Minggu, 04 Mei 2014

Santoso Sejak Kecik Jadi Dalang Juga Pengrajin Wayang

sastra-bojonegoro.blogspot.com






  Sejak Kecil Jadi Dalang, Kini Juga Membuat Wayang
Kontributor: Nasruli Chusna
blokBojonegoro.com - Tak jarang orang yang menjadi dalang sekaligus mampu memproduksi wayang. Namun, Santoso, dalang asal Dusun Pinggiran, Desa/Kecamatan Padangan, Bojonegoro, melakukan semuanya. Selain sebagai dalang, ia memproduksi sendiri aneka wayang yang kemudia dijualnya. Hasil produksinya ada yang terjual sampai Thailand.

Ia lahir pada tahun 1945, dan mulai menjadi dalang pada saat kelas lima SD. “Nggak tahu kenapa, sejak kecil kalau ada pergelaran wayang pasti lihat. Dari cerita-ceritanya itu lha kok langsung kesemsem,” kenangnya.

Santoso mencatat seluruh cerita dan tokoh pada tiap pergelaran wayang yang dilihatnya. Karena ketekuknannya ia berhasil menghafal beberapa lakon kemudian menampilkannya di muka umum.

Mengingat usianya yang masih belia, ketika pertama kali tampil menjadi dalang, ia langsung kondang dan mendapat banyak job. Hanya saja penampilannya belum bisa semalam suntuk. “Paling malam jam satu, soale sudah ngantuk dan besoknya sekolah,” katanya.

Saat belajar, kakek dua cucu tersebut sama sekali tak kesulitan memahami bahasa penyampainya, yakni bahasa ringgit. “Bahasa ringgit. Artinya yaitu sari-sarine nganggit, jadi sesuatu yang bernilai saja yang dibawakan. Semua unsur dalam pewayangan mengandung filosofi yang tinggi dan nggak banyak orang yang ngerti,” ujar Santoso.

Menurut Santoso pesan-pesan dalam cerita wayang tak jauh dari ajaran agama. Ketika mementaskan wayang kulit, ia menjelaskan, layar lebar yang menangkap seluruh bayangan tokoh wayang mempunyai makna tersendiri. Adanya bayangan menunjukkan bahwa kita tidak hanya hidup di dunia.

“Ada wayang dalam bentuk nyaya, tapi juga ada bayangannya. Artinya manusia berada pada dunia dan akhirat,” tuturnya. Oleh karena itu ia berharap seni wayang tak akan pernah mati dan harus ada penerusnya," katanya.

Dari profesi dalang itulah ia dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Karena putra-putranya tak ada yang berminat dalam bidang seni, ia mengajarkan ketrampilannya pada siapa saja yang mau. Termasuk dua siswa SMP 1 Cepu yang pernah ia ajak pentas di Bojonegoro.

Dalam pergelaran, Santoso bisa membawakan berbagai jenis wayang. Seperti wayang kulit, tengul/golek dan wayang krucil. Perbedaan mendasar dari tiga jenis wayang tersebut, menurutnya, terletak pada cerita atau lakon yang dibawakan.

Wayang kulit membawakan cerita legenda seperti Ramayana, Mahabarata dan Dewaruchi. Sementara wayang tengul bisa mengadaptasi dari sejarah nyata. “Contohnya kerajaan Majapahit bisa kita angkat ke wayang thengul, kalo lakon wayang krucil itu sama dengan wayang kulit,” jelas pria berkacamata tersebut.

Menjelang usianya yang ke-70 berbagai daerah sudah pernah ia sambangi. Mulai dari Blora, Tuban, Lamongan dan Bojonegoro sendiri. Selain menjadi dalang, ia juga membuat sendiri wayang-wayangnya. Bapak lima anak tersebut bisa membuat wayang kulit, wayang tengul/golek dan wayang krucil.

Bagi lulusan Sekolah Perpaduan (stingkat SMP) tersebut proses pembuatan wayang krucil relatif lebih rumit. Karena selain harus telaten, harus menguasai ketrampilan seni pahat dan ukir. Bahan bakunya terbuat dari kayu jati, yang dibentuk dan dipahat sebagaimana tokoh pewayangan seperti Janoko dan Punokawan. Bagi yang hendak memesan, ia biasa mematok harga Rp200.000 sampai Rp350.000. tergantung motif dan tingkat kesulitannya.

“Satu paketnya bisa terdiri dari 80 tokoh, saya biasanya menjual sampai Rp15 juta. Dulu disbudpar Bojonegoro juga pernah saya buatkan satu kotak. Ada juga yang dibawa sampai ke Thailand,” terang Santoso.[rul/ang]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar