Jumat, 30 September 2011

RANCAGE 2011 "Pulo Asu" HERWANTO

Ad    



   
Pemenang Hadiah Sastra Rancage 2011
Posted on February 17, 2011

http// sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Yayasan Kebudayaan Rancage kembali memberikan anugerah Hadiah Sastra Rancage kepada pengarang karya sastra Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Selain diberikan kepada pengarang buku sastra berbahasa daerah tersebut, Rancage juga dianugerahkan kepada individu atau lembaga yang dinilai berjasa dalam mengembangkan sastra daerah-daerah tadi.

Tahun ini Rancage untuk sastra Sunda diberikan kepada Us Tiarsa untuk buku kumpulan cerita pendeknya, Halis Pasir. Buku terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung, tersebut adalah antologi cerpen pertama Us selama 30 tahun ia menulis berbagai karya sastra dalam bahasa Sunda.

Buku berisi 13 cerita pendek US Tiarsa itu mengungguli 10 judul lainnya yang dipilih juri. Karya lainnya antara lain kumpulan tiga cerita pendek berjudul Sapeuting di Cipawening karya Usep Romli H.M., Layung Katumbiri karya Nunung Saadah, dan naskah sandiwara Rosyid E. Abby, Kabayan Ngalanglang Jaman. Buku lainnya berupa roman, kumpulan esai, dan buku anak-anak Rasiah Kodeu Biner karangan Dadan Sutisna.

Juri Rancage Teddy Muhtadin melihat karya sastra Sunda berwarna senada dengan cerita lebih mengarah ke realitas atau persoalan hidup sehari-hari. Namun kritikus sastra Sunda itu menilai karya Us Tiarsa lebih halus dan sabar. Keunggulan itu hampir merata di 13 cerita pendeknya. “Dia lebih matang dan struktur bahasa Sundanya sangat baik. Juga banyak kata yang muncul terasa pas,” ujar Ketua Program Studi Sastra Sunda Universitas Padjadjaran itu.

Selain buat Us, penghargaan sastra Sunda tahun ini juga diberikan kepada Usep Romli yang dianggap berjasa dalam pengembangan sastra Sunda. Usep Romli banyak menulis sajak, cerita anak, dan novel termasuk Sanggeus Umur Tunggang Gunung yang tahun lalu mendapat penghargaan Rancage.

Sementara itu Rancage untuk sastra Jawa diberikan kepada Pulo Asu, kumpulan cerpen karya Herwanto, yang diterbitkan Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro. Lanang Setiawan juga menerima Rancage sastra Jawa karena dianggap berjasa mengembangkan sastra Tegal sejak 1984.

Lalu Rancage sastra Bali diberikan kepada Sang Lelana, kumpulan sajak karya I.D.K. Raka Kusuma, yang diterbitkan Sanggar Buratwangi. Raka juga menyabet Rancage pada 2002 atas jasanya dalam mengembangkan sastra Bali.

Sayangnya tahun ini tak ada hadiah untuk sastra Lampung. Juri tak menemukan ada buku sastra yang terbit dalam bahasa itu sepanjang 2010.

Hadiah Sastra Rancage digagas oleh Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi pada 1989. Mulanya hadiah ini khusus untuk karya sastra Sunda, tapi kemudian diluaskan untuk sastra Jawa, Bali, dan Lampung juga.

Lewat Rancage, Ajip ingin sastra Sunda tetap hidup. Selain membuat hadiah Rancage, ia mendirikan penerbitan Kiblat Buku Utama pada 2000 dari hasil penjualan dua lukisan potret diri dan pemandangan laut pemberian maestro Affandi senilai Rp 500 juta. Sekarang ia bersiap menjual koleksi lukisannya lagi untuk mendirikan Perpustakaan Ali Sadikin di Bandung, yang akan menjadi pusat seni Sunda. “Saya sendiri tidak mengharapkan apa-apa dari Indonesia dengan kondisi sekarang ini,” katanya.

Bukunya – dari pelbagai sumber terutama tulisan Majalah Tempo Rancage Merawat Sastra Sunda



Penyerahan Hadiah Sastera RANCAGÉ dan Hadiah SAMSUDI

Oleh Miss_Late | 14:59 | 30 April, 2011 | Sekolah-Kampus. | RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Sabtu (30/04/2011), Yayasan Kebudayaan Rancagé UIN Sunan Gunung Djati Bandung menyelenggarakan kegiatan Penyerahan Hadiah Sastera RANCAGÉ 2011 untuk Sastera Sunda, Jawa, dan Bali, dan Hadiah SAMSUDI. Acara ini adalah acara penyerahan hadiah yang ke-24 yang diselenggarakan di Auditorium UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada pukul 08.00-14.00 WIB.
Penerima hadiah Sastera RANCAGÉ 2011 untuk kategori Sastera Sunda adalah HALIS PASIR (Kumpulan Cerpén) karya Us Tiarsa, serta H. Usép Romli H. M (Jasa). Untuk kategori Sastera Jawa adalah PULO ASU (Kumpulan Cerpén) karya Hérwanto, serta Lanang Setiawan (Jasa). Untuk kategori Sastera Bali adalah SANG LELANA (Kumpulan Sajak) karya IDK Raka Kusuma, serta Bali Orti sisipan bahasa Bali sk. Bali Post Minggu (Jasa). Kemudian Penerima hadiah SAMSUDI 2011 adalah RASIAH KODEU BINÉR karya Dadan Sutisna.
Acara ini dihadiri oleh sebagian besar mahasiswa Fakultas ADAB dan HUMANIORA UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dengan Prof. Ajip Rosidi sebagai salah satu bintang tamu (sastrawan). Acara ini diisi dengan berbagai kesenian Sunda, yakni kesenian Karinding dan tarian Jaipong. Kesenian lain yang juga ditampilkan adalah kesenian Qasidah. Seluruh agenda acara berlangsung dengan lancar dan para hadirin nampak antusias mengikuti seluruh agenda acara tersebut.


                                                                                                                                on

Selasa, 27 September 2011

Mengembara Ke Dunia Batin Manusia Jawa

Ad
Mengembara Ke Dunia Batin Manusia Jawa

      Judul : Layang Pangentasan
Penulis : Suryanto Sastroatmodjo
Jenis : Puisi (geguritan)
Tebal : 106 hlm
Tahun : 2003 (Desember)
Penerbit : Komunitas Cantrik, Malang


Orang Jawa pada masa kini sering beranggapan bahwa belajar, atau kalau ingin mengetahui sesuatu yang berkaitann dengan sastra Jawa, harus membaca sastra Jawa klasik. Memang, anggapan ini tidak keliru, tetapi tidak sepenuhnya benar. Sastra Jawa klasik sebagai rujukan kebudayaan Jawa adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, dalam sastra Jawa modern pun kita dapat belajar dan melacak nilai-nilai kehidupan (manusia) Jawa yang tetap abadi. Kita bisa menyimak Layang Pangentasan karya penggurit Suryanto Sastroatmodjo, sebuah buku antologi yang memajang sebanyak 85 judul puisi Jawa (geguritan). Apa yang dikatakan oleh Bonari Nabonenar (dalam pengantarnya) seperti sudah mewartakan penjelajahan dunia batin manusia Jawa yang dilakukan oleh pengguritnya, yang kemudian kita ikuti, kita susul, melalui guritan-guriannya di dalam antologi ini. Memang, Layang Pangentasan merupakan ungkapan “Kebatinan/Religiusitas-e Manungsa Suryanto Sastroatmodjo”.

Penyair kelahiran Bojonegoro --sekarang bermukin di Yogyakarta-- ini berusaha menggali dan memaknai kembali beberapa aspek kebudayaan Jawa dalam visi manusia masa kini. Suatu usaha transformasional terhadap kebijaksanaan dan keluhuran kebudayaan Jawa yang patut dihormati. Keluhuran itulah yang sangat dominan muncul dalam tataran kebatinan Jawa (Kejawen). “Sesuatu” yang sekarang banyak dipelajari kembali oleh orang Jawa dari berbagai sudut karena menjadi “sesuatu” yang dapat memberikan alternatif dalam pencarian nilai bagi perjalanan hidup manusia Jawa.

