SUKET : Samudra Banyu Bening (5)
http://samudrabanyubening.blogspot.com/
Menemukan Keindahan
Siapa tokoh pergerakan nasional
yang lahir dan tumbuh wilayah edar Radar Bojonegoro? Ada banyak sebenanya, tapi menurut saya ada
dua orang yang cukup mempengaruhi pergerakan nasional. Sebut saja tokoh pers
nasional Tirto Adhi Soerjo yang lahir di Blora dan tumbuh di Bojonegoro. Ada tokoh komunisme juga
Mas Marco Kartodikromo yang lahir di Cepu. Dan Sekarmaji Maridjan Kartosuwirjo,
tokoh Negara Islam Indonesia (NII) yang lahir di Cepu dan tumbuh di Bojonegoro.
Saya mungkin luput menyebut sejumlah tokoh lainya,sehingga Anda berhak untuk
menambah daftar tokoh pergerakan nasional di Bojonegoro, Lamongan, Tuban dan
Blora.
Tanah yang tandus seperti Blora dan Bojonegoro ternyata menjadi lahan tumbuh dan berkembangnya sejumlah tokoh yang ikut mempengaruhi pergerakan nasional. Tirto Adhi Suryo ditulis lengkap oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Juga ada tulisan biografi Tirto Adhi Suryo yang ditulis dalam Sang Pemula. Sedangkan Kartosuwirjo yang mendirikan NII, biografinya dicatat dalam buku Darul Islam (Sebuah Pemberontakan) karya Van Dijk dan Pemikiran Kartosuwirjo karya Al Chaidar.
Kartosuwirjo beruntung. Karena saat belajar kepada tokoh Sarekat Islam (SI) HOS Cokroaminoto di Surabaya, dia satu pondokan dan satu pendidikan bersama presiden RI 1 Soekarno dan tokoh komunisme Semaun.
Cokroaminoto berhasil mendidik para muridnya menjadi tokoh nasional. Menariknya ketiga muridnya, yakni Soekarno, Semaun dan Kartosuwirjo memilih jalan hidup ideologi yang berbeda-beda Namun tujuannya sama, memperjuangkan kemerdekaanIndonesia .
Dari tiga tokoh itu, Soekarno dan Semaun telah banyak jejak yang menelusurinya.
Bahkan,keduanya memiliki banyak massa
yang tak sedikit pada zamannya hingga kini. Namun, bagaimana dengan tokoh NII
Kartosuwirjo? Padahal, Kartosuwirjo dan NII menginspirasi sebagian umat Islam
mendirikan Daulah Islamiyah di Indonesia. Hingga ngebet-nya mendirikan NII di
Indonesia mereka pun kerap menempuh jalan kekerasan, seperti aksi bom bunuh
diri. Majalah Tempo edisi khusus Kemerdekaan yang menurunkan laporan tentang
Kartosuwirjo. Siapa sebenarnya Kartosuwirjo? Dia lahir di Cepu, Blora Jawa
Tengah. Anak seorang mantri candu di Cepu. Dari laporan Tempo berhasil
menelusuri, Kartosuwirjo menempuh pendidikan elite khusus anak Belanda
Europeesche Lagere School di Bojonegoro. Kehidupan keluarga Kartosuwirjo
sebenarnya bukan keluarga yang relijius tapi justru cenderung abangan. Pamannya
Mas Marco Kartodikromo adalah tokoh Sarekat Islam yang cenderung merah.
Sehingga Kartosuwirjo juga cenderung membaca buku-buku berhaluan kiri. Namun
dari catatan Tempo, saat menempuh pendidikan di Bojonegoro, Kartosuwirjo sempat
belajar agama kepada tokoh Muhammadiyah dan Partai Sarekat Islam Indonesia di
Bojonegoro, Notodiharjo. Hingga Kartosuwiryo pindah ke Malangbong Jawa Barat.
Dari lereng gunung yang sejuk, dia menyusun kekuatan bersama para pengikutnya
mulai dari Aceh yang dipimpin Daud Beureuh dan Kahar Muzakar di Sulawesi
Selatan. Akhirnya NII dideklarasikan NII pada 7 Agustus 1949.
***
Lulus SMA, saya pernah terpesona dengan ajaran Kartosuwirjo. Saya sempat ikut diskusi penulis buku Pemikiran Kartosuwirjo, Al Chaidar saat berjumpa diJogjakarta . Namun, diskusi
dengan sejumlah pengikut Kartosuwirjo ternyata kurang memuaskan. Saya kurang
tertarik dengan konsep merasa ajarannya paling benar. Saya percaya ijtihad,
tapi ijtihad yang tidak buta. Ijtihad harus didasarkan kepada landasan yang kuat.
Saat saya ikut bersama sejumlah pengikut NII, saya melihat mereka adalah
orang-orang yang melakukan ijtihad buta atau taklid.
Ketika masuk kampus, saya tidak bersemangat ikut organisasi mahasiswa keislaman dan nasionalisme. Saya memilih nyemplung ke dunia jurnalistik. Di dunia inilah, gagasan saya harus bertarung dan bertaruh. Saya bertemu beragam ras, agama dan pemikiran yang beragam. Seperti kata Nabi Muhammad, Allah sesungguhnya Indah dan mencintai keindahan. Dalam keberagaman itulah saya justru menemukan keindahan dan kebenaran.
Tanah yang tandus seperti Blora dan Bojonegoro ternyata menjadi lahan tumbuh dan berkembangnya sejumlah tokoh yang ikut mempengaruhi pergerakan nasional. Tirto Adhi Suryo ditulis lengkap oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Juga ada tulisan biografi Tirto Adhi Suryo yang ditulis dalam Sang Pemula. Sedangkan Kartosuwirjo yang mendirikan NII, biografinya dicatat dalam buku Darul Islam (Sebuah Pemberontakan) karya Van Dijk dan Pemikiran Kartosuwirjo karya Al Chaidar.
Kartosuwirjo beruntung. Karena saat belajar kepada tokoh Sarekat Islam (SI) HOS Cokroaminoto di Surabaya, dia satu pondokan dan satu pendidikan bersama presiden RI 1 Soekarno dan tokoh komunisme Semaun.
Cokroaminoto berhasil mendidik para muridnya menjadi tokoh nasional. Menariknya ketiga muridnya, yakni Soekarno, Semaun dan Kartosuwirjo memilih jalan hidup ideologi yang berbeda-beda Namun tujuannya sama, memperjuangkan kemerdekaan
***
Lulus SMA, saya pernah terpesona dengan ajaran Kartosuwirjo. Saya sempat ikut diskusi penulis buku Pemikiran Kartosuwirjo, Al Chaidar saat berjumpa di
Ketika masuk kampus, saya tidak bersemangat ikut organisasi mahasiswa keislaman dan nasionalisme. Saya memilih nyemplung ke dunia jurnalistik. Di dunia inilah, gagasan saya harus bertarung dan bertaruh. Saya bertemu beragam ras, agama dan pemikiran yang beragam. Seperti kata Nabi Muhammad, Allah sesungguhnya Indah dan mencintai keindahan. Dalam keberagaman itulah saya justru menemukan keindahan dan kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar