sastra-bojonegoro.blogspot.com
SURABAYA - Paguyuban Pengarang Sastra Jawa
Surabaya (PPSJS), Selasa (22/4/2014) malam menggelar Malam Sastra Jawa di
galeri Surabaya, komplek Balai Pemuda. Penampilan para seniman sastra Jawa itu
tidak hanya geguritan (baca puisi), tapi juga diisi dengan panem bromo (kor
tembang), tari-tarian, dan launching buku kumpulan geguritan "Mlesat
Bareng Ukara".
Suasana sederhana terlihat di galeri Surabaya saat Malam Sastra Jawa itu digelar. Tidak ada meja bundar yang dikeliling kursi berbalut kain. Tapi cukup tikar plastik yang menghadap panggung kecil. Pencahayaan minimalis tampak dari nyala beberapa lampu bohlam kuning. Para penonton pun duduk lesehan beralaskan tikar.
Makanannya pun hanya camilan tradisional, seperti, kacang tanah rebus, serta makanan umbi-umbian rebus, semacam ketela rambat, ketela pohon, serta pisang rebus.
Beberapa tokoh hadir, seperti, penulis Suparto Brata, dr Ananto Sidohutomo MARS, Widodo Basuki, Aming Aminoedhin, dan para pelaku sastra Jawa dari STKW, Unesa, dan komunitas sastra Jawa dari berbagai daerah. Acara dimulai dengan penampilan anak-anak dengan iringan gending Jawa.
Saat pembukaan, Suparto Brata, memberikan taliasih buku-buku berbahasa Jawa kepada pengurus PPSJS. Usai membuka acara, para undangan, satu per satu membacakan puisi atau geguritan yang ada dalam buku "Mlesat Barng Ukara". Dalam buku itu, berisi puisi Jawa atau geguritan karya dari 23 seniman Jawa.
Aming Aminoedhin
Tengsoe Tjahjono
R. Giryadi
R. Djoko Prakoso
JFX. Hoery
Widodo Basuki
Nanik Handayani
Sri Setya Rahayu
Nono Warnono
Gampang Prawoto
Puspo Endah
Teguh Harjono
Jarot Setyono
Agung Pranoto
Trinil
Indri S. Diarwanti
Suharmono K.
Yayuk YY. Iswatin
Ardi Susanti
Herry Lamongan
Deny Tri Aryanti
Pringgo HR.
Tjahjono Widarmanto
Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Lamongan, Kediri, Magetan, Trenggalek, Sidoarjo, Mojokerto, Bojonegoro, dan ada yang dari Korea, yaitu Tengsoe Tjahjono, yang sedang menjadi pengajar di Seoul, Korea Selatan.
Di sela geguritan, Suparto mengungkapkan saat ini sastra Jawa masih ada empat kelompok yang menampilkannya dalam even sejenis malam sastra Jawa.
"Karena UNESCO sendiri sudah memberikan perhatian untuk pelestarian dan pengembangan yang terkodrat di dunia. Termasuk bahasa Tradisional. Bahasa Jawa termasuk dalam bahasa tradisional ini," jelasnya.
Sesepuh PPSJS ini juga menambahkan bila UNESCO juga membentuk tanggal 21 Februari sebagai hari bahasa Ibu. Internasional. Dimana semua warga dunia di hari itu, menggunakan bahasa ibu atau bahasa tradisional mereka dalam berdialog.
"Nah dengan pagelaran malam sastra Jawa seperti ini, paling tidak usaha untuk pelestarian dan pengembangan budaya Jawa bisa dilakukan," lanjutnya.
Para undangan ikut membaca geguritan tampak puas dan bangga. "Saya sebenarnya tidak begitu mendalami bahasa Jawa, meski itu adalah bahasa ibu yang saya pakai sehari-hari. Begitu tahu ada malam sastra seperti ini, seperti membuka kembali arti bahasa jawa yang saya gunakan," komentar Lintang Wijayanti, mahasiswa Unair yang hadir dalam acara itu.
Malam itu, Lintang juga ikut geguritan. Usai membaca puisi, mengaku ketagihan dan penasaran dengan membaca buku berbahasa Jawa.
Suasana sederhana terlihat di galeri Surabaya saat Malam Sastra Jawa itu digelar. Tidak ada meja bundar yang dikeliling kursi berbalut kain. Tapi cukup tikar plastik yang menghadap panggung kecil. Pencahayaan minimalis tampak dari nyala beberapa lampu bohlam kuning. Para penonton pun duduk lesehan beralaskan tikar.
Makanannya pun hanya camilan tradisional, seperti, kacang tanah rebus, serta makanan umbi-umbian rebus, semacam ketela rambat, ketela pohon, serta pisang rebus.
Beberapa tokoh hadir, seperti, penulis Suparto Brata, dr Ananto Sidohutomo MARS, Widodo Basuki, Aming Aminoedhin, dan para pelaku sastra Jawa dari STKW, Unesa, dan komunitas sastra Jawa dari berbagai daerah. Acara dimulai dengan penampilan anak-anak dengan iringan gending Jawa.
Saat pembukaan, Suparto Brata, memberikan taliasih buku-buku berbahasa Jawa kepada pengurus PPSJS. Usai membuka acara, para undangan, satu per satu membacakan puisi atau geguritan yang ada dalam buku "Mlesat Barng Ukara". Dalam buku itu, berisi puisi Jawa atau geguritan karya dari 23 seniman Jawa.
Aming Aminoedhin
Tengsoe Tjahjono
R. Giryadi
R. Djoko Prakoso
JFX. Hoery
Widodo Basuki
Nanik Handayani
Sri Setya Rahayu
Nono Warnono
Gampang Prawoto
Puspo Endah
Teguh Harjono
Jarot Setyono
Agung Pranoto
Trinil
Indri S. Diarwanti
Suharmono K.
Yayuk YY. Iswatin
Ardi Susanti
Herry Lamongan
Deny Tri Aryanti
Pringgo HR.
Tjahjono Widarmanto
Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Lamongan, Kediri, Magetan, Trenggalek, Sidoarjo, Mojokerto, Bojonegoro, dan ada yang dari Korea, yaitu Tengsoe Tjahjono, yang sedang menjadi pengajar di Seoul, Korea Selatan.
Di sela geguritan, Suparto mengungkapkan saat ini sastra Jawa masih ada empat kelompok yang menampilkannya dalam even sejenis malam sastra Jawa.
"Karena UNESCO sendiri sudah memberikan perhatian untuk pelestarian dan pengembangan yang terkodrat di dunia. Termasuk bahasa Tradisional. Bahasa Jawa termasuk dalam bahasa tradisional ini," jelasnya.
Sesepuh PPSJS ini juga menambahkan bila UNESCO juga membentuk tanggal 21 Februari sebagai hari bahasa Ibu. Internasional. Dimana semua warga dunia di hari itu, menggunakan bahasa ibu atau bahasa tradisional mereka dalam berdialog.
"Nah dengan pagelaran malam sastra Jawa seperti ini, paling tidak usaha untuk pelestarian dan pengembangan budaya Jawa bisa dilakukan," lanjutnya.
Para undangan ikut membaca geguritan tampak puas dan bangga. "Saya sebenarnya tidak begitu mendalami bahasa Jawa, meski itu adalah bahasa ibu yang saya pakai sehari-hari. Begitu tahu ada malam sastra seperti ini, seperti membuka kembali arti bahasa jawa yang saya gunakan," komentar Lintang Wijayanti, mahasiswa Unair yang hadir dalam acara itu.
Malam itu, Lintang juga ikut geguritan. Usai membaca puisi, mengaku ketagihan dan penasaran dengan membaca buku berbahasa Jawa.
sastra-bojonegoro.blogspot.com |
sastra-bojonegoro.blogspot.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar