@Ngraho1_______________________________________________________
Dibalik JerujiOleh: Elnisya Mahendra |
Tuhan, bila takdir-Mu telah engkau teteskan kepadaku, kekuatan apa yang bisa membuatku menolaknya? Tidak akan ada, kecuali kepasrahan yang teramat dalam dari mahkluk-Mu yang hanya sebutir pasir diantara laut dan pantai-Mu yang maha luas.
Kulipat mukena dan sajadahku setelah do'a kupanjatkan untuk orang-orang yang aku cintai diawal pagi ini. Kulirik Amel yang masih tidur di ranjang, dengkur lembutnya seirama dengan naik turun dadanya. Amel adalah gadis Batak teman satu apartemen, bahkan satu kamar denganku. Aku tak tega membangunkannya, semalam dia pulang larut dari tempat kerja paruh waktunya, yaitu sebuah coffe shop yang berjarak hanya 2OO meter dari apartemen yang kami sewa di Amstervees, sebuah
Keberadaanku disini bersama Amel dan dua teman lainya, karena kami sama-sama mendapatkan bea siswa di Universiteit Van Tahun lalu kutinggalkan mas Ilham suamiku bersama Bella Ayudya anakku yang kini telah berumur 5 tahun. Alhamdulilah mas Ilham mendukung program master yang aku ambil, walau aku harus meninggalkan tugasku sebagai istri dan ibu buat Bella. Bahkan sanggup aku tinggalkan dalam waktu lama. Untung saja ada ibu yang mau membantu menjaga Bella. Pagi masih menyisakan hawa sejuk walau summer sudah diambang pintu. Aku biarkan Amel tidur sepuasnya. Hari ini adalah hari libur kami, bahkan sampai dengan satu bulan mendatang aku telah mengajukan cuti kuliah. Itu karena aku terpaksa harus pulang ke Kuberjalan keluar kamar menuju dapur, perutku telah merindukan sesuatu untuk pengganjalnya. Kuseduh secangkir kopi instan dan ditemani 2 lembar roti plus keju. Aku lempar pandanganku ke luar jendela, dimana kehidupan di Amstervees sepagi ini sudah sedemikian sibuk. Simpang siur Metro Lijn dan Tram Lijn di depan apartemen. Ya...mungkin seperti juga simpang siurnya hatiku saat ini, selalu dalam tanda tanya. Seminggu yang lalu ibu telepon dengan tangisnya " Tanti, pulang dulu ya nduk, ibu kangen," suara ibuku dari seberang Amel keluar kamar dan duduk di seberang meja, " Pagi Tanti, kamu jadi besuk pulang Tan?" tanya Amel begitu pantatnya menyentuh kursi. Aku hanya tersenyum mengangguk. " Diantara gundah dan bahagia kuberangkat pagi ini ke bandara Schiphol menggunakan Metro Lijn 51. Ini pertama kalinya aku pulang, sejak setahun lalu tinggal di Amstervees. Sampai di Airport langsung cek in di Malaysia Airlines. Sungguh begitu jengah rasanya meredam berbagai pertanyaan dalam hatiku. Aku memang selalu tak bisa dalam keadaan penasaran. Kepenatan dalam pesawat, lebih dari 15 jam dari " Ah... Jogja masih seramah dulu," gunamku ketika kujejakkan kaki keluar bandara. Dengan taxi aku menuju terminal, kupilih bus ber-AC yang akan membawaku ke Magelang tempat dimana aku dilahirkan. Yang jelas aku ingin segera menemui ibu, Bella dan mas Ilham. Kubayangkan Bella begitu lucunya, akan memelukku nanti. Tentu gadis kecilku akan gembira nanti saat aku keluarkan boneka Hello Kitty yang sempat kubeli kemarin di Winkel Centrum. Suasana tampak lenggang saat kumasuki rumah berarsitektur joglo itu. Entah pada kemana semua, tak kutemukan Bella, ibu dan mas Ilham. Tapi pintu rumah terbuka, mungkin Bella lagi keluar jalan dengan papanya. Aku memang tak memberitahu mereka bila aku akan pulang hari ini. Biar menjadi kejutan buat mereka bertiga. Kulongok kamar ibu, " Ya Allah, ibu...!" jeritku. " Apa yang terjadi bu, dimana Bella dan mas Ilham, kenapa mereka tak menunggui ibu disini? Kemana mereka, kemana bu?" pertanyaanku bertubi-tubi pada tubuh membujur di ranjang itu. Sementara wanita renta yang tak lain adalah ibuku itu menangis, berusaha memelukku. " Ya Allah apa yang terjadi?" pertanyaanku selalu berulang ulang. Aku hampir tak percaya dengan kenyataan di hadapanku. Bukankah seminggu yang lalu ibu telpon katanya baik-baik saja, juga mas Ilham 3 hari yang lalu mengabarkan juga semua dalam keaadan sehat, kenapa dia tak bilang kalau ibu sakit? Entah setan mana yang akirnya menyulut api kemarahanku. Ketika hatiku telah mampu aku kendalikan dan ibu mampu meredam tangisnya, mulailah mengalir cerita yang membuatku seperti kejatuhan benda yang berton-ton beratnya. Membuat aku lunglai terlempar pada negeri asing nan tandus tanpa kehidupan. Ya Tuhan benarkah apa yang aku dengar? Aku tak bisa bersabar lagi, kusambar tas punggungku dan aku pamit pada ibu. " Tanti, kau harus sabar nduk, hadapi dengan lapang. Ibu percaya engkau tak akan berbuat nekat, namun saran ibu, kendalikan emosimu. Banyak-banyak Istigfar, ibu yakin semua akan terselesaikan," tutur ibu sambil air mata itu merembes kembali dari matanya yang tua. " Doakan Tanti ya bu?" pamitku sambil kucium tangan ibu. Dari sebuah alamat yang ibu berikan tadi, kutemukan rumah berpagar besi tak terkunci. Tanpa ijin pemiliknya aku masuk. " Bunda, bundaku pulang," teriak gadis kecil yang tak lain Bella anakku. Aku segera menyambut dengan bentangan tanganku untuk memeluknya. Aku dekap erat bidadari kecilku, aku ciumi wajah, kening, rambutnya, dan apa saja yang aku temui saat itu. Airmataku tumpah, aku tak tau apalagi yang akan aku ucapkan untuk keharuan ini. Sore menjelang magrib telah membuat suasana ini lebih terdramatisir tak habis habisnya air mataku mengalir. Beberapa menit kemudian muncul dari pintu depan, sosok perempuan yang tak asing lagi buatku, dia Viona sahabat karibku, yang ternyata diam diam telah menjadi WIL mas Ilham. Dari cerita ibu, mereka menikah di bawah tangan 2 bulan lalu dan membeli rumah ini. Yang tak bisa aku maklumi kenapa harus membawa Bella ikut serta tinggal bersama mereka. " Bunda, itu mama Viona, kita akan tinggal bersama nanti," kata Bella polos. " Selamat datang Tanti, kenapa tak memberi kabar lebih dulu? Aku dan mas Ilham bisa menjemputmu," katanya Viona yang buatku adalah penghinaan. " Gak perlu, aku datang hanya akan membawa Bella pergi, kau tak usah cerita apa apa, tak usah punya alasan apa apa untuk menguasai anakku, cukup kau kuasai Ilham saja. Aku iklas, ambilah semua kecuali Bella," teriakku padanya, aku sudah benar benar marah. Sepertinya aku tidak perlu berdebat dengan Viona, toh semuanya telah jelas. Aku sudah tidak ingin mempertahankan rumah tanggaku lagi dengan mas Ilham. Aku hanya ingin membawa pulang anakku. Kugendong segera Bella, aku ingin cepat cepat berlari dari rumah si jahanam itu. Namun Viona menghalangiku. " Sorry Tanti, Bella adalah hakku, mas Ilham menyerahkannya padaku untukku jaga. Kau tak perlu susah susah menjaganya. Kejar saja karirmu Tan," tutur Viona sambil senyum sinis. Kutampar wajah itu, wajah sahabatku yang manis namun kini menjijikkan. Namun Viona balik menamparku. Kuturunkan Bella dari gendonganku, bocah kecil itu tampak ketakutan di pojok. Sementara adu mulut antara aku dan Viona tak bisa kuhindari. " Sampai mati kau tidak akan aku ijinkan membawa Bella pergi, dia anakku," teriak Viona. Dia mulai membabi buta menjambak rambutku, mencakar lenganku, aku tidak kalah sadis saat dengan segenap kekuatanku kutendang perutnya yang katanya telah mengandung janin mas Ilham, aku tak peduli, aku sudah benar-benar sakit hati. Viona terhuyung, sepertinya dia kesakitan dengan tendanganku tadi, dan entah dari mana datangnya dia telah menggenggam gunting. Ya Tuhan dia mau membunuhku, dia semakin kalap saja, aku-pun tak kalah. Dia coba menikamku, tapi semua luput dan dia terjatuh. Seperti dalam arena pertandingan akulah pemenangnya, dia tak bergerak lagi. Apa yang sebenarnya dengan dia, kucoba dekati Viona yang jatuh tengkurap dilantai dan " Ya Allah, Vio.. bangun, Vio kau tak apa apa " Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya," cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, " Sumpah...! aku tak membunuhnya," aku kembali histeris. Ya Allah, Kau maha segalanya. " Apa artinya aku sekolah hukum, aku tak mampu membelaku sendiri, aku pasrah ya Allah," bisikku lirih. Sementara dua petugas berseragam memandangku dari luar jeruji besi. Tsuen-Wan, 27 Mei 2O1O.
caption
|
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Disudut KamarOleh: Elnisya MahendraKusibak tirai jendela kamarku, summer membuat pagi ini begitu cerah. Jam 5 pagi sudah Kubangunkan Nicole si gadis kecil bermata bening itu lebih awal. Kemarin dia berpesan supaya mengantarnya sekolah sebelum jam 8. Nicole memang telah akrab denganku. Apapun kebutuhannya selalu bilang kepadaku sebagai seorang pengasuhnya. Kudapati senyum gadis berumur 9 tahun itu begitu membuka matanya. " Faiti heisan-a mui-mui," panggilku. " Hai-lah tang-yatchan," jawabnya sambil menggosok gosok matanya dengan tangannya yang mungil. Kurapikan selimut dan tempat tidurnya setelah dia bangun dan menuju kamar mandi. Dia tak harus mandi untuk berangkat ke sekolah, hanya dengan cuci muka dan gosok gigi saja. Dikenakanya seragam sekolahnya, sementara aku menyiapkan sarapan paginya. Selembar roti panggang bersemir mentega dan segelas coklat susu yang hangat. Di pintu kamar depan muncul Rocco, adik laki laki dari Nicole itu berjalan kearahku dengan mata masih kelihatan mengantuk. " Cosan Lisa, ngo kam-yat emsiong fanhok," katanya. Kudekati laki laki kecil itu, kuraba keningnya, sepertinya dia demam. " Kam-yat nei yau hausi sailo, emhoyi emfanhok," jawabkku sambil menggandengnya ke kamar mandi untuk segera gosok gigi. Bocah kecil itu menurut saja. Sementara kusiapkan sarapan untuk Rocco dengan menu yang sama seperti Nicole. Kusediakan juga Parasetamol biar diminum setelah sarapan nanti. Setengah jam kemudian aku telah selesai mengantar Nicole dan Rocco turun ke bawah flat, dimana bus sekolah telah menunggu mereka berdua. Sekembali dari mengantar mereka aku dapati nyonya Cheung dan tuan Lee telah bangun dan menikmati sarapan yang telah mereka buat sendiri. " Cosan Thai-thai, cosan sinsang, " sapaku pada mereka berdua. Kulirik mereka hanya tersenyum dan mengangguk sambil melanjutkan membaca koran pagi tanpa membalas sapaanku. Beberapa saat kemudian mereka berdua bersama sama berangkat kerja. Tinggal aku yang menikmati pekerjaanku dan sedikit waktu istirahat. Rencanaku hari ini setelah kuselesaikan semua pekerjaan rutinku, aku akan menulis cerpen, tugas bersama dari teman teman teater. Bila aku hitung ada sekitar waktu 3 jam untuk mengerjakan cerpen itu. " Wah ide ini bermunculan, menulis tentang seorang istri yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya, atau seorang gadis yang telah divonis mati oleh dokter akibat Limfoma yang dideritanya, keduanya bertema putus asa," gunamku sendiri. Siang telah beranjak, hingga sore belum bisa juga kurangkai kata yang untuk membentuk paragraf paragraf cerpen. Otakku blank, entah apa yang aku pikirkan? Aku seperti dalam keadaan bingung, mungkin karena waktu yang terus mengejarku menuju deadline cerpen esuk hari yang harus kutulis dalam note facebookku. " Ah... akan aku coba nanti malam saja menulisnya, mungkin akan bisa kurangkai dengan lancar kata demi kata itu," kataku dalam hati. Aku sudah tak sempat lagi memikirkan cerpen itu ketika kedua anak yang kuasuh telah pulang dari sekolahnya. Waktuku habis tersita oleh mereka berdua. " Lisa.....!! Sailo ho yai a," teriak Nicole dari kamar mandi. " Lisa faiti kolei," teriaknya kembali. Menjelang malam sekitar pukul 7, tuan dan nyonyaku telah pulang. Mereka menikmati menu makan malam bersama kedua anaknya. Semangkuk kari ayam ala japanes, sepiring sayur kangkung kutumis dengan fuyi, serta kacang kapri yang aku tumis dengan daging ikan, ditambah sup ikan yang lezat. Kulihat mereka melahapnya dengan senyum mengembang, berarti cocok dengan selera mereka hari ini. Segera kubereskan pekerjaanku, membersihkan dapur. Aku ingin segera semua cepat selesai, mengingat aku malam ini harus lembur. Harus jadi malam ini juga tekatku. Tiba tiba saat aku ingin memasuki kamarku, nyonya Cheung memanggilku, " Lisa, kamman nei tung ghoetei fankao," sambil menunjuk ke anak anaknya. Aku mengangguk tanpa sarat ketika nyonya Cheung memintaku untuk tidur di kamar anaknya, sedang dia sendiri memilih mengungsi tidur di kamarku. Alasannya karena dia sedang kena flu dan tak ingin anak maupun suaminya tertular. Merasakan tidur bersama anak anak akan lebih nyaman mungkin. Kamar tidur yang mewah dengan AC, semoga akan menambah semangatku begadang malam ini. Walau hanya dengan bantuan telepon seluler aku mengakses internet, sigin di Facebook dan kutulis kata demi kata di note. Namun......" Ya Allah, low batrae?" teriakku tertahan. Kukeluar dari kamar menuju kamarku sendiri untuk mengambil cas telepon gemgamku. Tapi kamarku telah dikunci dari dalam oleh nyonya Cheung yang telah terdengar dengkurannya dari luar kamar. Terpaksa aku harus kecewa lagi karena tak bisa mengerjakan tugasku. Aku harus tidur malam ini walau beban tugas itu menggelayut di otakku. Berat rasanya. Lumayan segar ketika aku bangun pagi. Tapi pagi ini tak seperti biasanya. Nicole dan Rocco libur dari sekolahnya karena ruang kelasnya dipakai ujian kelas 6. Ah, tak apa apa, aku masih bisa saja mencuri waktu sekedar menulis cerpen. Namun sampai jam 12 siang otakku benar benar gak bisa jalan. Duh... Apa yang membebani pikiran ini? Dari kucoba tuangkan lewat note handphone terlebih dulu, tapi tetap macet otakku. Kuakali buat kerangka karangan lewat selembar kertas, namun sama saja, semua tak ada hasilnya. Aku benar benar tak ada akal lagi, " Aku menyerah.....!" teriakku histeris. Kusingkirkan kertas dan penaku, kulempar telepon genggamku. Aku memang tak berguna, hanya membuat satu cerpen saja aku tak mampu. Kubuang semua barang barang dalam kamarku, jam beker, tumpukan buku dan novel koleksiku yang berjajar di meja kamar. " Ternyata aku tak mampu, aku tak ada gunanya sama sekali," teriakku lagi. Aku capek, duduk di sudut kamarku. Air mata ini tak bisa kubendung, aku kecewa pada diriku sendiri. Sementara Nicole dan Rocco yang sejak tadi di ruang tamu berlari ke kamarku. Kedua bocah kecil itu menghampiriku, menangis memelukku. Tsuen-Wan, 26 Mei 2O1O ------------------------------------------------------------ Faiti heisan-a mui mui : cepat bangun adik perempuan Hai-lah tang-yatchan : baiklah tunggu sebentar Cosan Lisa, ngo kamyat emsiong fanhok : selamat pagi Lisa, saya hari ini tidak ingin sekolah. Kam-yat nei yau hausi sailo, emhoyi emfanhok : hari ini kamu ujian adik laki laki, tidak boleh tidak masuk sekolah. Lisa, kamman nei tung ghoetei fankao : Lisa malam ini kamu tidur dengan mereka Sailo ho yai : adik laki laki nakal Faiti kolei : cepat datang kesini |
Senja Di Kimberley
Road
Add
|
Add Denting Piano Mr. LeeOleh: Elnisya Mahendra
|
_________________________________________________________________
kueselllll macaneeee........
BalasHapusngedite kurang matohhhh.............
Terimakasih Mas Arieyoko KSMB
BalasHapus"HALAH"