Jika kita mencoba menelusuri relung-relung persoalan yang disajikan penyair ini, kita akan sampai pada suatu suasana yang spesifik Kejawen. Maksudnya, Suryanto Sastrosastroatmodjo berusaha menyajikan puisi-puisinya ini dalam suatu kawasan yang lebih marginal pada lingkup kebudayaan Jawa, yaitu masyarakat Jawa pedesaan. Selama ini, orang sering memandang berat sebelah, bahwa “kebudayaan Jawa” adalah “kebudayaan keraton”. Di luar itu, bukan kebudayaan (sesuatu yang dihasilkan dari pengolahan jiwa manusia di luar batas tembok keraton). Lewat geguritannya, penyair ini ingin menawarkan suatu ajakan agar pandangan yang “ajeg” namun cenderung keliru itu diluruskan sesuai dengan azasinya. Kita dapat melacak hal itu, misalnya, melalui geguritan yang berjudul “Meksa Kawanan”.

MEKSA KAWANAN

Kaya ngumyang sing kapireng ing sisihing rawuhmu
kaslendhang rerangin kidung pangajaban ruruh
tumuli den-atag ing swasana rengu, langkah rumembe
ginatra dening tali-tali tangsuling sekti
ah, apa gunane niba-tangi ing saben wektu
kalamun rambah-rambahan ora mentas
saka piyandel sing mungkasi bebendu, kadanglanang?
Kareben sumber-mulya sing kapisan
sinusul dening gunung-gemunung sigrak
lan tembang kasilih saka ujure ajur-ajer
winedhar saking lambung pangestu, kadanglanang!
Mbokmanawa jejer kasutapan wingi
ngurubi kekuwatan sing tau dadi ucap-ucap
banjur milih laladan sing paling wiyar
papan sumelehing badan sing ngunduri sepuh: wus ngrasuk

kekadaran kang manjing tempuke pandumuk, kadanglanang!


TETAP KESIANGAN

Bagai mengigau yang terdengar di samping kedatanganmu
terikat selendang kidung bersama angin mengajak temaram
segera kau tanya dalam suasana ragu, langkah tumbuh
diikat tali-tali ikatan sakti
ah, apa guna jatuh bangun saban saat
karena berulang tanpa bangkit
dari percaya yang mungkasi aral, saudaralaki?
Agar sumber kemulian pertama
tersusul gunung-gemunung tegak
dan tembang tersuling dari wujud ajur-ajer
dibabar dari lambung pangestu, saudaralaki!
Barangkali bersanding kasutapan lalu
menyalakan kekuatan yang pernah terucap
lalu milih kawasan paling luas
papan tempat merebahkan badan di hari tua: tlah merasuk
kepastian hanya berada pada pertemuan tujuan, saudaralak!

Puisi ini terasa sangat berirama ketika menyampaikan gagasannya tentang kasutapan (hal-hal yang berkaitan dengan tapa brata), ajur-ajer (luluh menjadi satu tiada lagi ada perbedaan antara satu dan lainnya), dsb. Dan, hal itu (irama) mewarnai hampir keseluruhan puisi-puisi Jawa Suryanto Sastroarmodjo. Suasana yang ditimbulkan oleh suasana itu membuat kata atau kalimat yang dibangun oleh si penyair tidak lagi terletak pada gramatika. Suasana yang dibangkitkan oleh guritan-guritan dalam antologi ini telah mampu mentransformasikan irama tembang dalam pilihan kata yang melodius. Hal yang sama, dalam guritan Jawa, tidak mudah ditemukan di dalam puisi-puisi Jawa lainnya yang ditulis bukan oleh Suryanto. Inilah Suryanto, yang mencoba mengembara dalam laladan dunia Jawa masa kini berdasarkan elan vital dua masa yang menjadi satu tetapi perspektif baru.

Layang Pangentasan menggambarkan bentuk-bentuk terbebas dari kemapanan bentuk tembang, tetapi dis sisi lain memperlihatkan kemapanan pada pilihan kata dan pola persajakannya semacam mantra. Suryanto adalah seorang berdarah bangsawan (bergelar Kanjeng Raden Tumenggung) yang berkarya di era modern. Guritan-guritan dalam antologi ini sebenarnya wujud guritan khas Jawa, dan ia amat suka bermain kata dan idiom-idiom yang langka atau juga ada yang arkhais. Kemampuan semacam ini dibangun tentu berdasarkan suatu pengalaman dan perjalanan yang lama dalam dunia budaya Jawa. Dan ini tidak aneh, karena Suryanto Sastroatmodjo telah lama menulis dalam sastra Jawa modern dalam tataran yang terus meluas.

Di luar persoalan tersebut, yang patut diberi acungan jempol adalah keberanian dari penerbit dalam menerbitkan buku sastra Jawa, khususnya geguritan seperti ini. Dengan desain sampul yang dapat mewakili “semangat modern” dan lay out yang tertata baik, antologi ini tidak lagi sekedar menjadi buku Jawa yang sterotipe seperti yang sudah ada. Semangat untuk mengangkat Kejawen dalam bingkai sastra (seperti ini) barangkali memang lahir dari keinginan “luhur” bagi kelanjutkan sastra Jawa, dan tidak hanya sekedarnya saja. Banyak, sebenarnya, dari karya tulis penyair ini, baik dalam bentuk esai maupun drama bahasa Jawa dan Indonesia yang menarik untuk diterbitkan. Dari data-data itu, tak kalah menariknya sebagaimana Layang Pangentasan. (Dhanu Priyo Prabowo, Peminat sastra dan budaya Jawa)
                                                                                  tion

Sastrawan Jawa Gelar Kongres

Add  
  

Sastrawan Jawa Gelar Kongres Tandingan

   di Bojonegoro  

TEMPO Interaktif, Surabaya - Para sastrawan bahasa Jawa akan menggelar Kongres Sastra Jawa III  di Taman Wisata Dander, Bojonegoro, Jawa Timur, 28-30 Oktober 2011. Kegiatan ini mendahului pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa V yang diadakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Hotel JW Marriot, Surabaya, 27-30 November 2011.

Ketua Panitia Kongres Sastra Jawa III, Bonari Nabonenar, mengatakan Kongres Sastra Jawa III akan dihadiri sekitar 100 pengarang berbahasa Jawa dan beberapa tokoh yang selama ini memiliki kepedulian terhadap hidup matinya sastra Jawa. Di antaranya Ajip Rosidi, Arswendo Atmowiloto, dan Suparto Brata.

Berbeda dengan Kongres Bahasa Jawa V yang didanai pemerintah sebesar Rp 4 miliar, pembiayaan Kongres Sastra Jawa III berasal dari urunan perorangan, sanggar sastra, dan yayasan-yayasan yang peduli. "Kami urunan Rp 150 ribu per orang," kata Bonari, Selasa, 23 Agustus 2011.

Kemasan acaranya pun, kata Bonari, juga jauh lebih sederhana dibanding Kongres Bahasa Jawa yang dihelat di hotel berbintang. Para satrawan hanya akan berdiskusi mengenai masa depan sastra Jawa, pameran buku berbahasa Jawa, serta pementasan sastra.
Kendati nuansa protesnya sangat terasa, namun Bonari menolak anggapan bahwa Kongres Sastra Jawa III berniat menandingi Kongres Bahasa Jawa V. Pria asal Trenggalek ini juga membantah bahwa kongres sastra digelar karena banyak sastrawan yang tidak dilibatkan ke dalam kongres bahasa.

Menurutnya, apa yang dia lakukan bersama para sastrawan justru ingin mencari masukan untuk direkomendasikan ke dalam arena kongres bahasa. "Biaya Kongres Bahasa Jawa kan besar, eman (sayang) kalau hasilnya tidak bisa diimplementasikan di lapangan," ucap Bonari. 

Ketua Pelaksana Kongres Bahasa Jawa V, Hizbul Wathon, tidak merasa yang dilakukan Bonari dan kawan-kawan sebagai bentuk tandingan. Dia justru mengaku gembira karena ada kegiatan yang mendahului kongres bahasa sehingga dapat saling melengkapi.
"Malah bagus, itu hal yang positif," tutur Hizbul yang juga Kepala Bagian Kebudayaan dan Pariwisata Biro Administrasi Kemasyarakatan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
KUKUH S. WIBOWO
                                                                                                                                                                                                       caption