Minggu, 28 Desember 2014

SUMUR Cerpen; Herry Abdi Gusti

sastra-bojonegoro.blogspot.com.
Cerpen : Herry Abdi Gusti




TUKANG SUMUR
”SUMBER AGUNG LANCAR”
(PAK JOLENO)
MENERIMA PANGGILAN
HUBUNGI : 085678977771

            Reklame dari bahan seng bekas talang itu terpaku pada pohon mangga di sudut halaman rumahnya sejak tigabelas tahun lalu. Itulah profesi Joleno yang tinggal di belakang SDN Panjunan I-II Kalitidu bersama isteri dan dua anaknya. Profesi yang digelutinya sebagai hasil transformasi pengetahuan dari mendiang ayahnya menjadi semakin langka saat ini, padahal kebutuhan air bagi setiap orang sangatlah vital. Maklumlah jaman sekarang serba instan, segala kebutuhan bisa terpenuhi secara cepat dan tepat, meninggalkan hal-hal yang konvensional alias kuno.
            Dulu orang memenuhi kebutuhan MCK-nya cukup menceburkan diri di sungai pinggiran desa atau di mata air berupa sendang atau air terjun. Kalau tak mau berjalan keluar pekarangan rumah dibikinlah sumur galian yang dalam perkembangannya menjadi sumur pompa, sehingga lahirlah profesi tukang gali sumur seperti yang ditekuni Joleno. Jaman sekarang PDAM sudah masuk desa, mengolah air tanah dan air bengawan menjadi bersih yang dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah penduduk. Tiap bulan tinggal bayar rekening di kantor PDAM kecamatan, tak usah repot bersusah-payah ngangsu¹). Sementara bagi Joleno tak setahun sekali mendapat panggilan untuk menggali sumur dan itu berarti dapur istrinya tak mengepul kalau cuma mengandalkan satu jenis pekerjaan. Pada setiap kesempatan Joleno meringankan tangan untuk memegang pekerjaan serabutan  yang diminta tetangganya. Terkadang menjadi kuli angkut barang di pasar, diselingi menjadi kuli bangunan. Pada kesempatan lain mengayuh becak tak lama berganti menjadi tukang parkir jalanan, lalu kembali menggali sumur.
            Cap ”Sumber Agung Lancar” sengaja dipilih agar membias pada upayanya mengais nafkah dan menjaring rejeki. Dia selalu berharap agar hasil kerjanya menjadi sumber yang meluap, baik lembaran rupiah maupun semburan air sumur galiannya. Setelah airnya berhasil keluar diharapkan juga bisa lancar dan langgeng. Nomer ponselnya sangat pas dengan karakter usahanya, agar orang-orang mudah mengenal sekaligus mengingatnya. Akhiran ”…….77771” bukanlah kebetulan, tetapi memang dicarinya dengan upaya keras dari konter ke konter seantero Kalitidu hingga Cepu. Nomer itu haruslah bertuah atau mempunyai aura magis yang mengayomi pemegangnya. Joleno mendapat nomer itu atas kegigihannya menyimak kitab erek-erek’ yang dipinjamnya dari Nardi Kuncir. Nomer ”777” melambangkan pitulungan dari tiga arah, sedangkan ”71” adalah tafsir gambar sumur. Klop! Nama Nardi Kuncir muncul sebagai tokoh di sini, setelah Joleno. Selain mereka berdua ada lagi Hari Guru alias Hari Balung dan Dimun. Keempatnya mudah ditemui di warung kopi tepian lahan jati. Dari komunitas warung itu Joleno sering mendapat pesanan menggali sumur. Kalau sudah begitu dia mempersiapkan diri dan peralatannya sekaligus mengumpulkan anggota tim penggali sumur. Timnya berjumlah empat orang, dia dan tiga orang asisten, tetapi ketiganya jelas bukan Nardi, Hari dan Dimun. Kalau untuk urusan menggali sumur Joleno lebih suka mengajak adik ipar dan dua orang keponakannya. Kalau bersama Hari Balung dan dua koleganya itu jelas diajak nggladhak balung²). Area perburuan tulang dan batuan itu sepanjang aliran bengawan atau punden-punden di seputar bekas wilayah kadipaten Jipang Panolan masa lalu. Yang terngiang di telinga Joleno adalah ucapan khas sang maestro Hari Balung:
            ”Jaman sekarang anjing saja tak mau tulang, kamu manusia kok malah mengais-ngais tulang..”
            Kemarau ini sumur-sumur kerontang, air enggan keluar dari sumbernya. Joleno dan timnya kewalahan menerima permintaan untuk memperbaiki sumur, bahkan istrinya sendiri juga merengek minta sumurnya segera diperbaiki. Rasanya  semua tanah di kawasan Ngasem, Gayam Kalitidu dan sekitarnya sudah keropos. Minyak kandungannya disedot dari titik-titik lokasi yang mengandung minyak dan gas. Akibatnya air tanah pun menjadi langka, keseimbangan ekosistem terganggu. Bumi menangis, sawah-sawah pun meringis tak lagi berselimut hijau daun padi, palawija maupun tembakau dan pohon jati. Kondisi yang terpotret  dalam sajak Gampang Prawoto:

Kuthaku mabur ngawiyat
ilange keluk once mbako
nimbule crobong lenga.
                         
puser bumi manglung mangetan
kemrengseng swarane sedan
kalah seru swarane spatu lerekan
prag-prog, brag-brug
ngidak-idak lemah warisan
ngurug dalan wetune pangan
ngosak-asik pranatan
nyadhong dhuwit sewan
kamar.

puser bumi munggah
sakilan
dol-tinuku
sadalan-dalan, warung
warung cilik nawakake
sawah apa tegal, kanthi sewan
dadi simpenan utawa cara gadhen.

puser bumi mudhun
sakilan
banyu panguripan
wutah ing sadhengah papan
gumrojog, kemricik
kaya swarane lenga

sesidheman
klesak-klesik
mumpung bojomu mlebu awan
janjian.

puser bumi minger ngalor-ngetan
kalisari lawange tutupan
gandhul disangoni telung-yutan
widadari mabur saparan-paran
mula bapake arang mangan
icip pecel, njajal soto, imbuh rawon
wareg, ra kawruhan. -----------------  ³)

            Galian Joleno di pekarangan rumahnya sendiri sudah mencapai duabelas meter, tetapi belum ada tanda-tanda ditemukan setetes pun air. Kali ini dia mengerjakan sumur sendiri tanpa tim, karena memang tidak ada anggaran penunjangnya alias swadaya mandiri. Lokasi galiannya tepat di selatan “Museum 13”, bekas wc tua SDN Panjunan yang disulap Hari Balung menjadi gudang penampungan benda-benda purbakala seperti fosil gajah, rusa, kerbau, kerang, keong, keris, batu akik, batu nisan dan sebagainya.. Sudah berpindah dua titik penggalian membuat Joleno kehabisan semangat. Segenap kemampuannya dicurahkan untuk menyentuh permukaan air dalam tanah, tetapi masih gagal juga. Bak seorang pujangga, Joleno pun sebenarnya sudah menerapkan semacam mantera sebelum mengawali pekerjaannya, semacam ritual bubak-bumi 4) selamatan dan mohon berkah ridho Gusti Allah, Nabi Muhammad, Nabi Khidlir, Syeh Abdulkadir dan Sunan Kalijaga. Penggali sumur dalam hal menancapkan mata bor atau ganconya juga menggunakan langgam macapat 5) dalam arti maca papat-papat”nya. Dalam mengukur kedalaman galian menggunakan lonjoran 6)  pipa paralon yang panjangnya empat meter per lonjor 7) Jadi dengan mudah menghitung berapa kedalaman galian berdasarkan lonjoran pipa paralon yang sudah dimasukkan. Kalau tiga lonjor berarti sudah mencapai duabelas meter, hasil perkalian tiga kali empat meter.
            ”Bagaimana kang, bisa keluar pa nggak sumurku?” Parsiti –istrinya--  menyela penuh harap ketika Joleno beristirahat di bawah pohon mangga sembari mengusap keringat yang meleleh di dahinya. Joleno menghela nafas berat.
            ”Sabar ti.. kamu itu tinggal mateng saja kok cerewet. Aku ini juga sudah susah-payah menggali, tapi semua kan kembali pada nasib, keluar apa tidak nanti. Doakan sajalah, jangan ngrepoti dengan pertanyaanmu itu.”
            ”Tanya kok nggak boleh. Aku kan harus segera masak, mencuci dan mandi to kang.. Apa mau kalau aku lebus 8).” sambar Parsiti sambil berlalu kembali ke habitatnya, dapur.  Meski begitu sang suami masih menimpali:
            ”Sumurmu masih sempit, ti.. perlu waktu agar mata borku lancar menembus dasarnya..”
            Usai salat duhur Joleno melanjutkan pekerjaannya. Kali ini rencananya menambah satu lonjor lagi sebagai lonjor terakhir. Kalau sudah masuk berarti kedalaman galiannya tembus pada titik enambelas meter. Sepanjang karir Joleno rekor galian yang pernah dicapai sedalam duapuluh empat meter. Itupun masih perlu waktu dua hari untuk bisa mendapatkan air yang lancar dan jernih.
            Ketika mata bor menghunjam batu keras pada kedalaman tigabelas meter, Joleno tersentak. Dengan tiga kali hunjaman batu penghalang berhasil dipecahkan, tetapi tiba-tiba dari lubang pipa yang tersambung mata bor keluar cairan pekat bercampur lumpur. Semburan kecil tapi cukup kencang menerpa wajah Joleno, hingga tubuhnya terlontar ke belakang dan duduk terjerembab. Dalam beberapa detik semburan itu akhirnya melemah dan berhenti mengalir. Joleno segera bangkit dari posisinya, kemudian mengamat-amati cairan pekat sewarna tanah yang menempel di hidungnya. Dicium dan diraba-raba. Joleno terkesiap, dadanya berdegup kencang. Ini jelas:
”Minyak..!” gumamnya.
            Joleno terpaku sesaat, lalu mencari tempat duduk yang teduh di bawah pohon mangga. Pikirannya menerawang, berkelana ke mana-mana, membayangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
            ”Ah…bagaimana enaknya, ya? Parsiti diberitahu apa tidak? diumumkan kepada orang-orang apa tidak?”
            Hingga masuk waktu asar Joleno belum mengambil keputusan, justru bergegas menuju musola di halaman sekolah. Untung saja tak ada Hari Balung di museumnya, sehingga tak perlu repot mencari jawaban seandainya ditanya. Dia membersihkan badannya dengan air PDAM yang disalurkan ke kamar kecil samping musola. Setelah mandi dan mengambil wudlu Joleno berniat salat guna menenangkan pikirannya. Usai salat barulah dia beranjak pulang.
            Baru saja menginjak teras rumah sudah disambut sang isteri:
            ”Bagaimana kang?”
            ”Gagal, ti.. Lusa kita daftar PDAM saja. Aku mau pinjam uang mas guru.”
            ”Eeee.., yang dulu aja belum bisa bayar, sudah mau pinjam lagi..”
            ”Ya nggak papa.., mas guru kan nggak pernah nagih. Lagian, kebutuhan mas guru nggak keroyokan seperti kita. Paling cuma kebutuhan bensin seliter buat  nggladhak.”
            Usai magrib ada acara tahlilan di masjid dilanjutkan jamaah salat isak. Sepulang dari kegiatan rutin itu Joleno merebahkan diri di balai-balai teras rumahnya. Otak kanan dan kirinya dibiarkan berdialog, saling mengemukakan argumentasi mengenai galian sumur sore tadi.
”Sebaiknya kamu lapor saja kepada aparat, pasti akan dapat imbalan”
            ”Aaah.., jangan!, imbalan apa?  paling-paling cuma ucapan terima kasih. Kamu cuma diberi selembar kertas piagam.
            ”Ya tak mungkin begitu to.., kan mereka orang-orang penting dan pengambil keputusan yang bijaksana. Jelas malu kalau tak memberimu hadiah. Lagipula tanahmu akan diberi ganti-untung dengan harga tinggi. Kamu sebagai penemu sekaligus pemilik lahan, jadi dobel kan?”
            ”Tapi selama ini pemilik tanah kerap dirugikan.. Ah…tidak! Aku tidak akan menjual tanahku sampai kapan pun. Kalaupun sudah beroperasi, mereka pasti mengangkut hasil produksi minyak ke negara asalnya, sementara negeriku tetap miskin. Sebagai pemilik minyak mestinya mendapat bagian lebih dari mereka yang pekerja to? Sekarang aku mantap memutuskan:
’Tidaaaaak…!
(Keesokan harinya Joleno bergegas menutup rapi bekas galian sumurnya. Tak seorang pun boleh tahu, termasuk isterinya, apalagi Hari Guru. Kalau sampai mas guru tahu, pasti akan dipotret dan diunggah di facebook)#

*Inventarisasi makna:
1).  mencari air di luar rumah, lalu dibawa pulang.
2).  berburu tulang (=fosil).
3).  Gampang Prawoto dalam “Puser Bumi” (2013).
4).  membuka lahan untuk dibuat bangunan.
5).  salah satu jenis tembang Jawa.
6).  batangan.
7).  batang.
8).  tak sedap seperti bau kambing.


#  Sanggar Pakeliran, Grenjeng 30/11/2014
                                                     *PSJB = Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro.
                                                            SAMMIN = Sanggar Membaca -Menulis Indonesia.

---oOo---
PENGIRIM :
Herry Abdi Gusti
(=Haryanto Abdoellah)
Grenjeng RT 002 RW 004 Ds.Sraturejo,
Baureno-Bojonegoro 62192
e-mail: haryanto_abd@yahoo.co.id
ponsel: 085646556656

Sabtu, 27 Desember 2014

S U M U R Cerpen; Herry Abdi Gusti

sastra-bojonegoro.blogspot.com



TUKANG SUMUR
”SUMBER AGUNG LANCAR”
(PAK JOLENO)
MENERIMA PANGGILAN
HUBUNGI : 085678977771

            Reklame dari bahan seng bekas talang itu terpaku pada pohon mangga di sudut halaman rumahnya sejak tigabelas tahun lalu. Itulah profesi Joleno yang tinggal di belakang SDN Panjunan I-II Kalitidu bersama isteri dan dua anaknya. Profesi yang digelutinya sebagai hasil transformasi pengetahuan dari mendiang ayahnya menjadi semakin langka saat ini, padahal kebutuhan air bagi setiap orang sangatlah vital. Maklumlah jaman sekarang serba instan, segala kebutuhan bisa terpenuhi secara cepat dan tepat, meninggalkan hal-hal yang konvensional alias kuno.
            Dulu orang memenuhi kebutuhan MCK-nya cukup menceburkan diri di sungai pinggiran desa atau di mata air berupa sendang atau air terjun. Kalau tak mau berjalan keluar pekarangan rumah dibikinlah sumur galian yang dalam perkembangannya menjadi sumur pompa, sehingga lahirlah profesi tukang gali sumur seperti yang ditekuni Joleno. Jaman sekarang PDAM sudah masuk desa, mengolah air tanah dan air bengawan menjadi bersih yang dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah penduduk. Tiap bulan tinggal bayar rekening di kantor PDAM kecamatan, tak usah repot bersusah-payah ngangsu¹). Sementara bagi Joleno tak setahun sekali mendapat panggilan untuk menggali sumur dan itu berarti dapur istrinya tak mengepul kalau cuma mengandalkan satu jenis pekerjaan. Pada setiap kesempatan Joleno meringankan tangan untuk memegang pekerjaan serabutan  yang diminta tetangganya. Terkadang menjadi kuli angkut barang di pasar, diselingi menjadi kuli bangunan. Pada kesempatan lain mengayuh becak tak lama berganti menjadi tukang parkir jalanan, lalu kembali menggali sumur.
            Cap ”Sumber Agung Lancar” sengaja dipilih agar membias pada upayanya mengais nafkah dan menjaring rejeki. Dia selalu berharap agar hasil kerjanya menjadi sumber yang meluap, baik lembaran rupiah maupun semburan air sumur galiannya. Setelah airnya berhasil keluar diharapkan juga bisa lancar dan langgeng. Nomer ponselnya sangat pas dengan karakter usahanya, agar orang-orang mudah mengenal sekaligus mengingatnya. Akhiran ”…….77771” bukanlah kebetulan, tetapi memang dicarinya dengan upaya keras dari konter ke konter seantero Kalitidu hingga Cepu. Nomer itu haruslah bertuah atau mempunyai aura magis yang mengayomi pemegangnya. Joleno mendapat nomer itu atas kegigihannya menyimak kitab erek-erek’ yang dipinjamnya dari Nardi Kuncir. Nomer ”777” melambangkan pitulungan dari tiga arah, sedangkan ”71” adalah tafsir gambar sumur. Klop! Nama Nardi Kuncir muncul sebagai tokoh di sini, setelah Joleno. Selain mereka berdua ada lagi Hari Guru alias Hari Balung dan Dimun. Keempatnya mudah ditemui di warung kopi tepian lahan jati. Dari komunitas warung itu Joleno sering mendapat pesanan menggali sumur. Kalau sudah begitu dia mempersiapkan diri dan peralatannya sekaligus mengumpulkan anggota tim penggali sumur. Timnya berjumlah empat orang, dia dan tiga orang asisten, tetapi ketiganya jelas bukan Nardi, Hari dan Dimun. Kalau untuk urusan menggali sumur Joleno lebih suka mengajak adik ipar dan dua orang keponakannya. Kalau bersama Hari Balung dan dua koleganya itu jelas diajak nggladhak balung²). Area perburuan tulang dan batuan itu sepanjang aliran bengawan atau punden-punden di seputar bekas wilayah kadipaten Jipang Panolan masa lalu. Yang terngiang di telinga Joleno adalah ucapan khas sang maestro Hari Balung:
            ”Jaman sekarang anjing saja tak mau tulang, kamu manusia kok malah mengais-ngais tulang..”
            Kemarau ini sumur-sumur kerontang, air enggan keluar dari sumbernya. Joleno dan timnya kewalahan menerima permintaan untuk memperbaiki sumur, bahkan istrinya sendiri juga merengek minta sumurnya segera diperbaiki. Rasanya  semua tanah di kawasan Ngasem, Gayam Kalitidu dan sekitarnya sudah keropos. Minyak kandungannya disedot dari titik-titik lokasi yang mengandung minyak dan gas. Akibatnya air tanah pun menjadi langka, keseimbangan ekosistem terganggu. Bumi menangis, sawah-sawah pun meringis tak lagi berselimut hijau daun padi, palawija maupun tembakau dan pohon jati. Kondisi yang terpotret  dalam sajak Gampang Prawoto:

Kuthaku mabur ngawiyat
ilange keluk once mbako
nimbule crobong lenga.
                         
puser bumi manglung mangetan
kemrengseng swarane sedan
kalah seru swarane spatu lerekan
prag-prog, brag-brug
ngidak-idak lemah warisan
ngurug dalan wetune pangan
ngosak-asik pranatan
nyadhong dhuwit sewan
kamar.

puser bumi munggah
sakilan
dol-tinuku
sadalan-dalan, warung
warung cilik nawakake
sawah apa tegal, kanthi sewan
dadi simpenan utawa cara gadhen.

puser bumi mudhun
sakilan
banyu panguripan
wutah ing sadhengah papan
gumrojog, kemricik
kaya swarane lenga

sesidheman
klesak-klesik
mumpung bojomu mlebu awan
janjian.

puser bumi minger ngalor-ngetan
kalisari lawange tutupan
gandhul disangoni telung-yutan
widadari mabur saparan-paran
mula bapake arang mangan
icip pecel, njajal soto, imbuh rawon
wareg, ra kawruhan. -----------------  ³)

            Galian Joleno di pekarangan rumahnya sendiri sudah mencapai duabelas meter, tetapi belum ada tanda-tanda ditemukan setetes pun air. Kali ini dia mengerjakan sumur sendiri tanpa tim, karena memang tidak ada anggaran penunjangnya alias swadaya mandiri. Lokasi galiannya tepat di selatan “Museum 13”, bekas wc tua SDN Panjunan yang disulap Hari Balung menjadi gudang penampungan benda-benda purbakala seperti fosil gajah, rusa, kerbau, kerang, keong, keris, batu akik, batu nisan dan sebagainya.. Sudah berpindah dua titik penggalian membuat Joleno kehabisan semangat. Segenap kemampuannya dicurahkan untuk menyentuh permukaan air dalam tanah, tetapi masih gagal juga. Bak seorang pujangga, Joleno pun sebenarnya sudah menerapkan semacam mantera sebelum mengawali pekerjaannya, semacam ritual bubak-bumi 4) selamatan dan mohon berkah ridho Gusti Allah, Nabi Muhammad, Nabi Khidlir, Syeh Abdulkadir dan Sunan Kalijaga. Penggali sumur dalam hal menancapkan mata bor atau ganconya juga menggunakan langgam macapat 5) dalam arti maca papat-papat”nya. Dalam mengukur kedalaman galian menggunakan lonjoran 6)  pipa paralon yang panjangnya empat meter per lonjor 7) Jadi dengan mudah menghitung berapa kedalaman galian berdasarkan lonjoran pipa paralon yang sudah dimasukkan. Kalau tiga lonjor berarti sudah mencapai duabelas meter, hasil perkalian tiga kali empat meter.
            ”Bagaimana kang, bisa keluar pa nggak sumurku?” Parsiti –istrinya--  menyela penuh harap ketika Joleno beristirahat di bawah pohon mangga sembari mengusap keringat yang meleleh di dahinya. Joleno menghela nafas berat.
            ”Sabar ti.. kamu itu tinggal mateng saja kok cerewet. Aku ini juga sudah susah-payah menggali, tapi semua kan kembali pada nasib, keluar apa tidak nanti. Doakan sajalah, jangan ngrepoti dengan pertanyaanmu itu.”
            ”Tanya kok nggak boleh. Aku kan harus segera masak, mencuci dan mandi to kang.. Apa mau kalau aku lebus 8).” sambar Parsiti sambil berlalu kembali ke habitatnya, dapur.  Meski begitu sang suami masih menimpali:
            ”Sumurmu masih sempit, ti.. perlu waktu agar mata borku lancar menembus dasarnya..”
            Usai salat duhur Joleno melanjutkan pekerjaannya. Kali ini rencananya menambah satu lonjor lagi sebagai lonjor terakhir. Kalau sudah masuk berarti kedalaman galiannya tembus pada titik enambelas meter. Sepanjang karir Joleno rekor galian yang pernah dicapai sedalam duapuluh empat meter. Itupun masih perlu waktu dua hari untuk bisa mendapatkan air yang lancar dan jernih.
            Ketika mata bor menghunjam batu keras pada kedalaman tigabelas meter, Joleno tersentak. Dengan tiga kali hunjaman batu penghalang berhasil dipecahkan, tetapi tiba-tiba dari lubang pipa yang tersambung mata bor keluar cairan pekat bercampur lumpur. Semburan kecil tapi cukup kencang menerpa wajah Joleno, hingga tubuhnya terlontar ke belakang dan duduk terjerembab. Dalam beberapa detik semburan itu akhirnya melemah dan berhenti mengalir. Joleno segera bangkit dari posisinya, kemudian mengamat-amati cairan pekat sewarna tanah yang menempel di hidungnya. Dicium dan diraba-raba. Joleno terkesiap, dadanya berdegup kencang. Ini jelas:
”Minyak..!” gumamnya.
            Joleno terpaku sesaat, lalu mencari tempat duduk yang teduh di bawah pohon mangga. Pikirannya menerawang, berkelana ke mana-mana, membayangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
            ”Ah…bagaimana enaknya, ya? Parsiti diberitahu apa tidak? diumumkan kepada orang-orang apa tidak?”
            Hingga masuk waktu asar Joleno belum mengambil keputusan, justru bergegas menuju musola di halaman sekolah. Untung saja tak ada Hari Balung di museumnya, sehingga tak perlu repot mencari jawaban seandainya ditanya. Dia membersihkan badannya dengan air PDAM yang disalurkan ke kamar kecil samping musola. Setelah mandi dan mengambil wudlu Joleno berniat salat guna menenangkan pikirannya. Usai salat barulah dia beranjak pulang.
            Baru saja menginjak teras rumah sudah disambut sang isteri:
            ”Bagaimana kang?”
            ”Gagal, ti.. Lusa kita daftar PDAM saja. Aku mau pinjam uang mas guru.”
            ”Eeee.., yang dulu aja belum bisa bayar, sudah mau pinjam lagi..”
            ”Ya nggak papa.., mas guru kan nggak pernah nagih. Lagian, kebutuhan mas guru nggak keroyokan seperti kita. Paling cuma kebutuhan bensin seliter buat  nggladhak.”
            Usai magrib ada acara tahlilan di masjid dilanjutkan jamaah salat isak. Sepulang dari kegiatan rutin itu Joleno merebahkan diri di balai-balai teras rumahnya. Otak kanan dan kirinya dibiarkan berdialog, saling mengemukakan argumentasi mengenai galian sumur sore tadi.
”Sebaiknya kamu lapor saja kepada aparat, pasti akan dapat imbalan”
            ”Aaah.., jangan!, imbalan apa?  paling-paling cuma ucapan terima kasih. Kamu cuma diberi selembar kertas piagam.
            ”Ya tak mungkin begitu to.., kan mereka orang-orang penting dan pengambil keputusan yang bijaksana. Jelas malu kalau tak memberimu hadiah. Lagipula tanahmu akan diberi ganti-untung dengan harga tinggi. Kamu sebagai penemu sekaligus pemilik lahan, jadi dobel kan?”
            ”Tapi selama ini pemilik tanah kerap dirugikan.. Ah…tidak! Aku tidak akan menjual tanahku sampai kapan pun. Kalaupun sudah beroperasi, mereka pasti mengangkut hasil produksi minyak ke negara asalnya, sementara negeriku tetap miskin. Sebagai pemilik minyak mestinya mendapat bagian lebih dari mereka yang pekerja to? Sekarang aku mantap memutuskan:
’Tidaaaaak…!
(Keesokan harinya Joleno bergegas menutup rapi bekas galian sumurnya. Tak seorang pun boleh tahu, termasuk isterinya, apalagi Hari Guru. Kalau sampai mas guru tahu, pasti akan dipotret dan diunggah di facebook)#

*Inventarisasi makna:
1).  mencari air di luar rumah, lalu dibawa pulang.
2).  berburu tulang (=fosil).
3).  Gampang Prawoto dalam “Puser Bumi” (2013).
4).  membuka lahan untuk dibuat bangunan.
5).  salah satu jenis tembang Jawa.
6).  batangan.
7).  batang.
8).  tak sedap seperti bau kambing.

#  Sanggar Pakeliran, Grenjeng 30/11/2014

                                                                            *PSJB = Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro.
                                                            SAMMIN = Sanggar Membaca -Menulis Indonesia.

---oOo---
PENGIRIM :
Herry Abdi Gusti
(=Haryanto Abdoellah)
Grenjeng RT 002 RW 004 Ds.Sraturejo,
Baureno-Bojonegoro 62192
e-mail: haryanto_abd@yahoo.co.id
ponsel: 085646556656