Sabtu, 22 Maret 2014

RPA Suryanto Sastroatmodjo: Itu Bojonegoro

sastra-bojonegoro.blogspot.com






RPA (Raden Panji Anom) Suryanto Sastroatmodjo


                        


Kematian Terindah Pejuang Budaya  
RPA (Raden Panji Anom) Suryanto Sastroatmodjo terbaring di kamar kontrakannya –Jalan Nagan Lor 21, Yogyakarta, di antara berkas yang berserakan dan amben reot dengan kasur yang lapuk. Pejuang budaya itu sudah berpulang ke Pangkuan Illahi, Selasa Kliwon, 17 Juli 2007 pukul 10.00. Suryanto wafat dalam sunyi, ketika zaman dan situasi semakin “menyembilu hati” – ungkapan khas Chairil Anwar – ini pernah dilontarkan oleh almarhum beberapa pekan sebelum meninggal. 

Kamar almarhum yang  pengap dan lembab, bahkan terungkap ada bangkai seekor kucing kesayangan almarhum yang menemani. Suryanto – yang juga dikenal kawan-kawan di komunitasnya dengan panggilan Mas Kanjeng – mengenakan t’shirt coklat motif bergaris horisontal dan celana panjang coklat. Ia bagai menyunggingkan senyum. Ketika kami mengangkat tubuhnya untuk dimandikan, jasadnya masih lemas dan terasa sisa hangat yang menguap di kain seprei tertindih punggungnya. Suryanto yang acap dipanggil mas Kanjeng itu memang sudah wafat. Serangan jantung sebagai penyebabnya.


Selama ini, jarang yang secara langsung menjenguk isi kamarnya. Biasanya  orang yang ingin menemuinya hanya mengetuk pintu dari luar, di antara kamar mandi, kakus, dan sumur. Suryanto memberi tanda khas di bagian pengait gembok. Tapi, jangan dibayangkan gemboknya terbuat dari baja dan berkunci, alih-alih Suryanto hanya “mengunci”-nya dengan batang sikat gigi. Bila di pengait gembok itu tiada sikat gigi, artinya Suryanto ada di dalam kamar itu. Seperti biasa saat  menerima tamu di emperan depan rumah milik Pak Tris, sahabat dan kawan kuliahnya.


Suryanto telah mencapai kematian terindah. Sebab, almarhum masih berkesempatan mengerahkan energi kreatifnya yang terakhir kalinya. Yakni, dengan tetap menggelar forum macapatan "Dharma Sri Winahya" semalam sebelum ajal merenggutnya. Almarhum berhasil memertahankan forum macapatan hingga ajal menjemputnya telah memasuki tahun kesepuluh.  Tidak mampu membayangkan, betapa besar energi yang dibutuhkan oleh seorang pejuang budaya seperti Suryanto. Forum macapatan yang dikelolanya di hotel Inna Garuda Yogyakarta memang hanya digelar setiap selapan – atau 35 hari – sekali. Tetapi, kenyataannya Suryanto selalu terbuka menerima tamu atau siapa pun yang datang untuk berbagai dan berbagi kepentingan. Bisa dikata waktu dua puluh empat jam sehari tidak cukup bagi Suryanto untuk melayani masyarakat –dari kalangan awam maupun seniman. Sampai-sampai untuk sekadar mencari tempat istirahat pun almarhum membeli tiket bioskop di Indra Theatre dan bukannya nonton film hot, melainkan tidur pulas.


Mengikuti gaya hidup almarhum, antara lain dengan  tidur di emperan yang berlantai keramik, coba bayangkan siapa yang kuat menjalani “kegilaan” semacam itu. Hanya penyair Sri Wintala Achmad yang masih bertahan pada gaya hidup ala Suryanto. Dan, memang Wintala tetap setia menemani Suryanto bahkan sempat juga menemani almarhum berziarah ke makam Kotagede, di ujung hayat almarhum. 

***

sastra-bojonegoro.blogspot.com

 
Pejuang Kebudayaan Rakyat
Kebudayaan yang diperjuangkan Suryanto adalah kebudayaan rakyat. Karena, kebudayaan yang lazimnya diekspresikan melalui karya seni adalah milik setiap kepala. Lebih-lebih kebudayaan lokal. Bagi Suryanto, estetika adalah nonsense karena ia lebih sebagai abstraksi dan rasionalisasi. Padahal, kebudayaan adalah sebuah ekspresi yang bersumber dari kedalaman hati guna mencapai emansipasi, liberasi, dan transendensi. Maka Suryanto selalu melibatkan setiap orang, apa pun profesi formalnya. Dalam komunitas macapatan ada sais andong, pengemudi becak, guru, spiritualis, abdi dalem, pengelola warung, ibu rumah tangga, ataupun pekerja sosial. Bagi Suryanto, jangan memandang orang dari jabatan, gelar, ataupun status sosialnya, melainkan pandanglah orang dari apa yang dikatakan dan dikerjakannya.

Suryanto –peraih anugerah Bintang Emas Bhakti Budaya dari Pusat Kebudayaan Jawa Surakarta pada 1995, mengenal Suryanto yang  di Harian Bernas (1997-2004) lebih intens bertemu dan berkomunikasi, semakin dalam pergaulan maka  semakin terpukau kepadanya. Banyak yang perlu di pelajari dari seorang Suryanto misalnya tentang kesabaran, kejujuran, keikhlasan, mengelola rahasia, dan menghargai orang lain. Dan, lebih dari segalanya, Suryanto adalah mata air inspirasi –baik untuk materi jurnalistik maupun olah literer. Sepanjang perjalanan almarhum adalah  momen puitik.

Suryanto –yang menerima anugerah gelar dan nama KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) Surya Puspa Hadinegara dari Keraton Surakarta Hadiningrat pada 2 Desember 1997- merupakan tipikal seniman yang mewarisi nilai dan gaya hidup seniman seangkatan Chairil Anwar, misalnya dari sikap bohemian. Sebaliknya, untuk karakter personalnya, Suryanto jauh berbeda dengan seniman yang lazimnya arogan dan hidup soliter. Suryanto justru berkepribadian rendah hati dengan hidup membaur, manjing ajur ajer sebagai laku tapa ngrame di tengah-tengah hiruk pikuk masyarakat pada umumnya. Forum macapatan yang digelar sepanjang sepuluh tahun terakhir adalah manifestasi dari perjuangannya. 

Lazimnya tipikal seniman bohemian, Suryanto juga seorang yang romantis. Ia biasa melatih vokalnya bersama Sumantri Tjitropati, mantan wartawan Java Bode yang saat itu berusia 83 tahun, sahabatnya yang lebih senior, yang terampil memainkan keyboard. Lagu-lagu yang biasa dinyanyikannya antara lain Ave Maria, Aryati, Bung di Mana, ataupun Takkan Lari Gunung Dikejar. Segi romantisnya juga diekspresikan dalam kolom-kolomnya, Sampur Mataram, dimuat setiap Minggu di Bernas, dengan mengemas ide dan sikap hidupnya yang dipetik dari kawan-kawan di komunitasnya, seperti Sumantri Tjitropati, Yudo Piranti, Daniel Tatag, Gunawan, Bude Latip, Basuki, Elvira, Yos Triatmojo, Mbak Wanti, Sri Wintala Achmad, Dewanto, Eyang Hadi, Panji Kuning, Yoyok Hadi Wahyono, Slamet Suwanto, Hanung, Sareh, Mbak Kadar, Guntur Songgolangit, Endang Susanti Rustamaji, dan Mas Kanjeng yang merepresentasikan karakter Suryanto. 

Kini Suryanto istirahat dalam damai di pemakaman umum Papahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Pemberangkatan jenazahnya ditandai dengan instrumen simbolik berupa gagar mayang sebagai penanda almarhum masih dalam keadaan status hidup melajang semasa hidupnya. Sedangkan di samping makamnya, almarhum ditemani seekor ayam, sebagai simbol untuk unggas peliharaan di alam baka.
Selamat jalan, Mas Kanjeng. 







sastra-bojonegoro.blogspot.com
RPA (Raden Panji Anom) Suryanto Sastroatmodjo

Pengarang Sastra Jawa Modern
RPA Suryanto Sastroatmodjo dikenal sebagai pengarang sastra Jawa modern. Pernah mengasuh rubrik “Bokor Kencana” Harian Berita Nasional (Bernas), ialah rubrik tanya jawab tentang budaya Jawa. Penjaga gawang rubrik “Sampur Mataram” harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang juga membahas masalah budaya Jawa. Dan mengetuai Paguyuban Macapat Selasa Kliwon di hotel Garuda Yogyakarta.

Bupati anom sifat kapujanggan Keraton Surakarta dengan gelar KRT Suryo Puspo Hadinegoro ini, telah wafat Selasa Kliwon 17 Juli 2007 pukul 10.00. Dimakamkan hari Rabu 18 Juli 2007 di Pesareyan Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Kepergian budayawan kondhang ini cukup mengagetkan berbagai kalangan. “Pada malam Selasa Kliwon beliau masih tampak menghadiri acara macapatan di Hotel Garuda,”, Mas Sur figur yang ramah dan tidak kikir membagi ilmu, terutama hal-hal yang berkaitan erat dengan kebudayaan Jawa. “Karena itu, sejak dulu teman-temannya sudah menyebut beliau sebagai kamus berjalan,” papar Octo yang juga Ketua PWI Cabang Yogya ketika memberi kata sambutan pemberangkatan jenazah.

Bersama Pengacara dan penggiat budaya Jawa Heniy Astiyanto SH, Mas Sur aktif dalam Perhimpunan Jawa Gandrung Yogyakarta maupun Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Dalam berbagai sarasehan sastra Jawa Mas Sur sering didaulat menjadi nara sumber. Karena memang mumpuni dalam bidang budaya Jawa, beliau pun kerap diundang ke Suriname dan Belanda untuk menjadi pembicara. “Saya kira sulit mencari budayawan seperti Mas Suryanto, ramah, rendah hati dan mudah diajak membikin bermacam kegiatan untuk melestarikan kebudayaan Jawa,” ujar Heniy Astiyanto tentang Mas Sur.

RPA Suryanto Sastroatmodjo lahir di Bojonegoro, 20 Februari 1951. Beliau putra Pangeran Adipati Surya Hadi Negara III dan Ray Sri Haluwiyah Wuryaningrum, Adipati Bojonegoro (Regent Bojonegoro). Bersaudara 7 orang, tiga putra empat putri. Sejak belia Mas Sur sudah gemar menekuni masalah ngelmu kasepuhan atau kejawen. Setamat SMA beliau kuliah di jurusan Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta sampai sarjana muda. Sempat menjadi guru SMA Katolik Bojonegoro. Kemudian menjadi karyawan LIPI di Jakarta, namun tak kerasan tinggal di ibukota. Beliau memilih kembali dan menetap di Yogyakarta menekuni dunia kepenulisan sastra dan budaya Jawa hingga akhir hayatnya. Karya beliau banyak tersebar di berbagai koran dan majalah, antara lain di Panjebar Semangat, Jayabaya, Kumandhang, Mekarsari, Jaka Lodhang, Parikesit, Pustaka Candra, Dharma Nyata. Puluhan tulisan Mas Sur juga terbit dalam bentuk buku: Pagi Cerah di Awal April, Setetes Embun Pagi, Di Kaki Langit Utara, Tragedi Kartini, Sinuhun Hamardika, Seraut Wajah, Dolorosa Adolosensia, Sahibul Hikayat al Hayat, Balada Layang Pangentasan, dsb. Karya Mas Sur yang dimikrofilmkan oleh Koninklijk Institut Voor de Taaland ed Volkenkunde adalah Sang Bocah, Palgunaning Palguna, Balada Lintang, Pada Sebuah Musim, Sayap-sayap Merpati, Jayengbrata Lelana, dsb.

Menerima bintang emas Bhakti Budaya dari Pusat Kebudayaan Jawa Surakarta (1995), Anugerah Seni sebagai Sastrawan Jawa dari Pemda DIY (1996). Satu dari “5000 Personalities of The World” versi American Biographical Institut Stylist (1997). Dianugerahi gelar Bupati Kapujanggan KRT Suryo Puspo Hadinegoro oleh Susuhunan Paku Buwono XII (1997). Tahun 2005 kemarin beliau memperoleh penghargaan Rancage untuk antologi geguritannya Balada Layang Pangentasan.

IA sudah terbiasa tidur beralas tikar di teras kediamannya di Jalan Nagan Lor 21 Yogyakarta. Ia akan menemani tamu-tamunya yang menghabiskan malam sampai di ujung fajar. Sesekali ia keluar mencarikan makan malam untuk kucingnya, Si Thole dari warung angkringan, tak jauh dari kediamannya. Sekitar pukul 03.00 ia bersiap-siap mengenakan jas, topi, atau kadang-kadang kopiah. Kemudian ia mengayuh sepedanya ke kantor redaksi harian Bernas di Jalan IKIP PGRI Sonosewu, Kasihan, Bantul, sekitar tiga kilometer dari kediamannya.

Beberapa naskah biasanya diselesaikannya hingga pukul 10.00. Selepas itu ia memiliki waktu luang. Maka, ia akan kembali ke kediamannya di Nagan Lor, ngobrol tentang apa saja bersama tetangga atau siapa pun yang datang dan menanyakan sesuatu. Dalam situasi santai, ia biasa bertelanjang dada dengan udeng di kepala.

Ya, Suryanto Sastroatmodjo, namanya. Bertanyalah perihal apa saja. Terutama tentang kebudayaan Jawa atau seputar kehidupan para pangeran dan sejarah raja-raja atau situs-situs di Pulau Jawa. Mungkin juga seputar prosedur laku dan mengapa seseorang harus menjalani laku tertentu. Maka, meluncurlah serangkaian penjelasan dari Suryanto Sastroatmodjo. Atau seperti biasa, jika ada waktu luang dan mampir ke kediamannya. Ia menyambut dengan senyum khas dan lambaian tangannya. Ia pasti sedang santai karena bertelanjang dada dan mengenakan udeng. 

 sastra-bojonegoro.blogspot.com







 berbasa-basi memberi kabar baik.


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar