http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
MERAPI GUGAT, Antologi Puisi Etnik 13 Penyair:
Anisa Afzal
Arieyoko
Boedi Isman...to SA
Gampang Prawoto
Hadi Lempe
Kurniawan Junaedhie
Nia Samsihono
Nunung Susant
Ratu Ayu Neni Saputra
Rini Intama
Soekamto
Susy Ayu
Sutirman Eka Ardhana.
Perancang sampul : Aant S Kawisar
____________________________________________________________
Cunong N. Suraja,
pengajar Intercultural Communication di FKIP-UIKA Bogor:
"Tigabelas penyair menggugat Merapi. Merapi yang memberkahi tigabelas penyair yang cukup jam terbangnya.
____________________________________________________________
Cunong Nunuk Suraja
Konon keanehan gunung Merapi terkait dengan misteri dan mitos-mitos yang menyelimutinya. Gunung yang membentangkan garis imajiner dengan Tugu Yogyakarta, Kraton Ngayogyakarta, Panggung Krapyak, dan Laut Selatan merupakan sebuah istana tempat bersemayamnya raja-raja Yogyakarta.
Kepercayaan ini ditandai dengan labuhan alit yang dilakukan setiap tahun sekali dan labuhan ageng yang dilakukan pada tahun tertentu.(http://wihans.web.id/misteri-dibalik-letusan-gunung-merapi-di-jogjakarta)Mitos merupakan bumbu yang legit dalam penulisan puisi karena warna lokal dan kearifan budaya yang terkandung di dalamnya.
Membaca puisi yang mengandung mitos yang dikenal kan sangat memperkaya pembacaannya.Tetapi jika tempelan mitos yang mewujud dalam bentuk keyakinan dapat melenceng pada pengkultusan. Padahal Wikipedia mencatat bahwa mitos di Indonesia biasanya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, terjadinya susunan para dewa, terjadinya manusia pertama, dunia dewata, dan terjadinya makanan pokok. (http://id.wikipedia.org/wiki/Mitos).
Maka tidak heran kalau Gunung Merapi kaya akan mitos yang sedang ditembak oleh 13 penyair berkekuatan magma panas ini.
Simak sajak Anisa Afzal dalam “GUNUNG GETIR” :
Gunung tinggi tipis menjulang,
awannya bersaput keanggunan hijau
dan harum pinus adalah hasrat cinta
hingga walungan mengalir,
tiis jeung herang
Pada perut bumi,
panas dan senyawa bertaut bersenggama
ngalahirkeun babatuan,
Kegarangan Merapi sebatas api asmara lelaki diranjang yang mengelegak sesaat dan musnah dalam lahar dingin yang meluberi persada tempat tidur dalam peluh yang berleleran.
Hal ini lebih miris diungkap pasa sajak “PILU MERAPI“ :
Sepi memenuhi tempat persinggahan ini
pengungsian bagai sebuah kuburan masal
tanpa tawatanpa tembang
Anakku sayang,
sepenuh sungkawa doa ibu
mengiringi pergimu
Hal ini dipertandas pada pupuh :
pada pagi bersama katumbiri
diantara debu dan lahar dingin merapi
juga puing-puing atap rumah kami
Kulirihkan sebuah tembang rindu
(SEUNGGIT IBU DI MERAPI)
Sejalan dengan Anisa Afzal, yang mengingatkan nama penyair besar sesudah zaman puisi bebas makna kata Sutardji CB menjadi puisi menggelap-muram pada Afrizal Malna.
Arieyoko mencatat kesejarahan Gunung Merapi yang dijagai oleh mBah Maridjan :
Pada poros Tanah Jawa
aturan alam berderak-derak gemetih-getih di jemari,
rapal doa bagi keselamatan tidaklah percuma
ia tetap menggantung di langit,
menyesakkan mimpi bagi yang mampu membaca malam
…
alangkah indahnya keseimbangan atas titah kang tinitah
yang menjaga wujud nyata dan wujud yang tak berwujud
karena hidup, adalah mengemban kewajiban atas hidup
tak ada lainnya.
(GUNUNG GUGAT)
Juga pada bait-bait “SAJAK SABDOPALON – NOYOGENGGONG” :
Sabdo dan Noyo terus berputar-putar
di atas-atas rumah kita. Mereka membawa obor
kencana, yang bakal ditancap-tancapkan,
di pekarangan hati yang terbuka
siapa saja
Penyair ini juga menegaskan lagi jejak kesejarahan pada “GUNUNG MATI“ :
Cokromanggilingan yang menggelinding terus berputaran
kian kencang, bergulir-gulir, melabrak-labrak nilai
yang terus menerus memperbarui
dirinya sendiri
Sesambat pada kematianadalah sia-sia.
Kecuali duduk jejagongan
mendongeng atas kita
dan semuanya
Pada penyair lain semisal Gampang Prawoto dengan menggunakan kekayaan bahasa Jawa mengungkapkan jejak mitos kesejarahan pada tingkah laku manusia :
gathuk lanang padha lanang
apik-apikan tumpakan, sepeda pancal, moge apa sedan bmw,
ijo-ijonan godhong enom, akeh-akehan simpenan, royokan
wedokan, gabrugan, jotosan, adu endhas sampek sungune
ilang. embek.........
lamun gumbul lanang-wedok, ya… nganaika!.
Ingah-ingih embak-embek, lali ngombe lali mangan,
cengar-cengir brai,
nyendhal pathok kedhungsangan padha raben
(WEDHUS).
Juga pada paparan situasi tersangkut pesan yang terkandung:
mangsa kala ratu adil tumiba
titenana…
titenana…
yen ana bocah cilik nyakot
gula klapa, murep dulinan angen-angen
nyuweki angin, miyak dahana
memba samirana
(SATRIYA PININGIT)
Pada penyair Hadi Lempe tidak ditemui jejak kesejarahan dan lokal wisdom berbasis Gunung Merapi. Penyair ini mencatatkan Merapi Gugat pada sikap personalnya saja terutama perasaan kasih-cinta.
Langit gelap
Matahari terbalut debu
tangis pilu di ladang batu
Lenyap ditelan angin gunung
Pohon-pohon tumbang layu
Sawah ladang kering lumpuh
Perempuan di bawah langit
Menatap kosong
Raut wajah nampak penuh kepedihan
Bibinya gemetar tak mampu berkata apa-apa
Perempuan di bawah langit
Tak lagi kuasa menangis
Hanya desah nafas pelan
Hampir tak terdengar
Berkali-kali menyebut kebesaran Tuhan
(PEREMPUAN DI BAWAH LANGIT)
Penyair berikutnya Nia Samsihono adalah nama lain dari Dad Murniah,
walaupun tidak serta merta mengungkap pada Merapi Gugat tetapi lebih setingkat membuka kelopak personalnya hingga tak terasa mentah-mentah menuliskan luka diri tanpa tanda-tanda beban local colour and local wisdom apalagi dengan culture intellectual.
Simak sajak berikut dengan utuh :
SENJA BIRU
Indah sekali cinta kita
Di Selo tawa membahana
Langit merah kabarkan duka
Namun kita tak dapat membaca
Betapa angin semilir mengantarkan kata
Mendaki dengan bekal jadah dan cerita
Tentang petani yang memetik sayur di pagi buta
Sementara hari berkelebat tanpa makna
Mengapa aku tak dapat mengerti
Rahasia alam penuh misteri
Saat hari kulalui dengan bernyanyi
Dan engkau menatapku semak hati“mengapa engkau galau?
Entahlah, sepertinya ada yang membisu,
Jangan tegang begitu,Ah, ayolah kita berlalu!”
Ternyata kita memang tidak tahu
Bencana mengintip di hari itu
Dan senja biru telah berlalu
Sementara kenangan tetap terpaku
Pada merapi dengan penuh haru
Jakarta, Desember 2010
Penyair yang melengkapi angka tigabelas yang lain adalah Nunung Susanti yang sering teramati dalam lembaran kilatan jejak catatan di FB.
