Soal dokumentasi sastra, saya jadi teringat sastrawan Jawa asal Bojonegoro, JFX Hoerry. Rumahnya di Padangan kerap didatangi sejumlah peneliti sastra Jawa. Peneliti itu bukan hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri. JFX Hoerry termasuk sastrawan dan pengumpul data yang tekun tentang sastra Jawa. Dia mempunyai koleksi lengkap, majalah Penjebar Semangat dan Djoko Lodang dari edisi perdana hingga paling akhir. Makalah-makalah tentang sastra Jawa pun, dia tekun mengumpulkannya. Ketua Paguyuban Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB) ini juga peraih penghargaan Rancage. Penerusnya Herwanto pun tahun ini adalah penerima penghargaan Rancage. Artinya, barometer sastra Jawa ternyata bukan Solo dan Jogjakarta. Barometer sastra Jawa ternyata adalah Bojonegoro. Karena itu, sepatutnya jika seluruh dokumentasi sastra Jawa yang dimiliki oleh JFX Hoerry diselamatkan oleh pemerintah. Caranya, pemkab Bojonegoro bisa membuat seperti yang dilakukan oleh Ali Sadikin, yakni membangun Pusat Dokumentasi Sastra Jawa. Saya yakin, Bojonegoro akan makin dikenal bukan hanya kebudayaan dan keseniannya. Tapi juga pusat laboratorium sastra Jawa. Peneliti sastra Jawa, baik dari dalam maupun luar negeri akan berdatangan ke Bojonegoro. Mereka akan mengabarkan kepada siapa saja yang akan meneliti sastra Jawa tak afdhol jika tak ke Bojonegoro.
Bupati Bojonegoro, Suyoto sesungguhnya telah memulainya menjadi pemimpin yang hidup berkesenian dan nyastra. Dia telah mencipta banyak puisi. Bahkan telah membuat buku kumpulan puisinya. Modal sudah ada. Yakni, Bojonegoro adalah barometer sastra Jawa dan bupati juga senang berkesenian. Tinggal membangun pusat dokumentasi sastra Jawa. Bagaimana menurut Anda?
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar