Selasa, 04 Juni 2013

LESTARIKAN SASTRA JAWA



Lestarikan Sastra Jawa 

 

Reporter : Tulus Adarrma


Bojonegoro (beritajatim.com) - Sosok ibu Sri Setya Rahayu (63) yang sudah lihai dalam menulis sastra jawa ini masih kental menempel dalam jiwanya untuk melestarikan sastra jawa agar tetap bertahan meskipun di zaman era modernisasi.

Sri Setya Rahayu yang biasa dipanggil Bu Yayuk itu mulai menulis sastra jawa mulai tahun 1969 dan masih bertahan hingga kini. Melalui tulisan "cerita cekak" atau cerpen dan dalam geguritannya itulah terdapat harapan agar khususnya kepada anak muda saat ini mau melestarikan sastra jawa.

"Mulailah dengan membaca dulu, dan nanti pasti suka," katanya kepada beritajatim.com beberapa waktu lalu dalam menghadiri ulang tahun PSJB ke 30 di Desa/Kecamatan Padangan, Bojonegoro.

Bu Yayuk yang juga aktif dalam Sanggar Sastra, Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) ini menuturkan jika peran orang tua untuk mengenalkan anak dengan tradisi jawa juga sangat penting. Karena lingkungan anak beradaptasi juga harus mendukung.

"Yang tua juga harus turun untuk menjemput yang muda dengan karya yang bisa menarik perhatian mereka," ujarnya lembut.

Beberapa karyanya seperti antologi cerkak dengan judul "Rembulane Wis Ndhadhari". Dalam bukunya itu terdapat 30 judul yang sudah pernah diterbitkan dalam sebuah majalah maupun tabloid jawa. Diantanya, Dharma Nyata, Penyebar Semangat, Jayabaya, dan Kumandang.

Saat ini Wanita yang sudah pensiun tahun 2009 sebagai abdi negara menjadi guru di SDN Rangkah 7 Surabaya, itu sudah mempunyai kumpulan karya sebanyak 80an cerita cekak dan 60an judul geguritan. "Yang paling penting adalah membaca dan jangan takut menulis," tuturnya.

Seperti dalam karya milik wanita kelahiran Bojonegoro tahun 1949 itu, dalam judul Rembulane Wis Ndhadhari, membawakan cerita tentang percintaan remaja yang sederhana namun sangat lucu dan bisa membawa pembaca tertawa, ditambah suasana yang romantis karena rembulan yang terlihat bulat penuh.

Dalam bait cerkak terakirnya, Dibalik jendela, sinar keemasan rembulan di balik daun-daun dan suara senyum renyah dalam cerita seakan bisa dengan mudah pembaca menggambarkannya.

"Ing njaba wiwit peteng. Krungu guyune Masku renyah ana latar, ing sisih wetan, sumorot lewat jendhela, nginceng ing samburine godhong-godhong pelem, rembulane katon moblong-moblong".

2 komentar:

  1. menapa buku cerkak rembulane wis ndadari menika taksih disade? kula badhe tumbas nanging boten nate saged manggihaken wonten ing toko buku.

    BalasHapus
  2. wonten pundi kula saged tumbas buku-buku kados roman, novel, antologi sastra jawa nggih?

    BalasHapus