Seperti layaknya pada penyair uji-coba sajaknya pendek-pendek penuh lelehan luapan magma percintaan maupun luberan lahar dingin keputus-mesraaan yang tergumpal dalam hujatan pada alam. Simak lantunan pupuh berikut secara utuh untuk mewakili tema yang lain yang ditulis penyair ini;
RACUN KATA
Harummu tak tercium kini
Hilang seiring lunturnya kejujuran
Meski tak terkatakan
Bahasa tubuh tlah menyampaikan kepahitan
Simpan dan tatalah dengan rapi
Kebohongan demi kebohongan yang tercipta
Jangan lukai sang bulan lagi
Yang mulai redup cahayanya karena tikaman kata tak bertuan
Melenggang dan menjauhlah
Bawa serta pesona racun yang mengalir dari lidah tajam
Takkan pernah ada penyesalan
Tuk mengusir seorang pengecut
2010
Nama yang menentukan jumlah tigabelas penyair Merapi Gugat yang lain lagi semisal Ratu Ayu Neni Saputra, layaknya membeli tandanan salak pondok yang bervariasi besar kecil buahnya mengikuti pola tandan pisang yang makin ke ujungnya makin menguncup volumenya terasa jadi mengecil tapi menyerasikan pola alamiah sebuah tandan kumpulan puisi bersama.
Sajak Ratu yang paling kuat dalam kumpulan ini pada sajak PRAHARA :
Kabut membawamu pergi ke balik bukit
mewariskan setumpuk tanda tanya
antara salah dan benar
sementara aku hanya diam
dalam perasan hati
Cirebon, 27 November 2010
Sajak yang kuat tentu memiliki daya saran, impresif dan massif menegaskan kekuatan daya ungkap yang tegas, tidak main-main dan selesai.
Gugatan penyair Rini Intama juga meluncur searah dengan Ratu yang sedaerah wilayah lingusitik yang menyebelah. Kekayaan ranah bahasa yang terbelah sebagai titik perpndahan etnis Sunda ke Jawa tak terasa dalam sajak yang ngIndoinesia.
HENING
Dalam hening
Merindu muara berair bening
Merdu suara seruling
Meski tanah masih mengering
2010
Permainan rimanya perlu diacungi jempol. Gaya klasik yang sudah banyak ditinggalkan penyair yang muncul tenggelam di layar Facebook.
Meluncuri halaman demi halaman kumpulan tigabelas penyair Merapi Gugat menemukan nama yang dikenal dengan ejaan van Ophoesen ejaan zaman normal saat kuda masih gigit besi : Soekamto.
Walaupun titi mangsa kelahirannya sudah masuk ke tahun tujuhpuluhan menjelang diundangkan ejaan yang disemurnakan tetapi penyair ini tetep kukuh dengan ejaan yang sekarang dianggap tidak normal walau berasal dari zaman normal.
Seperti yang sering ditemui pada penyair yang punya banyak buku terbitan semacam buah yang dikarbitkan rasanya jadi malu mengatakan penuh daya. Kebanyakan daya yang ditumpahkan dalam jutaan usaha mencatat dalam sajak tidak ada selayak Joko Pinurbo setelah Afrizal Malna surut dan menutup jejak Sutardji CB yang berkredo membebaskan makna kata.
Sajaknya jadi terasa biasa-biasa tanpa kekuatan khas seperti yang dipunyai Sapardi Djoko Damono yang menguasi anatomi hujan bulan Juni, atau tenaga dinamit Rendra dalam olah dramaturginya yang kuat pada sajak yang berkarakter dengan penokohan yang jelas dan tidak sekedar memotret suasana seperti sajak ini :
SAJAK MALAM BASAH
Melagu sunyi
di atas ranjang kayu
bumi bergoncang
tanah menggelombang
dan bangunan pun merenggang
kita terlelahkan tarian kumbang
Di ujung malam basahangin meronta
gigilkan aku melukis wajahmu
di dinding kamar: syahwatku
Di tengah malam basah
aku mulai bersitegangdengan aroma barutubuhmu terkulai lemasmembiru dingin dan kakuDi akhir malam basahkita kehilangan kenangan
dari segala kemenangan
yang diberangus bulan telanjang
dan, kita pun cuma bisa pasrah
bertatap sapa
tanpa muka
berteriak
tanpa suara
menangis
tanpa air mata
Jembawan, 8 Oktober 2010
Pada gilirannya kelompok tiga belas penyair perkasa menggugat Merapi, sebagai catatan khusus karena kiprahnya yang lebih bercatatan karena lebih sering dijumpai dalam Facebook adalah Susy Ayu yang dalam thesa yang antithesa dengan sikap kredo SCB yang membebaskan makna kata, Susy Ayu malah mengerangkeng kata-kata sebagai makna dirinya dalam buku kumpulan puisi Rahim Kata-kata (2010)
"sungguh kuingin menguasai kata-kata,
mengumpulkan dan menernakkannya,
beranak pinak menjadi sekumpulan hewan
yang bisa kupanen sewaktu-waktu
tapi seringkali akulah yang digembalakannya,
dibanding sebaliknya”
(Aku Hamil Oleh Musim)
Ternyata memang Susy Ayu telah mahir menghamili kata-kata dalam sajaknya.
STASIUN TUGU 1
di peron lidahmu kelu
sebab telah salah kau tulis
pidato penyambutan untuk sesuatu
yang menjadi keberangkatanmu sendiri
30 November 2010
STASIUN TUGU 2
di kursi fiber itu kau termangu
penantianmu sia-sia
sebab entah bagaimana
tak kau sadari ada
kutik tok jam yang setia
menghitung gerbong demi gerbong
juga degup jantungmu sendiri
30 November 2010
STASIUN TUGU 3
di jendela
kulihat wajahmu berseliweran
apakah kita pernah berkenalan?
lama kau tak menjawab
sebelum akhirnya kudengar
suara roda menggilas rel
hatiku yang bising dihajar sepi
30 November 2010
Pencerahan nafas sajaknya sudah dapat disejajarkan dengan potretan lirik SDD yang menguasai hujan bulan Juni. Tiga sajak yang sewkatu ini cukup mewakili dalam jejak lirisnya.
Nama penggerak motor kumpulan sajak tigabelas penyair Merapi Gugat yang melumuri suasana garang magma panas dan desakan tenaga lahar dingin yang lain adalah Boedi Ismanto SA yang memang layak sebagai penggugat dengan ilmu hukum yang dikuasainya. Catatan sajaknya memang memotret mewakili menuntut pada mereka yang terbencanai. Hanya sayang kadang terasa seperti slogan atau iklan kotak kecil di harian ibukota maupun daerah jadi terkesan ketergesa-gesaan tanpa tahapan kontemplasi dan meditasi yang dalam. Kegarangan jelas yang terpampang sesuai dengan sifat iklan atau slogan yang menyerang dan menyergap pembaca untuk tersirep/terhipnotis.
NOTA SIANG
nasi telur sudah sangat bagus
kalian belum tentu jumpa saban hari
itu bantuan para relawan
kami baru akan merapatkan
NOTA PAGI
semua toh selesai dengan pidato memikat
atau komentar singkat. dan kami bisa tidur
nyenyak meneruskan kembali mimpi semalam
kepedulian? itu tugas mulia kalian
Yogya, 2010
CATATAN MERAPI
/1/
presiden bakal ngantor di yogyakatanya
untuk waktu yang lama
/2/
maaf presiden harus balik
Jakarta, ketemu obama
/3/
lahar sampai jalan kaliurang km 12
tv one ngabarkan jelas
/4/
tv one mohon maaf
wartawan konon khilaf
/5/
rcti meletus 8 november
paranormal - nara sumber
/6/
fenny rose ndobos - info tai men
silet atos ganti nama silit mbledos
/7/
sapisapi akan dibeli 10 juta per ekor
duit belum juga disetor
39
/8/
warna abu abuabu – pernah
kuning waktu ical ke situ
/9/
para penyair baca puisi buat merapi
wakil rakyat pesiar ke luar negeri
/10/
pahlawan kita relawan. Mati
menolong korban. juga kalian
Yogya, 2010
Penggerak yang lebih dikenal lewat kiprah media masa sebelum ada internet denga pengenalan nama di media penyair ini ( Kurniawan Junaedhi ) sering muncul bersama Ahita Teguh Susilo, Dharmadi, maupun yang sudah lama mendekam di Bulungan Jakarta Selatan Adri Darmadji Woko serta kelompok Yudhistira Ardi Nugraha dan Korrie Layun Rampan yang makin tenggelam dalam kreatifitas usia senjanya, walaupun nama-nama itu seakan tertutup oleh kecemerlangan dan kelantangan Linus Suryadi AG maupun Emha Ainun Nadjib. Simak saja keragaman diksinya:
HAIKU: MERASAKAN MERAPI
1/
wedhus gembel
menebas langkah mbah marijan
roso, roso!
2/
seekor katak
nyemplung ke kali code
jadi sate !
3/
udara ranggas
awan panas
roh terkelupas
4/
wajah petruk muncul di timur
sang raja menjelma gubernur
mbah marijan pun tersungkur
5/
gunung merapi
hanyutkan mimpi
sang juru kunci
6/
sepatu lars
sedalam 10 centi
di cengkeram mati
7/
pucuk pohon
menatap langit
berwarna kelabu
8/
sebongkah batu
bermain gundu
di belakang rumah sutirman eka ardhana
9/
di saat zikir,
airmata lava mengalir
sampai ke hilir
10/
langit mendung
awan bergulung
ngarso dalem pun termenung
Sutirman Eka Ardhana : Nama penyair Yogyakarta yangrumahnya persis di dekat Kali Code
Sebagai penutup buku dan penjaga halaman terakhir tampaknya memang cocok diserahkan pada penyair ini ( Sutirman Eka Ardhana ) yang memang jatuh pada urutan abjad yang digunakan sebagai cara mengelompokkan penyair yang menggugat Merapi.
Coba kalau urutan yang digunakan usia mungkin juga penyair ini penyair yang paling gaek dengan mencapai kepala lima pada usianya. Penyair yang tidak saja menulis sajak tapi juga novel dan cerpen benar-benar setingkat 23761 kecuali dalam teater dan film yang belum terlihat jejak Sutirman Eka Ardhana di jalur itu.
Maka penyair ini mengunci dengan irama mantra semenanjung kepulauan Riau yang sudah tidak lagi dipelukinya setiap saat karena tersangkut gudeg dan gerak andong di Ngayojakarto Hadiningrat.
KARENA KAU GUNUNG
karena kau gunung, menjulanglah
karena kau batu, mengeraslah
karena kau asap, mengepullah
karena kau awan, membumbunglah
karena kau bara, menyalalah
karena kau api, berkobarlah
tapi jangan kirimi kami
duka lara seperti in
ikarena kau gunung, menggununglah
karena kau batu, membatulah
karena kau asap, mengasaplah
karena kau awan, mengawanlah
karena kau bara, membaralah
karena kau api
-jangan bakar rumah-rumah kami
jangan hanguskan kebun-kebun kami
jangan renggut istri dan anak-anak kami
karena kau gunung, menggununglah
karena kau batu, membatulah
karena kau api –
jangan padamkan nyala hidup kami
karena kau gunung, menjulanglah
ke puncak harap kami
Yogya, November 2010
Hal anehnya,
adalah tak secuilpun penyair ini,
yang berdarah kraton Yogya,
apalagi sekedar numpang lahir sekalipun.
Bogor, Xmas Date 2010
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
.
BalasHapusngapunten mas @Cunong,
baru bisa baca reviewmu.
masa memang tak melekangkan puisi
ia tetap menjadi puisi yang indag.....
Blog Misteri
BalasHapusMistri Benua Atlantis
Mistri Gunung Merapi