“MERAPI GUGAT”, Antologi Puisi Etnik 13 Penyair: Anisa Afzal, Arieyoko, Boedi Ismanto SA, Gampang Prawoto, Hadi Lempe, Kurniawan Junaedhie, Nia Samsihono, Nunung Susanti, Ratu Ayu Neni Putra, Rini Intama, Soekamto, Susy Ayu dan Sutirman Eka Ardhana. - Kata Pengantar: Arieyoko (Komunitas Seniman Muda Bojonegoro) - Perancang sampul: Aant S Kawisar - Tebal: 157 hal + x - ISBN: 9-786028-966-108
SIMAK KOMENTAR PEMBACA AWAL:
Professor Harry Aveling, PhD DCA, Indonesianis, Pengamat Sastra Indonesia, di Sydney:
“Walaupun bahasa tidak bisa dipakai untuk menguasai alam raya ciptaan Yang Mahakuasa, manusia memang harus memakai bahasa dalam percobaannya untuk memahami dan merespon pada pengalamannya dalam dunia yang tetap bergolak. Letupan Gunung Merapi selama beberapa minggu tahun 2010 sangat mengerikan, namun demikian perasaan persaudaran yang timbul di masyarakat seIndonesia juga sangat jelas dan mengharukan. Dalam buku ini yang tertulis oleh 13 penyair dalam bahasa Indonesia, Jawa dan Sunda, dibuktikan, ‘Kita adalah Merapi’.”
Cunong N. Suraja, pengajar Intercultural Communication di FKIP-UIKA Bogor:
“Tigabelas penyair menggugat Merapi. Merapi yang memberkahi tigabelas penyair yang cukup jam terbangnya. Tak heran jika mereka menangkap makna Merapi dalam warna lokal yang kental serta kearifan budaya yang tandas dengan bonus catatan kaki bahasa daerah. Nama Sutirman Eka Ardhana, Kurniawan Junaedhie, Boedi Ismanto dan Susy Ayu untuk menyebut nama penyair dengan dapur magma yang mampu melawan kebringasan Merapi yang terasa lebih dahsyat dari tahun-tahun masa kecil saya. Sungguh buku kumpulan yang mewakili perhelatan Merapi di era Facebook yang ceria dan merdeka.”
Maman S Mahayana, Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul:
“Puisi adalah potret zaman. Ia tak sekadar representasi gebalau rasa yang paling individual tentang sikap, empati—simpati, atau bahkan antipati, tetapi juga sebagai pewarta peristiwa kemanusiaan. Selalu, tragedi kemanusiaan di belahan dunia mana pun akan menyedot rasa bela sungkawa. Lalu kepedulian pun berdatangan dalam berbagai bentuk ekspresinya. Antologi puisi ini—dengan segala sentuhan etnisitasnya—, telah menjadi saksi bicara, betapa suara penyair tiada pernah berhenti mengalirkan semangat hendak berbagi. Itulah tanggung jawab penyair sebagai makhluk manusia. Di situlah puisi menjadi suara kemanusiaan zamannya.”
Hudan Hidayat, Sastrawan, dan Pengamat sastra, di Jakarta:
“.…seperti ke-13 rekan penyair ini, membuatkan semacam tugu peringatan akan kejadian alam – meletusnya gunung merapi. Seolah kini sastra itu menunjukkan dirinya, bahwa dia bukanlah semata bahasa yang dipakai untuk sekedar semata kesenangan diri. Tapi bahasa yang melibatkan juga kepada soal soal di masyarakat….”
Suminto A Sayoeti, Guru Besar FBS UNY, Yogyakarta:
“Dalam puisi , para penyair merumahkan pengalaman-pengalaman kemanusiaannya. maka, bahasa puisi pun tidak semata informatif, tetapi bahkan evokatif: mampu menggugah kesadaran kemanusiaan kita. puisi yg dihimpun dalam antologi ini, untuk sekian kalinya, membuktikan hal itu. tidak hanya pewartaan yg dikapsulkan dalam jagat puitik pilihan para penyair, tetapi juga refleksi-refleksi sublim agar kita tetap menjadi manusia.”
SIMAK KOMENTAR PEMBACA AWAL:
Professor Harry Aveling, PhD DCA, Indonesianis, Pengamat Sastra Indonesia, di Sydney:
“Walaupun bahasa tidak bisa dipakai untuk menguasai alam raya ciptaan Yang Mahakuasa, manusia memang harus memakai bahasa dalam percobaannya untuk memahami dan merespon pada pengalamannya dalam dunia yang tetap bergolak. Letupan Gunung Merapi selama beberapa minggu tahun 2010 sangat mengerikan, namun demikian perasaan persaudaran yang timbul di masyarakat seIndonesia juga sangat jelas dan mengharukan. Dalam buku ini yang tertulis oleh 13 penyair dalam bahasa Indonesia, Jawa dan Sunda, dibuktikan, ‘Kita adalah Merapi’.”
Cunong N. Suraja, pengajar Intercultural Communication di FKIP-UIKA Bogor:
“Tigabelas penyair menggugat Merapi. Merapi yang memberkahi tigabelas penyair yang cukup jam terbangnya. Tak heran jika mereka menangkap makna Merapi dalam warna lokal yang kental serta kearifan budaya yang tandas dengan bonus catatan kaki bahasa daerah. Nama Sutirman Eka Ardhana, Kurniawan Junaedhie, Boedi Ismanto dan Susy Ayu untuk menyebut nama penyair dengan dapur magma yang mampu melawan kebringasan Merapi yang terasa lebih dahsyat dari tahun-tahun masa kecil saya. Sungguh buku kumpulan yang mewakili perhelatan Merapi di era Facebook yang ceria dan merdeka.”
Maman S Mahayana, Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul:
“Puisi adalah potret zaman. Ia tak sekadar representasi gebalau rasa yang paling individual tentang sikap, empati—simpati, atau bahkan antipati, tetapi juga sebagai pewarta peristiwa kemanusiaan. Selalu, tragedi kemanusiaan di belahan dunia mana pun akan menyedot rasa bela sungkawa. Lalu kepedulian pun berdatangan dalam berbagai bentuk ekspresinya. Antologi puisi ini—dengan segala sentuhan etnisitasnya—, telah menjadi saksi bicara, betapa suara penyair tiada pernah berhenti mengalirkan semangat hendak berbagi. Itulah tanggung jawab penyair sebagai makhluk manusia. Di situlah puisi menjadi suara kemanusiaan zamannya.”
Hudan Hidayat, Sastrawan, dan Pengamat sastra, di Jakarta:
“.…seperti ke-13 rekan penyair ini, membuatkan semacam tugu peringatan akan kejadian alam – meletusnya gunung merapi. Seolah kini sastra itu menunjukkan dirinya, bahwa dia bukanlah semata bahasa yang dipakai untuk sekedar semata kesenangan diri. Tapi bahasa yang melibatkan juga kepada soal soal di masyarakat….”
Suminto A Sayoeti, Guru Besar FBS UNY, Yogyakarta:
“Dalam puisi , para penyair merumahkan pengalaman-pengalaman kemanusiaannya. maka, bahasa puisi pun tidak semata informatif, tetapi bahkan evokatif: mampu menggugah kesadaran kemanusiaan kita. puisi yg dihimpun dalam antologi ini, untuk sekian kalinya, membuktikan hal itu. tidak hanya pewartaan yg dikapsulkan dalam jagat puitik pilihan para penyair, tetapi juga refleksi-refleksi sublim agar kita tetap menjadi manusia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar