Suket 3
‘’Apakah agama itu?’’ kata salah satu santri kepada KH Ahmad Dahlan. Tanpa menjawab, KH Ahmad Dahlan lalu mengambil biola dan memainkan biola. Denting dawai biola mengalun. Pelan tapi iramanya merdu. Usai memainkan biola, KH Ahmad Dahlan bertanya kepada santrinya. ‘’Apa yang kalian rasakan?’’’’kata pendiri Muhammadiyah itu kepada santrinya.
‘’Keindahan,’’ jawab santrinya.
‘’Ketenangan,’’kata santri lainnya. Bahkan ada satu santri tertidur saking merdunya petikan dawai biola yang dialunkan KH Ahmad Dahlan. Setelah mendengar jawaban dari masing-masing santrinya.
KH Ahmad Dahlan lalu memetik biolanya secara acak, suaranya tidak karuan dan memekakkan telinga. Dia lalu melontarkan pertanyaan yang sama, ‘’Apa yang kalian rasakan?’’
‘’Kekacauan,’’kata santrinya.
***
‘’Keindahan,’’ jawab santrinya.
‘’Ketenangan,’’kata santri lainnya. Bahkan ada satu santri tertidur saking merdunya petikan dawai biola yang dialunkan KH Ahmad Dahlan. Setelah mendengar jawaban dari masing-masing santrinya.
KH Ahmad Dahlan lalu memetik biolanya secara acak, suaranya tidak karuan dan memekakkan telinga. Dia lalu melontarkan pertanyaan yang sama, ‘’Apa yang kalian rasakan?’’
‘’Kekacauan,’’kata santrinya.
***
Dialog diatas saya kutip tak menyeluruh dari film Sang Pencerah. Saya menonton film itu tiga hari pasca-Lebaran lalu. Saya tergoda menontonnya karena film ini mampu memberikan tema alternatif tontonan yang mencerahkan ditengah gempuran tema-tema film berbau demit dan lendir yang memuakkan. Meski masih banyak kritik namun film karya Hanung Brahmantyo tersebut mampu menampilkan sosok muda KH Ahmad Dahlan yang toleran dan menghargai perbedaan pendapat. Film itu, saya kira, dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang mendambakan Islam menjadi sebagai agama rahmatan lil alamin.
Bahkan, dalam film itu ada adegan KH Ahmad Dahlan tanpa ragu memberikan pelajaran agama bagi siswa-siswa Belanda yang notebene non-muslim. Cara mengajar KH Ahmad Dahlan yang atraktif dan akrab memikat para siswanya. Islam ditangan KH Ahmad Dahlan menjadi agama yang benar-benar sejuk bagi siapapun.
Usai menonton film itu, saya teringat catatan penyair Goenawan Mohammad dalam kata pengantarnya di buku Pintu-Pintu menuju Tuhan karya Noercholish Madjid, setiap kali saya mendengarkan Noercholish Madjid, setiap kali saya merasa ada yang terselamatkan dalam iman saya: Tuhan yang esa itu adalah Tuhan yang inklusif. Ke dalam kemahapemurahan itu saya tidak ditampik.
Ya, saya merasakan iman ini juga terselamatkan ketika usai menonton Sang Pencerah. Ada keteguhan. Ada rasionalitas. Dan ada kelembutan menjalankan nilai-nilai agama yang diajarkan KH Ahmad Dahlan.
Namun, hati ini juga ikut miris ketika agama alat pembenar untuk melakukan kekerasan terhadap penganut agama lain dan aliran agama. Sejumlah penganut Ahmadiyah diserang oleh salah satu kelompok massa yang mengatasnamakan agamanya. Dalihnya, Ahmadiyah telah melenceng dari Islam. Saya bukan ahli agama. Tapi bagi saya, menggunakan kekerasan untuk menyerang kelompok yang berbeda pendapat merupakan kekejian terhadap agama.
Dalam salah satu adegan Sang Pencerah, KH Ahmad Dahlan juga mengalami kekerasan yang luar biasa yang dilakukan oleh penghulu agama Keraton Jogjakarta. Langgar yang menjadi tempat belajar santrinya dirobohkan paksa oleh penganut konservatif.
Namun, KH Ahmad Dahlan tak membalas kekerasan yang diterimanya. Justru KH Ahmad Dahlan bangkit dan membuktikan jika dirinya mampu memberikan manfaat bagi umat. Sikap dan teladan inilah yang kerap tidak dimiliki umat beragama saat ini. Kekerasan kerap kali dibalas dengan kekerasan. Ujungnya, kekerasan menjadi lingkaran yang tak berujung. Keberagaman adalah kodrat. Dalam keberagaman itulah kita menemukan keindahan.
Diposkan oleh samudrabanyubening
Tidak ada komentar:
Posting Komentar