LELAKI tua
itu tinggal di sebuah rumah sederhana
bersama istri dan seorang anaknya. Rumah itu
terletak di sebuah gang sempit di kawasan padat
penduduk di Peterongan Tengah, Semarang. Beberapa
pot bunga menghiasi teras rumahnya. Sebuah mobil
Suzuki keluaran 1983 tertutup rapat di halaman
rumahnya yang sempit. Mobil tua itu sudah jarang
dikendarai.
Pemiliknya Agus Mulyono, 67 tahun. Di
dunia sastra
Jawa ia
lebih populer dengan nama samaran Ariesta
Widya. Dari
tangannya sejak 1959 telah lahir 100
prosa, lima
cerita bersambung, 39 geguritan
(puisi), dan
sejumlah cerita pendek (cerita cekak).
Terakhir dia
baru saja meluncurkan kumpulan
cerita
pendek Manjing Daging yang diterbitkan Mascom
Media
Semarang.
Lewat
kegiatan mengarang dalam bahasa Jawa itu ia
beberapa
kali menerima penghargaan sebagai
sastrawan
Jawa terbaik versi Dewan Kesenian Surabaya,
majalah
Djaka Lodang, Javanologi Yogyakarta,
dan Taman
Budaya Yogyakarta.
Namun,
kehidupan sastra Jawa tampaknya tak jauh
berbeda
dengan kehidupan Agus: terhimpit di gang
sempit.
Sastra Jawa nyaris punah bila orang-orang
seperti Agus
tidak bertahan mati-matian
menghasilkan
sejumlah karya yang layak baca.
Tapi itu
saja tak cukup. Karya itu butuh pembaca, dan
kini pembaca
sastra Jawa makin berkurang.
"Kalaupun
kesejahteraan para sastrawan Jawa dijamin
oleh negara,
tidak ada jaminan sastra Jawa akan
tetap maju
jika apresiasi dari masyarakatnya sendiri
rendah,"
kata Agus pada Maret lalu.
Kehidupan
pengarang sastra Jawa masa kini tidak bisa
dilepaskan
dari media massa berbahasa Jawa.
Selain
berisi berita dan artikel, majalah bahasa Jawa
juga
dipenuhi karya-karya sastra seperti
cerita
bersambung (crita sambung), cerita pendek
(crita
cekak), cerita anak-anak (wacan bocah),
cerita
wayang (pedhalangan), crita rakyat, dan cerita
misteri
(alaming lelembut).
Di antara
materi fiksi tersebut, hanya crita sambung
dan crita
cekak yang dianggap karya sastra. Di
kedua rubrik
ini hanya karya yang memiliki mutu sastra
tinggi saja
yang lolos ke pemuatan.
Tak banyak
sastrawan yang konsisten mengirim karyanya.
Biasanya
mereka selalu datang dan pergi.
Kalaupun ada
yang konsisten, jumlahnya cuma dapat
dihitung
dengan jari. Pengarang angkatan tua yang
boleh
digolongkan tetap produktif hingga kini ialah
Suparto
Brata, Ismoe Rianto, Suharmono Kasiyun,
Yunani
(Surabaya), Suryadi WS (Solo), Wisnu Sri Widodo
(Sragen),
Tiwiek SA (Tulungagung) dan Djajus
Pete
(Bojonegoro). Karya-karya mereka telah menghiasi
majalah
bahasa Jawa sejak akhir 1950-an.
Generasi
berikutnya yang produktif ialah Harwimuka
(Blitar),
Widodo Basuki (Trenggalek), AY
Suharyono,
Ardini Pangastuti (Semarang), Keliek SW
(Wonogiri)
dan Turio Ragilputra (Kebumen).
Generasi
termuda dari pengarang sastra Jawa yang tetap
produktif
berkarya ialah Sumono Sandy Asmoro
(Ponorogo),
Siti Aminah (Yogyakarta), Bambang P
(Wonogiri)
dan Sudadi (Wonosobo).
Kecuali
Suparto Barata, Tiwiek SA dan Harwimuka,
mereka
adalah sastrawan majalah. Karya-karya cerita
pendek dan
cerita bersambung mereka banyak menghiasi
Panjebar
Semangat, Jaya Baya dan Djaka Lodang.
Sedangkan
Suparto, Tiwiek dan Harwimuka selain
produktif di
majalah juga telah banyak menghasilkan
buku sastra.
Namun, dunia
sastra Jawa tidak bisa dilepaskan oleh
nama-nama
seperti Tamsir AS, Any Asmara dan
Esmiet
(semuanya telah almarhum). Nama-nama mereka
seperti
melegenda di belantika sastra Jawa.
Selain
sebagai pengarang Jawa yang sangat produktif,
karya-karya
mereka banyak digemari pembaca.
Bahkan,
misalnya, pada masa jayanya, di Palembang pada
1960-an
pernah berdiri organisasi persatuan
penggemar
Any Asmara.
Menurut
Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat, Moechtar,
78 tahun,
oplah Panjebar Semangat langsung
naik bila
memuat cerita bersambung karya ketiganya.
Bagi para
pengarang sendiri, mereka juga sebuah
legenda.
"Mereka tak tergantikan oleh siapapun,"
kata Tiwiek
SA.
Di era
2000-an satu dua pengarang bermunculan.
Biasanya
mereka mengirimkan karya cerita anak yang
"mutu
sastranya" tidak berat. Kemunculan mereka makin
memperkaya
jumlah pengarang. Ketika Jaya Baya
menggelar
lomba mengarang remaja, peminatnya mencapai
127 orang.
Namun, setelah lomba berakhir,
mereka tak
pernah lagi mengirim karangan. "Mereka
hanya ingin
hadiahnya saja," kata Widodo Basuki,
staf redaksi
Jaya Baya.
Pengarang
sastra Jawa umumnya tidak berangkat dari
tujuan
komersial, karena honorarium mereka
tergolong
kecil. Di Panjebar Semangat, misalkan, honor
sekali
pemuatan cerita pendek hanya Rp 40
ribu. Tak
heran bila produktivitas mereka lebih
bertumpu
pada idealisme. "Honor menulis sastra Jawa
ibaratnya
hanya cukup untuk beli pita mesin ketik
saja,"
kata Suparto Brata.
Buku-buku
Produktivitas
adalah salah satu faktor yang membuat
buku karya
sastra Jawa juga menurun 5 tahun
terakhir
ini. Kalaupun ada, jumlahnya dapat dihitung
dengan jari,
yaitu kumpulan geguritanLayang
Saka Paran
(Widodo Basuki, 2000), Trem (Suparto Brata,
2001), Kreteg
Emas Jurang Gupit (Djajus Pete,
2002),
Candhikala Kapuranta (Sugiarto Sriwibawa,
2003),
Pagelaran (JFX Hoeri, 2004), Serenada
Schubert
(Moechtar, 2004), Donyane Wong Culika
(Suparto
Brata, 2005), Donga Kembang Waru (Trinil,
2005) dan
Medhitasi Alang-Alang (Widodo Basuki, 2005).
Dari
keseluruhan buku-buku tersebut yang mendapatkan
hadiah
sastra Rancage ialah Layang Saka Paran
(Rancage
2000), Trem (2001), Kreteg Emas Jurang Gupit
(2002),
Candhikala Kapuranta (2002), Pagelaran
(2004) dan
Donyane Wong Culika (2005).
Penerbitan
semua buku-buku itu dimodali sendiri oleh
penulisnya.
Suparto Brata, misalnya, rela
merogoh
koceknya sendiri hingga Rp 8 juta untuk
menerbitkan
Donyane Wong Culika kepada penerbit
Narasi
Yogyakarta.
Hal yang
sama juga dialami oleh Trinil dan Widodo
Basuki.
Karya keduanya diterbitkan oleh penerbit
kecil, yakni
Komunitas Cantrik, Malang. Sedangkan
Kreteg Emas
Jurang Gupit karya Djajus Pete dicetak
oleh sebuah
percetakan kecil tanpa nama di Jalan
Pagesangan,
Surabaya. Dananya digotong rame-rame
oleh Aliansi
Jurnalis Independen Surabaya dan Dinas
Informasi
dan Komunikasi Jawa Timur. "Sastrawan
Jawa itu
miskin, tapi idealis. Buktinya mereka bisa
menerbitkan
sendiri karyanya," kata Widodo
Basuki.
Bahasa Jawa
merupakan kesulitan tersendiri untuk
menawarkan
ke penerbit. Rata-rata para penerbit
enggan
menerbitkan dengan alasan sulit untuk dijual.
Penerbit
tidak mau menanggung risiko merugi.
Akhirnya
para pengarang itu membiayai sendiri
percetakan
tanpa membebani percetakan untuk
menjualkan.
Namun,
kesulitan lain tetap muncul. Setelah menjadi
buku,
toko-toko buku besar emoh pula dititipi
untuk
memasarkannya. Alasannya, buku berbahasa Jawa
sulit laku.
"Saya menawarkan buku saya ke Toko
Buku Manyar
Jaya, tapi langsung ditolak dengan alasan
bahasanya
sulit dimengerti," kata Widodo
Basuki.
Penghargaan
terhadap buku sastra Jawa cuma Rancage
saja.
Penghargaan berupa uang senilai Rp 5 juta.
Di luar itu
tidak ada lagi penghargaan terhadap buku
bahasa Jawa.
Pemerintah,
khususnya pemerintah daerah Jawa Tengah,
Yogyakarya
dan Jawa Timur, juga minim sekali
perhatiannya
terhadap buku-buku bahasa Jawa ataupun
pengarangnya.
Dewan Kesenian sebagai lembaga
kesenian
yang mencakup karya sastra juga tidak
menunjukkan
perhatian yang memadai. "Dewan Kesenian
hanya
memfasilitasi pertemuan pengarang saja," kata
Widodo
Basuki lagi.
Penerbitan
buku
Dalam
sejarah penerbit buku di Surabaya, hanya
Panjebar
Semangat dan Jaya Baya saja yang mau
menerbitkan
buku-buku berbahasa Jawa. Di luar itu,
dengan
alasan komersial, tidak ada penerbit yang
mau
menyentuh sastra Jawa. Kalaupun ada, ya itu tadi,
mereka minta
dibayar penuh dan tidak dibebani
ikut
menjualkan.
Lain halnya
dengan Panjebar Semangat dan Jaya Baya.
Sejak
1950-an Panjebar Semangat telah
menerbitkan
buku-buku berbahasa Jawa. Produk
terbitannya
yang hingga kini tetap terkenal ialah
novel
Ngupaya
Serat Pangruwating Papa dan Kitab Betal Jemur
Adam Makna.
Penerbitan
ini berhenti setelah Pemimpin Umum Panjebar
Semangat,
Imam Supardi, meninggal dunia.
Penerbitan
selanjutnya diteruskan oleh Yayasan Jaya
Baya. Di
tangan Jaya Baya, puluhan buku telah
diterbitkan
dalam tiga dekade. Selain novel-novel
bahasa Jawa,
ia juga menerbitkan buku kejawen,
kamus basa
Jawa, kawruh basa Jawa dan, kawruh keris
dan tata
cara pamedhar sabda.
Proyek
idealis ini digarap oleh bekas Pemimpin Umum
Jaya Baya
yang kini telah almarhum, Tadjib
Ermadi dan
Satim Kadaryono. Mereka rela menyisihkan
laba Jaya
Baya untuk membiayai proyek idealis
tersebut.
Menurut
Pemimpin Redaksi Jaya Baya, Kicuk Parta,
sampai saat
ini masih ada penggemar fanatik
buku-buku
kejawen tersebut. Namun, karena jumlahnya
terbatas,
setiap pembeli hanya diberi edisi foto
copy saja.
Buku yang asli tidak boleh dibeli karena
tinggal
satu-satunya. "Tapi, sejak dua tahun
terakhir
percetakan kami tidak aktif," kata Kicuk.
Di kantor
Jaya Baya yang terletak di Jalan Karah
Agung,
Surabaya, masih banyak buku-buku berbahasa
Jawa, baik
novel, cerita sejarah dan bacaan anak-anak.
Kicuk
menjelaskan, selain dijual di kantor,
buku-buku
terbitan Jaya Baya juga dititipkan ke Toko
Buku Sari
Agung, Surabaya. Mereka sadar, sangat
sulit
mengambil laba dari penjualan buku-buku itu.
"Karena
ini proyek idealis, bagi saya impas saja
sudah
bagus," kata dia.
Dari puluhan
buku terbitan Jaya Baya, novel Dokter
Wulandari
karya Yunani merupakan buku terlaris.
Novel yang
dicetak tahun 1997 itu laku hingga 2 ribu
eksemplar.
"Itu rekor tertinggi penjualan buku
bahasa
Jawa," kata Kicuk.
Sayangnya,
di Surabaya maupun di kota-kota lain di
Jawa Timur
jarang dijumpai toko-toko buku yang
menjual buku
berbahasa Jawa. Kalaupun ada, berupa buku
pengetahuan
yang berhubungan dengan kejawen
yang ditulis
dengan bahasa Indonesia.
Di Toko Buku
Gramedia kini memang terdapat buku
Donyane Wong
Culika karya Suparto Brata. Namun,
umumnya
buku-buku sastra Jawa tidak mendapat tempat di
etalase toko
besar. Jika masih ada, umumnya
dijumpai di
pedagang-pedagang buku bekas di Jalan
Semarang
maupun di Pasar Blauran, Surabaya.
Nasib
buku-buku Jawa mutakhir tampak makin terhimpit
di gang-gang
sempit pasar buku loak itu. Di
gang itu
masih mungkin menjajakannya, tapi dia
tetaplah
sebuah gang. Yang meliriknya terbatas pada
sebagaian
kecil orang yang mungkin mau berpayah-payah
mencarinya.
kukuh s wibowo/sohirin/kurniawan
Sumber:
Laporan Yayasan Sastra Rancage
Tidak ada komentar:
Posting Komentar