sastra-bojonegoro
Kekuatan Sastra, Sebagai Benteng Kultur Lokal di Tengah Era global*
Beberapa
hari yang lalu, saya mengikuti kajian buku di Sindikat Baca – salah
satu komunitas penggerak literasi di Bojonegoro - kebetulan yang
dibicarakan pada saat itu adalah novel Bukan Pasar Malam karya Pramodya Ananta Toer. Seorang tokoh fenomenal, sastrawan nasional terkenal bahkan sudah meng-internasional. Karya-karyanya sering dibedah, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam kegiatan tersebut – kebanyakan yang datang adalah mahasiswa - ada diskusi panjang tentang sastra. Di tengah-tengah diskusi, muncul sebuah pertanyaan; apakah sastra bisa memberi perubahan positif pada masyarakat ?
Menanggapi pertanyaan itu, seorang kawan di samping saya ikut
menambahkan bahwa sastra menurutnya hanya membuat pembaca melambungkan
hayali (angan-angan) belaka. Karenanya dia tidak begitu tertarik pada
dunia sastra. Menanggapinya, saya katakan bahwa kalau itu yang ditangkap
adalah nilai hayali atau hayalannya saja mungkin ada benarnya. Apalagi
jika dia seorang intlektual atau mahasiswa. Sebagaimana dikatakan Gunnar
Myrdal “Kepercayaan seorang mahasiswa ialah keyakinanya pada kebenaran
itu adalah segala-galanya dan bahwa khayalan itu merusak, terutama
khayalan-khayalan yang oportunistis”[1].
Tetapi
berbicara sastra tidak sesederhana itu tentunya. Ada sejarah panjang
tentang pertarungan dan kritik pada sastra itu sendiri. Seperti yang
dikisahkankan oleh Gunawan Muhammad dalam bukunya Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
(2005). Dalam bukunya tersebut ia menceritakan bagaimana pertarungan
hebat sastrawan nasional terkemuka pernah terjadi pada pasca
kemerdekaan. Yakni pada masa demokrasi terpimpin waktu itu. Pertarungan
dan kritik sastra dimulai dari Pramodya Ananta Toer yang
menyerang-mengkritik habis beberapa karya sastra yang waktu itu dimuat
di majalah Sastra saat itu. Ia menuduh beberapa sastrawan anti-revolusi, menganggap tulisan-tulisan mereka telah berpihak pada the perspiring and toiling masses, pro-Barat, dan lain sebagainya. Puncak dari konfrontasi tersebut adalah dilarangnya Manifestasi Kebudayaan 8 Mei 1964. Ada pula tokoh
sastra pada saat itu yang sampai masuk penjara, dan ada yang harus
menandatangani noktah permintamaafan pada Pimpinan Besar revolusi, yakni
Presiden Soekarno sendiri.
Begitu juga pada masa pasca reformasi, terjadi pula polemik sastra, seperti yang terjadi pada Taufik Ismail versus
Hudan Hidayat, dkk. Taufik Ismail dalam pidatonya di depan Akademi
Jakarta (2006) menyerang beberapa sastrawan yang mengumbar seksualitas,
vulgar dan nakal dengan sebutan GSM (Gerakan syahwat merdeka) atau FAK
(Fiksi Alat Kelamin). Menurutnya, gerakan mereka akan
mendistorsi/mengikis ahbis budaya malu. Selain itu juga, masih
menurutnya, gerakan itu ideologinya neo-liberalisme, pandangannya
materialistik, serta disokong kapitalisme dunia. Serangat maut Taufik
Ismail ini kemudian dijawab oleh Hudan Hidayat dalam artikelnya dengan
argumentatif-logis. Katanya, “ Tuhan itu lebih "nakal" dari Taufik
Ismail. Dalam sebuah ayat dari surat-Nya (QS 7 ayat 22), Tuhan Yang Maha
Imajinatif menggambarkan Adam dan Hawa telanjang, setelah melanggar
"aturan main". Begitu salah satu pembelaannya.
Saya
tidak ingin terlalu jauh membahas polemik tersebut, kenyataannya bahwa
sastra mengandung falsafah moral dan karakteristik yang berbeda-beda dan
tersembunyi di balik jubah para penulisnya. Sastra, seperti dikatakan
oleh kalangan pemerhati sastra bahwa merupakan
gambaran kehidupan. Ia adalah cerminan kehidupan yang seringkali
disumberkan dari kenyataan sosial. Karena bersumbernya dari kenyataan
social itulah, sastra bisa dipandang sebagai “kebenaran” penggambaran
atau yang digambarkan oleh si-penulis. Kebenaran itu meliputi
nilai-nilai humanisme, releguitas, social-budaya, meski kadang
nilai-nilai tersebut dikemas dalam bentuk kiasan-kiasan.
Ada
beberapa karya sastra yang menghebohkan bahkan memberi sumbangan
pengaruh pada paradigma masyarakat, bahkan menembus dimensi
social-politik. Seperti novel Max Havelar karya Eduard Douwes dengan
nama samara Multatuli. Novel ini dikatakan bisa menghebohkan parlemen
pemerintahan Belanda waktu itu karena kekejaman penjajahan pada penduduk
pribumi di wilayah Hindia Belanda (Selanjutnya bernama Indonesia)
dilukiskan dalam novel tersebut. Potret dari kemiskinan dan kesadisan
penjajah ini, kemudian melahirkan sebuah perubahan politik yang dikenal
dengan sebutan ‘politik etis’. Meski kemudian politik etis ini tidak
sesuai dengan harapan awal perintisannya. Namun keberadaan novel itu
telah menjadi perhatian beberapa kalangan.
Selanjutnya ada novel “Djalan Tak Ada ujung” karya Mochtar lubis, “Tjerita dari Blora”
karya Pramodya Ananta Toer, mampu menjadi bacaan penting yang dapat
menginspirasi semangat revolusi mahasiswa, sebagaimana yang tergambar
dari catatan Soe Hok Gie. Ada pula novel Zaratustra karya Nietzse, dan
masih banyak lagi karya-karya sastra yang menjadi rujukan dalam
sumbangsihnya bagi pengembangan falsafah moral, nilai-nilai
social-politik dan lain-lain. Bahkan tidak kurang beberapa aktifis
kemanusiaan, seperti feminisme-gender memperjuang nilai-nilai tersebut
melalui sastra, baik novel, puisi maupun yang lainnya.
Sastra Lokal Bojonegoro Sebagai Solusi di Tengah Globalisasi ?
Di
tengah kekhawatiran adanya akulturasi budaya asing di Bojonegoro,
sebagai konsekuensi dari dampak geliat industrialisasi-globalisasi, maka
perlu ada upaya strategis-praktis guna mempertahankan nilai-nilai
kearifan lokal yang sudah ada. Globalisasi, sebagimana dikatakan oleh
Francis Wahono Nitiprawiro, bahwa secara bahasawi dapat didefinisikan
sebagai proses menjadikannya satu bumi, satu dunia. Akan tetapi, karena
selain dari tatanan bahasa, globalisasi sebagai konsep juga dicetuskan
oleh berbagai tatanan lain yang saling terkait, seperti ekonomi,
politik-ideologi, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya maka
globalisasi memiliki berbagai pengertian (Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 2000).
Masih
menurutnya, sebagai pengertian budaya, globalisasi tidak hanya
merupakan harmonisasi ide-ide dan norma-norma, seperti pluralitas
keberagaman, hak asasi, namun juga gaya hidup konsumerisme dan
pornografi.proses demikian merupakan gerakan menuju kewargaan dunia
universal yang melampui batas-batas kebangsaan.[2]
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa globalisasi berpotensi melemahkan
ikatan-ikatan tradisional dan menimbulkan benturan nilai-nilai,
khususnya humanitas masyarakat Bojonegoro yang masih kental. Begitu juga
pergeseran otonomi individualistik diperkirakan makin besar. Bagi
kalangan tertentu, hal ini mungkin bukan suatu ancaman, karena telah
dibekali edintitas cultural yang
kuat. Lantas bagi kaum awam, khususnya kaum muda dan ABG (Anak Baru
Gede) yang masih labil dan gampang terpengaruh.
Sebagai
bentuk pewaspadaan dini atas bakal terbentuknya ‘redefinisi budaya’ dan
masyarakat terbuka, dunia sastra yang disebut sebagai roh kebudayaan,
menurut saya memiliki andil besar dalam beberapa hal. Pertama, menjaga nilai/etika, atau humanitas lokal. Dikatakan oleh Plato bahwa sastra merupakan mimesis, yaitu tiruan realita[3].
Sehingga dengan begitu, perlu ada gerakan bersama – khususnya bagi yang
berkecimpung di dunia sastra – dalam mewujudkan karya sastra berbasis
lokalitas. Realita - seperti tatanan nilai/etika, historis, setting
lokasi, hendaknya di-copy dalam perwujudan sastra berbasis daerah ini.
Butuh perjuangan serius memang. Termasuk kesadaran penuh dari
lembaga-lembaga pendidikan sastra baik formal maupun non-formal,
pemerintah daerah, akademisi dan masyarakat umum. Dibutuhkan pula
ruang/media publikasi luas dan mudah dijangkau. Kegiatan yang sifatnya
kampanye budaya terus ditingkatkan, dan lain-lain.
Kedua, mengglobalkan
nilai lokalitas Bojonegoro. Seperti yang dijelas di atas, bahwa
globalisasi menciptakan tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa melewati
batas-batas ideologis, geografis, social politik. Dengan begitu,
melalui dunia sastra potret kehidupan – meliputi social-budaya, politik,
sejarah, dan sumberdaya daerah bisa jadi ikut terbawa dalam ruang
globalitas. Meski ini terkesan muluk-muluk, dalam ranah jangka panjang
musti harus dipikirkan. Sebagaimana karya-karya Pramodya Ananta Toer,
ternyata mendapat pengakuan dunia internasioanal.
Ketiga,
sebagi benteng dari keterasingan identitas dan karakter masyarakat
lokal. Di tengah-tengah modernitas saat ini, saya memandang ada
keasingan pada identitas atau jati diri ke-Indonesiaan kita. Bukannya
saya tidak suka, tapi saya melihat – khususnya pemuda – lebih terobsesi
meniru gaya atau tren luar negeri. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran,
apa jadinya jika identitas ke-Indonesiaan kita mulai luntur ?
Demikian
sebatas pemikiran yang saya buat sebagai refleksi atas pergeseran nilai
dan keterasingan identitas masyarakat terhadap nilai-nilai local wisdom. Semoga bermanfaat.
*Aw. Abde Negara
Tukang Sapu di Sindikat Baca !
& Mahasiswa STIE Cendekia Bojonegoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar