Selasa, 08 Oktober 2013

Kekuatan Sastra

sastra-bojonegoro









Kekuatan Sastra, Sebagai Benteng Kultur Lokal di Tengah Era global*
Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti kajian buku di Sindikat Baca – salah satu komunitas penggerak literasi di Bojonegoro - kebetulan yang dibicarakan pada saat itu adalah novel Bukan Pasar Malam karya Pramodya Ananta Toer. Seorang tokoh fenomenal, sastrawan nasional terkenal bahkan sudah meng-internasional. Karya-karyanya sering dibedah, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam kegiatan tersebut – kebanyakan yang datang adalah mahasiswa - ada diskusi panjang tentang sastra. Di tengah-tengah diskusi, muncul sebuah pertanyaan; apakah sastra bisa memberi perubahan positif pada masyarakat ? Menanggapi pertanyaan itu, seorang kawan di samping saya ikut menambahkan bahwa sastra menurutnya hanya membuat pembaca melambungkan hayali (angan-angan) belaka. Karenanya dia tidak begitu tertarik pada dunia sastra. Menanggapinya, saya katakan bahwa kalau itu yang ditangkap adalah nilai hayali atau hayalannya saja mungkin ada benarnya. Apalagi jika dia seorang intlektual atau mahasiswa. Sebagaimana dikatakan Gunnar Myrdal “Kepercayaan seorang mahasiswa ialah keyakinanya pada kebenaran itu adalah segala-galanya dan bahwa khayalan itu merusak, terutama khayalan-khayalan yang oportunistis”[1].
Tetapi berbicara sastra tidak sesederhana itu tentunya. Ada sejarah panjang tentang pertarungan dan kritik pada sastra itu sendiri. Seperti yang dikisahkankan oleh Gunawan Muhammad dalam bukunya Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2005). Dalam bukunya tersebut ia menceritakan bagaimana pertarungan hebat sastrawan nasional terkemuka pernah terjadi pada pasca kemerdekaan. Yakni pada masa demokrasi terpimpin waktu itu. Pertarungan dan kritik sastra dimulai dari Pramodya Ananta Toer yang menyerang-mengkritik habis beberapa karya sastra yang waktu itu dimuat di majalah Sastra saat itu. Ia menuduh beberapa sastrawan anti-revolusi, menganggap tulisan-tulisan mereka telah berpihak pada the perspiring and toiling masses, pro-Barat, dan lain sebagainya. Puncak dari konfrontasi tersebut adalah dilarangnya Manifestasi Kebudayaan 8 Mei 1964. Ada pula tokoh sastra pada saat itu yang sampai masuk penjara, dan ada yang harus menandatangani noktah permintamaafan pada Pimpinan Besar revolusi, yakni Presiden Soekarno sendiri.
Begitu juga pada masa pasca reformasi, terjadi pula polemik sastra, seperti yang terjadi pada Taufik Ismail versus Hudan Hidayat, dkk. Taufik Ismail dalam pidatonya di depan Akademi Jakarta (2006) menyerang beberapa sastrawan yang mengumbar seksualitas, vulgar dan nakal dengan sebutan GSM (Gerakan syahwat merdeka) atau FAK (Fiksi Alat Kelamin). Menurutnya, gerakan mereka akan mendistorsi/mengikis ahbis budaya malu. Selain itu juga, masih menurutnya, gerakan itu ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, serta disokong kapitalisme dunia. Serangat maut Taufik Ismail ini kemudian dijawab oleh Hudan Hidayat dalam artikelnya dengan argumentatif-logis. Katanya, “ Tuhan itu lebih "nakal" dari Taufik Ismail. Dalam sebuah ayat dari surat-Nya (QS 7 ayat 22), Tuhan Yang Maha Imajinatif menggambarkan Adam dan Hawa telanjang, setelah melanggar "aturan main". Begitu salah satu pembelaannya.
Saya tidak ingin terlalu jauh membahas polemik tersebut, kenyataannya bahwa sastra mengandung falsafah moral dan karakteristik yang berbeda-beda dan tersembunyi di balik jubah para penulisnya. Sastra, seperti dikatakan oleh kalangan pemerhati sastra bahwa merupakan gambaran kehidupan. Ia adalah cerminan kehidupan yang seringkali disumberkan dari kenyataan sosial. Karena bersumbernya dari kenyataan social itulah, sastra bisa dipandang sebagai “kebenaran” penggambaran atau yang digambarkan oleh si-penulis. Kebenaran itu meliputi nilai-nilai humanisme, releguitas, social-budaya, meski kadang nilai-nilai tersebut dikemas dalam bentuk kiasan-kiasan.
Ada beberapa karya sastra yang menghebohkan bahkan memberi sumbangan pengaruh pada paradigma masyarakat, bahkan menembus dimensi social-politik. Seperti novel Max Havelar karya Eduard Douwes dengan nama samara Multatuli. Novel ini dikatakan bisa menghebohkan parlemen pemerintahan Belanda waktu itu karena kekejaman penjajahan pada penduduk pribumi di wilayah Hindia Belanda (Selanjutnya bernama Indonesia) dilukiskan dalam novel tersebut. Potret dari kemiskinan dan kesadisan penjajah ini, kemudian melahirkan sebuah perubahan politik yang dikenal dengan sebutan ‘politik etis’. Meski kemudian politik etis ini tidak sesuai dengan harapan awal perintisannya. Namun keberadaan novel itu telah menjadi perhatian beberapa kalangan.
Selanjutnya ada novel “Djalan Tak Ada ujung” karya Mochtar lubis, “Tjerita dari Blora” karya Pramodya Ananta Toer, mampu menjadi bacaan penting yang dapat menginspirasi semangat revolusi mahasiswa, sebagaimana yang tergambar dari catatan Soe Hok Gie. Ada pula novel Zaratustra karya Nietzse, dan masih banyak lagi karya-karya sastra yang menjadi rujukan dalam sumbangsihnya bagi pengembangan falsafah moral, nilai-nilai social-politik dan lain-lain. Bahkan tidak kurang beberapa aktifis kemanusiaan, seperti feminisme-gender memperjuang nilai-nilai tersebut melalui sastra, baik novel, puisi maupun yang lainnya.
Sastra Lokal Bojonegoro Sebagai Solusi di Tengah Globalisasi ?
Di tengah kekhawatiran adanya akulturasi budaya asing di Bojonegoro, sebagai konsekuensi dari dampak geliat industrialisasi-globalisasi, maka perlu ada upaya strategis-praktis guna mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada. Globalisasi, sebagimana dikatakan oleh Francis Wahono Nitiprawiro, bahwa secara bahasawi dapat didefinisikan sebagai proses menjadikannya satu bumi, satu dunia. Akan tetapi, karena selain dari tatanan bahasa, globalisasi sebagai konsep juga dicetuskan oleh berbagai tatanan lain yang saling terkait, seperti ekonomi, politik-ideologi, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya maka globalisasi memiliki berbagai pengertian (Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 2000).
Masih menurutnya, sebagai pengertian budaya, globalisasi tidak hanya merupakan harmonisasi ide-ide dan norma-norma, seperti pluralitas keberagaman, hak asasi, namun juga gaya hidup konsumerisme dan pornografi.proses demikian merupakan gerakan menuju kewargaan dunia universal yang melampui batas-batas kebangsaan.[2]
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa globalisasi berpotensi melemahkan ikatan-ikatan tradisional dan menimbulkan benturan nilai-nilai, khususnya humanitas masyarakat Bojonegoro yang masih kental. Begitu juga pergeseran otonomi individualistik diperkirakan makin besar. Bagi kalangan tertentu, hal ini mungkin bukan suatu ancaman, karena telah dibekali edintitas cultural yang kuat. Lantas bagi kaum awam, khususnya kaum muda dan ABG (Anak Baru Gede) yang masih labil dan gampang terpengaruh.
Sebagai bentuk pewaspadaan dini atas bakal terbentuknya ‘redefinisi budaya’ dan masyarakat terbuka, dunia sastra yang disebut sebagai roh kebudayaan, menurut saya memiliki andil besar dalam beberapa hal. Pertama, menjaga nilai/etika, atau humanitas lokal. Dikatakan oleh Plato bahwa sastra merupakan mimesis, yaitu tiruan realita[3]. Sehingga dengan begitu, perlu ada gerakan bersama – khususnya bagi yang berkecimpung di dunia sastra – dalam mewujudkan karya sastra berbasis lokalitas. Realita - seperti tatanan nilai/etika, historis, setting lokasi, hendaknya di-copy dalam perwujudan sastra berbasis daerah ini. Butuh perjuangan serius memang. Termasuk kesadaran penuh dari lembaga-lembaga pendidikan sastra baik formal maupun non-formal, pemerintah daerah, akademisi dan masyarakat umum. Dibutuhkan pula ruang/media publikasi luas dan mudah dijangkau. Kegiatan yang sifatnya kampanye budaya terus ditingkatkan, dan lain-lain.
Kedua, mengglobalkan nilai lokalitas Bojonegoro. Seperti yang dijelas di atas, bahwa globalisasi menciptakan tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa melewati batas-batas ideologis, geografis, social politik. Dengan begitu, melalui dunia sastra potret kehidupan – meliputi social-budaya, politik, sejarah, dan sumberdaya daerah bisa jadi ikut terbawa dalam ruang globalitas. Meski ini terkesan muluk-muluk, dalam ranah jangka panjang musti harus dipikirkan. Sebagaimana karya-karya Pramodya Ananta Toer, ternyata mendapat pengakuan dunia internasioanal.
Ketiga, sebagi benteng dari keterasingan identitas dan karakter masyarakat lokal. Di tengah-tengah modernitas saat ini, saya memandang ada keasingan pada identitas atau jati diri ke-Indonesiaan kita. Bukannya saya tidak suka, tapi saya melihat – khususnya pemuda – lebih terobsesi meniru gaya atau tren luar negeri. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran, apa jadinya jika identitas ke-Indonesiaan kita mulai luntur ?
Demikian sebatas pemikiran yang saya buat sebagai refleksi atas pergeseran nilai dan keterasingan identitas masyarakat terhadap nilai-nilai local wisdom. Semoga bermanfaat.

*Aw. Abde Negara
Tukang Sapu di Sindikat Baca !
& Mahasiswa STIE Cendekia Bojonegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar