedalaman galiannya
tembus pada titik enambelas meter. Sepanjang karir Joleno rekor galian yang
pernah dicapai sedalam duapuluh empat meter. Itupun masih perlu waktu dua hari
untuk bisa mendapatkan air yang lancar dan jernih.
Ketika mata bor
menghunjam batu keras pada kedalaman tigabelas meter, Joleno tersentak. Dengan
tiga kali hunjaman batu penghalang berhasil dipecahkan, tetapi tiba-tiba dari
lubang pipa yang tersambung mata bor keluar cairan pekat bercampur lumpur. Semburan kecil tapi cukup kencang
menerpa wajah Joleno, hingga tubuhnya terlontar ke belakang dan duduk terjerembab.
Dalam beberapa detik semburan itu akhirnya melemah dan berhenti mengalir.
Joleno segera bangkit dari posisinya, kemudian mengamat-amati cairan pekat
sewarna tanah yang menempel di hidungnya. Dicium dan diraba-raba. Joleno
terkesiap, dadanya berdegup kencang. Ini jelas:
”Minyak..!”
gumamnya.
Joleno terpaku sesaat,
lalu mencari tempat duduk yang teduh di bawah pohon mangga. Pikirannya
menerawang, berkelana ke mana-mana, membayangkan berbagai kemungkinan yang akan
terjadi.
”Ah…bagaimana enaknya,
ya? Parsiti diberitahu apa tidak? diumumkan kepada orang-orang apa tidak?”
Hingga masuk waktu asar Joleno
belum mengambil keputusan, justru bergegas menuju musola di halaman sekolah. Untung
saja tak ada Hari Balung di museumnya, sehingga tak perlu repot mencari jawaban
seandainya ditanya. Dia membersihkan badannya dengan air PDAM yang disalurkan
ke kamar kecil samping musola. Setelah mandi dan mengambil wudlu Joleno berniat
salat guna menenangkan pikirannya. Usai salat barulah dia beranjak pulang.
Baru saja menginjak
teras rumah sudah disambut
sang isteri:
”Bagaimana kang?”
”Gagal, ti.. Lusa kita
daftar PDAM saja. Aku mau pinjam uang mas guru.”
”Eeee.., yang dulu aja belum bisa bayar, sudah mau pinjam
lagi..”
”Ya nggak papa.., mas guru kan
nggak pernah nagih. Lagian, kebutuhan
mas guru nggak keroyokan seperti kita.
Paling cuma kebutuhan bensin
seliter buat nggladhak.”
Usai magrib ada acara tahlilan di masjid
dilanjutkan jamaah salat isak. Sepulang dari kegiatan rutin itu Joleno
merebahkan diri di balai-balai teras rumahnya. Otak kanan dan kirinya dibiarkan
berdialog, saling mengemukakan argumentasi mengenai galian sumur sore tadi.
”Sebaiknya kamu lapor saja kepada aparat, pasti akan
dapat imbalan”
”Aaah.., jangan!, imbalan apa? paling-paling
cuma ucapan terima kasih. Kamu cuma diberi selembar kertas piagam.”
”Ya tak mungkin begitu to.., kan mereka orang-orang penting dan
pengambil keputusan yang bijaksana. Jelas malu kalau tak memberimu hadiah. Lagipula
tanahmu akan diberi ganti-untung dengan harga tinggi. Kamu sebagai penemu
sekaligus pemilik lahan, jadi dobel
kan?”
”Tapi selama ini pemilik
tanah kerap dirugikan.. Ah…tidak!
Aku tidak akan menjual tanahku sampai kapan pun. Kalaupun sudah beroperasi, mereka
pasti mengangkut hasil produksi minyak ke negara asalnya, sementara negeriku
tetap miskin. Sebagai pemilik minyak mestinya mendapat bagian lebih dari mereka
yang pekerja to? Sekarang aku mantap
memutuskan:
’Tidaaaaak…!’ ”
(Keesokan harinya Joleno bergegas menutup rapi bekas galian sumurnya. Tak
seorang pun boleh tahu, termasuk isterinya, apalagi Hari Guru. Kalau sampai mas
guru tahu, pasti akan dipotret dan diunggah di facebook)#
*Inventarisasi
makna:
1).
mencari air di luar rumah, lalu dibawa
pulang.
2). berburu
tulang (=fosil).
3). Gampang
Prawoto dalam “Puser Bumi” (2013).
4). membuka
lahan untuk dibuat bangunan.
5). salah satu
jenis tembang Jawa.
6). batangan.
7). batang.
8). tak
sedap seperti bau kambing.
# Sanggar Pakeliran, Grenjeng 30/11/2014
*PSJB
= Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro.
SAMMIN
= Sanggar Membaca -Menulis Indonesia.
---oOo---
PENGIRIM :
Herry Abdi Gusti
(=Haryanto
Abdoellah)
Grenjeng RT 002 RW 004 Ds.Sraturejo,
Baureno-Bojonegoro 62192
e-mail: haryanto_abd@yahoo.co.id
ponsel: 085646556656