Minggu, 31 Oktober 2010

PSJB Terima Penghargaan Sastra Balai Bahasa Surabaya 2010




Prasasti
GEBYAR 28 BALAI BAHASA SURABAYA

             Untuk menyambut Kongres Bahasa Jawa 2011 di Provinsi Jawa Timur
serta memperingati Bulan Bahasa dan Sastra, Balai Bahasa Surabaya
menggelar acara Gebyar 28, Kamis (28/10) di Kantor Balai Bahasa
Surabaya, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo. Serangkaian kegiatan
yang akan mewarnai Gebyar 28 meliputi bedah buku  Geguritan Layang
Penantang karya Sumono Sandy Asmoro, terbitan Balai Bahasa Surabaya,
pemberian hadiah pemenang lomba dongeng bagi guru TK/SD se Jatim,
juara lomba macapat tingkat SMP se Jatim, serta penyerahan penghargaan
sastra Balai Bahasa Surabaya kepada sanggar sastra Tri Wida dari

(TIF)Kompas Jatim – Kamis 28 Okt. 2010 Hal.10

 










Hadiah Sastra dari Balai Bahasa Surabaya
http://cetak.kompas.com/

Balai Bahasa Surabaya memanfaatkan momentum bulan bahasa untuk memberikan hadiah sastra. Balai Bahasa Surabaya sedang menjaring sanggar sastra dan komunitas sastra di pelbagai daerah di Jatim sebagai nominasi.

"Pemberian penghargaan berupa hadiah sastra Balai Bahasa Surabaya ini bertujuan memacu kreativitas dan aktivitas sastra di Jatim," kata Ketua Panitia Penjaringan dan Penghargaan Hadiah Sastra Balai Bahasa Surabaya Mashuri, Senin (5/10) di Sidoarjo.

Pemberian hadiah sastra Balai Bahasa Surabaya ini baru kali pertama dilakukan. Kegiatan ini didorong munculnya pemikiran dan gagasan atas keberadaan sanggar sastra serta komunitas sastra yang telah berkontribusi pada pengembangan sastra dan bahasa. Hal itu berkaitan pula dengan pelbagai aktivitas, dokumentasi karya, dan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap sastra melalui seminar, pelatihan, diskusi internal, serta penerbitan dalam komunitas.

Mashuri mengemukakan tiga kategori penilaian, yakni aspek kesejarahan, aspek organisasi, serta aspek aktivitas dan kualitas. "Karya-karya yang dihasilkan dan menjadi pelopor dalam menghidupkan sastra menjadi pertimbangan dalam penilaian," katanya.

Nonimasi penerima penghargaan hadiah sastra Balai Bahasa Surabaya adalah Paguyuban Pengarang Sastra Jawa (PPSJS) Surabaya, Kostela Lamongan, Sanggar Triwida Tulungagung, Forum Studi Sastra dan Seni Luar pagar (FS3LP) Surabaya, Sanggar Lentera Sumenep, Pakemmadu (Madura), Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB), Bengkel Imaji Malang, serta Komunitas Lembah Pring Jombang.

Aming Aminoedhien, penyair yang tinggal di Mojokerto, mengatakan bahwa upaya pemberian penghargaan oleh Balai Bahasa Surabaya terhadap sanggar sastra maupun komunitas sastra cukup bagus. Meski demikian, sepatutnya penilaian melibatkan kurator di luar birokrasi Balai Bahasa Surabaya.

Penerima hadiah sastra Balai Bahasa Surabaya ini akan diumumkan dalam acara bertajuk "Gebyar 28" pada 28 Oktober 2009 di Balai Bahasa Surabaya di Jalan Siwalanpanji, Sidoarjo. (TIF)


 sastra-bojonegoro.blogspot.com

Lebih Dekat dengan Sastrawan Djajus Pete


 

 

 

Lebih Dekat dengan Sastrawan Djajus Pete



Untuk lebih mendekatkan diri dengan sastrawan Djajus Pete, Bincang-bincang Sastra Edisi ke-59 akan menampilkan pembacaan karya-karya Djajus Pete. Tak hanya itu, selepas pembacaan puisi, dialog bersama Djajus Pete pun segera digelar.

Panitia kegiatan Hari Leo menyatakan, kegiatan tersebut rencananya akan diselenggarakan pada Minggu, 24 Oktober 2010 mendatang, mulai pukul 19.00 WIB hingga 22.00 WIB di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

"Acara akan diawali pembacaan cerkak karya-karya Djajus Pete oleh Yohanes Siyamto, dilanjutkan bincang-bincang sastra bersama Djajus Pete yang akan dimoderatori oleh Triman Laksana dari Magelang," tuturnya.

Di kalangan sastrawan Jawa, Djajus Pete, dikenal sebagai pengarang yang nyentrik. Lelaki kelahiran Bojonegoro ini mulai terjun dalam kancah penulisan sastra pada awal tahun 1971. Totalitasnya menekuni penulisan cerita cekak (cerkak) sangat serius dan intens. Karya-karya tulisan sangat
berbobot dan memiliki karakter yang demikian kuat.

Cerkaknya yang berjudul 'Kakus', dinobatkan sebagai cerita cekak terbaik dari cerkak-cerkak yang termuat muat di majalah Panjebar Semangat dari tahun 1993-1997. Cerkak lainya yang berjudul 'Tikus lan Kucinge Penyair' pada tahun 1995 mendapat anugerah sastra dari Sanggar Sastra Jawa Triwida

Tak hanya mendapat pengakuan di kalangan sastrawan Jawa di Jawa Timur saja, pada tahun 1998 Djajus Pete pernah dinobatkan sebagai pengarang terbaik oleh Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta.

Sementara pada tahun 2002, kumpulan cerkaknya dibukukan dalam antologi cerkak ‘Jurang Gupit Kreteg Emas’ bahkan pernah mendapat anugerah sastra Rancage dari Yayasan Sastra Rancage yang didirikan oleh Ayip Rosidi.

Sastrawan kelahiran 1 Agustus 1948 tersebut saat ini tercatat sebagai guru SD Negeri di Kabupaten Bojonegoro. Djajus Pete sempat menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Bojonegoro untuk masa jabatan 2001-2004.

Tag: sastra penulis

http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Senin, 25 Oktober 2010

Pesta Sastra Jonegoro(7)

@ Jilid 7
_____________________________________________________________
_http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
 http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/____________________________
23 Oktober 2010






*Catur Mulyadi(Pekalongan) 
*Sashmitha Wulandari (Jogyakarta)  
*Asyari Muhammad. (Jepara)   
*Hadi Lempe (Pekalongan)    
*AR Santoso (Pekalongan)     
*Suci Wulandari*Asrul Irfanto*Hery Abdi Gusti 
*Gampang Prawoto*Arieyoko ksmb (Bojonegoro)
Muzik: "ZAM_ZAM" 
Musik Religi Zam-Zam
Zaenal Bahrein memaparkan Seni Instalasinya
"Carik Sratu" Hery Abdi Gusti "Gurit Kenthongan"
Mas Bambang Sun & Mbak Mia FM Memandu Acara
Mas Catur Mulyadi
Sashmitha Wulandari
Asyari Muhammad  dengan Biolanya
Mas Hadi Lempe dan Teater ARGA Asuhannya
AR Santoso "Seteguk Kopi Sebatang Kreteg Sajakku"
Zam-Zam
Lantunan Puisi Zam-Zam
Arieyoko ksmb
Asrul Irfanto 
Suci Wulandari Baureno
Masgampang Prawoto





Mas Eko Tunas Monolog "Babi Lan Asu"

Mas Eko Tunas Saat Lesehan Di Katung Seni Perak
sastra-bojonegoro
_http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/_http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Senin, 18 Oktober 2010

Unsur Surialis-Simbolis Kreteg Emas Jurang Gupit Karya Djajus Pete

              











Unsur  Surialis-Simbolis  Kreteg  Emas  Jurang  Gupit  Karya  Djajus Pete

Oleh: Anam Rahus

A. Pendahuluan

Sastra Jawa merupakan bagian dari kesusastraan Nusantara. Sastra Jawa saat ini masih terus berkembang sesuai dengan kondisi dan minat masyarakat pendukungnya. Sastra Jawa modern berkembang seiring dengan kesusasteraan Indonesia. Selama ini perkembangan sastra Jawa melalui mass media, terutama majalah berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panyebar Semangat. Setelah Ajip Rosidi memberikan hadiah sastra Rancage bagi buku sastra Jawa yang dianggap baik, ada perkembangan baru dalam bidang penerbitan sastra Jawa. Penerbitan buku mulai diusahakan lagi oleh para sastrawan Jawa. Di antara buku-buku sastra Jawa yang pernah terbit yaitu kumpulan cerpen Kreteg Emas Jurang Gupit karya Djajus Pete. Buku ini telah mendapatkan hadiah sastra dari Yayasan Kebudayaan Rancage pada tahun 2002. Sudikan dkk. (1996:3) menyatakan bahwa kesusastraan Jawa modern sudah mendapat perhatian dari kalangan akademis dan kalangan kritikus sastra meskipun tidak seimbang bila dibandingkan dengan kajian terhadap kesusastraan Jawa klasik.

Kreteg Emas Juran Gupit karya Djajus Pete diterbitkan oleh yayasan Pinang Sirih dan Dewan Kesenian Jawa Timur pada tahun 2001. Buku ini berisi sepuluh cerita pendek: “Bedhug”, “dasamuka”, “Kadurjanan”, “Kakus”, “Kreteg Emas Jurang Gupit”, “Pasar Rakyat”, “Petruk”, “Rajapati”, “Setan-Setan”, dan “Tikus lan Kucinge Penyair”. Djajus Pete lahir di desa Dempel, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi tanggal 1 Agustus 1948, dari keluarga petani. Kini ia tinggal di desa Purwosari, Kecamatan Purwosari, Kabuoaten Bojonegoro. Pekerjaan sehari-harinya sebagai guru SD.

Menurut pengakuannya, di dalam berkarya Djajus Pete menganut aliran simbolis-surealis. Sedang menurut Hutomo (1975:54) kepengarangan Djajus Pete termasuk jalur pengarang Purwadhie Atmodihardjo. Ciri pengarang ini mempunyai gaya yang tandas dan matang mengungkapkan kepahitan hidup dan keindahan hidup rakyat kecil yang kadang-kadang disertai dengan humor yang menarik hati. Di samping itu bahasa yang dipakai bahasa sehari-hari yang dipakai masyarakat pedesaan.

Djajus Pete merupakan seorang pngarang cerita pendek bebahasa Jawa yang cukup menonjol. Karya-karyanya tidak sekedar menawarkan hiburan kepada pembaca. Benarkah Djajus Pete menganut aliran surealis-simbolis? Unsur simbolis apa sajakah yang terkandung dalam kumpulan cerpen Kreteg Emas Jurang Gupit? Sejauh mana pengarang konsisten dalam menganut alirannya itu? Hal ini yang melatar belakangi pengkajian cerpen-cerpen Djajus Pete ini.

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek dan Warren,1990:109). Sesuai dengan pengakuan pengarang, ia menganut aliran simbolis-surealis. Simbolisme merupakan aliran seni dan sastra di Perancis pada abad 19 yang menentang realisme. Crita Cekak (cerita pendek) di dalam sastra Jawa termasuk genre kesusastraan baru (Hutomo,1975:38). Bentuk kesusastraan ini baru muncul sekitar tahun tiga puluhan. Keberadaan crita cekak tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan mass media berbahasa Jawa. Sejak pertumbuhannya hingga saat ini peranan surat kabar dan majalah sangat besar dalam perkembangan crita cekak. Meskipun ada terbitan buku-buku kumpulan crita cekak seperti Kringet Saka Tangan Prakosa karya Iesmaniasita, Trem karya Suparto Brata, Kreteg Emas Jurang Gupit karya Djajus Pete, karya-karya yang terdapat di dalam antologi tersebut pada awalnya dimuat dalam mass media berbahasa Jawa. Untuk mengungkap unsur simbolis surealis dalam Kreteg Emas Jurang Gupit memanfaatkan teori strukturalisme dan teori semiotik.

Simbolisme-Surealisme sebenarnya merupakan gabungan dua aliran, yaitu aliran simbolisme dan aliran surealisme. Yang dimaksud dengan simbolisme adalah corak sastra yang menggunakan citraan yang kongkrit untuk mengungkapkan perasaan atau ide yang abstrak (Sudjiman,1986:70). Simbolisme juga mengacu kepada gerakan seni dan sastra di Perancis pada abad 19 yang menentang realisme.
Surealisme menurut Sudjiman (1986:72) aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan. Penganut aliran ini menyajikan karya sastra dengan citran yang menonjolkan efek urutan yang acak. Surealisme berarti di atas kenyataan. Dengan demikian simbolisme-surealisme merupakan corak sastra yang menggunakan citraan yang kongkrit untuk mengungkapkan ide yang abstrak yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan non rasional dalam citraan.

Karya sastra dapat digolongkan ke dalam dua unsur, yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Teori untuk menganalisis unsur instrinsik di dalam karya sastra lazim memakai teori struktural. Analisis struktural didasarkan bahwa karya sastra merupakan suatu yang otonom. Karya sastra dianalisis atas unsur-unsurnya tanpa memperhatikan unsur lain di luar karya sastra itu.. Analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat keterikatan semua anasir karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Suwondo,2001:55). Karena analisis struktural dianggap mempunyai beberapa kelemahan, kemudian analisis struktutal mengalami perkembangan, seperti munculnya analisis strukturalisme genetik, strukturalisme Levi Strauss, dan teori semiotik.

Djajus Pete telah ,menyatakan bahwa dirinya menganut aliran simbolis-surealis. Untuk menganalisis unsur-unsur simbolis surealis dipakai teori semiotik. Semiotika (Sudjiman,1991:5) adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya. Tanda-tanda bahasa adalah simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan berdasarkan konvensi. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo,2001:68). Mengkaji dengan pendekatan semiotik adalah mengkaji tanda. Di dalam tanda terdapat dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified).

Pengertian dasar de Saussure bertolak dari pemikiran dua dimensi, yaitu langue dan parole. Menurut de Saussure (Krampen,1996:57) langue merupakan suatu fakta social, seperti bahasa nasional merupakan fakta sosial. Langue suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat. Barthes (1996:81) menyatakan bahwa langue adalah suatu institusi sosial dan sekaligus juga suatu sistem nilai. Sedang parole merupakan suatu tindakan individual yang merupakan seleksi dan aktualisasi. []

A. Aliran Simbolis-Surealis dalam Kreteg Emas Jurang Gupit


1. Unsur Surealis dalam Kreteg Emas Jurang Gupit


Makna leksikal surealisme adalah “di atas kenyataan”. Pengertian “di atas kenyataan” berarti melebihi dari kenyataan. Ciri utama surealisme adalah nonrasional, karena karya itu mementingkan aspek bawah sadar. Ciri simbolisme adalah pemakaian simbol-simbol untuk mengkonkritkan suatu pengertian yang abstrak. Simbol itu sendiri sebenarnya berfungsi untuk mengkonkritkan hal-hal yang abstrak. Untuk memahami simbol diperlukan adanya pemahaman tentang signifier dan signified, tentang lange dan parole.


Cerpen “Bedhug” adalah cerpen pertama dalam Kreteg Emas Jurang Gupit. Cerpen ini berkisah tentang bedhug di mesjid aku naratif yang suaranya sudah tidak merdu lagi. Aku naratif mengusulkan kepada merbot (pengurus masjid) untuk mengganti bedhug yang suaranya sumbang itu. Usulan itu disepakati oleh lurah. Kayu pengganti bedhug akan mengambil kayu jati yang tumbuh di makam. Bupati pun berkenan meresmikan bedhug yang terbesar di kotanya itu. Namun dalam pelaksanaannya kayu itu dikorupsi sebagian oleh lurah. Setelah jadi, suara bedug itu juga sumbang, meskipun bentuknya sangbat indah. Panitia memutuskan untuk membongkar lagi bedug baru itu. Suatu pagi waktu subuh, aku naratif mendengar suara bedug dari mesjid yang suaranya merdu sekali. Ia terpukau mendengar suara itu. Ketika ia datang ke mesjid, ternyata bedug yang dipukul cengan suara merdu itu bedug yang lama. Aku naratif bergetar hatinya.


Dari unsur surealis, tidak ada sesuatu yang istimewa dalam cerpen “Bedhug”. Cerita ini digarap pengarang dengan cara konvensional. Unsur nonrasional tidak tampak, namun kalau memang dicari-cari unsur non rasional itu adalah perubahan suara bedhug yang sumbang yang dengan tiba-tiba berubah merdhu. Hal semacam ini bukanlah sesuatu yang luar biasa, masih dapat diterima oleh akal. Yang tampak menonjol dalam cerpen “Bedhug” sebenarnya unsur simbolismenya. Apa makna yang terkandung dalam bedug? Apa yang dimaksud dengan suara sumbang dan tak sumbang? Pengarang tidak menjelaskan secara tersurat.


Cerpen kedua dalam kumpulan crita cekak Djajus Pete adalah “Dasamuka”. Dalam cerpen ini pengarang terilhami dari cerita pewayangan episod Ramayana. Dalang Ki Bilung Sarawita ketika diminta memainkan wayang di sebuah perhelatan mengambil cerita episod ramayana. Namun dalam cerita ini ada unsur parodi. Sinta yang diculik oleh Dasamuka justru digambarkan jatuh cinta pada penculiknya. Bahkan Sinta digambarkan hamil. U;ah Ki Bilung ini menimbulkan protes penonton. Ki Bilung mengatakan bahwa wayang Dasamuka yang protes itu dibuat dari kulit seorang bramacorah yang dihakimi massa. Penonton beramai-ramai mengumpulkan uang untuk membeki Dasamaka, kemudian dihancurkan.


Perihal Sinta jatuh cinta dan hamil dengan Dasamuka, merupakan penympangan dari keaslian cerita tentang Mahabharata. Pengarang menganggap apabila Sinta merasa teerancam dan tertekan di dalam kekuasaan Dasamuka, cerita itu merupakan realita cerita Mahabharata. Untuk memenuhi unsur surealis, cerita Mahabharata itu disimpangkan dengan Sinta jatuh cinta dan hamil berkat hubungannya dengan Dasamuka. Surealisme adalah aliran seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional di citraan (Tim,1999:979). Jatuh cintanya Sinta kepada Dasamuka sebenarnya masih belum memenuhi unsur nonrasional. Sinta mungkin saja dapat catuh cinta kepada dasamuka, karena Dasamuka memang mengasihinya.


Unsur surealisme dalam Kreteg Emas Jurang Gupit tampak pada cerpen ketiga yang berjudul “Kadurjanan”. Dalam cerpen ini di samping terdapat tokoh protagonis, juga melibatkan pengarang sebagai pelaku cerita. Dalam hal ini pengarang berperan sebagai dirinya sendiri, sebagai pengarang. Dalam cerpen ini diceritakan tokoh protagonis protes kepada pengarang karena menganggap cerita yang dibuat menyimpang.


“Kadurjanan” menceritakan seorang dukun bernama Khosin yang membunuh Wara Lestari. Pengarang menulis dengan runtut peristiwa pembunuhan tersebut, namun tiba-tiba tokoh Khosin protes kepada pengarang, bahwa cerita yang ditulis ada penyimpangan. Kemudian terjadi dialog antara pengarang dan khosin yang protes karena dirinya selalu dijelek-jelekkan kepada pengarang. Kemudian Khosin akan membeli cerita tentang dirinya yang ditulis oleh pengarang itu.


Gaya penceritaan semacam itu di dalam sastra jawa memang belum pernah dijumpai sebelumnya. Seorang pelaku dalam cerita protes kepada pengarang memang susuatu yang nonrasional. Peristiwa seperti itu di luar realitas atau kenyataan. Karya prosa yang konvensional memakai sudut pandang orang pertama atau orang ketiga. Di dalam sudut pandang orang pertama pengarang sebagai “aku” atau “saya”, mengidentifikasikan dalam tokoh, baik sebagai tokoh utama atau tokoh bawahan. Pengarang sebagai tokoh utama menyampaikan kisah diri, kisahan oleh tokoh utama dengan sorotan pada tokoh utama. Pengarang sebagai tokoh bawahan menyampaikan kisah tentang tokoh utama, kisahan oleh tokoh bawahan dengan sorotan pada tokoh utama (Sudjiman,1992:77). Di dalam “Kadurjanan” pengarang tetap sebagai pengarang, bukan tokoh yang berprofesi sebagai pengarang. Djajus memberi kebebasan kepada para tokoh untuk protes kepada pengarang apabila cerita dianggap tidak cocok oleh tokoh. Hal semacam ini termasuk nonrasional. Seolah pengarang memadukan antara fiksi dan kenyataan.


Cerpen “Kakus” meskipun sarat dengan unsur simbolis, namun unsur surealisnya tampak lemah. Cerpen ini justru digarap secara realis. Cerpen “Kakus” mengisahkan uang emas milik Sangkoro pengawas bangunan yang jatuh ke dalam kakus. Peristiwa ini menarik minat Jan Ganco untuk menguras kakus yang penuh tinja guna menemukan tiga keping emas itu. Namun karena banyaknya campur tangan dari berbagai pihak membuat Jan Ganco dan kawan-kawannya menjadi kecewa. Tiga keping uang emas yang sudah ditemukan itu dibuang kembali ke dalam kakus, dan ditimbun kembali dengan tinja. Jan Ganco dan kawan-kawannya merasa kecewa, karena ia tidak mendapatkan keuntungan dari hasil menemukan tiga keping uang emas itu.


Unsur surealis-simbolis pada cerpen “Kreteg Emas Jurang Gupit” dikerjakan dengan baik oleh Djajus Pete. Istilah ‘kreteg emas’ (jembatan emas) menimbulkan imajinasi kemewahan yang sangat berlebih-lebihan. Kreteg (jembatan) sering dijumpai sehari-hari di setiap tempat. Tetapi ‘jembatan emas’ merupakan sesuatu yang mustahil, suatu yang sangat surealis. Cerpen ini mengisahkan pembangunan jembatan emas di jurang Gupit. Di sekitar jembatan emas itu juga akan dibangun taman yang indah. Namun dalam pelaksanaan pembangunan jembatan itu, tidak kunjung selesai karena bahan jembatan banyak yang hilang. Tidak diketahui siapa yang mengambil barang-barang itu. Hal itu membuat prihatin masyarakat, terutama Kyai Zuber dan tiga orang santrinya Kodrat, Sonto Kasbi, dan Markut. Mereka berempat bersemedi d tempat itu. Dalam semedinya tampak bagian jembatan itu dijarah beramai-ramai.


Cerpen “Pasar Rakyat” tidak menunjukkan unsur surealis-simbolis. Dalam cerpen ini tidak tampak gejala unsur surealis seperti yang dinyatakan oleh pengarang. “Pasar Rakyat” merupakan cerpen konvensional. Bahasa yang dipakai pun tidak menampakkan unsur simbol. Cerpen ini mengisahakan tentang penggusuran pasar rakyat dari tengah kota. Penggusuran ini ditentang oleh para pedagang, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi kekuasaan. Justru para petugas yang mengalami konflik batin akibat pilihan antara menjalankan perintah atasan dan dan rasa kemanusiaan.


Cerpen “Petruk” merupakan cerpen surealis yang sarat dengan simbol-simbol, di samping cerpen “Kreteg Ema Jurang Gupit”. Petruk dengan tubuh jangkung dan hidung yang panjang oleh Djajus Pete dibuat bongkok Cerpen “Petruk” mengisahkan seorang dalang yang merangkap membuat wayang mendapat pesanan wayang Petruk. Ketika Dhalang Ki Darman Gunacarita istirahat makan, kulit bahan petruk dibawa lari anjing, kemudian anjing-anjing yang lain saling memperebutkan kulit itu, sehingga kondisi kulit menjadi rusak, banyak lubang bekas gigitan anjing. Setelah beberapa sat lamanya kulit itu disimpan, kemudian dilanjutkan lagi pengerjaannya, tetapi Ki Darman mengjhindari bagian-bagian yang rusak bekas gigitan anjing. Setelah jadi ternyata Petruk bentuknya menjadi bongkok mengenaskan.


“Rajapati” merupakan cerpen kedelapan yang dimuat dalam antologi Kreteg Emas Jurang Gupit. Cerpen “Rajapati” sebenarnya tidak dapat dikategorikan cerpen surealis. Dari segi penceritaan cerpen itu merupakan cerpen konvensional. “Rajapati” mengisahkan tentang seorang pengasah berbagai benda tajam bernama Markaban. Ketika terjadi peristiwa pembunuhan, polisi mendapatkan bukti bahwa senjata yang dipakai membunuh adalah senjataa yang pernah diasah Markaban. Karena markaban tidak dapat menunjukkan pemilik senjata itu, maka Markaban yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan. Karena sikap Serma Margono yang kasar kepada Markaban, kemudian Markaban melawan hingga Serma Gono terbunuh.


Cerpen “Setan-Setan” mengisahkan seorang wartawan bernama Akuwu yang diundang oleh Bokor karena ada suatu kasus. Ternyata Bokor adalah makhluk halus. Bokor protes kepada Akuwu karena bangsa makhluk halus di berbagai majalah selalu digambarkan menjijikkan dan menakutkan. Akuwu dirayu untuk bekerja di penerbitan Bokor yang menerbitkan majalah Surak gumbira, namun Akuwu menolak. Di tempat Bokor Akuwu bertemu In, seorang manusia yang bekerja di tempat itu tanpa menyadari bahwa ia bekerja di alam makhluk halus. Akuwu akhirnya membawa In untuk kembali ke alam manusia.


Tikus dan kucing dalam cerpen “Tikus lan Kucinge Penyair” adalah tokoh-tokoh dalam cerpen itu. Tikus dan kucing dalam cerpen ini adalah simbol-simbol yang dipakai oleh pengarang. Dengan gaya surealis pengarang mempersonifikasikan tikus tidak ubahnya seperti manusia kebanyakan. Tokoh dalam cerita ini adalah Kuslan seekor tikus jantan, Istik tikus betina yang hamil tua, Ketika Kuslan mencari bahan untuk sarang, ia mnemukan sehelai kertas yang ada puisinya. Puisi itu berisi tentang kucing candramawa yang pandangannya dapat melumpuhkan tikus. Puisi itu rencananya akan dibacakan sambil mengundang penceramah masalah kucing untuk menyambut kelahiran anak Kuslan. []
1. Unsur Simbolis dalam Kreteg Ema Jurang Gupit
Bahasa yang dipakai dalam karya sastra adalah bahasa konotatif. Pemakaian bahasa yang konotatif cenderung menimbulkan ketaksaan, karena bahasa dalam karya sastra itu bermakna ganda. Untuk memahami sebuah karya sastra perlu mengetahui makna yang tersirat di samping makna yang tersurat. Untuk memahami karya sastra perlu pemahaman ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu tentang tanda-tanda dalam karya sastra termasuk ke dalam semiotik. Semiotik menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. (Pradopo,2001:67). Simbol termasuk ke dalam tanda.


Simbol dibedakan dua macam: simbol presentasional dan simbol deskursif (Langer dalam Sudikan,1996:90). Simbol presentasional ialah simbol yang penangkapannya tidak membutuhkan keintelekan. Simbol itu menghadirkan apa yang dikandungnya dengan spontan. Simbol diskursif adalah simbol yang penangkapannya perlu keintelekan.Tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan, signifiant (petanda) dan signifie (penanda). Tanda adalah arbriter, khas, dan sistematik (de Saussure dalam Teeuw,1988:44). De Saussure mengungkapkan konsep langue dan parole dalam pemikirannya. Lange merupakan institusi dan sistem, sedang parole suatu tindakan individual yang merupakan seleksi dan aktualisasi (Barthes,1996:81).


a. Unsur simbolis dalam cerpen “Bedhug”
Bedhug dalam tradisi masyarakat Islam bukan sekedar bunyi-bunyian yang bernilai hiburan. Bedug tidak dapat dipisahkan dengan ibadah yang dilakukan oleh umat Islam. Dalam situasi yang biasa, bedug paling tidak dipukul lima kali dalam sehari, menandai saat sholat wajib bagi umat Islam. Ketika bedug dipukul, orang datang beramai-ramai ke masjid untuk sholat berjamaah. Setelah bedug dipukul, kemudian akan disusul suara adzan.
Dalam cerpen “Bedhug” diceritakan bahwa suara bedug itu bagi aku naratif kedengaran sumbang. Namun hal itu dibantah oleh Lik Merbot. Bagi Lik Merbot suara bedug itu sejak awal tidak mengalami perubahan. Jadi ada perbedaan penangkapan suara bedug itu. Perbedaan penangkapan suara bedug antara Lik Merbot dan aku naratif sebenarnya merupakan simbol dari tingkat pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai religi mereka masing-masing. Aku naratif mendengar suara bedug yang sumbang disebabkan penghayatan, pemahaman, dan tingkat imannya yang masih rendah. Hal itu berbeda dengan Lik Merbot. Sebagai takmir masjid Lik Merbot mempunyai pemahaman, penghayatan, dan tingkat keimanan yang lebih dalam daripada aku naratif. Oleh karena itu ia mengatakan hanya karena telinga aku naratif saja yang menyebabkan suara bedug itu sumbang.
Suara bedhug yang sumbang pada akhir cerita tiba-tiba berubah menjadi merdu. Peristiwa itu menunjukkan adanya perubahan tingkat pemahaman, penghayatan, dan iman aku naratif. Oleh karena itu begitu mendengar suara bedhug yang sebelumnya dikatakan sumbang itu hatinya bergetar. Ia terharu dan menangis. Perubahan tingkat pemahaman, penghayatan, dan iman aku ini tampak dari tanggapan Lik Merbot pada aku naratif ketika melihat aku naratih menangis terharu, seperti kutipan berikut.
“’Mlebua. Wisuhana sikilmu kang rusuh kuwi. Paklik bungah kuping atimu wis bolong, kowe wis ora sengsem marang swara bedhug,’tembunge Lik Merbot njalari atiku saya ngondhok-ondhok.’ (hal. 8)


“Masuklah. Cucilah kakimu yang kotor itu. Paklik senang telinga hatimu sudah berlubang, engkau tidak tertarik pada suara bedug,” kata Lik Merbot menyebabkan hatiku semakin terharu.”


Dikatakan oleh Lik Merbot bahwa kuping ati (telinga hati) aku naratif telah berlubang. Kuping ati bolong (telinga hati berlubang) bermakna terbukanya hati nurani. Pernyataan itu menunjukkan bahwa hati nurani aku naratif sudah terbuka, sudah timbul kesadaran, penghayatan, pemahaman dan iman yang lebih dalam terhadap nilai-nilai religi.


b. Unsur Simbolis dalam “Dasamuka”
Dsasamuka adalah raja kerajaan Alengka. Karena jatuh hati pada Sinta, Rahwana menculik Sinta, sehingga menimbulkan perang besar. Dalam bentuk wayang kulit, Rahwana digambarkan sebagai raksasa bertubuh besar dan garang. Dasamuka biasa dipakai simbol keangkaramurkaan. Salah satu bentuk keangkaramurkaannya adalah menculik Dewi Sinta yang telah menjadi isteri Rama.
Awal penculikan Sinta terjadi ketika Sinta tertarik pada kijang emas penjilmaan Kala Marica, abdi terkasih dari Dasamuka yang sengaja ditugasi menggoda Sinta. Sinta dalam cerpen “Dasamuka” Djajus Pete menyimpang dari cerita aslinya. Sinta justru jatuh cinta pada penculiknya hingga hamil. Sedang kulit wayang Dasamuka yang dimainkan dalang ternyata bahannya terbuat dari kulit seorang bramacorah yang mati dikeroyok massa.


Untuk menyangatkan sifat angkara murka, pengarang tidak cukup membandingkan dengan Dasamuka. Dasamuka sebenarnya sudah dapat mewakili keangkaramurkaan. Untuk lebih menyangatkan lagi digambarkan bahwa kulit bahan Dasamuka dibuat dari kulit residivis yang dihakimi massa. Peristiwa ini menuerut rahus (2001:26) merupakan gambaran ketidakpercayaan masyarakat kepada penegak hukum, sehingga mereka harus main hukum sendiri. Dasamuka yang jahat akan tampak lebih jahat. Kijang emas penjilmaan Kala Marica gambaran dari materi duniawi, sedang Sinta mewakili dunia wanita. Dengan demikian cerita itu dapat dimaknai bahwa umumnya wanita itu mudah tergoda oleh harta benda. Jadi tidak mustahil Sinta yang mewakili wanita dapat jatuh hati dengan dasamuka, karena sebenarnya pemilik kijang emas itu adalah Dasamuka.
Dalam cerita Dasamuka yang sudah dibeli oleh penonton dengan uang hasil iuran, dihancurkan beramai-ramai. Namun muncul Dasamuka yang baru dengan karakter yang sama tetapi wajah yang berbeda. Sebagai simbol kejahatan dan keangkaramurkaan, peristiwa itu menyiratkan bahwa kejahatan itu selalu ada di dunia ini. Kejahatan yang satu dimusnahkan, akan muncul kejahatan yang lain, dalam bentuk yang lain.


c. Unsur Simbolis dalam “Kakus”
Kakus adah tempat tempat penampungan tinja. Mendengar kata ‘kakus’ mengacu pada suatu yang menjijikkan dengan bau yang sangat tidak sedap. Orang akan menjauhi tempat itu kecuali saat buang hajat. Apabila ada orang mau berkutat demgan isi kakus, tentu karena terpaksa seperti yang dilakukan oleh Jan Ganco, Dul Belong, dan Man Ireng. Mereka bertiga bersusah payah menguras kakus Parikah untuk mendapatkan uang emas yang jatuh ke dalamnya. Mereka bertiga ingin mendapatkan keuntungan dari jerih payahnya itu. Namun usahanya termnyata sia-sia.
Ada sesuatu kekuatan yang tidak dapat diatasi oleh Jan Ganco dan kedua temannya, yaitu pemerasan dari penguasa. Tiga keping emas yang mereka dapatkan dari berlepotan tinja ternyata habis karena diperas oleh beberapa oknum, termasuk lurah. Karena kecewa tiga kepng uang emas itu dimasukkan kembali ke dalam kakus, dan ditimbun dengan tinja. Cara ini ditempuh oleh Jan Ganco dan kedua temannya. Tentu saja jalan ini bukan jalan yang terbaik, tetapi jalan yang menyakitkan bagi Jan Ganco dan kedua temannya. Namun tidak ada pilihan lain.
Jan Ganco, Dul Belong, dan Man Ireng adalah simbol rakyat kecil yang selalu dijadikan sapi perahan. Mereka bertiga harus bekerja keras untuk mendapatkan tiga keping emas itu, sementara pihak lain yang tidak ikut campur justru menginginkan bagian yang jauh lebih besar. Sebagai rakyat kecil mereka tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.


d. Unsur Simbolis dalam “Kreteg Emas Jurang Gupit”
Unsur simbolis yang paling menonjol dalam cerpen “Kreteg Emas Juran Gupit” adalah nama para tokoh. Nama tokoh-tokoh dalam cerpen itu ialah Lurah Sendikoprojo, Mbah Bolo, Gotar, Kyai Zuber, Markut, Sonto Kasbi. Lurah Sendikoprojo mengisyaratkan pemimpin yang hanya mau menuruti kemauan atasan, tanpa memperharttikan keadaan rakyat kecil. Kata sendiko dalam bahasa Jawa berarti siap melaksanakan tugas, sedang projo berarti negara. Sendikoprojo dalam cerpen itu identik dengan sendiko dhawuh
Gotar adalah nama khas desa. Nama itu menimbulkan makna kesederhanaan, dan keluguan. Simbol dari masyarakat yang lugu yang menjadi bulan-bulanan dan kambing hitam dari penguasa. Dalam cerpen “Kreteg Emas Jurang Gupit” penguasa disimbolkan pada diri Lurah Sendikoprojo. Lurah Sendikoprojo telah melakukan perbuatan sewenang-wenang terhadap Gotar.
Pembangunan jembatan ternyata tidak selancar yang diduga. Besi-besi dan emas bahan jembatan banyak yang hilang, termasuk besi seberat empat ton tanpa diketahui yang mengambil Hilangnya bahan-bahan untuk jembatan itu baru terkuak setelah Kyai Zuber diikuti Kodrat, Sonto Kasbi dan Markut bersemedi di tempat dibangunnya jembatan. Ternyata barang-barang itu hilang dicuri dhemit. Dhemit dalam cerpen “Kreteg Emas Jurang Gupit” bukanlah dhemit sesungguhnya, oleh karena itu Kyai Zuber mengatakan bahwa itu bukan garapannya, tidak akan mempan oleh doa dan sarana yang bersifat mistik. Menurut Kyai Zuber ada yang lebih berhak menangani masalah itu. Dhemit dalam cerpen itu mengacu pada koruptor. Pihak yang berhak menangani koruptor seperti yang dikatakan oleh Kyai Zuber adalah penegak hukum. []

e. Unsur Simbolis dalam Cerpen “Tikus lan Kucinge Penyair”


Tikus dan kucing dua binatang yang tidak pernah hidup bersama. Tikus merupakan binatang yang merugikan manusia, karena dapat merusak apa saja yang ditemui. Sebaliknya Kucing merupakan binatang jinak yang menjadi piaraan dan kesayangan tuan rumah. Setiap menjumpai tikus, kucing berusaha menangkapnya untuk dimakan. Di mana pun tmpatnya, tikus selalu ketakutan melihat kucing.


Tikus dan kucing tidak ubahnya dengan hitam dan putih, sama halnya dengan keburukan dan kebaikan. Tikus laki-laki diberi nama Kuslan, sedang tikus perempuan diberi nama Istik. Kata Kuslan merupakan akronim dari tikus lanang yang berarti tikus laki-laki, atau tikus jantan. Istik bermakna isteri tikus, yaitu isteri Kuslan.. Kuslan sebagai tikus yang paling tuwa punya banyak pengalaman, pernah hidup di kantor, di sekolah, di gudang, pasar, setasiyun, terminal, pelabuhan, gudhang dholog dan tempat-tempat lainnya. Tikus di mana pun tempatnya akan selalu menyusahkan yang ditempati. Tikus yang cenderung dekat dengan warna hitam, mengacu pada dunia kejahatan dengan manusia sebagai pelakunya. Kuslan sebagai tikus jantan simbol dari kejahatan seorang laki-laki. Kuslan identik dengan penjahat profesional yang dapat beroperasi di mana saja, di terminal, di kantor, terminal, gudang, pasar dan sebagainya.


Kucing dan tikus sebenarnya sama-sama mewakili manusia dengan karakter yang berbeda. Diantara kucing yang ditakuti tikus adalah kucing candramawa. Sudikan (1996:94) menyatakan bahwa tokoh tikus sebagai lambang untuk mengkritik oknum yang memanfaatkan kesempatan untuk melakukan korupsi, sedang kucing sebagai lambang alat negara untuk memberantas korupsi. Dalam cerpen itu dikisahkan hanya dengan pandangan matanya saja kucing candramawa dapat membuat tikus tak berdaya. Oleh karena itu untuk memberantas tikus sebagai koruptor diperlukan kucing candramawa. Kucing candramawa adalah alat negara yang berwibawa, yang disegani oleh koruptor karena kejujurannya. Kucing candramawa tidak akan memakan tikus. Ia sekedar mengalahkannya. Kucing yang mau memakan tikus dikisahkan sebagai kucing biasa yang rakus yang juga mau makan katak dan kadal. Kucing yang rakus merupakan gambaran alat negara yang suka memeras musuhnya. Setelah memahami makna yang ada di balik simbol tikus dan kucing ternyata cerpen “Tikus lan Kucinge Penyair” ternyata banyak mengandung kritik sosial yang ditujukan kepada perilaku manusia.


f. Unsur simbolis dalam cerpen “Petruk”


Petruk tokoh punakawan dalam keluarga Pandawa dalam wayang kulit digambarkan bertubuh jangkung, berhidung mancung, dan berkuncir. Sebagai punakawan anak Semar ia berperilaku kocak dan lucu. Petruk beserta Semar ayahnya, dan dua orang saudara gareng dan Bagong selalu mengikuti Arjuna kemana pun pergi. Tetapi Petruk dalam sunggingan Dalang Ki Darman lain. Petruk dalam sunggingan Ki Darman bertubuh bongkok menyedihkan. Tubuh yang bongkok Petruk hasil sunggingan Ki Darman bukanlah tanpa sebab. Anjing-anjing memperebutkan kulit bahan Petruk itu beramai-ramai, sehingga koyak-koyak. Sunggingan Petruk yang setengah jadi itu rusak, pundhak, bagian belakang kepalahancur. Pucuk hidungnya sobek. Akhirnya hasil sunggingan Ki Darman tidak menampilkan sosok Petruk yang tinggi semampai dan mengundang banyak tertawa karena kocaknya, tetapi justru bongkok menyedihkan mengundang belas kasihan.


Makna simbolis Petruk sebagai punakawan, sebagai abdi, gambaran dari rakyat kecil. Ia menderita akibat ulah anjing-anjing yang rakus. Dalam “Petruk” pengarang ingin menceritakan penderitaan rakyat akibat ulah penguasa, sehingga ia menjadi bongkok menyedihkan. Pengarang menggambarkan karakter anjing sebagai berikut.


“Watege swara asu, gampang narik kawigatene asu-asu liya. Asu-asu saka papan adoh padha mara gemrudug. Kempyung melu rayahan, cathek-cathekan, kaya wedi ora keduman. Pating jregug! Pating kraing! Ambegane ngosos pating krenggos. Ilate abang pating klewer” (hal. 60).


Terjemahan:
Sifat suara anjing, mudah menarik perhatian anjing-anjing yang lain. Anjing-anjing dari tempat lain datang berbondong-bondong. Ramai berebut, saling menggigit, seperti takut tidal mendapat bagian. Saling melolong! Saling menyalak! Nafasnya mendesis tersengal-sengal. Lidahnya merah menjulur.


Sifat anjing yang digambarkan oleh pengarang di atas merupakan simbol dari sifat penguasa. Bila mendengar ada orang yang dapat dijadikan objek pemerasan datang beramai-ramai ikut memeras, saling berebut, berkelai takut tidak mendapat bagian. Cerpen Djajus Petememang banyak mengandung kritik sosial (Rahus,2001:26). Petruk sebagai simbol rakyat yang telah menderita lebih menderita lagi karena menjadi bahan rebutan anjing-anjing. Diceritakan bahwa tempat sekitar Petruk sudah sempit, sudah rusak. Petruk terjepit, kehilangan tempat buat hidup. Paparan itu merupakan simbol bahwa rakyat kecil yang diwakili Petruk sudah tidak ada tempat untuk hidup.Tempat sekitar sudah sangat sempit, sudah rusak. Petruk terjepit, kehilangan tempat buat hidup. [] 



D. Simpulan
Cerpen-cerpen Djajus Pete yang terkumpul dalam Kreteg Emas Djurang Gupit ternyata tidak semuanya menganut aliran simbolis-surealis. Sebagian cerpen dalam kumpulan itu ternyata menganut aliran realis. Cerpen-cerpen yang sesuai dengan aliran realis ialah “Bedhug”, “Kakus”, “Rajapati” dan “Pasar Rakyat”. Namun demikian cerpen-cerpen itu tetap memakai gaya simbolis. Unsur surealis dalam cerpen-cerpen Djajus Pete merupakan akibat begitu leluasanya imaji pengarang dalam mengembangkan cerita pendek yang ditulisnya, sehingga dapat menembus batas bentuk-bentuk konvensional dalam cerita pendek.


Unsur surealis dalam cerpen “Dasamuka” tampak dalam penyimpangan alur cerita dan “pakem” dalam pakiliran. Dalam cerpen itu Dewi Sinta yang diculik Dasamuka justru jatuh cinta dan hamil dengan Dasamuka. Unsur surealis dalam cerpen “Kadurjanan” tampak dalam terjadinya dialog antara tokoh dalam cerita dengan pengarang. Gaya semacam ini merupakan inovasi Djajus Pete. “Kreteg Emas Jurang Gupit” imajinasi Djajus berkembang menembus gaya realis, dengan pembangunan sebuah jembatan yang dibuat dengan emas, meskipun pembangunan jembatan itu banyak mengalami kendala. Dalam cerpen “Petruk”, Petruk versi Djajus seorang Petruk yang bongkok dan menimbulkan iba.Cerpen Djajus Pete yang lain yang menembus batas konvensional sebagai cerpen realis adalah cerpen “Setan-Setan dan “Tikus lan Kucinge Penyair”.


Unsur simbolis dalam kumpulan cerpen Kreteg Emas Jurang Gupit” terselubungnya protes sosial dalam cerpen-cerpen Djajus dalam bentuk simbol-simbol dengan gaya yang kocak. Ia membuat simbol suara bedug untuk tingkat keimanan seseorang, Dasamuka untuk keangkaramurkaan, kakus dan Petruk untuk gambaran kesengsaraan rakyat kecil, serta tikus dan kucing untuk orang-orang yang merugikan rakyat dan negara serta penegak hukum. Cerpen-cerpen djajus Pete hampir semuanya menggambarkan suasana rakyat kecil di pedesaan dengan problema kehidupannya. []




DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. 1996. “Unsur-Unsur Semiologi: Langue dan Parole”. Dalam Serba-Serbi Semiotika. Penyunting Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest. Jakarta: Gramedia.


Hutomo, Suripan Sadi. Telaah Kesusaasteraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa Depdikbud.


_______________. “Pengaruh Timbal Balik Sastra Melayu (Indonesia) dengan Sastra Jawa. Dalam Problematik Sastra Jawa. Oleh Suripan Sadi Hutomo dan Setyo Yuwono Sudikan. Surabaya:Jurusan bahasa dan sastra Indonesia FBS IKIP Surabaya.


Krampen, Martin. 1996. “Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi”. Dalam Serba Serbi Semiotika Penyunting Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest. Jakarta: Gramedia.


Pete, Djajus. 2001. Kreteg Emas Djurang Gupit: Kumpulan Crita Cekak. Surabaya: Yayasan Pinang Sirih & Dewan Kesenian Jawa Timur.


Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik”. Dalam Metodologi Penelitian Sastra. Jabrohim (Ed). Jogjakarta: Hanindita Graha Widya.
Rahus, Anam. 2001. “Djajus Pete lan Crita Cekake” dalam Panyebar Semangat No. 49. Surabaya, 8 Desember 2001.


Sudikan, Setya Yuwana dkk. 1996. Memahami Cerpen Djajus Pete. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.


Suwondo, Tirto. 2001. “Analisis Struktural Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian Sastra”. Dalam Metodologi Penelitian Sastra. Jabrohim (Ed). Jogyakarta: Hanindita Graha Widya.
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/                                                                                                                                                     


                                                                                  caption










Minggu, 17 Oktober 2010

Sastra Bojonegoro: SAJAK: Gampang Prawoto (1)

Sastra Bojonegoro: SAJAK: Gampang Prawoto (1): "@ Jambon 1 __________________________________________________________

Gampang Prawoto
_________________________________________________..."

Jumat, 15 Oktober 2010

CERKAK: Djajus Pete (3)

     # Petruk   # Dhor !   # Dasamuka

http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
Djajus Pete
____________________________

Add   

Cerkak : Djajus Pete

  P e t r u k

             KEJABA  dhalang, Ki Darman uga baud natah wayang kulit. Saka baude, akeh budhayawan lan para pinter kang gawok ngungun ndulu endah edining kreasi tatah sunggingane. Temahan  padha sapanemu nyebut yen Ki Darman iku hiya empune wayang purwa ing jaman anyar kiye. Garapane alus, tatahane ngremit-ngrawit. Kejaba kreatif nyanggit cakrik-cakrik wayang purwa, cakrik wayang yasane Ki Darman katon ekspresif. Mung wae sing bisa weruh lan ngerti bobot karyane Ki Darman ya mung golongane para winasis kang wis awas pandulu lan panggraitane.

             Ki Darman,  hiya Ki Darman Gunacarita. Lagi ketungkul gawe ngengkrengan  wayang Petruk ing jrambah cedhak lawang. Saka wis banget apale  marang sawernane 
wanda wayang, yen gegaweyan langsung diawang nganggo potlot minangka ancar-ancer.

            Petruk iku pesenane Har Purnomosidhi, sawenehing dhosen kang dhemen marang kagunan wayang. Wektu Har mara pesen seminggu kepungkur, Ki Darman kober pitakon.

           "Butuh kok Petruk ki arep diagem apa ta, Dhimas?"  
    
           "Apa saiki wis ora ana wong butuh Petruk?"

          "Yen kabeh dhalang ya mesthi butuhe, kanggo jejangkep ngesing lelakon. Mung gumunku, selawase ora nate ana wong butuh Petruk kejaba mung lagi, Dhimas. Apa arep diagem souvenir?"

          "Arep takpasang ing perpustakaan kampus."

          "Ah, apa ya apik?  Wong mung Petruk  wae. Petruk iku rak mung punakawan. Gur batur, gur kawula alit," tembunge Ki Darman tanpa niyat tutur nerangake.

          Ki Darman ngerti yen Har Purnomosidhi wis ora perlu didunungake marang siji-sijine wayang. Kekarone malah wis kepara asring bawarasa ngonceki wayang kang kebak bundhelan. Wayang sambunge karo jagad kang gumelar, wayang kang kebak simboling urip lan panguripan.


         Ki Darman, hiya Ki Darman Gunacarita.
         Jeneng Gunacarita mawa pangajab, pakaryane crita sawarna dhalang, diajab ana guna paedahe tumrap bebrayan. Mula pedhalangane Ki Darman anteng anteb nengenake bobot isining crita. Ora mung mamerake ing ulah sabet kebak tehnik jotos waton rame.

        Rampung gawe ngengrengan Petruk, Ki Darman menyat, nuruti pangatake sisihane kang jelih-jelih ngakon mangan. Wis kepatuh wiwit biyen, janji wis njenggruk gegaweyan, anane mung sengsem ngematake garapane. Sauger wis ketunggon kopi kothok lan rokok klobot karemane, mangane sok keri-keri. Bareng kecandhak lara mah, sisihane dadi juweh, ngelingake welinge dhokter supaya ajeg mangan ing wayahe.

         Nengah-nengahi mangan iku, keprungu swarane asu gumerah ing plataran. Pating jregug, pating kraing, pating grudug keprungu uber-uberan ngubengi omah. Banjur ana bocah cilik gita-gita mlebu omahe, ngandhakake yen lulange digondhol asu. Ki Darman meh keseleg enggone ngulu sega.

        "Kirike lik,Sun, mBah, sing nggondhol  metu. Aku maeng ruh. Terus dioyak asu-asu," semambunge bocah iku ora kober dirungu Ki Darman awit wonge wis mencolot metu ninggal segane kang lagi kalong separo piring.

        Ki Darman misuh-misuh weruh lulange kewer-kewer ing congore asu. Gupuh golek antem, golek penthung. Asu uber-uberan saya adoh. Ki Darman kontrang-kantring nututi, dietutake bocah-bocah cilik.

       Swara gumerahe asu kang worsuh karo swarane bocah njalari tangga reparo padha mbrubul  metu. Nanging ora ana  wong sing gelem rerewang Ki Darman ngoyak barang darbeke. Saperangan wong malah bali mlebu omah karo grenengan cuwa, nganggep tiwas kaget metu, mung weruh kedadeyan sepele.

       Saperangan wong kang isih nganjir nggrombol  ing njaba, ana kang mesem mlengeh nyawang polah kethanthilane Ki Darman. Apamaneh bareng Ki Darman mundur-mundur meh disander  asu, ana sing kebacut ngguyu ngeklek.

       Sisihane Ki Darman kang melang-melang, nututi sing lanang, menggak, nguwatirake keslametane. 

       "Ki!  Aja nyedhak,Ki! Sawangen wae, doyan tenan apa ora. Dha kaliren antarane."

       "Watege asu iku nistha. Wareg lan kaliren ora ana bedane. Arepa wis wareg diweleg sega daging, imbuh roti lan ngombe susu pisan, ya isih saba pawuhan, doyan panganan rusuh. Kaya ngono kuwi apa irunge mung ambon-ambonen  daging wae? Mangka Petruk iku wis ora ana daginge. Kari lulang garing kok dimangsa."

        "Lha hiya...,ben. Sawangen wae, doyan tenan apa ora. Ngko nek mendelik kloloten, lara gorokane, rak ya dieculake."

        "Ckk, rak ya sedheng rusak," wangsulane Ki Darman karo isih nyawati.

        "Takplinthenge, mBah!  Takplinthenge, mBah!"

        "Ya,Le. Sing gedhe watune. Ben moncrot. Ngko nek mati, lulange takgawene wayang Dasamuka."

        "Sampeyan ki kok werna-werna. Wong yen nduwe pikiran kok aneh-aneh," grenenge sisihane kang banjur ngajak sing lanang, diajak mulih, nanging Ki Darman isih njenger nyawangi nasibe lulange kang dieneng-eneng asu papat. Kirike mung nyawang pengin.

         Asu putih, asu ireng, asu coklat, lan asu blontheng,  padha  nyokot karo nggeret nyendhal ngetog karosan. Sateruse kena dikakahi dening asu gedhe kang menang kerahe. Kewer-kewer digawa ngadoh, nanging asu liyane padha terus nguber. Hug! hug! Hug! Hug! Hug! Kiriki nututi, kaik, kaik,kaik, kaik!

         Watege swara asu, gampang narik kawigatene asu-asu liya. Asu-asu saka papan adoh padha mara gemrudug. Kempyung melu rayahan, cathek-cathekan kaya wedi yen ora keduman. Pating jregug!  Pating kraing !  Pating gereng!  Pating baung! Matane jlalatan pating cliring. Ambegane ngosos pating  krenggos. Ilate abang pating klewer.

         Ki Darman mengkorog singunen weruh cacahe asu tanpa wilangan. Nanging asu-asu iku banjur ambyar. Ki Darman angkluh njupuk lulange kang setengah ajur. Suwek-suwek mubeng, bedhah, bolong-bolong pingget kebak tatu.

        Petruk ketaton.

        Gegere Petruk lakrak. Pundhak, githok, lan sirah sisih mburi uga ajur dikemah asu-asu kang murang tata. Asu-asu wengis, asu-asu degsiya kang mung mikirake kabutuhane wetenge.

        "Pucuke irung ya suwek, mBah." cluluke bocah ngrubung.
        "Anu, ditambal, didondomi," semaute bocah paling cilik.

        "Uuuuu...,ya elek, Le. Ning kepiye maneh wong irunge lara. Wong kecelakaan kae yen kulite suwek rak ya dijahit pak Dhokter," wangsulan nglegani  atine bocah.

        Atine dhewe kelara-lara nyipati Petruke. Senajan Petruk iku isih wujud lakaran potlot, nanging kewuhan bisane  ngingsret menyang papan kang wutuh. Puteg nalare, diingar-inger meksa ora bisa mapan. Papan sakupenge Petruk wis rupak, wis rusak. Petruk kecepit, kelangan papan kanggo urip.

        Har Purnomosidhi kang niyat mrono ndeleng Petruk pesenane, diduduhi lulang ajur iku sarta dicritani larah-larahe. Har ditawani Petruk lawas saka njero kothak. Petruke Ki Darman akeh, nanging wis padha amoh  lencu buceg saka lawase kanggo  ing pakeliran.

        "Yen ora kersa, aku takgolek lulang anyar. Ya kudu sabar."

        "Wis, iki wae, Mas. Butuhku takanggo bahan mata kuliyah budhaya dhasar," wangsulane Har milih siji, nanging Ki Darman emoh dilironi dhuwit.

        Ki Darman, hiya Ki Darman Gunacarita.
        Senenge marang lulang, ora beda kaya seneng tukang kayu marang kayu. Senajan kayu mung setugel, yen sekirane isih kena kanggo dandanan, ana rasa eman arep ngobong. Mula dening Ki Darman, lulang rusak iku isih disimpen awit isih kena digawe  wayang siji sing ukurane luwih cilik. Gareng, Bilung utawa wayang putren. Digaweya piranti gegamane wayang hiya bisa dadi akeh, tumbak, pedhang, bindhi, panah lan sapanunggalane. Kepepete yen butuh tangan wayang, lulang iku kena digunakake.



        NGANTI pirang-pirang sasi lulang rusak iku isih diumbar cemanthel kebak bledug. Ki Darman malah wis ora ngeling-eling. Mung wae nalika muli ndhalang, Ki Darman kedadak kelingan marang lulang iku.

        Mulih ndhalang numpak bis bareng karo kanca pengrawit. Ki Darman kang nyawang-nyawang menjaba, weruh kekayon mati garing ing tengah sawah. Ki Darman nggagas-nggagas, geneya kekayon iku mati  ing sawah loh kang banyune mili gemlidhig. Apa oyote akeh kang kepacul, apa mati ngarang, utawa mati lodong disamber gludhug. Godhonge wis brindhil, pang-pange uga wis akeh kang sempal. Anane mung kari wit ngracung, dhuwur mlengkung, katon ireng saka kadohan.

       Wis ireng bungkuk iku banget ngosikake atine. Cumithak keket ing telenging cipta rasane.Gagasane Ki Darman saya ngambra-ambra lan jero, adreng enggone kepengin rumeksa Petruk.

       Sabenere, isih ana perangane lulang kang wutuh ing sangarepe ngengkrengan Petruk iku. Nanging merga anane mung wates weteng tekan sapendhuwur, ora cukup yen kanggo ngajokake awake Petruk sawutuhe. Nanging yen gegere Petruk dibungkukake mlengkung kaya wangune wit ireng bungkuk ing tengah sawah, kena.

        Kanthi dibungkukake mengkono, tatu suwek ing gegere, ing pundhak, githok, lan sirah sisih mburi, bisa disingkiri. Pernahe sirah kang maju mlengkung, uga ateges ngendhani tatu ing pucuk irung.

       Petruk bungkuk klakon ditatah lan dipulas njlengut. Klakon dadi perangane wayang kang murwat urip ing jagading pakeliran. Wayang hiya weyangane  sagung tumitah, titahing Hyang Sukma Kawekas kang urip nepusi alang ujuring dalan lelakone. Mula yen durung tinakdir mati, Petruk kang kecepit ing karusakan iku isih bisa ketulungan  lumantar Ki Darman.

        Gapit lan cempurite apik, saka penyu warna kuning gadhing. Mung wae saben sisihane weruh Petruk iku, sisihane sok banjur maido. Uga nalika Ki Darman nuduhake Petruk iku marang Har Purnomosidhi, sisihane Ki Darman sing suguh wedang, grenengan maneh.

        "Petruk kok wandane kaya ngono. Ora umum."

        "Petruk dikerah ngasu kok. Kena racun rabies, awake rusak salah kedaden dadi kaya ngene iki."

        Har Purnomosidhi saya gawok  eram marang  kreatifitase  Ki Darman. Ora uwis-uwis dhosen iku enggone nyawang ngematake Petruk nyleneh kuwi. Kuru bungkuk, ireng, sirahe nlolor nyengangik. Praupane dipulas putih klawu, nuwuhake kesan  pucet ing panyawange Har Purnomosidhi.

        Sawetara suwe Har legeg. Gagasane kaya keseret adoh nglangut. Tanpa noleh marang Ki Darman, Har kumecap lirih," Petruk iki nuwuihake gagasan kang matumpa-tumpa ,Kangmas."

        "Saka tresnaku, benere atiku nangis nyipati Petruk  dadi kaya ngono, Dhimas."

        "Ya, aku bisa ngrasakake. Kangmas trenyuh jalaran iki dudu pangothak-athik. Kangmas ora njarag yasa sing aneh-aneh. Aku dhewe wong ya  melu meruhi, panjenengan tuduhi rusak ajure lulang kae."

        "Mula, saka akehe tatu kang ngrubung, kangelan bisaku mapanane menyang papan kang resik lan wutuh. Pirsanana, iku rak katon isih ana tatune."

        Har Purnomosidhi  nyawangi tatu-tatu kang isih bisa dititik. Ana tatu bolong rong enggon ing pilingane Petruk. Ing dhadhane uga ana tatu pingget sing nedhas.*


       (Kepacak ing Jaya Baya, No.4, tanggal 23 September 1990).
       Crita ksb  (lan crita liyane)  nate diwaca pengarange ing Taman Ismail  Marzuki, Jakarta, 24 Juni  1999, acara Pentas Sastra Daerah.
                                                                                                                caption

Add

Cerkak : Djajus Pete

  D h o r ! 

             KANG ngetik ing kamar iku sawijining pengarang. Lagi ngarang crita cekak ngenani pencurian kayu jati ing alas Perhutani. Grambyangane pikire, dawane naskah crita sing lagi digarap iku bakal rampung antarane nem tekan  wolung lembar. Wektu iku, tekan jam wolu bengi iku, enggone ngarang lagi oleh telung lembar.
            Telung lembar asil ketikane banjur disemak. Disemak wiwit saka judhule karo dibenerake yen ana salah  ketik. Judhulre : DHOR !


                                                      D H O R !
                                          Dening   :    Pangripta

            Tengah wengi ing alas jati.
            Kasbi  lan  Setu lagi  patroli.
            Abot sanggane ngreksa alas. Apamaneh alas wewengkone kinepung dening desa, akeh gangguane. Wong-wong mlebu alas mburu butuhe dhewe.  Alas jati enom kang larangan kanggo pangonan, diculi rajakaya sarana nglimpe-nglimpe. Kebo sapi nasak-nasak, neraki lan ngosoti jati-jati enom kang uwite isih melur.  Mengkono wit-wit jati enom dadi rusak dhoyong.  Wit kang cilike rusak dhoyong, gedhene  uga dadi wit kang dhoyong. Ora bisa lurus lempeng dadi tegakan kang becik kaya kekudangane Perhutani.

            Saliyane dilimpe  kanggo  pangonan, jati-jati enom umur sepuluh taun kang gedhene uwite kurang saka salengen, uga ora mesthi kalis saka cendhalane tangan ngglithis, dicolong kanggo kayu bong. Selagine maling-maling kayu, ora mari-mari enggone nggrumut negor jati,  diedol dadi kayu peteng.

            "Jaga alas, ewuh enggone nyangkani. Nek disabari,   alase mawut, dikrampyang pimpinan. Kereng-kereng, digethingi masyarakat,"  grenenge  mandhor Setu sing pegaweyane nguripake lan ngreksa tanduran jati ing lahan reboisasi. Mula sebute Setu aran mandhor tanem senajan jabatane Setu ing SK-ne katulis : polhuter (polisi hutan teritorial). "Penak sing neng kantor, jam kantore mesthi, panggonane iyup, sing dicandhak mung dluwang. Ora ngadhepi wong akeh sing watege modhel-modhel. Angon digurak, batine wis mringkil.  Dhendham, ngobong alas, mbabati janggleng. Durung nek ngadhepi maling kayu sing watege mogol. Nek konangan, kebentel ra isa mlayu, wani mogok, mbacok petugas."

             "Yen diogoki, mongsok Mantri lan polhute sing arep mlayu, Tu."

             "Ah, nggih mboten patut. Teneh diguyu cah angon."

             "Lha hiya."

             "Ajenga kadospundi nggih diadhepi. Pripun sagede kecepeng, petugase slamet."

             "Pancen kudu ngono. Jenenge tanggung jawab. Ora mung seneng Jaspro-ne thok pendhak arep Riyaya," tembunge Kasbi, mantri alas.

             Alas jati tengah wengi. 

             Peteng lan sepi.

             Sepi nyenyete alas kaisen dening swarane urip-uripan. Gangsir ngenthir, jangkrik ngerik, worsuh karo swarane orong-orong lan gegremetan liyane. Swara orok-oroke kodhok bangkak, kempyung karo pangerike walang kecek ora meneng-meneng ing godhong jati. Kala-kala kaseling swara blag-blug, swarane kukukbeluk lan swara krak-krek ing kekayon.  Swara krak-krek iku swarane manuk saba bengi kang duwe swara kaya swarane wong nyuwek mori buntel mayit.

             Kasbi kang cekel pistul Colt 38 nyenteri pernahe swara manuk krek ing epange wit klampis kang mangklung ndhuwur pernahe lungguh. Manuke ora katon. Sing katon ora kejarag, kalane Kasbi nyenteri sepedha motore, katon ula ijo ing ngisor sepedha motor. Nanging merga Kasbi lan Setu sirikan mateni ula,  ula ijo iku digusah supaya sumingkir.

            "Hes, hes...,ayo, hes...,nyingkrih kana.  Kon nyingkrih kok alot," grenenge Setu karo isih nyuthik-nyuthik ula ijo kang munggah menyang dalan makadham  papane Kasbi lan Setu lungguhan. "Tujunipun pas njenengan senter-senter. Umpami mboten..."

             "Ya embuh. Ula mandi. Yen kepidak mesthine ya nyawel. Beda karo watege ula tali picis utawa ula jangan. Lagi krungu kreseg ngono wae wis mlayu nggeblas, adoh parane. Umpama bisa omong, kira-kira unine, eee...,ya wani mlayu aku, butuh slamet. Takcawela ya ora nggandra, wong aku ora nduwe upas mandi. Tiwas aku sing digepuk. Beda karo watege ula mandi, malah kendel ngaglah ngono kuwi. Kaya ora wedi uwong.  Kokcuthik-cuthik nyatane ya angel nyingkrih ngono kok."

              "Nggih, kados angkuh, rumangsa duwe upas ampuh.  Mangsa waniya wong sembrana nyang aku. Apa ngono kira-kira, batine," Setu ngegongi karo mapan ing boncengan awit Kasbi  atasane wis nyetater sepedha motor, nerusake patroli.

              Patroli mengetan sawetara dohe. Kasbi nggragap weruh sorote lampu mobil saka kadohan.  Kasbi mandheg, nyegat mobil iku kanthi ati sujana jalaran ora tau ana mobil bengi-bengi ngambah dalan Perhutani njero alas. Anaa trug liwat mung truge Perhutani ing wayah awan menawa ana tebangan.  Kayu asil tebangan diangkut menyang TPK, gudhang kayu papane  Perhutani  ndhasarake  kayu dagangane.  Mobil iku, sawise cedhak, lagi cetha yen dudu mobil cilik bangsane Colt tepak utawa Colt pickup, nanging trug ban engkel. Mesine kemrangsang ngeden-ngeden kaya kabotan muatan ngambah dalan ala.  Dalam makadham ancur,  watune pating blesat,  morat-marit.

             Trug gelem diendheg. Bak trug disenteri. Muat kayu jati pesagen. Nomere trug disenteri. Banjur nlesih, iku kayune sapa, kayu saka endi, arep digawa menyang endi lan apa ana surat-surate? Ora ana swara wangsulan kejaba unine manuk krek sing saya  ngganter. Kasbi sing isih ana  ing mburi trug anyel atine. Sauntara suwene uga durung ana wong mudhun saka trug. Mengkono njalari Kasbi saya panas,  rumangsa  disepelekake.

            "Iki kayune sapa?!  Aku butuh ngerti surat-surate!"

            "Kayuku."

            "Lho..., sinten?  Kok ngoko?" grenenge Setu lirih.

            "Ckk, mbuh."

            "Kok ngoko? Ngko ndang kanca, wis kenal."

            "Semene iki ora ukur. Padha karo ngrampog. Iki punjul rong-kibig."

            Regemenge wong mudhun saka sirahe trug, banjur disenteri. Senter isi battery  lima, padhang kencar-kencar. Dudu tepungane. Weruh wae Kasbi durung nate. Gedhe dhuwur. Raine bethem. Rampute potong pendhek. Duwe brengos. Lengene kang pengkuh kanggonan wulu ketel  dawa-dawa. Sing isih dipanjer senter misuh kasar kaya emoh dibloloki, kaya emoh kaweruhan rupane.  Nesu, misuh maneh kaya arep wani njalari Kasbi mundur prayitna. Eling wayah lan papane adoh  lor - kidul,  supaya wong iku ora kebacut bangga, Kasbi terus ngunekake tembakan peringatan  :  dhor !

           "Tu!  Ati-Ati!"

           Dhor!  Dhor!

           Kasbi ambruk kena pelor.

           Setu kang njumbul gage mencolot mlebu alas. Ditututi swara tembakan  :  dhor!  dhor!  Setu krungu siyute pluru nruntun nrabas gegodhongan sandhinge mlayu. Mlayu nasak-nasak, ora weruh grumbul, diterak-terak. Entek atine, lagi sepisan iku ngalami dieles pluru.  Lagi dheweke ngglethak satibane sawuse rumangsa aman, adoh playune.

          "Hadhuh, hadhuh, huh, huh, huh,huh...,kaya arep, pedhot ambeganku. Kuwi maeng bangsane apa. Kok ya nde cekelan kaya ngono. Dhore malah luwih banter. Huh huh huh huh huh...Dadi apa aku nek ra ndang mlayu plecet. Pluru mak-ciyut, ciyut, cedhak kupingku.  Halhah-halhah,   meh ae..."

          Setu ngglethak athang-athang. Weruh lintang surem siji-loro ing selane mendhung gegolongan, nanging pikire kelingan Kasbi. Batine kepengin weruh nandhang kepiye, kepengin tetulung sabisane. Nanging merga durung dirungu gerenge trug nerusake laku, Setu dadi ora wani mingket saka papan kono.  Raine kang perih kekrendhet eri digroyang-grayangi.

             Mengkono naskah crita-cekake Pangripto kang wis dadi ketikan telung lembar. Kertas  kosong, lembar kapapat, dilebokake menyang rolling mesin tulius. Bali ngetik, nutugake laku enggak-enggoke crita. sastra-bojonegoro.blogspot.com

            Ing alas.

            Kasbi kebacut tiwas.

            Perhutani geger. Esuk repet-repet, Administratur Perhutani, Ajun, Asper, Mantri-Mantri alas, sawetara polsus, sawetara polhut lan wong-wong Perhutani wis gumerap ing TKP. Mandhor Setu dadi paran pitakonan. Administratur Perhutani, pejabat paling dhuwur ing wilayah KPH Perhutani, miterang, apa Setu weruh cirine wong sing nembak iku?

           "Wekdal pak Kasbi nyenteri tiyang menika, panggenan kula ngadeg, kaling-kalingan bak treg. Kula namung mireng  anggenipun misuh-misuh. Nomeripun treg kulacathet."

           "O...,ngono?"

          "Tregipun cet kuning wetah. Nomeripun kulacathet wonten bungkus rokok awit kula mboten ngesaki kertas. Anggen kulanyerat  dipunterangi  senter pak Kasbi. Selajengipun nembe kepireng swantenipoun tiyang mandhap saking treg.  Dipunsenteri, lajeng kedadosan sulaya menika.  Kedadosanipun cepet sanget mergi kalih-kalihipun mpun sami nesu."
            "Nomere treg pira?"
           
          Durung nganti Pangripto ngetik wangsulane Setu sing arep ngandhakake nomere trug, Pangripto kaget ana pistul ditodhongake pilingane. Pangripto njeketet. Bathuk, pilingan lan gulune sakala  kemringet. Jantunge nitir nganti ora wani ngobahake sirahe. Nanging mripate bisa nglirik-nglirik lan weruh yen pistul iku ditodhongake dening tangan kang kanggonan wulu ketel dawa-dawa.Todhongan pistul ilang bareng karo glibete wong metu saka kamare. Pangripto unjal ambegan lega, banjur metu saka kamar. Takon marang sisihane, sapa wong sing mentas metu saka kamare?
          "Elho...,kok lucu ta?" wangsulane sisihane mlenggong. Sisihan lan anak-anake lungguh kupeng ing kursi ngarep kamar papane Pangripto ngetik karangane. Sisihane maca majalah. Anak-anake lagi sinau. " Umpama tenan ana wong metu saka kamar kono, aku lan cah-cah iki rak ya weruh, wong ora ngalih-ngalih saka kene."
          "O..., ya uwis." Pangripto ngulapi kringet ing gulune."Katone kaya cetha, ngglibet metu cepet banget."
          Sisihane wis  ora ngreken, bali ketarik maca majalah. Sisihane wis apal marang slagane sing lanang yen wis ngadhep mesin tulis. Konsentrasi total, ora weruh kiwa tengen lan sok ora nyaut yen diajak caturan. Mula sisihane banjur nganggep ora aneh yen sing lanang salah deleng rumangsa kaya weruh  glibete wong metu saka kamare.
          Pandumuk mengkono iku beda karo pikire sing nglakoni. Tengan wulu ketel kang nodhong pilingane, persis kaya tangane wong kang nembak mantri Kasbi. Apa karepe?  Moh kasuse diungkap?  Pangripto thenger-thenger mikirake. Lembar kapapat ing roll  mesin tulis sing wis isi ketikan separo, disawangi suwe. Ana rasa gojag-gajeg enggone arep nerusake,  wedi yen todhongan pistul mara maneh.
          Mesin tulis ditinggal kluyur-kluyur ing njaba. Banjur nyimak-nyimik ngambah lurung jemek ngarep omah, menyang warung  kulon dalan kang iosih bukak, butuh rokok. Sawise pikirane lerem, dienggo ngobrol  sedhela karo wong-wong ing warung, naskah crita cekake sing lagi dadi separo bali nggodha atine. Wis dicepaki prangko lan amplop awit pangajabe ing sakawit, crita iku bakal dirampungake bengi iku. Sesuk esuk dikirimake menyang majalah sing dituju. Mula banjur diterusake enggone ngetik.
         
         Mandhor Setu kang ditakoni pira nomere trug,  wangsulan yen rokoke kecer ing alas mau bengi nalika dienggo mlayu nubras-nubras.""Kula dereng saged madosi. Kejawi wekdalipun taksih peteng, kula mboten saged nilar jisimipun pak Kasbi. watawis jam sekawan nembe wonten tiyang langkung mriki. Lare-lare enem mbeta  sepedha motor, bakda ningali sindir. Lajeng kula suwuni tulung supados ngaturi pak Asper," semambunge Setu kang raine njlaret abang krendhet  eri nalika nerak grumbul mau bengi.

          "Saiki wis padhang. Titiken rokokmu karo polsus lan polhut-polhut kuwi."

          "Nggih. Kula piyambak nggih kuwatos menawi ical dipun panggih tiyang.   Menawi kantun bungkus thok ngaten, mboten dipunsaki tiyang".

          "Alas jajahanmu, wewengkonmu, kowe mesthine ora bingung.  Eling menyang endi arah playumu mau bengi. Nanging aja nganti krungu wong njaba, apa sing lagi digoleki. Akeh wong. Bisa wae ana wong sing mau bengi melu ngunggahake kayu iku, banjur seneng yen bisa mbuwang rokokmu."

          Rokok Jarum 76 sing jare Setu isih ana isine rokok nem ler, dadi golekan ngrusuk-ngrusuk, Karo nggoleki pating clileng, kanca polsus lan polhut sing cedhak Setu, seneng takon kedadeyan mau bengi. Setu nganggo ngandhakake rembuge mantri Kasbi sing nggepok watege ula. Watege ula mandi, wani ngaglah ora wedi wong. Yen kepidak, nyawel.

         "Bareng pak Kasbi kaya ngono, aku dadi mikir, ngrasak-ngrasakake. Apa sing ngaglah nggawa kayu satreg iku bangsane wong mandi?  Emoh kepidak petugas, banjur nyawel?"

         "Ya. Akeh wae wong sing arep mati ndadak, duwe gunem werna-werna ing sadurunge."

         "Aku kelingan wae marang ula ijo mau bengi. Ing ngisor sepedha motor, mung karotengah meter dohe saka papane lungguh pak Kasbi. Takcuthik-cuthik ora gelem nyingkrih. Apa ula ijo ngalamat rupane bebaya sing bakal nekani? Pak Kasbi ya omong tekan ula talipicis lan ula jangan."

         "Piye?"

         "Takgagas-gagas kok ya pas.  Maling-maling kayu golonge wong cilik sing negor dholog sauwit-rong uwit iku, sanepane rak ya padha karo ula talipicis utawa ula jangan sing ora nduwe upas mandi. Krungu kresege polhut liwat ya terus mlayu adoh. Yen ula mandi  ya ora mlayu krungu kresege sikil. Yen ora kebeneran lakune sikil, ya kecawel," wangsulane Setu karo isi terus nyawangi ngisor, nyawangi kiwa-tengen lan nyawangi papan sawatara dohe. Mripate Setu mlolo amba bareng weruh rokoke ora adoh saka papane ngglethak mau bengi. Setu gage mlayoni.
         
          Nanging durung nganti Pangripto ngetik senenge Setu weruh cathetan nomer trug ing rokok iku, todhongan pistul mara maneh luwih cepet nodhong pilingane. Cepeting tekane kaya lakune wong nesu, ora sabar, banjur : dhor !  Mengkono njalari sirahe Pangripto wiwit ngliyeng. Pandelenge peteng. Samubarang sing disawang kaya mubeng. Kursi sing dilungguhi kaya obah miring-miring. Wekasan : brag!
Pengarang umur 47 taun iku tiba nggeblag sakursine. nJrebabah ora obah, gilang-gilang cedhak kursi njrekangkang. Sisihan lan anak-anake nangis pating njlerit nggondamake tangga teparo. Pangripto didhabyang menyang paturon. Pilingane tatu getihen.
         "Tatu mboten sepintena. Kados ketatap wekdal dhawah," tembunge Mantri Puskesmas sing ditekakake. Pangripto wis eling saka enggone semaput. Tatu ing pilingan ditambal perban." Raosipun kadospundi? Pusing-pusing, mual, menapa kadospundi?"
         "Namung radi mumet," wangsulane cekak. Ora butuh crita saka mulabukane jalaran pengalaman psikis sing mentas dialami bakal angel dipahami dening wong liya. Mula Pangripto trima meneng katimbang dianggep wis ora waras.
         Tekanan dharahe dipriksa. Ketege jantunge dirungokake nganggo stetoskop.
         "Kadospundi?" pitakone sisihane semu kuwatir.
         "Tensinipun normal. Saged ugi namung kesayahen kemawon."
         "Pak Ripto menika, samireng kula, wiwit riyin, kok ngetikkkkkk mawon mben dalu. Kados mboten nate sare," clemonge tanggane paling cedhak, ngemu karep mbenerake tembunge mantri kesehatan.
        "Lehku ndrememel wis ora jamak. Karepku, disuda nggone dhur-dhuran melek. Eling ragane, saiki wis tuwa.  Blas, gunemku ora tau digugu. Lha...,dadi ngono kuwi suwe-suwe. Glenthangan kaya wong kesambet," semaute sisihane kresah-kresuh.
         Pangripto diinjeksi. Ditinggali kapsul lan pil. Sapungkure mantri kesehatan, uga sawise tangga-tanggane entek mulih, sisihane kebacut ngomel.
        "Wong nek wis njenggruk, nek wis mancep neng mesin tulis, kok ora eling apa-apa. Ora eling adus, ora eling mangan, ora eling turu, nganti awake njlebut. Wayahe mangan ra ndang mangan. Nek wetenge mules mung digosak-gosok rhemason."
        Pangripto meneng wae.
        Karo ngangkat mesin tulis , liwat  ngarepe sing lanang, durung entek enggone muna-muni," Wis.  Leren.  Kukut. Ngeman awake. Ora urip dhewe. Anak-anake sing mburi isih cilik. Isih akeh tanggungane. Kathik anak wedok, akeh ragade. Ngarang diatur. Aja umbar-umbaran. Nek ambruk, wong saomah susah kabeh." Mesin tulis dilebokake lemari lan dikunci. Kuncine didhelikake.
        Pangripto ndemak-ndemek perban ing pilingane. Eling enggone nggeblag, eling naskah crita cekake  sing durung rampung. Lagi ing sateruse dheweke ngrenengan," Apamaneh wong wani nyuwara lan wani tumindak nglabuhi bebener ing alam kanyatan. Lagi ing angen-angen wae wis nyumelangi."
       Sisihane ora ngerti sing dikarepake.
       "Wong wis bisa giris, wedi karo pikirane dhewe. Isih ana ing njero pikiran wis ana sing inceng-inceng."
       "Sampeyan ki omong apa?  Aku kok ora mudheng."
       "Kasbi, mantri alas, mati ketembak kena jantunge."
       "Mantri alas ngendi?"
       "Pluru sijine nyrempet natoni baune tengen."
       "Sing nembak sapa?"
       "Lha ya kuwi perkarane."
       "Aku kok ora  krungu. Kapan?  Yen ing alas cedhak-cedhak kene kok ora ana wong crita?"
       "Esuk iki jisime mantri Kasbi isih dirubung wong Perhutani ing tengah alas. Nunggu tekane polisi lan dhokter sing arep ninjo lokasi. Klongsong pluru limang iji ditemokake ing TKP. Sing siji ,klongsong plurune Kasbi kanthi ukuran luwih cilik lan luwih cendhak. Sing papat, klongsong plurune oknum sing nembak  Kasbi kuwi. Klongsong  pluru sewelas mili sing kalibere luwih gedhe lan luwih adoh jangkauan tembake."
        "Kuwi crita tenan apa mung karangan?"
        "Apa bedane crita tenan lan karangan"
        "Kok muni  esuik iki jisime Kasbi isih dirubung wong ing alas. Saiki iki, bengi , ora esuk. Mulane mlipir wae ditakoni, ing ndi, kapan? Mlipir wae ora  ndang diwangsuli. Dirungokake tenan-tenan kok mung karangan."
        "Lha hiya, aku takon, apa ana ta bedane crita tenan lan karangan."
        Sisihane wis sumingkir, butuh nutup kordhen-kordhen cendhela lan nliti kabeh lawang apa wis dikunci rapet. Senajan ing sateruse Pangripto manut dipeksa sisihane supaya ngaso, turu, nanging mripate isih panggah kancilen. []


       Cathetan :
       Ajun            :     pejabat setingkat ing sangisore Administratur  Perhutani
       Asper          :     Asisten Perhutani ; sinder alas
       dholog         :    wit jati enom diameter 19 - 28 sentimeter
       janggleng     :    tanduran jati , uga arane woh jati
       jaspro         :    jasa prodhuksi
       KPH          :    Kesatuan Pemangkuan Hutan
       polsus         :    polisi khusus 
       polhut         :    polisi hutan
       psikis          :    ana sambunge karo jiwa ; pikiran
       sindir          :    tayub ; tledhek ; tandak
       tegakan      :    sebute wit tanaman pokok  ( istilah Perhutani )
       TPK           :    Tempat Penimbunan Kayu

       (  Kepacak ing Panyebar Semangat, No.18, tanggal 6 Mei 1995 )
.
                                                                                                              
caption
Add  

Cerkak : Djajus Pete

 D a s a m u k a

            Anila mati.

            Anggada mati.
            Anoman klenger ketiban bindhi.
            Sugriwa ambruk glangsaran.
            Ramawijaya kendhang saka pabaratan
            ...............................................
            ...............................................
            MENGKONO lakon pakelirane Ki Bilung Sarawito kang gawe muntape penonton jalaran dianggep nyimpang saka kalumrahan. Penonton pating braok misuh-misuh, ngundamana Ki Bilung sauni-unine. Ana sing muni dhalang mendem ora ngerti pakem. Ana sing muni dhalang dhegleng, dhalang gendheng, dhalang edan njaluk disawat klethong kebo.

          "Wis! Wis!"

          "Ngawur! Ngawur!"

          "Kukut, Lung!  Kukut, Lung!"

          "Orat-arit kono gonge! Karuwan olehe kukut! Kemropok aku! nDeleng wayang ora marem malah kudu nothok dhalange!" guneme Dul Sabrang getem-getem.

           Penonton maju nganseg, nyuraki dhalang saka cedhakan. Nanging Ki Bilung kaya wis tahan bantingan, kaya wis kuwat mentale ngadhepi gunem braokan kebak pamisuh lan poyokan.

           Ki Bilung ucap-ucap, nyritakake lelakone Sinta nalika kadhustha dening Dasamuka ing alas Dandaka. Sinta kepranan sumurup kidang kencana akulit emas. KIdang kencana iku panjilmane Kala Marica, abdi kinasihe Dasamuka kang nindakake karti sampeka supaya Ramawijaya pethal saka garwane. Adreng pamintane Sinta marang garwane supaya  nyekel kidang kencana iku kanggo klangenan awit warnaning kulite banget endah.

          Ramawijaya mbujung playune kidang kang sedhela ngilang, sedhela ngaton ing kadohan. Saka akal julige Kala Marica mengkono mau, njalari Ramawijaya saya adoh saka garwane. Dasamuka kang wis sesingidan ana ing grumbul sacedhake Sinta, wekasan bisa ndhustha Sinta.

          "Gampilipun Sinta kepranan dhateng kidang akulit emas, suka pralambang bilih kodrating Sinta punika mboten benten kaliyan wanita sanesipun,  inggih wanita ingkang gampil kepranan dhateng gebyar isen-isening jagad. Mila mboten mokal sesampunipun Sinta  dhawah wonten ing panguwaosipun Dasamuka ingkang abandha-bandhu, saya dangu saya wudhar singseting kembenipun. Malah ing wekdal samangke Sinta sampun anggarbini."

           Krungu antawecana Ki Bilung kaya mengkono, Dul Sabrang mbengok sora," Rusakkk...! Rusak ! Huuuuu...! Sinta kok ngono! Sinta kok geleman! Kuwi Sinta endi...,kuwi!"

           "Dhalang njaluk disawat klethong tenan kok!" Jan Kempul petota-petoto.

           "Lha hiya, apa wong-wong kene iki dianggep ora juntrut crita wayang, kok didoli lakon nggedhabyah kaya ngono!" Min Kombor kresah-kresuh.

           "Sing nde omah kandhani.  Omongi. Dhalang ora waras kok ditanggap. Pilih ngebari mBilung apa njaluk dikrutugi bata omahe!"

           "Sore-sore mau critane ya kaya juntrut. mBuri-mburi kok nggleyor kaya dhalang teler. Aja-aja mBilung kuwi gek doyan ngombe?" grenenge bakul bakso karo nyerbeti mangkok.

           Dul Sabrang, Jan Kempul lan Min Kombor ita-itu nemoni Suro Melik sing duwe gawe sunatan iku. Nanging Suro Melik emoh disalahake.

           "Kleru yen kowe nutuh aku.  Aku dhewe malah ora ngerti  lakon-lakon wayang. Lakone wis takbodhokake dhalange. Terserah, pokoke rame, ngono lehku njaluk sore mau."

           "Ya, ramene lakon mblangkrah. Rame maneh nek omahmu dibandhemi  bata  wong  akeh," semaute Jan Kempul ing mburi kelir panggonane Suro Melik nampa tamu.

           "Ah, ya aja ngono. Ngono kuwi jenenge rak arep ngrusak aku."

           "Mulane, dhalang mBilung kuwi konen leren yen ora bisa ndhalang sing bener," guneme Dul Sabrang.

           "Sik ta, aku takmelu omong. Sing sareh atine, aja padha kemrungsung," wong tuwa aran  Darmo Dipo kumecap nengahi.

           Ing sisihe swara gamelan ngungkung, swarane penonton isih pating brengok. Mbilung...! mBilung...! mBilung...! Sarawito!  mBilung...! mBilung....! mBilung....! Sarawito! Saben jeneng Bilung diucapake kaping telu sarana bebarengan, banjur diselani jeneng Sarawito kang uga diucapake bareng-bareng. Mengkono diucapake marambah-rambah njalari penonton ngguyu ger-geran.

           Suro Melik njawil nom-noman supaya ngladekake wedang telung gelas. Dul Sabrang sakanca gelem dilungguhake. Darmo Dipo nerusake rembuge, "Kowe kabeh iki, semono uga aku,  mung wong nonton. Bedane, olehku nonton ing njero karo jagong. Wong nonton iku, yen seneng marang tontonan sing lagi ditonton, enggone nonton bisa diterusake. Nanging yen ora seneng, tinggalen mulih wae supaya gelamu ilang."

           "Wong mpun kadhung sumerep lakon mblangkrah, dugiya nggriya nggih tetep mangkel, mBah," wangsulane Dul Sabrang nglungani, ora kena dicandhet supaya ngenteni metune wedang.

           Jan Kempul lan Min Kombor nututi Dul Sabrang kang wis lungguh jengkeng ing ngarepe panjak kenong. Pitakoine Dul Sabrang marang panjak kenong, lakon kang dijereng dhalang mengkono iku nganggo dhasar pakem saka ngendi?

           Merga Dul Sabrang sakanca kresah-kresuh terus, panjak kenong kang mapan ana ing sacedhake kothak wayang iku akhire kumecap," Ah, niku sanese  karepe pak dhalang  piyambak kok, Mas. Niku rak merga Dasamukane sing mbrengkele, mboten purun dikawonaken."

