Rancage 2004
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
_____________________________________________________________
Pagelaran Geguritan
Pangarang JFX. Hoery Negara Indonesia Basa Jawa Tipe Geguritan Penerbit •Yogyakarta: Sanggar Sastra Pamarsudi Sastra Jawi
(Bojonegoro) (PSJB) kanthi kaliyan Penerbit Narasi Tanggal terbit 2003
Cacahing kaca 195 kaca ISBN kerjasama 979-97564-14-2
Buku iki anggitane JFX Hoery kang sepisan lan langsung antuk
Hadhiah Sastra Rancage Isine 190 geguritan kang katulis salawase dadi
penulis Geguritan-geguritan iku akeh-akehe wis kapacak ing majalah basa
jawa
JFX Hoery lair ing Pacitan, 17 Agustus 1945. Dheweke sawijining penulis sastra jawa
modhern. JFX Hoery
wiwit nulis nalika isih SMP ing Majalah Taman Putra, majalah basa jawa
kang
kababar dening kalawarti Panjebar Semangat. Tulisane kasebar ing sadengah majalah
kang
arupa cerkak, cerbung, geguritan, crita rakyat,
reportase, lan esai. Penulis iki nate dadi
wartawan ing Jaka Lodhang, Kumandang, Mekarsari, Damarjati. Nate dadi anggota
DPRD
Bojonegoro masa bhakti 1999-2004, staf Komsos Keuskupan Surabaya,
Ketua
Sanggar Sastra Pamarsudi
Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB). Sejatine, dheweke lulusan
STM
jurusan Mesin, nanging yen urusan nulis wis luwih seka
100 cerkak lan 300-an
geguritan.
Ana kalane yen nulis nganggo jeneng sesinglon
(samaran) Cantrik
Gunung Limo lan Retna
Yudhowati.
Kajaba
nulis nganggo basa Jawa, dheweke uga nulis nganggo basa Indonesia lan
nate dadi wartawan ing Kedaulatan Rakyat lan Bernas. Buku-bukune kang nate kababar antara
liya:
nate dadi wartawan ing Kedaulatan Rakyat lan Bernas. Buku-bukune kang nate kababar antara
liya:
- Pagelaran, kumpulan geguritan.
- Lintang Abyor, antologi karo penulis liya.
- Kabar saka Tlatah Jati, antologi karo penulis liya.
- Banjire Wis Surut, kumpulan crita cekak.
- Blangkon, kumpulan crita cekak karo penulis Bojonegoro
- Bojonegoro Ing Gurit, kumpulan geguritan karo penggurit Bojonegoro.
- Sosiawan-Sosiawan Kecil, kumpulan crita anak-anak.
- Permaisuri Yang Cerdik, crita anak-anak
- Sejarah Gereja Cepu , bareng tim penulis sejarah gereja Cepu.
- Sejarah Gereja Katolik, Rembang
- Sejarah Gereja Katolik, Blora
- Sejarah Gereja Katolik, Bojonegoro
- Sejarah Gereja Katolik, Tuban.
Sumber artikel iki saka kaca situs web: "http://jv.wikipedia.org/wiki/J._F._X._Hoery"
Enam Sastrawan Raih Hadiah Sastra Rancage 2004
Ad Jakarta, Sinar
Harapan
Untuk kesekian kalinya, Yayasan Kebudayaan Rancage pimpinan Ajip Rosidi memberikan Hadiah Sastera Rancage 2004, sebuah penghargaan bagi para sasterawan yang menulis dalam bahasa Sunda, Jawa dan Bali pada tahun sebelumnya. Sama seperti penyelenggaraan sebelumnya, hadiah terbagi atas dua kategori, yaitu karya dan jasa dengan total enam pemenang. Masing-masing pemenang berhak mendapatkan piagam dan uang sebesar Rp 5 juta. Pemenang Hadiah Sastera Rancage bahasa Sunda untuk kategori karya adalah Penganten, sebuah roman karya Deden Abdul Aziz terbitan PT Kiblat Buku Utama, Bandung. Sementara Hadiah Rancage untuk kategori jasa jatuh ke tangan Yayasan Cangkurileung yang dinilai telah memberikan sumbangan besar dalam pemeliharaan dan pengembangan bahasa Sunda. Hadiah Sastera Rancage bahasa Jawa untuk kategori karya, dimenangkan oleh Pagelaran, kumpulan geguritan J.F.X. Hoery terbitan Narasi dan Pamarsudi Sastra Jawi, Bojonegoro. Adapun tokoh sastra Jawa yang terpilih menerima penghargaan atas jasanya mengembangkan bahasa dan sastra Jawa adalah Moch. Nursyahid Purnomo, pengarang sekaligus wartawan yang aktif menulis baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Terakhir, peraih Hadiah Sastera Rancage 2004 untuk karya dalam bahasa Bali adalah Coffee Shop karya I Dewa Gede Windhu Sancaya terbitan Yayasan Paramasatra Bali, Denpasar. Sedangkan untuk kategori jasa dimenangkan oleh Nyoman Tusthi Eddy yang selama ini aktif mengamati, menulis dan membina sastera Bali modern sejak 1970. Selain Hadiah Sastera Rancage, yayasan juga memberikan Hadiah Samsudi 2004, sebuah penghargaan khusus untuk bacaan kanak-kanak berbahasa Sunda terbaik yang terbit tahun sebelumnya. Sayang, tidak setiap tahun tersedian buku bacaan kanak-kanak yang cukup baik sehingga tak setiap tahunnya hadiah ini diberikan. Tahun ini, yang beruntung memperoleh Hadiah Samsudi adalah Dadan Sutisna yang mengarang Misteri Haur Geulis. Selain piagam, Dadan yang pernah meraih Hadiah Samsudi 2002 lewat buku Nu ngageugeuh Legok Kiara ini juga berhak atas uang sebesar Rp 2,5 juta. Upacara penyerahan Hadiah Sastera Rancage dan Hadiah Samsudi ini akan diselenggarakan menjelang akhir Maret 2004 mendatang di Kampus Universitas Pakuan, Bogor atas kerjasama Yayasan Kebudayaan Rancage dan Universitas Pakuan, Bogor. Penurunan Selain memberikan penghargaan, Yayasan Kebudayaan Rancage juga menemukan sejumlah fakta menarik. Dari pengamatan selama 2003, Yayasan menemukan bahwa buku dalam bahasa Sunda, Jawa dan Bali mengalami penurunan dalam jumlah judul buku yang diterbitkan. Jika dibandingkan, buku dalam bahasa Sunda tahun 2002 terbit 27 judul, sementara tahun 2003 hanya 16 judul. Buku bahasa Jawa tahun 2002 terbit 10 judul, tapi tahun 2003 hanya 8 judul. Sementara buku bahasa Bali tahun 2002 terbit 19 judul, namun tahun 2003 mengalami penurunan drastis menjadi 5 judul saja. Buku bacaan kanak-kanak yang terbit dalam bahasa Sunda tahun 2003 juga hanya 2 judul. Secara umum, jumlah buku yang terbit dalam setiap bahasa daerah masih sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang diklaim sebagai penuturnya. Apalagi jika kita memperhitungkan jumlah cetak buku-buku tersebut. Hingga kini, buku-buku bahasa daerah umumnya masih diterbitkan oleh para penerbit karena dorongan con amor dan tidak ditangani secara profesional. Mungkin ini juga disebabkan adanya mitos yang menyatakan bahwa penerbitan –baik buku maupun pers—dalam bahasa daerah tidaklah menguntungkan. Padahal, terobosan untuk mengatasi kelangkaan buku bahasa daerah hanya dapat dilakukan melalui penanganan secara profesional. Mengharapkan bantuan atau uluran tangan dari pemerintah atau pihak lain, ternyata tak pernah menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah karena jalan itu sering memberikan kesempatan untuk KKN. (din) |
Hadiah Sastra Rancage 2004 Jalan Terus Meski Terpuruk
Sampai sekarang buku-buku bahasa daerah, umumnya masih
diterbitkan karena dorongan con amor dan tidak ditangani secara profesional.
Penerbitan karya sastra bahasa-bahasa daerah boleh lesu. Peminatnya pun boleh
terus merosot. Tapi, penghargaan Hadiah Sastera Rancage tak ikut-ikutan mogok.
Penghargaan kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa-bahasa daerah
--Sunda, Jawa, dan Bali-- tetap bergulir. Para pemenangnya telah ditetapkan.
Hadiah sastra Rancage 2004 --berupa piagam dan uang masing-masing sebesar Rp 5
juta-- bakal diserahkan Maret nanti di Universitas Pakuan, Bogor.
Hadiah Rancage tanpa terputus diberikan setiap tahun. Penghargaan untuk
sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah Sunda tahun ini merupakan yang ke-16
kalinya, dalam bahasa Jawa untuk yang ke-11 kalinya, dan dalam bahasa Bali
menginjak yang ketujuh. Untuk setiap bahasa, tersedia dua macam hadiah, yaitu
untuk karya dan untuk jasa.
Hadiah Rancage 2004 untuk karya diberikan kepada sasterawan yang pada tahun
2003 menerbitkan buku karya sastra yang dianggap paling berhasil. Sedangkan
hadiah jasa disampaikan kepada orang atau lembaga yang dianggap besar jasanya
dalam mengembangkan bahasa dan sastera daerah yang bersangkutan.
Di samping Rancage, disediakan pula hadiah Samsudi untuk pengarang yang
menerbitkan buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda yang baik yang terbit tahun
sebelumnya. Sayang bahwa tak selalu ada buku bacaan kanak-kanak yang cukup baik
yang terbit setiap tahun, sehingga kadang-kadang hadiah ini tak diberikan.
Dalam catatan Yayasan Kebudayaan Rancage, pemberi anugerah ini --dengan bantuan
berbagai pihak, jumlah judul buku dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali yang
diterbit tahun lalu mengalami penurunan. Buku bahasa Sunda yang pada 2002
terbit 27 judul, tahun 2003 hanya 16 judul; dalam bahasa Jawa tahun 2002 terbit
10 judul, tahun 2003 hanya 8 judul; sedangkan dalam bahasa Bali yang tahun 2002
terbit 19 judul, tahun 2003 hanya terbit 5 judul. Buku bacaan kanak-kanak yang
terbit dalam bahasa Sunda tahun 2003 juga hanya ada 2 judul.
Rendahnya jumlah buku yang terbit dalam setiap bahasa daerah tersebut, menurut Yayasan
Kebudayaan Rancage, masih sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang
diklaim sebagai penuturnya. Ini tanpa memerhitungkan jumlah-cetak buku-buku
itu.
''Sampai sekarang buku-buku bahasa daerah, umumnya masih diterbitkan oleh para
penerbit karena dorongan con amor dan tidak ditangani secara profesional,
mungkin karena adanya semacam mitos yang mengatakan bahwa penerbitan (baik buku
maupun pers -- dan usaha dalam bidang lain juga semisal radio atau televisi)
dalam bahasa daerah tidaklah akan menguntungkan,'' tutur Ajip Rosidi, Ketua
Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage, pada pengantar keputusan pemberian
Hadiah Sastera Rancage 2004.
Kondisi itu, menurut Ajip, menyebabkan, tidak ada pemodal yang mau
mempercayakan uangnya dalam bidang tersebut. Padahal terobosan untuk mengatasi
kelangkaan buku bahasa daerah, hanya dapat dilakukan melalui penanganan secara
profesional. ''Mengharapkan bantuan atau uluran tangan dari pemerintah atau
dari pihak lain yang selama ini sering bahkan selalu dilakukan, ternyata tak
pernah menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah karena jalan itu sering
memberikan kesempatan untuk KKN,'' katanya.
Menurunnya penerbitan buku berbahasa daerah, khususnya Sunda, diakui oleh Prof
Dr Edi S Ekajati, mantan Dekan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. ''Saya
prihatin dengan kondisi itu. Bagaimana tidak akan menurun, banyak faktor yang
menunjang terjadinya keterpurukan buku-buku bahasa daerah itu. Misalnya
menurunnya minat baca masyarakat, lunturnya rasa cinta masyarakat terhadap
budayanya, lemahnya perhatian pemerintah terhadap eksistensi bahasa daerah, dan
minimnya pemodal yang berbisnis dalam penerbitan buku bahasa daerah,'' katanya.
Faktor-faktor itulah yang membuat bahasa daerah menjadi urutan terbelakang
dalam perhatian masyarakat. Padahal, tambah Ekajati, pelestarian bahasa daerah
itu merupakan tuntutan dari UUD 1945 dan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Dalam kacamata budayawan Yakob Sumardjo, perkembangan penerbitan bahasa daerah
tergantung dari kondisi pasar yang ada. Kalau memang tidak memungkinkan untuk
membaik pasti investor pun akan enggan terlibat. Memburuknya produk-produk buku
berbahasa daerah, kata Yakob, tidak terlepas dari minat masyarakatnya. ''Kalau
memang kebutuhan masyarakat menurun terhadap buku itu, maka akan sulit
dipaksakan untuk menambah penerbitan.''
Adapun penyebab menurunnya kebutuhan masyarakat itu, menurut dia, kini
kebanyakan masyarakat lebih cinta terhadap budaya luar. Akibatnya, budaya nenek
moyangnya sendiri terlupakan. Kondisi ini diakibatkan kurang sadarnya
masyarakat dan pemerintah terhadap pentingnya bahasa itu. ''Masyarakat lebih
terbiasa berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan sesamannya. Pemerintah
pun nyaris tidak menganggap penting terhadap bahasa tersebut,'' tambah Yakob.
Bagaimana dengan kemungkinan kurangnya inovasi tema dari pengarang buku? ''Bisa
saja itu terjadi,'' jawab Ekajati. Namun yang jelas, katanya tema dari
pengarang itu masih cukup beragam. Apalah artinya banyak tema apabila tidak
diterbitkan. ''Saya yakin banyak tulisan buku pengarang yang tersimpan karena
tidak diakomodasi oleh suatu penerbitan.''
Penerbit, kata Ekajati, pun akan berpikir ketika hendak mencetak seluruh karya
buku bahasa Sunda. Kondisi saat ini, satu kali penerbitan tidak akan lebih dari
1000 eksemplar buku. Itu pun tidak akan habis dalam waktu satu tahun.
''Pokoknya dari kacamata bisnis sudah sangat terpuruk,'' jelas Ekajati.
Karya sastra Sunda hanya melejit pada tahun 1960-an. Dalam waktu 10 tahun ke
depan, menurut dia, produk tulisan itu menurun hingga 50 persen. Jumlah buku,
majalah, serta surat kabar saat ini bisa dihitung dengan jari. Penurunan produk
buku itu terus menurun hingga sekarang. Dia khawatir nasib bahasa daerah akan
terus memburuk bila tidak ada keinginan dari seluruh pihak untuk berupaya
mempertahankannya.
Ekajati yang juga anggota Paguyuban Pangarang Sastera Sunda menilai penetrasi
kebudayaan asing saat ini sangat kuat di Indonesia, termasuk di Jawa Barat.
Kondisi itu membuat masyarakan 'terninabobokan' dengan budaya sendiri. Apalagi
kecenderungan masyarakat selama ini menganggap bahwa budaya asing itu merupakan
trademark dalam pergaulan. Paradigma itu secara tidak disadari akan membuat
rasa cinta dan kepemilikan masyarakat terhadap budayanya meluntur. Sementara
menurunnya minat baca masyarakat merupakan persoalan bangsa ini. Jangankan
membaca bahasa daerah, mengkonsumsi bacaan informasi pun sudah sering
ditinggalkan.
Dengan segala keprihatinan itu Yayasan Kebudayaan Rancage menetapkan para
pemenang Hadiah Sastera Rancage 2004. Pemenang karya sastra bahasa Sunda diraih
Penganten, sebuah roman karya Deden Abdul Aziz, terbitan PT Kiblat Buku Utama,
Bandung. Pengarang kelahioran Cianjur 28 Agustus 1972 itu dinilai berhasil
memperkaya khazanah sastra bahasa Sunda dengan karya yang otentik dan sangat
sublim.
Sedangkan hadiah Rancage 2004 untuk jasa karena besar sumbangannya dalam
pemeliharaan dan pengembangan bahasa Sunda jatuh pada Yayasan Cangkurileung.
Yayasan yang didirikan Mang Koko (Koko Koswara) ini bergerak dalam bidang
karawitan, terutama di lingkungan sekolah, walau aktif juga di luarnya. Apalagi
dengan acara tetap setiap minggu (Taman Cangkurileung 2 kali, Bincarung 2 kali,
dan Setia Putra sekali setiap bulan) di RRI Bandung, maka kegiatannya dikenal secara
luas dalam masyarakat. Lagu-lagu yang digarapnya kebanyakan karya Mang Koko
baik kawih, tembang (pupuh rancag) maupun sekar tandak. Lagu-lagunya adalah
lagu-lagu Sunda dan mempergunakan bahasa Sunda, sehingga secara tidak langsung
usaha Yayasan Cangkurileung ini merupakan usaha memelihara dan mengembangkan
bahasa Sunda.
Setelah memperbandingkan lima buku kumpulan guritan bahasa Jawa, Hadiah Sastera
Rancage 2004 untuk karya ditetapkan untuk Pagelaran, umpulan geguritan JFX
Hoery, Penerbit Narasi dan Pamarsudi Sastra Jawi, Bojonegoro. Adapun pemenang
untuk jasa diberikan kepada Moch. Nursyahid Purnomo, sastrawan dan wartawan
media massa bahasa Jawa. Dia dinilai besar sumbangannya dalam mengembangkan
bahasa dan sastera Jawa.
Karya sastra berbahasa Bali terbitan 2003 yang ditetapkan mendapatkan Rancage
adalah Coffee Shop, karya I Dewa Gede Windhu Sancaya, terbitan Yayasan
Paramasastra Bali, Denpasar. Sedangkan pemenang untuk jasa dalam mengembangkan
bahasa dan sastera Bali ialah Nyoman Tusthi Eddy. Dia aktif mengamati, menulis
dan membina sastera Bali modern sejak tahun 1970.
(san/is )
@ sastra bojonegoro
sastra bojonegoro Penerbitan karya sastra bahasa-bahasa daerah boleh lesu. Peminatnya pun boleh terus merosot. Tapi, penghargaan Hadiah Sastera Rancage tak ikut-ikutan mogok. Penghargaan kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa-bahasa daerah --Sunda, Jawa, dan Bali-- tetap bergulir. Para pemenangnya telah ditetapkan. Hadiah sastra Rancage 2004 --berupa piagam dan uang masing-masing sebesar Rp 5 juta-- bakal diserahkan Maret nanti di Universitas Pakuan, Bogor.
Hadiah Rancage tanpa terputus diberikan setiap tahun. Penghargaan untuk sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah Sunda tahun ini merupakan yang ke-16 kalinya, dalam bahasa Jawa untuk yang ke-11 kalinya, dan dalam bahasa Bali menginjak yang ketujuh. Untuk setiap bahasa, tersedia dua macam hadiah, yaitu untuk karya dan untuk jasa.
Hadiah Rancage 2004 untuk karya diberikan kepada sasterawan yang pada tahun 2003 menerbitkan buku karya sastra yang dianggap paling berhasil. Sedangkan hadiah jasa disampaikan kepada orang atau lembaga yang dianggap besar jasanya dalam mengembangkan bahasa dan sastera daerah yang bersangkutan.
Di samping Rancage, disediakan pula hadiah Samsudi untuk pengarang yang menerbitkan buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda yang baik yang terbit tahun sebelumnya. Sayang bahwa tak selalu ada buku bacaan kanak-kanak yang cukup baik yang terbit setiap tahun, sehingga kadang-kadang hadiah ini tak diberikan.
Dalam catatan Yayasan Kebudayaan Rancage, pemberi anugerah ini --dengan bantuan berbagai pihak, jumlah judul buku dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali yang diterbit tahun lalu mengalami penurunan. Buku bahasa Sunda yang pada 2002 terbit 27 judul, tahun 2003 hanya 16 judul; dalam bahasa Jawa tahun 2002 terbit 10 judul, tahun 2003 hanya 8 judul; sedangkan dalam bahasa Bali yang tahun 2002 terbit 19 judul, tahun 2003 hanya terbit 5 judul. Buku bacaan kanak-kanak yang terbit dalam bahasa Sunda tahun 2003 juga hanya ada 2 judul.
Rendahnya jumlah buku yang terbit dalam setiap bahasa daerah tersebut, menurut Yayasan Kebudayaan Rancage, masih sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang diklaim sebagai penuturnya. Ini tanpa memerhitungkan jumlah-cetak buku-buku itu.
''Sampai sekarang buku-buku bahasa daerah, umumnya masih diterbitkan oleh para penerbit karena dorongan con amor dan tidak ditangani secara profesional, mungkin karena adanya semacam mitos yang mengatakan bahwa penerbitan (baik buku maupun pers -- dan usaha dalam bidang lain juga semisal radio atau televisi) dalam bahasa daerah tidaklah akan menguntungkan,'' tutur Ajip Rosidi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage, pada pengantar keputusan pemberian Hadiah Sastera Rancage 2004.
Kondisi itu, menurut Ajip, menyebabkan, tidak ada pemodal yang mau mempercayakan uangnya dalam bidang tersebut. Padahal terobosan untuk mengatasi kelangkaan buku bahasa daerah, hanya dapat dilakukan melalui penanganan secara profesional. ''Mengharapkan bantuan atau uluran tangan dari pemerintah atau dari pihak lain yang selama ini sering bahkan selalu dilakukan, ternyata tak pernah menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah karena jalan itu sering memberikan kesempatan untuk KKN,'' katanya.
Menurunnya penerbitan buku berbahasa daerah, khususnya Sunda, diakui oleh Prof Dr Edi S Ekajati, mantan Dekan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. ''Saya prihatin dengan kondisi itu. Bagaimana tidak akan menurun, banyak faktor yang menunjang terjadinya keterpurukan buku-buku bahasa daerah itu. Misalnya menurunnya minat baca masyarakat, lunturnya rasa cinta masyarakat terhadap budayanya, lemahnya perhatian pemerintah terhadap eksistensi bahasa daerah, dan minimnya pemodal yang berbisnis dalam penerbitan buku bahasa daerah,'' katanya.
Faktor-faktor itulah yang membuat bahasa daerah menjadi urutan terbelakang dalam perhatian masyarakat. Padahal, tambah Ekajati, pelestarian bahasa daerah itu merupakan tuntutan dari UUD 1945 dan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam kacamata budayawan Yakob Sumardjo, perkembangan penerbitan bahasa daerah tergantung dari kondisi pasar yang ada. Kalau memang tidak memungkinkan untuk membaik pasti investor pun akan enggan terlibat. Memburuknya produk-produk buku berbahasa daerah, kata Yakob, tidak terlepas dari minat masyarakatnya. ''Kalau memang kebutuhan masyarakat menurun terhadap buku itu, maka akan sulit dipaksakan untuk menambah penerbitan.''
Adapun penyebab menurunnya kebutuhan masyarakat itu, menurut dia, kini kebanyakan masyarakat lebih cinta terhadap budaya luar. Akibatnya, budaya nenek moyangnya sendiri terlupakan. Kondisi ini diakibatkan kurang sadarnya masyarakat dan pemerintah terhadap pentingnya bahasa itu. ''Masyarakat lebih terbiasa berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan sesamannya. Pemerintah pun nyaris tidak menganggap penting terhadap bahasa tersebut,'' tambah Yakob.
Bagaimana dengan kemungkinan kurangnya inovasi tema dari pengarang buku? ''Bisa saja itu terjadi,'' jawab Ekajati. Namun yang jelas, katanya tema dari pengarang itu masih cukup beragam. Apalah artinya banyak tema apabila tidak diterbitkan. ''Saya yakin banyak tulisan buku pengarang yang tersimpan karena tidak diakomodasi oleh suatu penerbitan.''
Penerbit, kata Ekajati, pun akan berpikir ketika hendak mencetak seluruh karya buku bahasa Sunda. Kondisi saat ini, satu kali penerbitan tidak akan lebih dari 1000 eksemplar buku. Itu pun tidak akan habis dalam waktu satu tahun. ''Pokoknya dari kacamata bisnis sudah sangat terpuruk,'' jelas Ekajati.
Karya sastra Sunda hanya melejit pada tahun 1960-an. Dalam waktu 10 tahun ke depan, menurut dia, produk tulisan itu menurun hingga 50 persen. Jumlah buku, majalah, serta surat kabar saat ini bisa dihitung dengan jari. Penurunan produk buku itu terus menurun hingga sekarang. Dia khawatir nasib bahasa daerah akan terus memburuk bila tidak ada keinginan dari seluruh pihak untuk berupaya mempertahankannya.
Ekajati yang juga anggota Paguyuban Pangarang Sastera Sunda menilai penetrasi kebudayaan asing saat ini sangat kuat di Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Kondisi itu membuat masyarakan 'terninabobokan' dengan budaya sendiri. Apalagi kecenderungan masyarakat selama ini menganggap bahwa budaya asing itu merupakan trademark dalam pergaulan. Paradigma itu secara tidak disadari akan membuat rasa cinta dan kepemilikan masyarakat terhadap budayanya meluntur. Sementara menurunnya minat baca masyarakat merupakan persoalan bangsa ini. Jangankan membaca bahasa daerah, mengkonsumsi bacaan informasi pun sudah sering ditinggalkan.
Dengan segala keprihatinan itu Yayasan Kebudayaan Rancage menetapkan para pemenang Hadiah Sastera Rancage 2004. Pemenang karya sastra bahasa Sunda diraih Penganten, sebuah roman karya Deden Abdul Aziz, terbitan PT Kiblat Buku Utama, Bandung. Pengarang kelahioran Cianjur 28 Agustus 1972 itu dinilai berhasil memperkaya khazanah sastra bahasa Sunda dengan karya yang otentik dan sangat sublim.
Sedangkan hadiah Rancage 2004 untuk jasa karena besar sumbangannya dalam pemeliharaan dan pengembangan bahasa Sunda jatuh pada Yayasan Cangkurileung. Yayasan yang didirikan Mang Koko (Koko Koswara) ini bergerak dalam bidang karawitan, terutama di lingkungan sekolah, walau aktif juga di luarnya. Apalagi dengan acara tetap setiap minggu (Taman Cangkurileung 2 kali, Bincarung 2 kali, dan Setia Putra sekali setiap bulan) di RRI Bandung, maka kegiatannya dikenal secara luas dalam masyarakat. Lagu-lagu yang digarapnya kebanyakan karya Mang Koko baik kawih, tembang (pupuh rancag) maupun sekar tandak. Lagu-lagunya adalah lagu-lagu Sunda dan mempergunakan bahasa Sunda, sehingga secara tidak langsung usaha Yayasan Cangkurileung ini merupakan usaha memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda.
Setelah memperbandingkan lima buku kumpulan guritan bahasa Jawa, Hadiah Sastera Rancage 2004 untuk karya ditetapkan untuk Pagelaran, umpulan geguritan JFX Hoery, Penerbit Narasi dan Pamarsudi Sastra Jawi, Bojonegoro. Adapun pemenang untuk jasa diberikan kepada Moch. Nursyahid Purnomo, sastrawan dan wartawan media massa bahasa Jawa. Dia dinilai besar sumbangannya dalam mengembangkan bahasa dan sastera Jawa.
Karya sastra berbahasa Bali terbitan 2003 yang ditetapkan mendapatkan Rancage adalah Coffee Shop, karya I Dewa Gede Windhu Sancaya, terbitan Yayasan Paramasastra Bali, Denpasar. Sedangkan pemenang untuk jasa dalam mengembangkan bahasa dan sastera Bali ialah Nyoman Tusthi Eddy. Dia aktif mengamati, menulis dan membina sastera Bali modern sejak tahun 1970.
(san/is )
@ sastra bojonegoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar