Selasa, 27 September 2011

Mengembara Ke Dunia Batin Manusia Jawa

Ad
Mengembara Ke Dunia Batin Manusia Jawa

      Judul : Layang Pangentasan
Penulis : Suryanto Sastroatmodjo
Jenis : Puisi (geguritan)
Tebal : 106 hlm
Tahun : 2003 (Desember)
Penerbit : Komunitas Cantrik, Malang


Orang Jawa pada masa kini sering beranggapan bahwa belajar, atau kalau ingin mengetahui sesuatu yang berkaitann dengan sastra Jawa, harus membaca sastra Jawa klasik. Memang, anggapan ini tidak keliru, tetapi tidak sepenuhnya benar. Sastra Jawa klasik sebagai rujukan kebudayaan Jawa adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, dalam sastra Jawa modern pun kita dapat belajar dan melacak nilai-nilai kehidupan (manusia) Jawa yang tetap abadi. Kita bisa menyimak Layang Pangentasan karya penggurit Suryanto Sastroatmodjo, sebuah buku antologi yang memajang sebanyak 85 judul puisi Jawa (geguritan). Apa yang dikatakan oleh Bonari Nabonenar (dalam pengantarnya) seperti sudah mewartakan penjelajahan dunia batin manusia Jawa yang dilakukan oleh pengguritnya, yang kemudian kita ikuti, kita susul, melalui guritan-guriannya di dalam antologi ini. Memang, Layang Pangentasan merupakan ungkapan “Kebatinan/Religiusitas-e Manungsa Suryanto Sastroatmodjo”.

Penyair kelahiran Bojonegoro --sekarang bermukin di Yogyakarta-- ini berusaha menggali dan memaknai kembali beberapa aspek kebudayaan Jawa dalam visi manusia masa kini. Suatu usaha transformasional terhadap kebijaksanaan dan keluhuran kebudayaan Jawa yang patut dihormati. Keluhuran itulah yang sangat dominan muncul dalam tataran kebatinan Jawa (Kejawen). “Sesuatu” yang sekarang banyak dipelajari kembali oleh orang Jawa dari berbagai sudut karena menjadi “sesuatu” yang dapat memberikan alternatif dalam pencarian nilai bagi perjalanan hidup manusia Jawa.

Jika kita mencoba menelusuri relung-relung persoalan yang disajikan penyair ini, kita akan sampai pada suatu suasana yang spesifik Kejawen. Maksudnya, Suryanto Sastrosastroatmodjo berusaha menyajikan puisi-puisinya ini dalam suatu kawasan yang lebih marginal pada lingkup kebudayaan Jawa, yaitu masyarakat Jawa pedesaan. Selama ini, orang sering memandang berat sebelah, bahwa “kebudayaan Jawa” adalah “kebudayaan keraton”. Di luar itu, bukan kebudayaan (sesuatu yang dihasilkan dari pengolahan jiwa manusia di luar batas tembok keraton). Lewat geguritannya, penyair ini ingin menawarkan suatu ajakan agar pandangan yang “ajeg” namun cenderung keliru itu diluruskan sesuai dengan azasinya. Kita dapat melacak hal itu, misalnya, melalui geguritan yang berjudul “Meksa Kawanan”.

MEKSA KAWANAN

Kaya ngumyang sing kapireng ing sisihing rawuhmu
kaslendhang rerangin kidung pangajaban ruruh
tumuli den-atag ing swasana rengu, langkah rumembe
ginatra dening tali-tali tangsuling sekti
ah, apa gunane niba-tangi ing saben wektu
kalamun rambah-rambahan ora mentas
saka piyandel sing mungkasi bebendu, kadanglanang?
Kareben sumber-mulya sing kapisan
sinusul dening gunung-gemunung sigrak
lan tembang kasilih saka ujure ajur-ajer
winedhar saking lambung pangestu, kadanglanang!
Mbokmanawa jejer kasutapan wingi
ngurubi kekuwatan sing tau dadi ucap-ucap
banjur milih laladan sing paling wiyar
papan sumelehing badan sing ngunduri sepuh: wus ngrasuk

kekadaran kang manjing tempuke pandumuk, kadanglanang!


TETAP KESIANGAN

Bagai mengigau yang terdengar di samping kedatanganmu
terikat selendang kidung bersama angin mengajak temaram
segera kau tanya dalam suasana ragu, langkah tumbuh
diikat tali-tali ikatan sakti
ah, apa guna jatuh bangun saban saat
karena berulang tanpa bangkit
dari percaya yang mungkasi aral, saudaralaki?
Agar sumber kemulian pertama
tersusul gunung-gemunung tegak
dan tembang tersuling dari wujud ajur-ajer
dibabar dari lambung pangestu, saudaralaki!
Barangkali bersanding kasutapan lalu
menyalakan kekuatan yang pernah terucap
lalu milih kawasan paling luas
papan tempat merebahkan badan di hari tua: tlah merasuk
kepastian hanya berada pada pertemuan tujuan, saudaralak!

Puisi ini terasa sangat berirama ketika menyampaikan gagasannya tentang kasutapan (hal-hal yang berkaitan dengan tapa brata), ajur-ajer (luluh menjadi satu tiada lagi ada perbedaan antara satu dan lainnya), dsb. Dan, hal itu (irama) mewarnai hampir keseluruhan puisi-puisi Jawa Suryanto Sastroarmodjo. Suasana yang ditimbulkan oleh suasana itu membuat kata atau kalimat yang dibangun oleh si penyair tidak lagi terletak pada gramatika. Suasana yang dibangkitkan oleh guritan-guritan dalam antologi ini telah mampu mentransformasikan irama tembang dalam pilihan kata yang melodius. Hal yang sama, dalam guritan Jawa, tidak mudah ditemukan di dalam puisi-puisi Jawa lainnya yang ditulis bukan oleh Suryanto. Inilah Suryanto, yang mencoba mengembara dalam laladan dunia Jawa masa kini berdasarkan elan vital dua masa yang menjadi satu tetapi perspektif baru.

Layang Pangentasan menggambarkan bentuk-bentuk terbebas dari kemapanan bentuk tembang, tetapi dis sisi lain memperlihatkan kemapanan pada pilihan kata dan pola persajakannya semacam mantra. Suryanto adalah seorang berdarah bangsawan (bergelar Kanjeng Raden Tumenggung) yang berkarya di era modern. Guritan-guritan dalam antologi ini sebenarnya wujud guritan khas Jawa, dan ia amat suka bermain kata dan idiom-idiom yang langka atau juga ada yang arkhais. Kemampuan semacam ini dibangun tentu berdasarkan suatu pengalaman dan perjalanan yang lama dalam dunia budaya Jawa. Dan ini tidak aneh, karena Suryanto Sastroatmodjo telah lama menulis dalam sastra Jawa modern dalam tataran yang terus meluas.

Di luar persoalan tersebut, yang patut diberi acungan jempol adalah keberanian dari penerbit dalam menerbitkan buku sastra Jawa, khususnya geguritan seperti ini. Dengan desain sampul yang dapat mewakili “semangat modern” dan lay out yang tertata baik, antologi ini tidak lagi sekedar menjadi buku Jawa yang sterotipe seperti yang sudah ada. Semangat untuk mengangkat Kejawen dalam bingkai sastra (seperti ini) barangkali memang lahir dari keinginan “luhur” bagi kelanjutkan sastra Jawa, dan tidak hanya sekedarnya saja. Banyak, sebenarnya, dari karya tulis penyair ini, baik dalam bentuk esai maupun drama bahasa Jawa dan Indonesia yang menarik untuk diterbitkan. Dari data-data itu, tak kalah menariknya sebagaimana Layang Pangentasan. (Dhanu Priyo Prabowo, Peminat sastra dan budaya Jawa)
                                                                                  tion

Tidak ada komentar:

Posting Komentar