Rasa Lapar
Sebuah Catatan
Dwi Klik Santosa
Pada awalnya adalah perut yang lapar. Meski panitia seperti tak kurang
atau bahkan memanjakan, namun toh masih saja, bunyi-bunyian dari ranah
yang entah ini minta diisi. Dan begitulah, jika dulu Rendra menuliskan
sajak panjang "Disebabkan oleh Angin", sajak kangen yang ditulisnya di
tahun-tahun gelap Indonesia. Betapa sejarah kita mencatat tahun
1964-1965? Dan dalam sepinya, di negerinya Paman Sam, pemuda usia 30
tahun itu menuliskan sajak itu demi kangen perasaannya kepada para
sahabat: Soe Hok Gie, Soe Hok Djin, Nashar, dan Goenawan Mohamad
mungkin. Kangen itu sebuah laparkah?
Dan demi sepincuk sate
ayam bagiku dan sepiring nasi goreng bagi teman-teman yang memesannya.
Bahkan sempat diusir gerimis. Toh muncrat juga umpat sohib Raka
Mahendra, "Diaancuukkk ... tak glebakna sisan
gerobake." Jeda pun mengalir 2 jam tak terasa, ngobrol ngalor ngidul.
Ngrasani soal yang berbau-bau dan nyerempet-nyerempet sastralah
pokoknya. Hingga pada akhirnya pesanan makanan itu sampai dan ludas, dan
menyebabkan tak habis pikir bagiku. Siapa yang bayar?
"Tugas
sastrawan itu berkarya saja," begitu kata-kata sohib Agus Warsono dari
Indramayu mengiang jelas di telingaku. Sekamar di nomer 530, betapa
penyair yang pendiam dalam prasangka saya ini, ternyata menyimpan granat
dengan daya hulu ledak yang dahsyat. Sejujurnya, sejak mendengar
kredonya itu, sampai sekarang masih mengiang kata-kata itu di telinga
batin saya. Bahkan di luar itu, mengenal pribadi yang lucu tapi
misterius itu, semakin menambah penasaran saja. Bahkan pada akhirnya,
saya sadar bahwa dialah pula yang bayar sepincuk sate yang saya lahap
pada dingin dan gerimis malam itu.
"Ciri-ciri perempuan
sastrawan itu ada tanda-tanda kecantikan, pintar, ada bekas berfikir di
dahinya, merokok dan bernampilan sedikit aneh."
Nah, ia memang
pulang lebih dulu, bahkan barangkali lebih pagi daripada teman-teman
yang pada hari hari pertama itu telat bangun karena alasan begadang.
Tapi, toh, masih berusaha ia memberiku bahan melalui sms ....
Lapar. Begitulah, saya rasakan, dingin malam itu, satu per satu mampu
melesakkan pemahaman saya tentang sosok-sosok dan pengertian.
Pribadi-pribadi yang unik. Yang rela melek hingga menjelang subuh ....
dan berani menelanjangi diri sendiri, kiranya menjawab : apa itu sastra?
dan akukah sastrawan? ...
--foto; Raka Mahendra --
— bersama
Dwi Klik Santosa
Pada awalnya adalah perut yang lapar. Meski panitia seperti tak kurang atau bahkan memanjakan, namun toh masih saja, bunyi-bunyian dari ranah yang entah ini minta diisi. Dan begitulah, jika dulu Rendra menuliskan sajak panjang "Disebabkan oleh Angin", sajak kangen yang ditulisnya di tahun-tahun gelap Indonesia. Betapa sejarah kita mencatat tahun 1964-1965? Dan dalam sepinya, di negerinya Paman Sam, pemuda usia 30 tahun itu menuliskan sajak itu demi kangen perasaannya kepada para sahabat: Soe Hok Gie, Soe Hok Djin, Nashar, dan Goenawan Mohamad mungkin. Kangen itu sebuah laparkah?
Dan demi sepincuk sate ayam bagiku dan sepiring nasi goreng bagi teman-teman yang memesannya. Bahkan sempat diusir gerimis. Toh muncrat juga umpat sohib Raka Mahendra, "Diaancuukkk ... tak glebakna sisan gerobake." Jeda pun mengalir 2 jam tak terasa, ngobrol ngalor ngidul. Ngrasani soal yang berbau-bau dan nyerempet-nyerempet sastralah pokoknya. Hingga pada akhirnya pesanan makanan itu sampai dan ludas, dan menyebabkan tak habis pikir bagiku. Siapa yang bayar?
"Tugas sastrawan itu berkarya saja," begitu kata-kata sohib Agus Warsono dari Indramayu mengiang jelas di telingaku. Sekamar di nomer 530, betapa penyair yang pendiam dalam prasangka saya ini, ternyata menyimpan granat dengan daya hulu ledak yang dahsyat. Sejujurnya, sejak mendengar kredonya itu, sampai sekarang masih mengiang kata-kata itu di telinga batin saya. Bahkan di luar itu, mengenal pribadi yang lucu tapi misterius itu, semakin menambah penasaran saja. Bahkan pada akhirnya, saya sadar bahwa dialah pula yang bayar sepincuk sate yang saya lahap pada dingin dan gerimis malam itu.
"Ciri-ciri perempuan sastrawan itu ada tanda-tanda kecantikan, pintar, ada bekas berfikir di dahinya, merokok dan bernampilan sedikit aneh."
Nah, ia memang pulang lebih dulu, bahkan barangkali lebih pagi daripada teman-teman yang pada hari hari pertama itu telat bangun karena alasan begadang. Tapi, toh, masih berusaha ia memberiku bahan melalui sms ....
Lapar. Begitulah, saya rasakan, dingin malam itu, satu per satu mampu melesakkan pemahaman saya tentang sosok-sosok dan pengertian. Pribadi-pribadi yang unik. Yang rela melek hingga menjelang subuh .... dan berani menelanjangi diri sendiri, kiranya menjawab : apa itu sastra? dan akukah sastrawan? ...
--foto; Raka Mahendra --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar