sastra.bojonegoro.blogspot.com
Pengumuman Hadiah Sastra “Rancage” 2014
Keputusan
Hadiah
Sastera “Rancagé” 2014
Alhamdulilah atas rido
Allah SWT dan bantuan berbagai pihak yang menaruh perhatian
terhadap perkembangan bahasa dan sastera ibu insya Allah Hadiah Sastera
“Rancage” 2014 akan diberikan untuk sastera Sunda buat
yang ke-26 kalinya, untuk sastera Jawa buat ke-21
kalinya, untuk sastera Bali buat yang ke-18 kalinya dan untuk sastera
Lampung buat keempat kalinya. Selain untuk
sastera Lampung untuk sastera Sunda, Jawa
dan Bali, Hadiah Sastera “Rancagé” diberikan setiap tahun tanpa
lowong, artinya diberikan saban tahun. Dalam bahasa
Lampung tidak setiap tahun ada buku terbii, sehingga
Hadiah Sastera “Rancagé” tidak bisa diberikan setiap
tahun. Tahun 2013 yang lalu terbit dua judul buku dalam bahasa Lampung,
sehingga tahun ini ada Hadiah Sastera “Rancagé” untuk sastera Lampung.
Yayasan
Kebudayaan “Rancagé” menerima buku-buku dalam bahasa Madura
dan bahasa Banjar terbitan tahun 2013. Dua judul buku bahasa Madura semuanya
kumpulan puisi, dan keduanya ditulis oléh seorang penyair yaitu Yayan
K.S. Kejhung Aghung merupakan kumpulan sajak modéren dalam
bahasa Madura dan Puisi Jhâpamerupakan puisi mantera dalam bahasa
Madura. Kecuali itu ada kiriman buku kumpulan sajak dalam bahasa
Banjar Sisigan Sungai karya Abdurrahman El Husaini. Tahun 2012
Yayasan “Rancagé” juga mendapat kiriman dua judul buku kumpulan
sajak dalam bahasa Banjar, yaitu Jukung Waktu dan Do’a
Banyu Mata keduanya karya Abdurrahman El-Husaini juga.
Seperti pernah kami sampaikan, Hadiah Sastera “Rancagé” baru diberikan kepada
karya dalam bahasa ibu selain Sunda, Jawa, Bali dan Lampung, kalau penerbitan
buku dalam bahasa tersebut berlangsung tidak putus selama tiga
tahun. Maka untuk buku dalam bahasa Banjar dan Madura – begitu juga
dalam bahasa Batak – tahun ini belum dapat diberikan Hadiah Sastera
“Rancagé”.
Hadiah
Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Sunda
Dalam
tahun 2013 buku sastera bahasa Sunda dan bacaan
anak-anak yang terbit ada 42 judul, yaitu 27 judul buku
baru dan 15 judul merupakan cétak-ulang. Seperti
biasa buku cétak ulang, karya bersama dan karya Ajip Rosidi tidak
masuk hitungan, artinya tidak dipertimbangkan untuk mendapat Hadiah “Rancagé”. Lebih
sedikit dari buku yang terbit tahun sebelumnya (ada 68 judul).
Penerbit yang menerbitkan buku bahasa Sunda dalam tahun 2013 kian banyak.
Selain Kiblat Buku Utama yang menerbitkan 17 judul, ada Geger Sunten
(5 judul), Green Smart Books Publishing (4 judul), TBM Nurul Huda (4 judul),
Pustaka Jaya (3 judul), Wisata Literasi (3 judul), Studio Titik Dua
(1 judul), Rak Buku (1 judul), MSB Publishing (1 judul), dan Galeri Padi (1
judul). Dua judul diterbitkan oléh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Pemda Jawa Barat.
Dari 27
judul buku baru ada sebuah yang merupakan terjemahan (Si Démplon karya
Guy de Maupassant diterjemahkan oléh Duduh Durahman). Dari 26 judul karya
asli, satu berupa ésai berjudulWanoh ka Lakuning Jagat yang
ditulis oléh Adjat Sudradjat, guru besar géologi dan vulkanologi Universitas
Padjadjaran. Buku-buku lainnya berupa fiksi: Berlian : 11 carpon
wanoja (karya bersama), Boa-boa karya Irianto; Wayahna karya
Irianto, Tunggu Hujankarya Irianto, Nunang Nunaning karya
Irianto, Lalakon Awon karya Godi Suwarna, Ronggéng
Sajajagat karya Ahmad Bakri, Lalaki na Tungtung Peuting karya
Tiktik Rusyani, Londok karya Hérmawan Aksan, Randa Ték
Dungkarya Muryana Surya Atmaja dan Nénéng Sumarni, Bulan Buleud
dina Jandéla karya Dudung Ridwan, Kalakay karya Dény
Riaddy, A Liong karya Nyi Roro, Kumaha Aing Wéh karya
@KumahaAingWéh, Srie Sunarsasi karya Enas Mabarti, Kabungbulengan karya
H.D. Bastaman, Sabalakana karya Dadan Sutisna,Tariking
Angin karya Godi Suwarna, Katumbiri: Antologi Sajak Sunda diédit
oléh Téddi Muhtadin, Hariweusweus Leuweung Pineuskarya Arom Hidayat
dan Titimangsa: 68 Sajak Alit karya Abdullah
Mustappa.
Setelah
semuanya dipertimbangkan ada dua judul yang masuk nominasi, ialah roman Sabalakana karya
Dadan Sutisna dan kumpulan sajak Titimangsa: 68 Sajak Alit karya
Abdullah Mustappa.
Roman Sabalakana yang
tebalnya 344 halaman itu dibuka dengan adegan tokoh Santana berada di
puncak bukit pada senja muram dan hujan deras untuk mendekami
kuburan Rastiti, bakal isterinya yang téwas terbunuh
beberapa jam menjelang nikah. Sejak awal pengarang sudah mampu
membetot pembaca untuk terus masuk ke jalan cerita yang dibangun dengan bahasa
ritmis, teratur panjang péndéknya kalimat.
Adegan
pembunuhan hanyalah bagian dari rangkaian cerita yang dibangun pengarang untuk
mengungkapkan inti cerita, yaitu tentang orang-orang yang bersikap terus-terang
mengungkapkan apa yang dilakukan dan diketahuinya. Namun justru sikap demikian
dianggap berbahaya oléh rezim penguasa dan orang-orang itu
harus dikucilkan dengan cara dikandangkan dalam sebuah bangsal.
Sabalakana mempunyai kekuatan psikologis,
memiliki rasionalisasi baik dalam setiap adegan maupun latar belakang timbulnya
adegan seperti dalam perkelahian Aki Médi dan Olot Dayat yang cukup dramatis
karena dilatar-belakangi politik, yaitu perebutan tahta kepala désa.
Agak sulit
untuk menentukan siapa sebenarnya tokoh utama dalam Sabalakana.
Selain banyak sekali nama tokoh, beberapa tokoh cukup kuat perwatakannya. Untuk
menyebut Santana sebagai tokoh utama, kita juga melihat watak dan peran Unang
Kédi, sahabat Santana sejak kecil yang kemudian menjadi Lebé. Rastiti yang
muncul di permulaan cerita sehingga menimbulkan kesan bahwa dialah tokoh utama,
namun ternyata setelah terbunuh, adiknyalah, Gayatri, yang lebih banyak
perannya. Kalau mau dibilang ada kelemahan maka banyaknya nama tokoh itu salah
satunya, sehingga membuat pembaca “barieukeun”. Di samping mungkin karena mau
segera terbit, terdapat kalimat-kalimat yang ceroboh seperti “meureun cék nu
batur” (h.167), kata ”nu” seharusnya tidak ada. Pada hal. 270
kalimat “Geuning siga teu jagjag belejag euy?” yang bisa menimbulkan gangguan
pada kontéks cerita. Seharusnya kata “teu” tidak ada.
Sajak-sajak
Abdullah Mustappa dalam Titimangsa : 68 Sajak Alit,
sesuai dengan judulnya merupakan sajak-sajak péndék. Sajak terpanjang terdiri
atas 8 larik/5 bait, dan yang terpéndék hanya satu larik. Selain judul
kumpulan, setiap sajak hanya ditandai dengan angka dari 1
sampai 68. Jika melihat bahwa penyair lahir pada tahun 1945, maka angka 68 itu
bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-68. Oléh karena
itu sajak-sajak dalam Titimangsa itu dapat dianggap sebagai
surat tentang ésénsi kehidupan penyair yang disampaikannya secara simbolis
kepada Aam Amilia, isterinya (lihat kolom persembahan pada halaman 2).
Dibuka
dengan sajak nomor 1 yang menegaskan secara simbolis bahwa asal kehidupan
itu seperti aksara yang menjadi kata lalu tersusun menjadi kalimat yang terus
bertambah banyak dan ditutup dengan sajak nomor 68 yang menandaskan
bahwa suratnya terléwat belum diberi titik dan di bawahnya
pun belum ditandatangani – yang menginformasikan bahwa harapan masih
panjang, lakonnya belum tamat. Pada sajak nomor 2 sampai 67
tergambar berbagai rasa kehidupan baik yang manis maupun yang
pahit, baik yang nyata maupun yang khayali.
Sajak-sajak
Abdullah sederhana dan mudah dimengerti namun mengandung makna yang dalam
dan luas. Seperti yang terlukis pada sajak nomer 65:
“nété sigay noong lodong / kalah langit nu katémbong”. Tiada kata-kata
yang anéh, tak ada métafora yang dibuat-buat, sajak Abdullah
Mustappa péndék-péndék, tapi tidak selesai sampai
di situ. Bayangan maksudnya memanjang dalam ingatan, karena yang
menjadi pusat perhatiannya adalah inti kehidupan manusia yang
universal, seperti harapan, keraguan, kekhawatiran dan keyakinan.
Maka setelah
dipertimbangkan dengan matang yang terpilih untuk mendapat Hadiah
Sastera “Rancage” 2014 buat karya dalam sastera Sunda
adalah
Titimangsa:
68 Sajak Alit
Karya
Abdullah Mustappa
Terbitan
Kiblat Buku Utama, Bandung
Kepada
Abdullah Mustappa sebagai pengarang Titimangsa : 68 Sajak
Alit akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancage” 2014
buat karya berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta). Sebelumnya Abdullah
pernah menerima Hadiah Sastera “Rancage” untuk jasa (2006).
Sedangkan
yang terpilih untuk menerima Hadiah
Sastera “Rancagé” sastra Sunda 2014 buat
jasa adalah
Manglé
Majalah
basa Sunda mulai terbit tahun 1957
Alamat:
Jalan Lodaya 19, Bandung 40262
Majalah Manglé,
walaupun menyebut dirinya sebagai majalah hiburan (“panglipur”), namun bukan
saja banyak memuat karya sastera baik berupa cerita
péndék, cerita nyambung, gending karesmén, guguritan, maupun sajak,
melainkan juga memuatkan ésai dan bahasan-bahasan lain mengenai
kebudayaan dan kesusasteraan. Bahkan berkali-kali memberikan Hadiah Sastera Manglé buat karangan yang
dimuat dalamnya. Sejak terbit, Manglé selalu
memuatkan cerita péndék, paling tidak 4 judul. Maka sekarang setelah
lebih dari setengah abad terbit (lebih dari 2450 nomor), Manglé telah
memuat kl. 10.000 judul cerita péndék. Banyak pengarang Sunda yang
sekarang terkemuka, begitu juga sarjana mulai memuatkan atau banyak memuatkan
karyanya dalam Manglé seperti Wahyu Wibisana, Saléh
Danasasmita, Kis. Ws., Ahmad Bakri, Ki
Umbara, Rustandi Kartakusumah, Ayatrohaédi, Yus Rusyana, Edi
S. Ekadjati, Aam Amilia, Ningrum Djulaéha, Holisoh ME,
Dyah Padmini, Iskandarwassid, Usép Romli HM, Etti Rs., Acép Zamzam
Noor, Godi Suwarna, dan puluhan nama lagi.
Banyak
cerita péndék yang sekarang terbit sebagai buku kumpulan karya pengarangnya,
semula dimuat dalam Manglé.Begitu juga sajak dan
guguritan. Banyak juga cerita yang populér dan digemari pembaca
seperti Tjarmad karya Tjandrahayat (ps. R.H. Oeton
Muchtar) yang kemudian pernah dibukukan bahkan difliemkan dengan sutradara
Chairul Umam dan penulis skénario Putu Wijaya. Pemuatan
roman Mh. Rustandi Kartakusumah berjudul Mercedes 190meningkatkan
tiras Manglé hampir mencapai 100.000 éksemplar karena cerita
itu sangat digemari oléh pembaca.
Keistiméwaan Manglé yang
berlainan dengan majalah-majalah bahasa Sunda yang lain ialah mampu
bertahan terus terbit hingga lebih
dari setengah abad. Meskipun keadaannya sekarang
jauh dari masa keemasannya, namun Manglé tetap merupakan
tempat pembibitan pengarang dalam bahasa Sunda. Banyak pengarang yang sebagai
penulis pemula mengirimkan karyanya ke majalah Manglé dan
banyak di antaranya kemudian menjadi pengarang Sunda terkemuka.
Hadiah
Sastera “Rancagé” 2014 sastra Sunda untuk bidang jasa akan
disampaikan kepada pimpinan MajalahManglé, berupa piagam dan
uang (Rp. 5 juta).
Hadiah
Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Jawa
Dalam tahun
2013 buku karya sastera bahasa Jawa yang terbit ada 17 judul, tetapi 5 judul
berupa cétak ulang dan satu judul merupakan karya bersama, sehingga yang enam
itu tidak dinilai buat mendapatkan Hadiah Sastera “Rancagé”.
Kesebelas judul buku yang dinilai adalah roman Rembulan
Ndhuwur Blumbangkarya Narko Sodrun Budiman, romanPiwélingé
Puranti karya Tiwiek SA, romanSawisé Langité Katon Biru karya
Yunani SW,Kembangé Ngaurip lan Gegayuhan karya Parpal Poerwanto,
kumpulan cerita péndékTanduré wis Sumilir karya J.F.X.
Hoery, kumpulan cerita péndék Lintang Alit karya
Sumono Sandy Asmoro, kumpulan cerita péndék Kluwung karya Nono
Warnono, antologi puisi Tembang Sandhal Jepit karya Triman
Laksana, antologi puisi Kidung Lingsir Wengi karya Suharmono
K., antologi puisiPuser Bumi karya Mas Gampang Prawoto, dan
antologi puisi Misteri Misteri, Wadi Winadi karya Sudi
Yatmana.
Roman Piwélingé
Puranti karya Tiwiek SA, menceritakan seorang lulusan SD Sujiman yang
menghilang dari kampungnya, di Semarang diangkat anak oléh Bu Rukmi seorang
janda kaya yang mempunyai anak gadis, Nining. Setelah 11
tahun Sujiman pulang ke kampungnya, menemukan ayahnya Singa Bawuk
berada dalam tahanan karena dituduh mendalangi pembunuhan terhadap Pak Wikono,
guru Sujiman di SD dulu. Bu Wikono yang sangat dia hormati kini
hidup dalam kemiskinan berdua dengan anaknya, Puranti, hampir
terusir dari rumah séwaannya. Diam-diam Sujiman membayar séwa rumah
itu. Ibu angkat Sujiman, dari Semarang menaruh kasihan terhadap Bu
Wikono dan membantu ékonomi keluarga tersebut dan menikahkan Sujiman
dengan Puranti. Padahal Sujiman telah menjalin hubungan akrab dengan
Nining. Pada suatu pagi sepulang Puranti belanja mendapatkan Sujiman sedang
mencium kening Nining. Puranti terkejut dan lari ke belakang dan ia yang sedang
hamil itu terjatuh. Hampir tetabrak mobil Bu Rukmi. Puranti
melahirkan tapi nyawanya tidak tertolong. Sebelum meninggal ia berpesan agar
Nining dan Sujiman memelihara anaknya.
Narko Sodrun
B. adalah pengarang sénior dari Sanggar Sastra Triwida di
Tulungagung, Jawa Timur. RomannyaRembulan Ndhuwur Blumbang mengisahkan keluarga
pasangan muda yang selama tujuh tahun pertama pernikahan meréka hidup tenteram,
namun kemudian dirongrong kehidupan ékonomi yang memburuk karena sang suami,
Purnomo di-PHK dan suka menghabiskan waktu di Kafé Kresna dan
mulai suka menyiksa isterinya. Sang isteri, Anisah,
memergoki suaminya sedang makan di réstoran bersama Séptiani yang
sedang hamil. Terjadi pertengkaran antara suami-isteri itu.
Anisah menyodorkan bukti-bukti yang tak dapat dibantah oléh Purnomo.
Waktu Anisah mau pulang datang polisi yang menangkap Purnomo atas tuduhan
mengedarkan ganja. Sebenarnya roman ini padat dan mengajak pembaca
memikirkan banyak hal, tapi sayang di dalamnya banyak
adegan-adegan vulgar ketika menggambarkan momen-momen érotis.
Roman Kembangé
Ngaurip lan Gegayuhan karya Parpal Poerwanto menceritakan
bagian-bagian penting dari hidup tokoh utamanya. Dimulai dengan kisah tokoh
utamanya, Gun, yang tidak bisa menembang di sekolah. Lalu menceritakan masa
lalunya dengan sahabatnya, Yanto. Cara berkisah penuh dengan detail
itu terasa melelahkan. Yang menarik pada akhirinya Gun bertemu dengan
teman lamanya, Anjasmara yang menjadi primadona wayang orang. Gun
jatuh cinta pada Anjasmara tanpa mengetahui latar belakangnya. Namun
Anjasmara menghindar karena tidak mau Gun
nanti kecéwa terhadapnya.
Yunani S.W.
dalam romannyaSawisé Langité Katon Biru menceritakan kasih-sayang
antara dua orang kakak beradik, Endah dan Retno. Tetapi pada usia 8 tahun,
Retno mengalami kecelakaan sehingga matanya buta. Endah setelah selesai
kuliah, pindah bekerja di Jakarta dan berusaha mendapatkan suami seorang
dokter mata agar dapat mengobati adiknya. Usaha itu berhasil dan dokter mata
suami Endah mau pindah ke Surabaya karena Endah berasal dari
Batu. Hendratmo, suami Endah, akhirnya berhasil mengoperasi mata Retno
sehingga dia dapat melihat lagi. Tetapi sebelum dan sesudah operasi
itu Héndratmo tertarik kepada Retno yang cantik dan mencoba
menciumnya. Retno yang sadar akan akibatnya kalau hubungan dengan iparnya itu
dilanjutkan meninggalkannya dengan menjadi biarawati.
Kumpulan
crita cekak Kluwungkarya Nono Warnono memuat 23 cerita yang menurut
pengarangnya semuanya seperti “kluwung” (pelangi), yaitu campuran berbagai warna
yang membentuk sesuatu yang indah. Peristiwa-peristiwa dalam hidup juga
penuh warna dan indah kalau diceritakan. Bebagai masalah dalam kehidupan
masarakat itulah yang menjadi ilham penulisan cerita-cerita yang
dimuat dalam buku tersebut. Dalam bercerita, Nono sering
mengakhirinya dengan sesuatu yang tak tersangka. Dalam
“Kopi Pait” misalnya, dia menceritakan warung kopi Raminten yang
selalu penuh dikunjungi orang. Tarmuji si pedagang sapi misalnya tak merasa
puas kalau belum minum kopi racikan tangan Raminten karena di situ
dia dapat mencolék-colék tubuh atau mencubit tangan Raminten tanpa
teguran suaminya. Isteri Tarmuji pun tak pernah menegur
suaminya yang suka pulang terlambat. Sampai pada suatu malam gerimis, Tarmuji
mampir di warung kopi Raminten, kebetulan suaminya sedang tidak ada. Kesempatan
yang baik untuk dia menggoda Raminten sepuasnya. Tapi tiba-tiba ia ingin
segera pulang. Setiba di rumah, ternyata pintu depan dikunci, maka dia berjalan
ke belakang rumah. Dia terkejut ketika mendengar ada suara
laki-laki dan isterinya dalam kamar.
Dalam
cerita “Sarampungé Wisuda” dikisahkan tentang Tarno yang
bisu dan menghidupi keluarganya dengan berjualan wingko
secara asongan. Namun begitu ia dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.
Yang laki-laki, Suprapto hampir selelai kuliahnya di perguruan tinggi, sedang
yang perempuan, Martingah, masih di sekolah lanjutan atas.
Pada suatu
soré, ketika Tarno pulang dari berjualan, ketika mau masuk rumah, dia dengar
isterinya sedang menasihati anak
perempuannya yang merasa malu diolok-olok oléh
kawannya di sekolah karena ayahnya menjadi pedagang asongan. Tarno merasa sedih
dan terharu mendengar nasihat isterinya lalu dia berbalik arah dan
menyelinap pergi.
Hari
berikutnya keluarga Tarno bingung karena tadi malam Tarno tidak pulang padahal
Suprapto datang menjemput keluarganya untuk menghadiri dia diwisuda.
Karena tidak berhasil menemukan ayahnya, Suprapto berangkat bersama ibu dan
adiknya. Ketika acara wisuda sedang berlangsung, masuklah Tarno dengan berbaju
batik. Suprapto menjemput ayahnya dan memeluknya, begitu juga ibu dan adiknya.
Sepulang dari wisuda, Suparto mengajak keluarganya ke pojok
términal. Suprapto membuka pintu kios “Toko Wingko Joyo”, lalu
berkata, “Pak, toko iki takbangun kanggo sampéyan.” (Pak, toko ini saya bangun
untuk Bapak”.
Kejutan pada
akhir cerita cukup banyak terdapat dalam Kluwung, selain yang dua, ada pula
antaranya “Hélm”, “Kuis”, “Méja kursi”, “Sambel”, dan ”Stémpél”.
Kumpulan
cerita péndék Tanduré Wis Sumilir karya J.F.X. Hoery,
merupakan penerbitan cerita-cerita yang ditulis tahunn
1970-an—1980-an. Hoery lebih kuat dalam penulisan puisi Jawa
Modéren atau guritan seperti terbukti dengan antologi Pagelaranyang
mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” (2004). Seperti dalam guritannya, dalam
cerita-ceritanya juga Hoery banyak memperhatikan keadaan di
sekitarnya, désa-désa dan kota-kota
kecil. Dari keadaan lingkungannya itu, Hoery banyak
mengangkat téma-téma percintaan, misteri,
sosial, kejahatan dsb. Dia tidak kekurangan
bahan kerana dia menjadi wartawan. Meskipun ditulis sudah
lama, tapi cerita-cerita yang dimuat dalam buku ini énak dibaca dan dapat
memperkaya pengalaman pembaca.
Lintang Alit judul kumpulan cerita péndék
karya Sumono Sandy Asmoro yang pernah mendapat Hadiah Sastera ”Rancagé” untuk
romannya Layang Panantang (2010). Ceritanya yang diambil
dari kehidupan sahari-hari masarakat Jawa, banyak yang diceritakannya secara
lucu. Misalnya “Culika” menceritakan Darko diajak teman sekolahnya di SMP,
Panjul, yang nampak kaya berbuka di masjid yang terletak di
belakang Super Market, ketika mau pulang ternyata sepatunya hilang. Hal itu
tidak dia ributkan. Ternyata keésokan harinya sepatu itu dia dapati di tukang
loak. Maka dibelinya Rp. 30.000. Soré harinya dia berbuka lagi di masjid itu.
Tapi ia selalu mengawasi sepatunya. Ketika ada orang yang mengambil
sepatunya ia berdiri dan mengikuti orang itu dan setelah dekat dia menarik
kerah baju orang itu. Ternyata orang itu Panjul! Cerita
“Calon” juga lucu mengisahkan saling jegal dalam pemilihan lurah sehingga
pernikahan yang akan dilangsungkan dibatalkan karena pengantin dan mempelai
dituduh sebagai pengédar uang palsu. Ternyata tuduhan
itu dari calon yang menjadi saingannya.
Antologi geguritan karya Mas
Gampang Prawoto yang termuat dalam Puser Bumi, banyak
menggunakan kata-kata yang tak dikenal atau kata-kata dialék yang hanya dikenal
oléh komunitas setempat atau kata-kata baru yang dikenal dengan istilah sastra Jawa gagrag anyar yang populér dalam
komunitas sehari-hari. Menggunakan kata-kata demikian untuk membangun suasana
kedaérahan sangatlah perlu untuk mempertahankan keberadaan bahasa jawa pada masyarakat penuturnya – apalah artinya bahasa yang hanya diketahui masyarakat penutur lain justru tidak dimengerti oleh masyarakat penutur di daerahnya. minimal sastra dengan bahasa jawa dialek sangat mudah dalam pembelajaran terutama bagi pertumbuhan dan pengembangan bahasa untuk generasi muda dengan satu dasar pokok asal dapat dimengerti – dapat diterima. terpenting lagi komunikatif. Tapi penggunaan kata-kata dengan dialek tertentu kurang dapat dimengerti atau kurang bisa dipahami oleh pihak tertentu menyebabkan guritannya
menjadi sulit untuk dipahami.
Antologi
guritan Tembang Sandhal Jepit karya Triman
Laksana memuatkan 107 guritan di antaranya guritan péndék péndék yang
padat. Tapi penyair ini suka menulis guritan yang panjang, padahal menulis
guritan yang panjang memerlukan keterampilan menata alur dan
dinamika imaji yang saling terkait sehingga tidak terjadi loncatan-loncatan
yang mengganggu keutuhan alur dan dinamika internalnya. Misalnya pada
guritan ”Wis Bén Bulan Mésem Sithik” alur gagasan yang akan
disampaikan penyair ketika sedang merenungi panjangnya malam ada bulan yang
menjadi saksi yang dihubungkannya dengan niat penyair yang ingin
menjala bulan. Pertanyaannya ialah apa hubungan kata-kata tersebut dengan
pernyataan pada bait selanjutnya: “bisa gawé sikil / jumangkah nebahi jaman /
tetep padha / kaya nalika kawuri ..” Larik-larik itu menunjukkan imaji dan
gagasan yang tidak menyambung sehingga menyulitkan interprétsi.
Kumpulan
Guritan Kidung Lingsir Wengi karya penyair sénior dari Surabaya, Suharmono K.
sebagian besar menggambarkan kedalaman renungan penyair tentang hidup
dengan bahasa yang sederhana tapi indah seperti dalam “Isih Ana Esem
ing Dina Iki” yang menggambarkan rasa simpati penyair
kepada pasangan tua yang sedang memancing. Meski meréka mempunyai
mimpi-mimpi indah, tapi sudah tersenyum kalau mendapat ikan yang
memakan umpannya. Demikian pula dengan guritan i
“Jalatunda”, “Mecaki Dalam Kasetyan” dan “Nalika Tilik Omah”.
Antologi
guritan Misteri Misteri Wadi Winadi karya Sudi Yatmana terdiri
dari 15 judul guritan yang pada setiap guritan
itu terdapat penjelasan arti kaka-kata sulit, sehingga terkesan
sebagai buku pelajaran memahami puisi.
Setelah
mempertimbangkan semunya dengan seksama, maka diputuskan bahwa
buku sastra Jawa terbitan 2013 yang terpilih sebagai
penerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 buat karya adalah
Kluwung
Kumpulan
crita cekak karya Nono Warnono
Terbitan Alamatera,
Yogyakarta
Kepada
pengarangnya Nono Warnono akan diberikan Hadiah Sastera “Rancagé”
berupa piagam dan uang (Rp. 5
juta).
Adapun yang
terpilih sebagai penerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 buat jasa adalah
Dhanu
Priyo Prabowo
Lahir
di Kulonprogo, Yogyakarta, 15 Januari 1961.
Lulusan jurusan Sastera
Daérah Fakultas Sastera UNS Surakarta (1985), dan Jurusan
Ilmu Humaniora Fakultas Sastera UGM Yogyakarta (2000), Dhanu bekerja di Balai
Bahasa Yogyakarta sebagai peneliti sastera. Dia aktif dalam kegiatan sastera di
berbagai daérah, baik di Yogyakarta, Jawa Tengah maupun
di Jawa Timur. Pada tahun 1991 ia terlibat membidani lahirnya
Sanggar Sastera Jawa Yogyakarta dan menjadi Sékertarisnya (1991—1994). Dia juga
menjadi penggagas dan wakil penyunting majalah intern sanggar tersebut
bernama Pagagan.
Dia juga
terlibat dalam kegiatan Féstival Kesenian Yogyakarta
sebagai Ketua Séksi Pergelaran Sastera Jawa pada tahun 1992, 1993, 1994, 1995,
1997 dan 1998. Dalam pergelaran itu terjadi kolaborasi
pengarang sastera Jawa dengan seniman-seniman
dari berbagai kesenian lain. Dalam kegiatan itu diterbitkan antologi
geguritan dan cerita cekak berjudul Rembulan Padhang ing Ngayogyakarta (1992), Cakramanggilan(1993), Pangilon (1994), Pésta
Emas (1995) dan Pisusung (1997).
Dia banyak
menulis ésai dan kritik sastera Jawa dimuat dalam berbagai
penerbitan seperti Mekar Sari, Jaya Baya, Djaka Lodang, Panyebar
Semangat, Jawa Anyar, dll. Juga dalam bahasa Indonésia dia banyak
menulis tentang sastera Jawa antaranya dimuat dalam Kedaulatan
Rakyat, Bernas, Solo Pos, Suara Merdéka, dll). Dia pernah menjadi wartawan
majalah berbahasa Jawa Damarjati, Jakarta (2005-2006) dan sejak
2007 menjadi wartawan majalah Jaya Baya, Surabaya. Di kantornya ia
menjadi anggota penyunting jurnal ilmiah Widyaparwa (sejak
2009).
Dia juga
sering diminta menjadi penyunting buku-buku sastera Jawa, di samping
menulis buku bacaan anak-anak.
Hasil
penelitiannya tentang sastera Jawa yang dikerjakan secara
pribadi al.Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita (2003), Pandangan
Hidup Kejawén dalam Serat Pepali Ki Ageng Sela(2004), Dr. Sutomo
dan Karyanya (2006),Penerbitan Novel-novel Jawa Pasca Pembentukan
OPSJ (2008), Diménsi Kemanusiaan dan
Kebudayaan di dalam antologi Angin Sumilir karya Suripan Sadi Hutomo
(2011), Sistem Pengarang dan Kepengarangan Sastera Jawa Modéren
1980—1997 (2011) sedangkan yang dikerjakan secara
bersama al. Glosarium Istilah Sastera Jawa (2007), Ensiklopédi
Sastera Jawa (2010). Dalam keduanya Dhanu menjadi
Ketua Tim.
Kepada Dhanu
Priyo Prabowo akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 berupa piagam
dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah
Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Bali
Buku karya sastera Bali modéren yang terbit tahun 2013 ada 17 judul
hampir dua kali lipat dari yang terbit tahun sebelumnya (9 judul).
Dari 17 judul itu, 8 di antaranya berupa drama. Yang lainnya berupa
roman, antologi puisi, dan antologi cerita péndék.
Ke-8 buah
drama itu adalah Mabéla Pati, Kuuk, Jepun Putih Akatih, Mulih, Dukana
Pujangga, Pengguk, Dadi Ati dan Jayaprana-Layonsari semuanya karya
I Nyoman Manda yang karena pernah mendapat Hadiah “Rancagé”
tiga kali, telah memutuskan agar karya-karyanya yang baru
jangan dinilai untuk mendapat Hadiah “Rancagé”, karena beliau ingin memberi kesempatan
kepada pengarang Bali yang muda-muda untuk memperoléhnya. Karena itu
ke- 8 drama itu ditambah dengan sebuah kumpulan cerita terjemahan
yang beliau kerjakan yaitu Kota-Harmoni, tidak dinilai untuk
memperoléh Hadiah Sastera “Rancagé” 2014. Setiap tahun ternyata
beliau selalu menerbitkan karya yang baru lebih dari satu.
Di samping
itu ada kumpulan cerita karya I Madé Pasék berjudul Anéka
Warnayang juga tidak dinilai untuk mendapat
Hadiah “Rancagé” 2014 karena merupakan cétak
ulang. Buku itu pertama kali terbit tahun 1910-an sebagai
buku pelajaran membaca di sekolah dasar pribumi.
Dengan
demikian buku terbitan tahun 2013 yang
dipertimbangkan untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 adalah
dua buah roman yaitu Benang-benang Samben karya IGG Djelantik
Santha dan Sing Jodoh karya I Madé Sugianto, dua buah kumpulan
puisi yaitu Padang Tuh karya Tudekamatra dan Ngantih
Bulan karya IDK Raka Kusuma dan tiga kumpulan cerita yaituTutur
Bali karya I Wayan Westa, Nguntil Tanah
Nulèngèk Langit karya I Madè Suarsa danBulan Satwak karya
Agus Sutrarama.
Roman Benang-benang
Sumben karya IGG Djelanitk Santha adalah kisah
remaja désa yang giat belajar dan manikmati romantika cinta.
Tokoh-tokohnya dilukiskan tekun belajar sejak SMP sampai menyelesaikan
pendidikan tingkat diploma atau sarjana, walaupun meréka miskin. Di dalamnya
banyak disinggung nilai-nilai agama seperti status kasta, pernikahan
saling-memiliki (pada gelahang), hukum karma dan insés. Pengarang
melukiskan terjadi insés antara adik-kakak (kembar buncing), namun
meréka baru mengetahui bahwa meréka kembar buncing setelah yang perempuan
hamil. Meréka tidak boléh menikah. Orang tua yang mengambil bayi itu dari rumah
sakit mengalami berbagai masalah hukum yang pelik yang menekan batin, sampai
meréka mengalami kecekaan parah walaupun tidak sampai meninggal. Semua
krisis itu dilukiskan pengarang sebagai hukum karma karena ketika melakukan
serah-terima bayi di rumah sakit tidak disertai dengan ritual adat/agama.
Sing Jodoh karya I Madé
Sugianto mengisahkan gagalnya percintaan dua orang remaja. Ketika si
perempuan hamil silelaki menyatakan tidak siap untuk menikah karena
miskin. Dia minta agar kandungan digugurkan. Tapi saran itu ditolak. Tanpa
pamit si laki-laki pergi ke Batam dan tidak pernah
menghubungi pacarnya. Si perempuan menderita lebih-lebih karena dia
diperkosa. Untung orangtuanya berhasil mengawinkannya dengan laki-laki lain.
Beberapa tahun kemudian silaki-laki pulang dari Batam dengan maksud
hendak menikahi pacarnya. Bahasanya lancar, témanya cocok untuk
bacaan remaja agar meréka berhati-hati kalau berpacaran. Sayang tidak ada
pendalaman téma dan nalai-nilai.
Sepuluh
cerita yang dimuat dalam Bulan Satwak karya Agus
Sutarman kebanyakan mengenai cinta remaja. Dilukiskan dengan bahasa sederhana,
cerita-cerita itu mampu membangun kisah yang menarik. Hal itu
menunjukkan bahwa penulisnya, Agus Sutrarama, memiliki
bakat yang baik bercerita, menguasai pengaluran, memiliki
keterampilan membangun struktur cerita dan memiliki kemampuan
memilih éksprési untuk melukiskan suasana yang tepat.
Nguntil
Tanah Nulèngèk Langit karya I Madè Suarsa memuat sebelas cerita yang sebagian besar mengisahkan
tragèdi kehidupan tokoh-tokohnya entah karena kemiskinan
atau kelemahan atau karena keduanya. Cerita “Dadong
Kuning” misalnya mengisahkan seorang nénék miskin yang
diperberat oléh karena harus menghidupi cucu yang ditinggal orangtuanya. Kisah
yang menyentuh tapi kurang konflik. Cerita “Bungan Srama, Bungan Satua, Bungan
Sétra” melukiskan seorang isteri yang menggantung diri karena derita dan beban
hidup. Suaminya penjudi dan sedang meringkuk di penjara. Dengan akal-akalan
akan bisa membébaskan suaminya seorang polisi merayu si janda agar mau
ditiduri. Ciri khas cerita-cerita I Madé Suarsa adalah bahasanya yang liris,
penuh dengan syair sehingga terasa berirama.
Tutur Bali karya I Wayan Westa
memuat 42 kisah yang sangat péndék, semuanya sengaja
ditulis untuk memberi naséhat (tutur). Témanya sangat beragam dan rélevan
dengan kehidupan kontémporér
seperti soal penyakit AIDS, téroris,
donor darah, dll. Kekuatan cerita-cerita dalam buku ini adalah
keseimbangan antara bentuk dengan isi, keduanya selaras, sama kuat antara kisah
dengan tutur. Tutur disampaikan dalam dialog dengan narasi atau
déskripsi yang minim tapi membangun suasana. Judul buku dan isi serasi
sekali. Bahasanya jernih dan kuat. Baik kalau dijadikan buku téks di sekolah
sebagai bacaan buat pengayaan bahasa Bali di sekolah karena
isinya bermanfaat untuk pembinaan watak berdasarkan kearifan
lokal.
Kumpulan
puisi Padang Tuh karya Tudékamatra (ps. I Putu Gede Raka Prama
Putra) témanya banyak yang menarik
antaranya berupa kritik sosial, renungan tentang nilai,
pesan-pesan ketabahan menghadapi hidup. Sajak “Peluru Anak Bali” berisi
sindiran kuat kepada sesama orang Bali yang suka bertengkar padahal
mestinya rukun. Eksprésinya sederhana, jelas dan utuh. Penyair
muda ini mempunyai kemampuan untuk menulis sajak yang
menjadikan apa yang ada di alam semesta (makrokosmos) sebagai
landasan atau asosiasi untuk melukiskan apa yang ada dalam
jiwa (mikrokosmos), misalnya sajak “Segara Indria” yang mengasosiasikan ombak
di samudera dengan ombak dalam hati. Sayang kualitas sajak-sajak
dalam Padang Tuh ini tidak merata.
Sebagian
besar sajak yang dimuat dalam Ngantih Bulan karya IDK
Raka Kusuma témanya bersifat mistis. Bait-baitnya péndék-péndék,
kalimat-kalimatnya pun péndék, namun mampu melukiskan gambaran yang
kompléks. Banyak juga yang merupakan sajak panjang
yang menggarap téma naratif tapi tetap dengan baris-baris yang péndék. Misalnya
sajak “Ngutus Nyama” yang dituangkan dalam lima bagian sepanjang
tujuh halaman, berkisah tentang hal mistis dalam kepercayaan masyarakat Bali
yakni tentang lima saudara-maya yang dimiliki setiap orang. Ungkapan
dalam sajak-sajak ini terjaga dalam rima. Rima memperkuat éstétika sajak. Makna sajak-sajaknya
tersembunyi dalam lapisan-lapisan éksprési -- sesuatu
yang pembaca awan akan terbata-bata menyimaknya.
Maka setelah
dipertimbangkan dengan seksama akhirnya diputuskan untuk memberikan Hadiah
Sastera “Rancagé” 2014 buat karya dalam sastera Bali kepada:
Tutur
Bali
Kumpulan
cerita karya I Wayan Westa
Terbitan
Deva Charity (Utrecht, negeri Belanda)
Kepada I
Wayan Westa akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé’ 2014 untuk karya berupa
piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan
Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 untuk jasa dalam sastera Bali
akan dihaturkan kepada
I
Gusti Madé Sutjaja
Lahir
Oktober 1944
I Gusti Made
Sutjaja adalah ahli bahasa dengan latar-belakang pendidikan bahasa
Inggris. Dia menyelesaikan Master (1984) dan doktor (1988) di The
University of Sydney, Australia. Sejak 1990-an menaruh perhatian
pada pengembangan bahasa dan sastera Bali melalui riset dan publikasi.
Karya-karyanya mendorong publik untuk memperdalam dan
memperkenalkan bahasa Bali ke masyarakat
internasional. Tahun 2012—2013 IGM Sutjaja aktif mendukung
perjuangan para mahasiswa dan guru yang tergabung dalam Aliansi
Peduli Bahasa Bali agar bahass Bali masuk dalam Kurikulum
dunia pendidikan.
Dia menyusun
kamus Bahasa Bali-Indonésia-Inggris dan buku pelajaran bahasa Bali untuk umum
dan wisatawan. Dia juga menyusun Concise Balinese Dictionary (2009),
dan Everyday Balinese: Your Guide to Speaking Balinese Quickly and
Effortlessly in a few hours (2009), Kamus Praktis
Jepang-Indonésia-Bali (2013).
IGM Sutjaja
juga memperkenalkan kembali kekayaan sastera Bali dengan menerbitkan
karya-karya geguritan sepertiGeguritan Amad Muhamad,
Geguriitan Siti Badariah, Pupulan Satua Bali, dll.
Karya-karya sastera tradisional itu banyak dikenal masyarakat
karena diturunkan secara lisan tetapi teks tertulis berupa buku
tidak mudah didapat.
Tahun 2006,
Sutjaja menerbitkan buku Belajar Menulis Hanacaraka léwat Bahasa
Indonésia sebagai bagian dari usahanya untuk memperkenalkan
aksara Bali kepada publik. Buku itu melengkapi kehadiran sistim
penulisan aksara Bali léwat piranti lunak MsWord untuk Window yang disebut Bali
Simbar. Penggunaan Bali Simbar dilakukan Sutjaja sejak 1998 ketika menerbitkan
Pesalin Gaguritan Transmigrasi ka Lunyuk Pakaryan Jro Mangku Lunas. Selain
memindahkannya ke dalam aksara Bali, Sutjaja juga menterjemahkannya ke
dalam bahasa Indonésia dan bahasa Inggris.
Menjelang
pensiun Sutjaja pertama mengumpulkan kosa kata Bali untuk membuat database
bahasa Bali buat keperluan pendidikan. Kosa kata itu ditulis dengan huruf Latin
dan Bali Simbar. Kedua mengumpulkan cerita rakyat Bali yang kemudian ditulis
ulang dengan Bali Simbar, di samping membuat cerita baru yang mengikuti
pola tradisi namun témanya masalah masa kini seperti soal
kebersihan, limbah dan daur ulang.
Sebagai
penghargaan terhadap usahanya membina dan mengembangkan bahasa dan sastera
Bali, Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 untuk jasa dalam bahasa Bali, dihaturkan
kepada I Gusti Madé Sutjaja berupa piagam dan uang (Rp. 5
juta).
Hadiah
Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Lampung
Tahun 2013
dalam bahasa Lampung terbit dua buku, satu kumpulan sajak
sedang yang satu lagi kumpulan cerita. Kumpulan sajak
berjudul Suluh karya Fitri Yani, sedang kumpulan cerita
berjudul Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi dan
Elly Dharmawanti .
Warna lokal
Lampung yang begitu mencolok dalam Suluh membuatnya
lebih lengkap sebagai karya sastera Lampung. Bukan saja
karena disajikan dalam bahasa Lampung melainkan juga membicarakan perkara
kelampungan. Tidak ada satu pun sajak yang dimuat dalam Suluh yang tidak mengandung warna lokal Lampung,
utamanya Lampung Barat. Dan warna lokal Lampung itu tidak hanya sekedar
témpélan, melainkan sebagai unsur utama. Judul-judulnya pun banyak
yang membuktikan hal itu.
Sebaliknya
kehadiran warna lokal Lampung itu kurang nampak dalam cerita-cerita
yang dimuat dalam Tumi mit Kota. Téma
ceritanya banyak yang mengarah pada persoalan yang biasa kita jumpai dalam
cerita péndék atau roman sastera Indonésia. Di samping itu cerita-cerita
dalam Tumi Mit Kota tidak berhasil
menggarap kisahannya agar memikat secara naratif. Belum sampai pada upaya
bercerita yang bertolak dari penggarapan konflik dengan
memuaskan.
Namun Suluh juga bukannya tanpa kelemahan.
Akan tetapi karena jenisnya puisi, penyair agak leluasa memanfaatkan berbagai
cara membangun satuan-satuan makna, utamanya bait. Suluh tersaji dalam banyak pola bait: satu larik sebait, dua, tiga,
empat larik sebait, atau lebih. Lain dari itu Suluh memberikan sejumlah métafora yang unik, barangkali diambil
dari khazanah puisi tradisional Lampung.
Karena itu
maka diputuskan bahwa Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 buat karya dalam sastera
Lampung diberikan kepada:
Suluh
Kumpulan
sajak oléh Fitri Yani
Terbitan
Lampung Literature, Lampung.
Kepada
pengarangnya, Fitri Yani, akan disampaikan Hadiah
Sastera “Rancagé” berupa piagam dan uang (Rp. 5
juta).
Seperti yang
sudah-sudah, untuk sastera Lampung tidak diberikan hadiah untuk jasa.
Hadiah
Samsudi 2014 untuk bacaan kanak-kanak dalam bahasa Sunda
Di antara 42
judul buku Sunda yang terbit tahun 2013, ada 9 judul buku bacaan
kanak-kanak dan remaja. Di antaranya ada tiga judul yang baru
dan dinilai untuk mendapat Hadiah Samsudi. Ketiga judul itu
adalah Dirawu Kélongkarya Ahmad Bakri, Prasasti nu
Ngancik na Ati karya Popon Saadah dan Persib
nu Aingkarya Dédy Windyagiri.
Dirawu
Kélong karya
Ahmad Bakri menceritakan kehidupan anak-anak di kampung. Jang Udin
anak Jurutulis Désa digambarkan sebagai anak yang kritis dan suka
bertanya, rajin, suka bekerja membantu orang tua dan sangat mempedulikan orang
lain. Bahasa dan dialog-dialog ciri khas Ahmad Bakri, mengalir
dengan menarik. NamunDirawu Kélong disajikan secara linier dan
sangat didaktis.
Persib nu
Aing karya
Dédy Windyagiri berisi cerita-cerita yang beragam téma dan sangat banyak yang
diceritakannya sehingga tidak memberi gambaran yang utuh.
Prasasti nu
Ngancik na Ati karya Popon Saadah alakah cerita cinta segi tiga. Tokoh aku
bernama Rinega sejak kecil berkawan dengan Prasasti anak campuran
Batak-Sunda, yang adakah tetangganya. Pertemanan itu kemudan tumbuh
menjadi cinta, tetapi keduanya tidak berani berterus-terang.
Sementara itu datang orang ketiga, Fauzan, teman sekampus yang
sudah sarjana yang secara terang-terangan menyatakan cintanya kepada
Rinega.
Kekurangan
yang terasa dalam cerita ini adalah penggunaan bahasa Sunda yang terasa
mengganggu karena pengarang menggunakan kata-kata yang kurang tepat.
Misalnya kata “ngahanakeun” dalam kalmat “Tuh tempo si Pras, ka kolot téh
tara ngahanakeun” (h. 10). Mungkin yang dimaksud adalah
“ngahésékeun”. “Ku saliwatan ,mah asa taya kacawadna” (h. 99). Mungkin yang
dimaksud “taya cawadeunana:”. Seharusnya hal demikian itu
ditangani oléh redaktur penerbitnya.
Maka
pemenang Hadiah Samsudi 2014 adalah
Prasasti
nu Ngancik na Ati
Karya
Popon Saadah
Terbitan
Green Smart Books Publishing, Bandung
Kepada Popon
Saadah akan disampaikan Hadiah Samsudi 2014 berupa piagam dan
uang Rp. 5 juta.
Upacara
penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 dan Hadiah Samsudi 2014 akan
dilaksanakan atas kerjasama dengan unversitas yang sekarang masih
belum ditetapkan. Begitu juga waktunya. Kalau sudah ada
kepastian, insya Allah akan segera diumumkan.
Pabélan, 31
Januari 2014
Yayasan
Kebudayaan “Rancagé”
Ajip Rosidi