           "Ckk, kok modhel. Dhalang kok kawon kalih wayang. Kula taken saestu," pandhesege Dul Sabrang adreng.

           Panjak kenong banjur ngandhakake yen wayang Dasamuka iku digawe saka kulite bromocorah kang mati dikroyok massa ing pinggir kali  Lawas. Saka bangeting kemropoke sing padha ngroyok, kaya durung lega mateni, kulite dibeset pisan. Kulite ditemu wong sing gawene yasa wayang kulit, banjur ditatah dadi Dasamuka kuwi.

          Sing dikandhani kaget pating pendongong, banjur padha nyawangi saparipolahe dhalang. Panjak kenong nindakake pakaryane nabuh. Sasuwuke gendhing, Min Kombor kumecap," Eh, malati napa ngoten, wayang niku."

           "Pripun angsale mastani wong nyatane saged mengaruhi dhalang."

           "Mengaruhi pripun?"

           "Wayahe Dasamuka kawon, pak dhalang kados kesurupan, ngantos lakune crita kwalik-kwalik kados ngoten niku."

           "Wayang  saged  mbentokaken  dhalang ngoten kok taksih diengge ta?  Kok mboten diselehake mawon." grenenge Dul Sabrang.

           "Niki wau sedaya pengrawit nggih kaget. Nanging pak dhalang mpun kebacut mbandhang, mboten kenging dielikaken. mPun mboten karepe piyambak.  Akhire sedaya pengrawit nggih  lajeng mendel,  butuhe terus  nabuhi ngoten mawon."

           "Niku wayang pundi ta?  Napa betane dhalang?":

           "Niku napa sing gadhah. Rasukan lorek niku," wangsulane panjak kenong karo nudingake tabuh kenong menyang arahing klambi lorek kang lungguh ing sacedhake panjak gender.


           Dul sabrang sakancane ribut ngandhakake critane panjak kenong marang penonton. Saka cepete rembug gethok tular, penonton dadi ngerti yen lakon  kang dianggep nyimpang saka kalumrahan iku ora saka lupute dhalang. Swara braokane penonton dadi sirep. Ombyake penonton saya ngangseg bareng wayang  Dasamuka diwetokake maneh. Penonton butuh nyawangi Dasamuka saka cedhakan.

           Dasamuka ngguyu ngakak karo nebah dhadha," Ha ha ha ha !  Ya bandhaku!  Ya donyaku!  Marem atiku, Mannn...!  Lega penggalihe pun Rama, Jitttt...!  Ramawijaya modar!   Anoman bangka!"

          "Senaosa Ramawijaya saha Anoman taksih gesang keplajeng wonten ing wana, nanging sampun pepes, sampun risak kekiyatanipun. Kasembadaning anak  Prabu angrengkuh Sinta minangka tandha yekti bilih mboten wonten sedya ingkang nglengkara kagayuh menggahing anak Prabu," wuwuse patih Prahastha kang kapernah bapa pamane.

          "Nggih, leres, ndika, Man. Sareng Sinta kelampahan dados bojo kula, hmmmm...., jagad iki katone saya padhang gumrining  kebak kanikmataning urip. Rak ya ngono ta, ndhuk, Sinta?"

          "Kasinggihan. Kula namung ndherek sakersa Paduka."

          "Rama Dewaji malah saged nyuwak cariyos  lami  ingkang nyariyosaken bilih negari Alengka rebah risak. Mangka nyatanipun mboten. Tembok Alengka mboten gempal, mboten gempil. Rama Dewaji taksih meger-meger ngembat pusaraning praja, mboten gugur kasambuting jurit  kados ungelipun pustaka saratanipun pujangga Walmiki," panyelane Indrajit.

          "Iku rak dongeng saka mblakraking angen-angene  Walmiki. Mula sengitku marang Walmiki kepati-pati. Walmiki pancen bangsat keparat, banget anggone ngasorake kawibawaningsun.  Umpama menus Walmiki iku isih urip, o...,mesthi taktugel gulune. Mula Jit, rungok-rungokna, tiling-tilingna..."

         "Nggih, kadospundi?"

         "Sapa wae, ora perduli Mantri  Bupati  manggalaning praja, yen ana sing ngurip-urip dongenge Walmiki, patenana!"

         "Nggih."

         "Dhalang-dhalang, yen ana sing nggelar lakon kaya dongenge Walmiki, patenana pisan!"

         "Nggih."

         "Majalah-majalah, yen ana sing ngemot crita kaya dongenge Walmiki, rangketen redakturre!"

         "mBoten dipunpejahi?"

         "Pateni!"

         Wataking Dasamuka kang brangasan sawenang-wenang mengkono iku gawe sengite penonton. Satemah ana kang nylemong kebak pangigit-igit, yen wayang Dasamuka iku antuk dituku, arep diremuk nganti ajur. Rembug mengkono iku cepet ditanggapi gethok rambat satemah kabeh penonton lan bakul-bakul padha sayuk nyawiji, gelem urunan wragad yen wayang siji kuwi oleh dilironi dhuwit.

           Dul Sabrang dietutake sawetara penonton banjur nyaketi panjak kenong. Kajat niyate masyarakat penonton dikandhakake supaya diterusake menyang sing duwe wayang.

           Sing duwe wayang ora kabotan wayange dituku." Kula culke, janji purun kalih atus ewu rupiyah."

           "Pinten-pinten purun. Nanging anu...,menawi sampun tancep kayon, kula sedaya niki mpun mboten butuh," guneme Dul Sabrang.

           "Nggih, gampil."

           Wayahe wis nyedhaki gagat raina, tandange sawetara wong sing makili penonton dadi sarwa cepet. Gage enggone ngubengake baskom, lengser, panci utawa apa wae sing kena kanggo wadhah nampani dhuwit. Akeh sing mung urun Rp 25,00 utawa Rp 50,00. mBah Grontol, bakul grontol sing enggone dodol direwangi kadhemen sendhen pager mung antuk bathi Rp 450,00,  eklas urun Rp 75,00.

            "Aku ya mangkel, Le, satriya apik-apik nglabuhi bener kok padha kalah," guneme mbah Grontol.

            "Eh,  mbah Grontol  thik  ngerti satriya, " tumanggape sing ngathungake baskom, nampani dhuwit lawen telung iji.

            "Lho, ngerti, Le, aku. Saka kulinaku dodol ing wayangan, njalari aku apal lakon-lakon wayang. Sing ora ngerti ki rak cah-cah nom kuwi, senengane ndhangdhut."

           "Eh , mbah Grontol thik isa ngritik."

           Merga Ki Bilung wis dirembugi sing duwe wayang, Ki Bilung api-api ora weruh kalane tangane Dul Sabrang njabut Dasamuka iku. Penonton keplok mawurahan, banjur gemrudug suk-sukan ngetutake Dul Sabrang menyang tengah latar wayah srengenge  rantak-rantak.

           Dening Dul Sabrang,  Dasamuka  iku terus disawatake mendhuwur. Kabeh penonton padha ndhangak pating braok, tangane padha ngracung. Tibane Dasamuka tinampan rasa pangigit-igit. Dasamuka kang ngudi kamelikan, pakareman, kanikmatan, kamukten lan kawibawan, ajur dirusak rame-rame. Dieneng-eneng, ditarik-tarik ngiwa nengen. Diuntir, diprekes, dikeplek-keplekake, ditekuk-tekuk nganti tangane putung kabeh. Senajan rupane wis ora rupa wayang, ewasemono isih digejugi, banjur dipetelake ing ndhut-ndhutan gupakan kebo.

           Swara  gumerahe penonton ngalahake ramene gendhing Ayak-ayak  Pamungkas, tandha tancep kayon. Darmo Dipo kang jagong ngebyar lagi metu saka omahe Suro Melik sawuse nyeselake amplop  buwuhan menyang  sak klambine  sing duwe gawe.

           Weruh Dul Sabrang isih dikupeng sawetara penonton ing ratan ngarepan, Darmo Dipo kumecap," Piye? Wis padha marem?"

           "Plong!"


           KI BILUNG SARAWITO, dhalang nylelek saka tlatah Bojonegoro, ndhalang maneh ing wewengkon kono. Lakone padha persis kaya nalika mayang ing omahe Suro Melik. Penonton akeh sing ambrol mulih, wegah ndeleng lakon sing  dianggep mblangkrah. Dul Sabrang unuk-unuk nglabrak panjak kenong.

           "Niki mesthi mpun kethikan kalih sing gadhah wayang, kajenge Dasamuka niku ditumbas malih. Nggih ta?!"

           "Lho,,lho..., sampeyan niku dados tiyang kok mboten sabaran. Kulite bromocorah sing  kulakandhakake nika, dados Dasamuka kalih."

           "Ahhh..., sampeyan mpun ngarang crita!"

           "Sing sampeyan njabut nika rak Dasamuka wanda begal. Sing niki Dasamuka wanda bugis. Wandane wayang niku rupi-rupi. Mang setitekaken, wandane rak benten."

           "Wong kok arep diapusi melek-melekan. Cekake kula mboten ngandel!"

           Merga dianggep nggaggu pakaryane pengrawit, ana Hansip sing terus nggeret Dul Sabrang diajak nyingkrih. Sing digeret mogok karo isih ngempo-ngempo. Dul Sabrang lagi gelem mundur sawuse dijawil Darmo Dipo, tokoh masyarakat kang banget disungkani dening wong desa kono.

           Dul Sabrang diajak menyang panggonane  bakul wedang, banjur digunemi," Marem iku pancen larang regane. Regane sok ora kubuk karo pikolehe kemareman sing ora langgeng. Marem, bungah, susah , mangkel, cuwa lan muring iku, wis dadi pirantine urip. Maremmu ilang, saiki kowe mangkel maneh, muring maneh  bareng weruh Dasamuka isih ana."
           "Nanging niku genah akal-akalan."

           "Embuh mung saka akale dhalang  njarag gawe lakon kaya ngono, embuh pancen dhalange sing kesurupan tenan, aku ora bisa ngarani. Sing genah, kowe sakancamu ora bisa ngilangi Dasamuka, jalaran Dasamuka iku wis dadi isen-isene wayang. . Wayang sakothak yen ora ana  Dasamukane jenenge  ora  komplit."

           "Lho, nggih, kula ngertos. Ning Dasamuka niku kudune rak kawon nek nurut pakem. Pakem wis apik-apik kok dirusak," wangsulane Dul Sabrang karo ngiling wedang  panas ing lepek.

           "Pakeme ora apa-apa. Ora rusak, ora suwek. Kowe weruh ngono wae kok wis kemrungsung, nganti Suro Melik sing ora weruh jawane arep kokamuk. Mangka ing urip saben dina iki, apa ya wis apik nurut pakem?  Nyatane  pakem disampar, disandhung, diteraki ngalor ngidul."

           Dul Sabrang ora wangsulan. Sing keprungu nywara banter, guyu ngakake Dasamuka ing pakeliran kang mung diadhep Indrajit.

           "Ha ha ha ha ha....! Ya bandhaku! Ya donyaku! Jit, anakku Nanggggg...."

           "Nggih,  kadospundi Rama Dewaji?"

           "Kowe warisku ya, Nang.  Kowe sing takgadhang nglintir keprabone pun rama. Nanging kowe aja kesusu, jalaran manut petungku, isih perlu ngenti mangsakala kang becik."
           Indrajit sumanggem.
           Saka bungahe, Indrajit banjur ngambung dlamakane Ramane  kaping  pitu. (*)


          (Kepacak ing majalah Jaya Baya, No. 19, tgl 5 Januari 1992 )

Kamus
bindhi                  =  penthung ; senjata pemukul
pabaratan            =  palagan ; medan peran
ucap-ucap           =  tutur; narasi dhalang
kadhustha            =  tercuri ; dibawa kabur
kepranan             =   tertarik
panjilmane           =   perubahan bentuk ; alih wujud
karti sampeka      =   akal dalam ketrampilan perang
adreng                 =   keinginan yang sangat
klangenan            =   hiburan
mbujung              =   mengejar
akal julige            =   kepandaian menipu
abandha bandhu   =   kekayaan yang berlimpah ruah
anggarbini            =   hamil
antawecana        =   percakapan dalang
sasuwuke           =  seusai
pakem                  =  cerita wayang yang asli
tandha yekti         =  sebagai bukti ; tanda yang nyata
menus                  =   manusia ( sebutan kasar )
ngasorake            =   merendahkan martabat
kawibawaningsun =  kewibawaanku
rangketan             =  cincanglah ; ikatlah tubuhnya
sayuk nyawiji        =  menyatu
tancep kayon        =   tandha berakhirnya pertunjukan wayang
wanda                  =   sipat wujud  (bentuk)  wayang
pengrawit             =    penabuh gamelan
nglintir keprabon   =   mewarisi tahta kerajaan
                                                                                                         caption
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

mentas saka aggone maca becike ninngali komentar.....hehehe.....Suwun.