Unsur Surialis-Simbolis Kreteg Emas Jurang Gupit Karya Djajus Pete
Oleh: Anam Rahus
A. Pendahuluan
Sastra
Jawa merupakan bagian dari kesusastraan Nusantara. Sastra Jawa saat ini
masih terus berkembang sesuai dengan kondisi dan minat masyarakat
pendukungnya. Sastra Jawa modern berkembang seiring dengan kesusasteraan
Indonesia.
Selama ini perkembangan sastra Jawa melalui mass media, terutama
majalah berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panyebar Semangat. Setelah Ajip
Rosidi memberikan hadiah sastra Rancage bagi buku sastra Jawa yang
dianggap baik, ada perkembangan baru dalam bidang penerbitan sastra
Jawa. Penerbitan buku mulai diusahakan lagi oleh para sastrawan Jawa. Di
antara buku-buku sastra Jawa yang pernah terbit yaitu kumpulan cerpen
Kreteg Emas Jurang Gupit karya Djajus Pete. Buku ini telah mendapatkan
hadiah sastra dari Yayasan Kebudayaan Rancage pada tahun 2002. Sudikan
dkk. (1996:3) menyatakan bahwa kesusastraan Jawa modern sudah mendapat
perhatian dari kalangan akademis dan kalangan kritikus sastra meskipun
tidak seimbang bila dibandingkan dengan kajian terhadap kesusastraan
Jawa klasik.
Kreteg
Emas Juran Gupit karya Djajus Pete diterbitkan oleh yayasan Pinang
Sirih dan Dewan Kesenian Jawa Timur pada tahun 2001. Buku ini berisi
sepuluh cerita pendek: “Bedhug”, “dasamuka”, “Kadurjanan”, “Kakus”,
“Kreteg Emas Jurang Gupit”, “Pasar Rakyat”, “Petruk”, “Rajapati”,
“Setan-Setan”, dan “Tikus lan Kucinge Penyair”. Djajus Pete lahir di
desa Dempel, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi tanggal 1 Agustus 1948,
dari keluarga petani. Kini ia tinggal di desa Purwosari, Kecamatan
Purwosari, Kabuoaten Bojonegoro. Pekerjaan sehari-harinya sebagai guru
SD.
Menurut
pengakuannya, di dalam berkarya Djajus Pete menganut aliran
simbolis-surealis. Sedang menurut Hutomo (1975:54) kepengarangan Djajus
Pete termasuk jalur pengarang Purwadhie Atmodihardjo. Ciri pengarang ini
mempunyai gaya
yang tandas dan matang mengungkapkan kepahitan hidup dan keindahan
hidup rakyat kecil yang kadang-kadang disertai dengan humor yang menarik
hati. Di samping itu bahasa yang dipakai bahasa sehari-hari yang
dipakai masyarakat pedesaan.
Djajus
Pete merupakan seorang pngarang cerita pendek bebahasa Jawa yang cukup
menonjol. Karya-karyanya tidak sekedar menawarkan hiburan kepada
pembaca. Benarkah Djajus Pete menganut aliran surealis-simbolis? Unsur
simbolis apa sajakah yang terkandung dalam kumpulan cerpen Kreteg Emas
Jurang Gupit? Sejauh mana pengarang konsisten dalam menganut alirannya
itu? Hal ini yang melatar belakangi pengkajian cerpen-cerpen Djajus Pete
ini.
Sastra
adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek dan
Warren,1990:109). Sesuai dengan pengakuan pengarang, ia menganut aliran
simbolis-surealis. Simbolisme merupakan aliran seni dan sastra di
Perancis pada abad 19 yang menentang realisme. Crita Cekak (cerita
pendek) di dalam sastra Jawa termasuk genre kesusastraan baru
(Hutomo,1975:38). Bentuk kesusastraan ini baru muncul sekitar tahun tiga
puluhan. Keberadaan crita cekak tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan
mass media berbahasa Jawa. Sejak pertumbuhannya hingga saat ini peranan
surat
kabar dan majalah sangat besar dalam perkembangan crita cekak. Meskipun
ada terbitan buku-buku kumpulan crita cekak seperti Kringet Saka Tangan
Prakosa karya Iesmaniasita, Trem karya Suparto Brata, Kreteg Emas
Jurang Gupit karya Djajus Pete, karya-karya yang terdapat di dalam
antologi tersebut pada awalnya dimuat dalam mass media berbahasa Jawa.
Untuk mengungkap unsur simbolis surealis dalam Kreteg Emas Jurang Gupit
memanfaatkan teori strukturalisme dan teori semiotik.
Simbolisme-Surealisme
sebenarnya merupakan gabungan dua aliran, yaitu aliran simbolisme dan
aliran surealisme. Yang dimaksud dengan simbolisme adalah corak sastra
yang menggunakan citraan yang kongkrit untuk mengungkapkan perasaan atau
ide yang abstrak (Sudjiman,1986:70). Simbolisme juga mengacu kepada
gerakan seni dan sastra di Perancis pada abad 19 yang menentang
realisme.
Surealisme
menurut Sudjiman (1986:72) aliran dalam seni sastra yang mementingkan
aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan. Penganut aliran
ini menyajikan karya sastra dengan citran yang menonjolkan efek urutan
yang acak. Surealisme berarti di atas kenyataan. Dengan demikian
simbolisme-surealisme merupakan corak sastra yang menggunakan citraan
yang kongkrit untuk mengungkapkan ide yang abstrak yang mementingkan
aspek bawah sadar manusia dan non rasional dalam citraan.
Karya
sastra dapat digolongkan ke dalam dua unsur, yaitu unsur instrinsik dan
unsur ekstrinsik. Teori untuk menganalisis unsur instrinsik di dalam
karya sastra lazim memakai teori struktural. Analisis struktural
didasarkan bahwa karya sastra merupakan suatu yang otonom. Karya sastra
dianalisis atas unsur-unsurnya tanpa memperhatikan unsur lain di luar
karya sastra itu.. Analisis struktural bertujuan membongkar dan
memaparkan dengan cermat keterikatan semua anasir karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Suwondo,2001:55).
Karena analisis struktural dianggap mempunyai beberapa kelemahan,
kemudian analisis struktutal mengalami perkembangan, seperti munculnya
analisis strukturalisme genetik, strukturalisme Levi Strauss, dan teori
semiotik.
Djajus
Pete telah ,menyatakan bahwa dirinya menganut aliran simbolis-surealis.
Untuk menganalisis unsur-unsur simbolis surealis dipakai teori
semiotik. Semiotika (Sudjiman,1991:5) adalah studi tentang tanda dan
segala yang berhubungan dengannya. Tanda-tanda bahasa adalah simbol.
Simbol-simbol tersebut diciptakan berdasarkan konvensi. Semiotik
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo,2001:68).
Mengkaji dengan pendekatan semiotik adalah mengkaji tanda. Di dalam
tanda terdapat dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda
(signified).
Pengertian
dasar de Saussure bertolak dari pemikiran dua dimensi, yaitu langue dan
parole. Menurut de Saussure (Krampen,1996:57) langue merupakan suatu
fakta social, seperti bahasa nasional merupakan fakta sosial. Langue
suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat. Barthes
(1996:81) menyatakan bahwa langue adalah suatu institusi sosial dan
sekaligus juga suatu sistem nilai. Sedang parole merupakan suatu
tindakan individual yang merupakan seleksi dan aktualisasi. []
A. Aliran Simbolis-Surealis dalam Kreteg Emas Jurang Gupit
1. Unsur Surealis dalam Kreteg Emas Jurang Gupit
Makna leksikal surealisme adalah “di atas
kenyataan”. Pengertian “di atas kenyataan” berarti melebihi dari
kenyataan. Ciri utama surealisme adalah nonrasional, karena karya itu
mementingkan aspek bawah sadar. Ciri simbolisme adalah pemakaian
simbol-simbol untuk mengkonkritkan suatu pengertian yang abstrak. Simbol
itu sendiri sebenarnya berfungsi untuk mengkonkritkan hal-hal yang
abstrak. Untuk memahami simbol diperlukan adanya pemahaman tentang
signifier dan signified, tentang lange dan parole.
Cerpen “Bedhug” adalah cerpen pertama dalam
Kreteg Emas Jurang Gupit. Cerpen ini berkisah tentang bedhug di mesjid
aku naratif yang suaranya sudah tidak merdu lagi. Aku naratif
mengusulkan kepada merbot (pengurus masjid) untuk mengganti bedhug yang
suaranya sumbang itu. Usulan itu disepakati oleh lurah. Kayu pengganti
bedhug akan mengambil kayu jati yang tumbuh di makam. Bupati pun
berkenan meresmikan bedhug yang terbesar di kotanya itu. Namun dalam
pelaksanaannya kayu itu dikorupsi sebagian oleh lurah. Setelah jadi,
suara bedug itu juga sumbang, meskipun bentuknya sangbat indah. Panitia
memutuskan untuk membongkar lagi bedug baru itu. Suatu pagi waktu subuh,
aku naratif mendengar suara bedug dari mesjid yang suaranya merdu
sekali. Ia terpukau mendengar suara itu. Ketika ia datang ke mesjid,
ternyata bedug yang dipukul cengan suara merdu itu bedug yang lama. Aku
naratif bergetar hatinya.
Dari unsur surealis, tidak ada sesuatu yang
istimewa dalam cerpen “Bedhug”. Cerita ini digarap pengarang dengan
cara konvensional. Unsur nonrasional tidak tampak, namun kalau memang
dicari-cari unsur non rasional itu adalah perubahan suara bedhug yang
sumbang yang dengan tiba-tiba berubah merdhu. Hal semacam ini bukanlah
sesuatu yang luar biasa, masih dapat diterima oleh akal. Yang tampak
menonjol dalam cerpen “Bedhug” sebenarnya unsur simbolismenya. Apa makna
yang terkandung dalam bedug? Apa yang dimaksud dengan suara sumbang dan
tak sumbang? Pengarang tidak menjelaskan secara tersurat.
Cerpen kedua dalam kumpulan crita cekak
Djajus Pete adalah “Dasamuka”. Dalam cerpen ini pengarang terilhami dari
cerita pewayangan episod Ramayana. Dalang Ki Bilung Sarawita ketika
diminta memainkan wayang di sebuah perhelatan mengambil cerita episod
ramayana. Namun dalam cerita ini ada unsur parodi. Sinta yang diculik
oleh Dasamuka justru digambarkan jatuh cinta pada penculiknya. Bahkan
Sinta digambarkan hamil. U;ah Ki Bilung ini menimbulkan protes penonton.
Ki Bilung mengatakan bahwa wayang Dasamuka yang protes itu dibuat dari
kulit seorang bramacorah yang dihakimi massa. Penonton beramai-ramai mengumpulkan uang untuk membeki Dasamaka, kemudian dihancurkan.
Perihal Sinta jatuh cinta dan hamil dengan
Dasamuka, merupakan penympangan dari keaslian cerita tentang
Mahabharata. Pengarang menganggap apabila Sinta merasa teerancam dan
tertekan di dalam kekuasaan Dasamuka, cerita itu merupakan realita
cerita Mahabharata. Untuk memenuhi unsur surealis, cerita Mahabharata
itu disimpangkan dengan Sinta jatuh cinta dan hamil berkat hubungannya
dengan Dasamuka. Surealisme adalah aliran seni sastra yang mementingkan
aspek bawah sadar manusia dan nonrasional di citraan (Tim,1999:979).
Jatuh cintanya Sinta kepada Dasamuka sebenarnya masih belum memenuhi
unsur nonrasional. Sinta mungkin saja dapat catuh cinta kepada dasamuka,
karena Dasamuka memang mengasihinya.
Unsur surealisme dalam Kreteg Emas Jurang
Gupit tampak pada cerpen ketiga yang berjudul “Kadurjanan”. Dalam cerpen
ini di samping terdapat tokoh protagonis, juga melibatkan pengarang
sebagai pelaku cerita. Dalam hal ini pengarang berperan sebagai dirinya
sendiri, sebagai pengarang. Dalam cerpen ini diceritakan tokoh
protagonis protes kepada pengarang karena menganggap cerita yang dibuat
menyimpang.
“Kadurjanan” menceritakan seorang dukun
bernama Khosin yang membunuh Wara Lestari. Pengarang menulis dengan
runtut peristiwa pembunuhan tersebut, namun tiba-tiba tokoh Khosin
protes kepada pengarang, bahwa cerita yang ditulis ada penyimpangan.
Kemudian terjadi dialog antara pengarang dan khosin yang protes karena
dirinya selalu dijelek-jelekkan kepada pengarang. Kemudian Khosin akan
membeli cerita tentang dirinya yang ditulis oleh pengarang itu.
Gaya
penceritaan semacam itu di dalam sastra jawa memang belum pernah
dijumpai sebelumnya. Seorang pelaku dalam cerita protes kepada pengarang
memang susuatu yang nonrasional. Peristiwa seperti itu di luar realitas
atau kenyataan. Karya prosa yang konvensional memakai sudut pandang
orang pertama atau orang ketiga. Di dalam sudut pandang orang pertama
pengarang sebagai “aku” atau “saya”, mengidentifikasikan dalam tokoh,
baik sebagai tokoh utama atau tokoh bawahan. Pengarang sebagai tokoh
utama menyampaikan kisah diri, kisahan oleh tokoh utama dengan sorotan
pada tokoh utama. Pengarang sebagai tokoh bawahan menyampaikan kisah
tentang tokoh utama, kisahan oleh tokoh bawahan dengan sorotan pada
tokoh utama (Sudjiman,1992:77). Di dalam “Kadurjanan” pengarang tetap
sebagai pengarang, bukan tokoh yang berprofesi sebagai pengarang. Djajus
memberi kebebasan kepada para tokoh untuk protes kepada pengarang
apabila cerita dianggap tidak cocok oleh tokoh. Hal semacam ini termasuk
nonrasional. Seolah pengarang memadukan antara fiksi dan kenyataan.
Cerpen “Kakus” meskipun sarat dengan unsur
simbolis, namun unsur surealisnya tampak lemah. Cerpen ini justru
digarap secara realis. Cerpen “Kakus” mengisahkan uang emas milik
Sangkoro pengawas bangunan yang jatuh ke dalam kakus. Peristiwa ini
menarik minat Jan Ganco untuk menguras kakus yang penuh tinja guna
menemukan tiga keping emas itu. Namun karena banyaknya campur tangan
dari berbagai pihak membuat Jan Ganco dan kawan-kawannya menjadi kecewa.
Tiga keping uang emas yang sudah ditemukan itu dibuang kembali ke dalam
kakus, dan ditimbun kembali dengan tinja. Jan Ganco dan kawan-kawannya
merasa kecewa, karena ia tidak mendapatkan keuntungan dari hasil
menemukan tiga keping uang emas itu.
Unsur surealis-simbolis pada cerpen “Kreteg
Emas Jurang Gupit” dikerjakan dengan baik oleh Djajus Pete. Istilah
‘kreteg emas’ (jembatan emas) menimbulkan imajinasi kemewahan yang
sangat berlebih-lebihan. Kreteg (jembatan) sering dijumpai sehari-hari
di setiap tempat. Tetapi ‘jembatan emas’ merupakan sesuatu yang
mustahil, suatu yang sangat surealis. Cerpen ini mengisahkan pembangunan
jembatan emas di jurang Gupit. Di sekitar jembatan emas itu juga akan
dibangun taman yang indah. Namun dalam pelaksanaan pembangunan jembatan
itu, tidak kunjung selesai karena bahan jembatan banyak yang hilang.
Tidak diketahui siapa yang mengambil barang-barang itu. Hal itu membuat
prihatin masyarakat, terutama Kyai Zuber dan tiga orang santrinya
Kodrat, Sonto Kasbi, dan Markut. Mereka berempat bersemedi d tempat itu.
Dalam semedinya tampak bagian jembatan itu dijarah beramai-ramai.
Cerpen “Pasar Rakyat” tidak menunjukkan
unsur surealis-simbolis. Dalam cerpen ini tidak tampak gejala unsur
surealis seperti yang dinyatakan oleh pengarang. “Pasar Rakyat”
merupakan cerpen konvensional. Bahasa yang dipakai pun tidak menampakkan
unsur simbol. Cerpen ini mengisahakan tentang penggusuran pasar rakyat
dari tengah kota.
Penggusuran ini ditentang oleh para pedagang, namun mereka tidak dapat
berbuat apa-apa menghadapi kekuasaan. Justru para petugas yang mengalami
konflik batin akibat pilihan antara menjalankan perintah atasan dan dan
rasa kemanusiaan.
Cerpen “Petruk” merupakan cerpen surealis
yang sarat dengan simbol-simbol, di samping cerpen “Kreteg Ema Jurang
Gupit”. Petruk dengan tubuh jangkung dan hidung yang panjang oleh Djajus
Pete dibuat bongkok Cerpen “Petruk” mengisahkan seorang dalang yang
merangkap membuat wayang mendapat pesanan wayang Petruk. Ketika Dhalang
Ki Darman Gunacarita istirahat makan, kulit bahan petruk dibawa lari
anjing, kemudian anjing-anjing yang lain saling memperebutkan kulit itu,
sehingga kondisi kulit menjadi rusak, banyak lubang bekas gigitan
anjing. Setelah beberapa sat lamanya kulit itu disimpan, kemudian
dilanjutkan lagi pengerjaannya, tetapi Ki Darman mengjhindari
bagian-bagian yang rusak bekas gigitan anjing. Setelah jadi ternyata
Petruk bentuknya menjadi bongkok mengenaskan.
“Rajapati” merupakan cerpen kedelapan yang
dimuat dalam antologi Kreteg Emas Jurang Gupit. Cerpen “Rajapati”
sebenarnya tidak dapat dikategorikan cerpen surealis. Dari segi
penceritaan cerpen itu merupakan cerpen konvensional. “Rajapati”
mengisahkan tentang seorang pengasah berbagai benda tajam bernama
Markaban. Ketika terjadi peristiwa pembunuhan, polisi mendapatkan bukti
bahwa senjata yang dipakai membunuh adalah senjataa yang pernah diasah
Markaban. Karena markaban tidak dapat menunjukkan pemilik senjata itu,
maka Markaban yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan. Karena sikap Serma
Margono yang kasar kepada Markaban, kemudian Markaban melawan hingga
Serma Gono terbunuh.
Cerpen “Setan-Setan” mengisahkan seorang
wartawan bernama Akuwu yang diundang oleh Bokor karena ada suatu kasus.
Ternyata Bokor adalah makhluk halus. Bokor protes kepada Akuwu karena
bangsa makhluk halus di berbagai majalah selalu digambarkan menjijikkan
dan menakutkan. Akuwu dirayu untuk bekerja di penerbitan Bokor yang
menerbitkan majalah Surak gumbira, namun Akuwu menolak. Di tempat Bokor
Akuwu bertemu In, seorang manusia yang bekerja di tempat itu tanpa
menyadari bahwa ia bekerja di alam makhluk halus. Akuwu akhirnya membawa
In untuk kembali ke alam manusia.
Tikus dan kucing dalam cerpen “Tikus lan
Kucinge Penyair” adalah tokoh-tokoh dalam cerpen itu. Tikus dan kucing
dalam cerpen ini adalah simbol-simbol yang dipakai oleh pengarang.
Dengan gaya
surealis pengarang mempersonifikasikan tikus tidak ubahnya seperti
manusia kebanyakan. Tokoh dalam cerita ini adalah Kuslan seekor tikus
jantan, Istik tikus betina yang hamil tua, Ketika Kuslan mencari bahan
untuk sarang, ia mnemukan sehelai kertas yang ada puisinya. Puisi itu
berisi tentang kucing candramawa yang pandangannya dapat melumpuhkan
tikus. Puisi itu rencananya akan dibacakan sambil mengundang penceramah
masalah kucing untuk menyambut kelahiran anak Kuslan. []
1. Unsur Simbolis dalam Kreteg Ema Jurang Gupit
Bahasa
yang dipakai dalam karya sastra adalah bahasa konotatif. Pemakaian
bahasa yang konotatif cenderung menimbulkan ketaksaan, karena bahasa
dalam karya sastra itu bermakna ganda. Untuk memahami sebuah karya
sastra perlu mengetahui makna yang tersirat di samping makna yang
tersurat. Untuk memahami karya sastra perlu pemahaman ilmu tentang
tanda-tanda. Ilmu tentang tanda-tanda dalam karya sastra termasuk ke
dalam semiotik. Semiotik menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan
merupakan tanda-tanda. (Pradopo,2001:67). Simbol termasuk ke dalam
tanda.
Simbol dibedakan dua macam: simbol
presentasional dan simbol deskursif (Langer dalam Sudikan,1996:90).
Simbol presentasional ialah simbol yang penangkapannya tidak membutuhkan
keintelekan. Simbol itu menghadirkan apa yang dikandungnya dengan
spontan. Simbol diskursif adalah simbol yang penangkapannya perlu
keintelekan.Tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak
terpisahkan, signifiant (petanda) dan signifie (penanda). Tanda adalah
arbriter, khas, dan sistematik (de Saussure dalam Teeuw,1988:44). De
Saussure mengungkapkan konsep langue dan parole dalam pemikirannya.
Lange merupakan institusi dan sistem, sedang parole suatu tindakan
individual yang merupakan seleksi dan aktualisasi (Barthes,1996:81).
a. Unsur simbolis dalam cerpen “Bedhug”
Bedhug
dalam tradisi masyarakat Islam bukan sekedar bunyi-bunyian yang
bernilai hiburan. Bedug tidak dapat dipisahkan dengan ibadah yang
dilakukan oleh umat Islam. Dalam situasi yang biasa, bedug paling tidak
dipukul lima
kali dalam sehari, menandai saat sholat wajib bagi umat Islam. Ketika
bedug dipukul, orang datang beramai-ramai ke masjid untuk sholat
berjamaah. Setelah bedug dipukul, kemudian akan disusul suara adzan.
Dalam
cerpen “Bedhug” diceritakan bahwa suara bedug itu bagi aku naratif
kedengaran sumbang. Namun hal itu dibantah oleh Lik Merbot. Bagi Lik
Merbot suara bedug itu sejak awal tidak mengalami perubahan. Jadi ada
perbedaan penangkapan suara bedug itu. Perbedaan penangkapan suara bedug
antara Lik Merbot dan aku naratif sebenarnya merupakan simbol dari
tingkat pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai religi mereka
masing-masing. Aku naratif mendengar suara bedug yang sumbang disebabkan
penghayatan, pemahaman, dan tingkat imannya yang masih rendah. Hal itu
berbeda dengan Lik Merbot. Sebagai takmir masjid Lik Merbot mempunyai
pemahaman, penghayatan, dan tingkat keimanan yang lebih dalam daripada
aku naratif. Oleh karena itu ia mengatakan hanya karena telinga aku
naratif saja yang menyebabkan suara bedug itu sumbang.
Suara
bedhug yang sumbang pada akhir cerita tiba-tiba berubah menjadi merdu.
Peristiwa itu menunjukkan adanya perubahan tingkat pemahaman,
penghayatan, dan iman aku naratif. Oleh karena itu begitu mendengar
suara bedhug yang sebelumnya dikatakan sumbang itu hatinya bergetar. Ia
terharu dan menangis. Perubahan tingkat pemahaman, penghayatan, dan iman
aku ini tampak dari tanggapan Lik Merbot pada aku naratif ketika
melihat aku naratih menangis terharu, seperti kutipan berikut.
“’Mlebua. Wisuhana sikilmu kang rusuh kuwi. Paklik bungah kuping atimu wis bolong, kowe wis ora sengsem marang swara bedhug,’tembunge Lik Merbot njalari atiku saya ngondhok-ondhok.’ (hal. 8)
“Masuklah. Cucilah kakimu yang kotor itu.
Paklik senang telinga hatimu sudah berlubang, engkau tidak tertarik pada
suara bedug,” kata Lik Merbot menyebabkan hatiku semakin terharu.”
Dikatakan oleh Lik Merbot bahwa kuping ati
(telinga hati) aku naratif telah berlubang. Kuping ati bolong (telinga
hati berlubang) bermakna terbukanya hati nurani. Pernyataan itu
menunjukkan bahwa hati nurani aku naratif sudah terbuka, sudah timbul
kesadaran, penghayatan, pemahaman dan iman yang lebih dalam terhadap
nilai-nilai religi.
b. Unsur Simbolis dalam “Dasamuka”
Dsasamuka
adalah raja kerajaan Alengka. Karena jatuh hati pada Sinta, Rahwana
menculik Sinta, sehingga menimbulkan perang besar. Dalam bentuk wayang
kulit, Rahwana digambarkan sebagai raksasa bertubuh besar dan garang.
Dasamuka biasa dipakai simbol keangkaramurkaan. Salah satu bentuk
keangkaramurkaannya adalah menculik Dewi Sinta yang telah menjadi isteri
Rama.
Awal penculikan Sinta terjadi ketika
Sinta tertarik pada kijang emas penjilmaan Kala Marica, abdi terkasih
dari Dasamuka yang sengaja ditugasi menggoda Sinta. Sinta dalam cerpen
“Dasamuka” Djajus Pete menyimpang dari cerita aslinya. Sinta justru
jatuh cinta pada penculiknya hingga hamil. Sedang kulit wayang Dasamuka
yang dimainkan dalang ternyata bahannya terbuat dari kulit seorang
bramacorah yang mati dikeroyok massa.
Untuk menyangatkan sifat angkara murka,
pengarang tidak cukup membandingkan dengan Dasamuka. Dasamuka sebenarnya
sudah dapat mewakili keangkaramurkaan. Untuk lebih menyangatkan lagi
digambarkan bahwa kulit bahan Dasamuka dibuat dari kulit residivis yang
dihakimi massa.
Peristiwa ini menuerut rahus (2001:26) merupakan gambaran
ketidakpercayaan masyarakat kepada penegak hukum, sehingga mereka harus
main hukum sendiri. Dasamuka yang jahat akan tampak lebih jahat. Kijang
emas penjilmaan Kala Marica gambaran dari materi duniawi, sedang Sinta
mewakili dunia wanita. Dengan demikian cerita itu dapat dimaknai bahwa
umumnya wanita itu mudah tergoda oleh harta benda. Jadi tidak mustahil
Sinta yang mewakili wanita dapat jatuh hati dengan dasamuka, karena
sebenarnya pemilik kijang emas itu adalah Dasamuka.
Dalam
cerita Dasamuka yang sudah dibeli oleh penonton dengan uang hasil
iuran, dihancurkan beramai-ramai. Namun muncul Dasamuka yang baru dengan
karakter yang sama tetapi wajah yang berbeda. Sebagai simbol kejahatan
dan keangkaramurkaan, peristiwa itu menyiratkan bahwa kejahatan itu
selalu ada di dunia ini. Kejahatan yang satu dimusnahkan, akan muncul
kejahatan yang lain, dalam bentuk yang lain.
c. Unsur Simbolis dalam “Kakus”
Kakus
adah tempat tempat penampungan tinja. Mendengar kata ‘kakus’ mengacu
pada suatu yang menjijikkan dengan bau yang sangat tidak sedap. Orang
akan menjauhi tempat itu kecuali saat buang hajat. Apabila ada orang mau
berkutat demgan isi kakus, tentu karena terpaksa seperti yang dilakukan
oleh Jan Ganco, Dul Belong, dan Man Ireng. Mereka bertiga bersusah
payah menguras kakus Parikah untuk mendapatkan uang emas yang jatuh ke
dalamnya. Mereka bertiga ingin mendapatkan keuntungan dari jerih
payahnya itu. Namun usahanya termnyata sia-sia.
Ada
sesuatu kekuatan yang tidak dapat diatasi oleh Jan Ganco dan kedua
temannya, yaitu pemerasan dari penguasa. Tiga keping emas yang mereka
dapatkan dari berlepotan tinja ternyata habis karena diperas oleh
beberapa oknum, termasuk lurah. Karena kecewa tiga kepng uang emas itu
dimasukkan kembali ke dalam kakus, dan ditimbun dengan tinja. Cara ini
ditempuh oleh Jan Ganco dan kedua temannya. Tentu saja jalan ini bukan
jalan yang terbaik, tetapi jalan yang menyakitkan bagi Jan Ganco dan
kedua temannya. Namun tidak ada pilihan lain.
Jan
Ganco, Dul Belong, dan Man Ireng adalah simbol rakyat kecil yang selalu
dijadikan sapi perahan. Mereka bertiga harus bekerja keras untuk
mendapatkan tiga keping emas itu, sementara pihak lain yang tidak ikut
campur justru menginginkan bagian yang jauh lebih besar. Sebagai rakyat
kecil mereka tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.
d. Unsur Simbolis dalam “Kreteg Emas Jurang Gupit”
Unsur
simbolis yang paling menonjol dalam cerpen “Kreteg Emas Juran Gupit”
adalah nama para tokoh. Nama tokoh-tokoh dalam cerpen itu ialah Lurah
Sendikoprojo, Mbah Bolo, Gotar, Kyai Zuber, Markut, Sonto Kasbi. Lurah
Sendikoprojo mengisyaratkan pemimpin yang hanya mau menuruti kemauan
atasan, tanpa memperharttikan keadaan rakyat kecil. Kata sendiko dalam
bahasa Jawa berarti siap melaksanakan tugas, sedang projo berarti
negara. Sendikoprojo dalam cerpen itu identik dengan sendiko dhawuh
Gotar
adalah nama khas desa. Nama itu menimbulkan makna kesederhanaan, dan
keluguan. Simbol dari masyarakat yang lugu yang menjadi bulan-bulanan
dan kambing hitam dari penguasa. Dalam cerpen “Kreteg Emas Jurang Gupit”
penguasa disimbolkan pada diri Lurah Sendikoprojo. Lurah Sendikoprojo
telah melakukan perbuatan sewenang-wenang terhadap Gotar.
Pembangunan
jembatan ternyata tidak selancar yang diduga. Besi-besi dan emas bahan
jembatan banyak yang hilang, termasuk besi seberat empat ton tanpa
diketahui yang mengambil Hilangnya bahan-bahan untuk jembatan itu baru
terkuak setelah Kyai Zuber diikuti Kodrat, Sonto Kasbi dan Markut
bersemedi di tempat dibangunnya jembatan. Ternyata barang-barang itu
hilang dicuri dhemit. Dhemit dalam cerpen “Kreteg Emas Jurang Gupit”
bukanlah dhemit sesungguhnya, oleh karena itu Kyai Zuber mengatakan
bahwa itu bukan garapannya, tidak akan mempan oleh doa dan sarana yang
bersifat mistik. Menurut Kyai Zuber ada yang lebih berhak menangani
masalah itu. Dhemit dalam cerpen itu mengacu pada koruptor. Pihak yang
berhak menangani koruptor seperti yang dikatakan oleh Kyai Zuber adalah
penegak hukum. []
e. Unsur Simbolis dalam Cerpen “Tikus lan Kucinge Penyair”
Tikus dan kucing dua binatang yang tidak
pernah hidup bersama. Tikus merupakan binatang yang merugikan manusia,
karena dapat merusak apa saja yang ditemui. Sebaliknya Kucing merupakan
binatang jinak yang menjadi piaraan dan kesayangan tuan rumah. Setiap
menjumpai tikus, kucing berusaha menangkapnya untuk dimakan. Di mana pun
tmpatnya, tikus selalu ketakutan melihat kucing.
Tikus dan kucing tidak ubahnya dengan hitam
dan putih, sama halnya dengan keburukan dan kebaikan. Tikus laki-laki
diberi nama Kuslan, sedang tikus perempuan diberi nama Istik. Kata
Kuslan merupakan akronim dari tikus lanang yang berarti tikus laki-laki,
atau tikus jantan. Istik bermakna isteri tikus, yaitu isteri Kuslan..
Kuslan sebagai tikus yang paling tuwa punya banyak pengalaman, pernah
hidup di kantor, di sekolah, di gudang, pasar, setasiyun, terminal,
pelabuhan, gudhang dholog dan tempat-tempat lainnya. Tikus di mana pun
tempatnya akan selalu menyusahkan yang ditempati. Tikus yang cenderung
dekat dengan warna hitam, mengacu pada dunia kejahatan dengan manusia
sebagai pelakunya. Kuslan sebagai tikus jantan simbol dari kejahatan
seorang laki-laki. Kuslan identik dengan penjahat profesional yang dapat
beroperasi di mana saja, di terminal, di kantor, terminal, gudang,
pasar dan sebagainya.
Kucing dan tikus sebenarnya sama-sama
mewakili manusia dengan karakter yang berbeda. Diantara kucing yang
ditakuti tikus adalah kucing candramawa. Sudikan (1996:94) menyatakan
bahwa tokoh tikus sebagai lambang untuk mengkritik oknum yang
memanfaatkan kesempatan untuk melakukan korupsi, sedang kucing sebagai
lambang alat negara untuk memberantas korupsi. Dalam cerpen itu
dikisahkan hanya dengan pandangan matanya saja kucing candramawa dapat
membuat tikus tak berdaya. Oleh karena itu untuk memberantas tikus
sebagai koruptor diperlukan kucing candramawa. Kucing candramawa adalah
alat negara yang berwibawa, yang disegani oleh koruptor karena
kejujurannya. Kucing candramawa tidak akan memakan tikus. Ia sekedar
mengalahkannya. Kucing yang mau memakan tikus dikisahkan sebagai kucing
biasa yang rakus yang juga mau makan katak dan kadal. Kucing yang rakus
merupakan gambaran alat negara yang suka memeras musuhnya. Setelah
memahami makna yang ada di balik simbol tikus dan kucing ternyata cerpen
“Tikus lan Kucinge Penyair” ternyata banyak mengandung kritik sosial
yang ditujukan kepada perilaku manusia.
f. Unsur simbolis dalam cerpen “Petruk”
Petruk tokoh punakawan dalam keluarga
Pandawa dalam wayang kulit digambarkan bertubuh jangkung, berhidung
mancung, dan berkuncir. Sebagai punakawan anak Semar ia berperilaku
kocak dan lucu. Petruk beserta Semar ayahnya, dan dua orang saudara
gareng dan Bagong selalu mengikuti Arjuna kemana pun pergi. Tetapi
Petruk dalam sunggingan Dalang Ki Darman lain. Petruk dalam sunggingan
Ki Darman bertubuh bongkok menyedihkan. Tubuh yang bongkok Petruk hasil
sunggingan Ki Darman bukanlah tanpa sebab. Anjing-anjing memperebutkan
kulit bahan Petruk itu beramai-ramai, sehingga koyak-koyak. Sunggingan
Petruk yang setengah jadi itu rusak, pundhak, bagian belakang
kepalahancur. Pucuk hidungnya sobek. Akhirnya hasil sunggingan Ki Darman
tidak menampilkan sosok Petruk yang tinggi semampai dan mengundang
banyak tertawa karena kocaknya, tetapi justru bongkok menyedihkan
mengundang belas kasihan.
Makna simbolis Petruk sebagai punakawan,
sebagai abdi, gambaran dari rakyat kecil. Ia menderita akibat ulah
anjing-anjing yang rakus. Dalam “Petruk” pengarang ingin menceritakan
penderitaan rakyat akibat ulah penguasa, sehingga ia menjadi bongkok
menyedihkan. Pengarang menggambarkan karakter anjing sebagai berikut.
“Watege swara asu, gampang narik kawigatene
asu-asu liya. Asu-asu saka papan adoh padha mara gemrudug. Kempyung
melu rayahan, cathek-cathekan, kaya wedi ora keduman. Pating jregug!
Pating kraing! Ambegane ngosos pating krenggos. Ilate abang pating
klewer” (hal. 60).
Terjemahan:
Sifat
suara anjing, mudah menarik perhatian anjing-anjing yang lain.
Anjing-anjing dari tempat lain datang berbondong-bondong. Ramai berebut,
saling menggigit, seperti takut tidal mendapat bagian. Saling melolong!
Saling menyalak! Nafasnya mendesis tersengal-sengal. Lidahnya merah
menjulur.
Sifat anjing yang digambarkan oleh
pengarang di atas merupakan simbol dari sifat penguasa. Bila mendengar
ada orang yang dapat dijadikan objek pemerasan datang beramai-ramai ikut
memeras, saling berebut, berkelai takut tidak mendapat bagian. Cerpen
Djajus Petememang banyak mengandung kritik sosial (Rahus,2001:26).
Petruk sebagai simbol rakyat yang telah menderita lebih menderita lagi
karena menjadi bahan rebutan anjing-anjing. Diceritakan bahwa tempat
sekitar Petruk sudah sempit, sudah rusak. Petruk terjepit, kehilangan
tempat buat hidup. Paparan itu merupakan simbol bahwa rakyat kecil yang
diwakili Petruk sudah tidak ada tempat untuk hidup.Tempat sekitar sudah
sangat sempit, sudah rusak. Petruk terjepit, kehilangan tempat buat
hidup. []
D. Simpulan
Cerpen-cerpen
Djajus Pete yang terkumpul dalam Kreteg Emas Djurang Gupit ternyata
tidak semuanya menganut aliran simbolis-surealis. Sebagian cerpen dalam
kumpulan itu ternyata menganut aliran realis. Cerpen-cerpen yang sesuai
dengan aliran realis ialah “Bedhug”, “Kakus”, “Rajapati” dan “Pasar
Rakyat”. Namun demikian cerpen-cerpen itu tetap memakai gaya
simbolis. Unsur surealis dalam cerpen-cerpen Djajus Pete merupakan
akibat begitu leluasanya imaji pengarang dalam mengembangkan cerita
pendek yang ditulisnya, sehingga dapat menembus batas bentuk-bentuk
konvensional dalam cerita pendek.
Unsur surealis dalam cerpen “Dasamuka”
tampak dalam penyimpangan alur cerita dan “pakem” dalam pakiliran. Dalam
cerpen itu Dewi Sinta yang diculik Dasamuka justru jatuh cinta dan
hamil dengan Dasamuka. Unsur surealis dalam cerpen “Kadurjanan” tampak
dalam terjadinya dialog antara tokoh dalam cerita dengan pengarang. Gaya semacam ini merupakan inovasi Djajus Pete. “Kreteg Emas Jurang Gupit” imajinasi Djajus berkembang menembus gaya
realis, dengan pembangunan sebuah jembatan yang dibuat dengan emas,
meskipun pembangunan jembatan itu banyak mengalami kendala. Dalam cerpen
“Petruk”, Petruk versi Djajus seorang Petruk yang bongkok dan
menimbulkan iba.Cerpen Djajus Pete yang lain yang menembus batas
konvensional sebagai cerpen realis adalah cerpen “Setan-Setan dan “Tikus
lan Kucinge Penyair”.
Unsur simbolis dalam kumpulan cerpen Kreteg
Emas Jurang Gupit” terselubungnya protes sosial dalam cerpen-cerpen
Djajus dalam bentuk simbol-simbol dengan gaya
yang kocak. Ia membuat simbol suara bedug untuk tingkat keimanan
seseorang, Dasamuka untuk keangkaramurkaan, kakus dan Petruk untuk
gambaran kesengsaraan rakyat kecil, serta tikus dan kucing untuk
orang-orang yang merugikan rakyat dan negara serta penegak hukum.
Cerpen-cerpen djajus Pete hampir semuanya menggambarkan suasana rakyat
kecil di pedesaan dengan problema kehidupannya. []
DAFTAR PUSTAKA
Barthes,
Roland. 1996. “Unsur-Unsur Semiologi: Langue dan Parole”. Dalam
Serba-Serbi Semiotika. Penyunting Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest. Jakarta: Gramedia.
Hutomo, Suripan Sadi. Telaah Kesusaasteraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa Depdikbud.
_______________. “Pengaruh Timbal Balik Sastra Melayu (Indonesia) dengan Sastra Jawa. Dalam Problematik Sastra Jawa. Oleh Suripan Sadi Hutomo dan Setyo Yuwono Sudikan. Surabaya:Jurusan bahasa dan sastra Indonesia FBS IKIP Surabaya.
Krampen, Martin. 1996. “Ferdinand de
Saussure dan Perkembangan Semiologi”. Dalam Serba Serbi Semiotika
Penyunting Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest. Jakarta: Gramedia.
Pete, Djajus. 2001. Kreteg Emas Djurang Gupit: Kumpulan Crita Cekak. Surabaya: Yayasan Pinang Sirih & Dewan Kesenian Jawa Timur.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. “Penelitian
Sastra dengan Pendekatan Semiotik”. Dalam Metodologi Penelitian Sastra.
Jabrohim (Ed). Jogjakarta: Hanindita Graha Widya.
Rahus, Anam. 2001. “Djajus Pete lan Crita Cekake” dalam Panyebar Semangat No. 49. Surabaya, 8 Desember 2001.
Sudikan, Setya Yuwana dkk. 1996. Memahami Cerpen Djajus Pete. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suwondo, Tirto. 2001. “Analisis Struktural
Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian Sastra”. Dalam Metodologi
Penelitian Sastra. Jabrohim (Ed). Jogyakarta: Hanindita Graha Widya.
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar