(Catatan perjalanan di Desa Jono, Temayang, Bojonegoro)
Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/
1. Keberangkatan
Setelah melakukan latihan ‘terakhir’ dalam proses naskah teater Negri
Sungsang pada 20 Januari 2012, seluruh awak Komunitas Suket Indonesia
berdiskusi khusus mengenai pementasan dua hari berikutnya tanggal 22
Januari di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Bojonegoro dan 23 Januari 2012
di Desa Maibit, Kecamatan Rengel-Tuban.
Fokus pembicaraan seputar perlengkapan dapur,
properti panggung, kendaraan dll, yang alkhasil diputuskan berangkat
pada 21 Januari, dengan perhitungan tiga mobil: Satu Taff dan dua Colt,
cukup untuk mengangkut 25 personel dan alat perlengkapan. Sengaja KSI
memersiapkan segala perbekalan termasuk alat dapur sekali pun supaya
tidak merepotkan tuan rumah.
Sekitar jam 15.30, tiga mobil para teaterawan meluncur dari Jombang
menuju Desa Jono, Kecamatan Temayang Bojonegoro. Langit memayungi
rombongan dengan cara berbeda, sebab sepanjang perjalanan diguyur hujan.
Begitulah kiranya supaya perjalanan menjadi catatan mengesankan. Sebab
tidak hanya diguyur hujan dan berselimut kabut tipis, namun satu di
antara mobil rombongan mengalami kerusakan kipas kaca pengibas air.
Sehingga, perjalanan sempat berhenti hingga lima kali, karena sopir
harus memasang tali penarik-ulur manual pada gagang kipas. Bisa
dibayangkan betapa mengesankan, salah seorang yang duduk di sebelah
sopir bertugas menjadi pengganti mesin kipas sepanjang perjalanan, itu
pun tali sempat putus berkali-kali. Keadaan demikian menjadi tantangan
tersendiri bagi sopir yang juga merangkap awak Jaran Dor. Apalagi
selepas jalur Lengkong-Kertosono, mobil memasuki kawasan alas perbukitan
Lengko (perbatasan Nganjuk dengan Bojonegoro). Sopir terpaksa ekstra
konsentrasi mengendalikan setir pada tanjakan, tikungan yang acapkali
curam. Rombongan sampai di Desa Jono pukul 19.30, seperti rencana survei
beberapa hari sebelumnya oleh sesepuh KSI: Catur, Sinyo dan Lek Mujib,
rombongan jujug di Sanggar Anugrah desa Jono yang pernah ditempati
Konggres Sastra Jawa (KSJ) III pada 28-30 Oktober 2011.
2. Pak Dasuki Kepala Desa + Seniman
Sesampai di Sanggar Anugrah desa Jono, rombongan disambut Pak Kades
Dasuki. Selaku tuan rumah, Pak Dasuki mempersilahkan rombongan
menggunakan segala fasilitas yang ada di sanggar. Sebagian anggota
menggelar tikar yang sengaja di bawa dari Jombang, namun Pak Dasuki juga
memersilahkan memakai tikar yang ada. Sebagian awak KSI yang lain
menyetting panggung, dengan harapan besok seharian sudah harus
beristirahat total, kecuali jalan-jalan mengenal lingkungan sekitar.
Sedang sebagian lagi sibuk memasak.
Dari dua ruangan, separuh bagian depan ditempati seperangkat gamelan.
Melihat gamelan tertata lengkap, awak KSI yang terbiasa bermain Jaran
Dor dari desa Mojowarno Jombang langsung menabuh. Mereka duduk di
masing-masing jenis alat: kendang, kenog, saron, gambang, gong dll.
Suasana pun semakin gayeng dengan tembang tembang Jawa nan rancak. Saya
berfikir, “laiyo, arek arek iki kok isoae ngaransemen seperangkat
gamelan, padahal Jaran Dor yang mereka punyai alatnya cuma kendang,
ketipung, jidor.” Bahkan dari gebyakan musik gamelan tersebut, hingga
menggelitik Kades Dauki bergoyang bersama beberapa rombongan, hihihi.
Suasana pun berlanjut dengan cerita masa kecil Pak Dasuki yang sudah
mengamen jaranan. “Saya mengamen jaranan itu sejak jejaka kecil, teman
saya Pak Rekimo ini (sambil menunjuk seorang lebih tua yang berdiri di
sampaing Pak Dasuki). Kalau Saya kecapekan waktu mengamen ya digendong
Pak Rekimo. Pernah suatu kali pulang mengamen tidak mendapat uang, Pak
Dasuki dan Pak Rekimo terpaksa harus mencopot garpu sepeda ontelnya
untuk dijual rongsokan. Kadang baju yang baru dibeli pun terpaksa dijual
untuk ongkos pulang.
Bersama Pak Rekimo, Pak Dasuki pun akhirnya mendirirkan ketoprak Ngesti
Budoyo pada tahun 1969. Bahkan, demi membayar surat perizinan ketoprak,
Pak Rekimo hingga menjual baju DPR-nya (merk kain terkenal waktu itu).
“kulo niki belani kesenian, sampek kulo rewangi adol celono, gadekno
sewek. Begitu pula Pak Dasuki, belani ketoprak hingga dibelani menjual
tegalan. ” Alkhasil, anak Pak Rekimo kini menjadi Kades di desa sebelah.
Demikian juga Pak Dasuki, dia tidak menyangka kalau dahulunya hanya
menjadi lurahe ketoprak, kini menjadi luran desa betulan.
Demikianlah bersama Pak Rekimo, Pak Dasuki kini mengelolah Sanggar
Anugrah Desa Jono. Usaha Pak Dasuki berkembang hingga memiliki 14 bus
transportasi jurusan Bojonegoro-Nganjuk. Sementara Pak Rekimo diangkat
menjadi pemangku sanggar. Sekarang Sanggar Anugrah rutin ditempati
latihan. Beberapa komunitas yang inten latihan adalah Dwijo Laras,
kelompok Porgu (Para Guru sekecamatan Temayang setiap hari Jum’at, Wahyu
Taruno Budoyo (latihan Jaranan) tiap hari Selasa, latihan musik
Kulintang Dwijo Laras pada Kamis malam, Rabu latihan pedalangan yang
dipandu Ki Dalang Ragil, Minggu khusus komunitas anak anak yang bernama
Mardisiwi. Keberadaan sanggar memang sudah ada turun temurun, namun baru
diresmikan namanya tahun 1961.
3. Peyek Jompong, Makam Mbah Jono Puro
Tanggal 22 pagi para aktris Negri Sungsang berbelanja ke pasar
‘Krempyeng’, pasar dadakan yang berjarak 500 m dari sanggar. Sedang mBah
Catur, Lek Mujib yang dikawal mas Isa (Jamah Maiyah Bojonegoro) berburu
ke rumah salah satu warga yang terkenal memroduksi rempeyek jompong
(daun jati muda). Namun keinginan menganalisa ‘rempeyek jompong’ gagal
karena orangnya sudah minggat ke Banyuwangi. Sementara Saya, Hadi dan
awak Jaran Dor berziarah ke malam Mbah Sejono Puro, sesepuh yang
dianggap mbabat alas Jono. Itulah kenapa disebut desa Jono, berasal dari
nama Sejono Puro yang artinya: siapa yang mempunyai hajat di desa Jono
pasti terkabul dan disepuro. Keunikan makam Eyang Jono Puro adalah
terdapat sebagian tanah yang tidak basah walau terguyur hujan. Bagi
Saya, menziarahi makam Mbah Jono Puro artinya silaturakhim kultur dan
budaya. Mematurnuwuni perintis sejarah yang mendirikan republik ini.
Kami tidak mendoakan, tetapi mengajak ruh mbah Jono untuk berdoa bersama
atas paseduluran yang kami jalin antar desa. Tentu saja bukan
bersilaturrakhim secara riel, sebab mBah Jono sudah berubah menjadi
padatan partikel yang berbeda dengan jasat yang masih hidup.
Khusus mbah Catur dan beberapa sesepuh Jaran Dor juga bertamu ke rumah
sesepuh Jaranan Desa Jono. Sedang anggota yang lain menuruti perintah
Pak Dasuki agar ledang, yakni bersiaran keliling desa sambil membawa
speaker dan tabuhan.
4. Diskusi di Warung Lek Subari dan Musium Malam
Sejak pertama kedatangan rombongan memang diamping PakDe Uban, sosok
seniman sepuh yang mengamping hampir seluruh proses berkesenian di Jawa
Timur pojok Barat Laut. Sambil jagongan di warung Lek Bari yang berada
di depan sanggar, Pak De Uban bercerita masa lalunya ketika mengadakan
pementasan di Wonosalam-Jombang bersama Cak Yusron. Meskipun rombongan
tidak ingin merepotkan tuan rumah, ternyata PakDe Uban mentraktir
sipapun yang ada di warung Lek Bari. Alasan PakDe Uban sederhana namun
mendalam,”dayoh iku koyok mayit, dikapaknoae karo tuan rimahe, kudu
manut,” sungguh sebuah ungkapan sesepuh yang jaman sekarang tak
terdengar lagi.
Sejak pukul 11.00 para pedagang berdatangan, sementara mulai pukul
13.00, beberapa kawan sastrawan, teaterawan juga hadir, terlihat Kang
Heri dkk (seniman Bojonegoro, Timur Budi Raja (penyair Madura), Denny
Mizhar (Networker Malang), Nurel Javissyarqi (penyair Lamongan), Pak
Agung (wartawan Antara), Bonari (sastrawan Trenggalek) dll yang Saya
belum mengenal.
Pada jam 13.00 sekitar 25 mahasiswa berbagai Universitas di Malang
berdatangan, otomatis warung Lek Bari berjubelan, Pak De yang sudah
akrab dengan mereka spontan “ayo, siapa yang ingin bertanya pada KSI
dipersilahkan, mumpung bertemu, kuras habis ilmunya, daripada
mendatangkan ke kampus kalian.” Warung Lek Subari berubah drastik
menjadi Café diskusi. Saya, Lak Mujib, Ragil dan Mbah Catur digelontori
berbagai pertanyaan seputar kepenulisan, pembuatan majalah, menembus
media dll. Diskusi warung berakhir setelah jam memungkinkan untuk napak
tilas mahasiswa Malang tersebut bersama Pakde Uban mengunjungi Musium
Malam yang berjarak 2 KM dari desa Jono. Musium Malam adalah museum di
perbukitan terbuka yang berisi fosil tulang belulang ikan laut, bebatuan
karang yang usianya diperkirakan sejak pulau Jawa menjadi dasar lautan.
Sebab mustahil kerangka ikan dan bebatuan laut yang kadar garamnya
tinggi bisa berada di Desa Jono, perbukitan yang jauh dari Laut Utara
Jawa.
5. Sekilas Pementasan Negri Sungsang
Sesuai jadwal, pementasan di mulai jam 19.30 dengan terlebih dulu dibuka
oleh Camat Temayang. Dalam prolognya Camat Temayang mengatakan betapa
kehadiran KSI ke depan akan menjadi media promosi tersendiri bagi Desa
Wisata Jono. Sebab setelah mereka pulang ke Jombang, pasti mereka
bercerita perihal Desa Jono, getok tular cerita itulah yang sebanding
media promo yang tak terkirakan jika dihitung dengan uang. Selain itu
Camat Temayang juga memaparkan keunggulan Desa Wisata Jono yang juga
mempunya produk unggulan, yakni Sawo Jono dan Pisang khas.
Sekitar 20 menit sebelum pementasan, gerimis tipis (klepyur) mulai
turun. Namun penonton makin datang berdesakan dan tak menghiraukan
gerimis, padahal separuh arena penonton berupa alam terbuka. Apalagi
musik Jaran Dor mulai giro dan para penunggang Jaran Kepang mulai
beratraksi dengan tarian khas Jaran Dor yang berbeda bentuk dengan Jaran
Kepang umumnya (kulonan), penonton kian terserap.
Atraksi seni tradisi Jaran Dor dalam pementasan Negri Sungsang bertugas
menjemput aktor mengawali aktingnya. Namun dibanding waktu latihan,
durasi pementasan bertambah menjadi 2 jam. Sebab akhir atraksi Jaran
Dor, penari jaran kesurupan, sehingga rekan lain segera menyuiti
(bersiul) dari balik layar supaya kuda kesurupan mengejar. Sesampai di
belakang layar, dua kuda yang kesurupan segera disembuhkan.
Bagi KSI pentas di desa merupakan pilihan, maka tidak heran selama
pertunjukan suara penonton gaduh dan bersautan sehubungan dengan adegan.
Peran Ki Bolo Siji Dan Ki Bolo Sewu yang merupakan gambaran ‘wong deso’
berfungsi tepat menghubungkan pemaknaan penonton yang tidak mengenal
apa itu teater. Mereka menggap pementasan Negri Sungsan adalah Jaranan
yang memakai lakon cerita. Ki Bolo Siji dan Ki Bolo Sewu yang keluar
dari kerumunan penonton membuat tepuk sorak riuh. Saya yang memerankan
Ki Bolo Sewu, harus akting ndlusup di pangkuan Pak Camat ketika adegan
ditakuti tokoh Sampok. Hahaha. Hingga pertunjukan berakhir, penonton
tidak bubar, mereka mengira masih ada adegan lakon lagi dan masih kurang
puas menonton.
6. Diskusi Seusai Pementasan
Seusai pementasan diskusi dipandu oleh PakDe Uban. Ia mengutarakan
keterpukauannya melihat dua kepala desa (seniman) beserta istri
masing-masing. Camat Temayang dalam diskusi tersebut menyatakan siap
suatu saat manggung di Mojowarno, sebab di Jono juga ada seni Samboyo,
yaitu jaranan yang memakai lakon. Timur Budiraja yang juga hadir
menyatakan tidak menyaksikan Negri Sungsang secara jelas karena padat
penonton. Timur juga akan belajar lebih banyak dari gerakan KSI.
Pak Agung (wartawan Antara) mengatakan kagum dan heran, kok beraninya
terater main di desa dan bisa membuat penonton tidak beranjak hingga
pertunjukan usai. Berbeda dengan Bonari Nabonenar melihat sudut pandang.
Ia mengacungkan jempol pada KSI yang merajut persaudaraan antar desa di
kala sering terjadi tawuran antar desa di mana-mana. Sementara Pak
Dasuki menjadi gong penutup sidkusi yang mengutarakan terimakasih sebab
cuaca tidak hujan seperti hari sebelumnya dan menyatakan kecewa jika KSI
suatu saat tidak tampil di desa Jono kembali.
*) Peserta Temu Sastra Jawa Timur 2011 /25 Januari 2012