A
saminisme
pertama
kali sekitar tahun 1890 disebarkan oleh
Samin Surosentiko, seorang pangeran. Nama Samin adalah nama samaran
dari
Raden Kohar bangsawan, guru kebatinan yang mempunyai nama samaran
Suro
Kuncung menurut serat punjer kawitan. Ia menghimpun kekuatan melawan
kolonialisme Belanda dengan pergerakan rakyat anti kekerasan. Raden
kohar
adalah salah satu dari lima bersaudara putra Raden Surowijaya,
sesepuh
samin.
Nggendeng (pura-pura gila) sering
dilakukan oleh Prabu
Puntadewa dalam menghadapi musuh-musuhnya. Saripan Sadi Hutomo dalam
Basis,
Januari 1985 menuliskan, di samping melakukan perlawanan, Samin Suro
Sentiko
juga mengajarkan untuk bagaimana berperilaku di dunia dan di akhirat
yang
diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Dengan format
gerakan tersebut,
Belanda akhirnya bersikap
tegas. Tanggal satu maret 1907 Belanda menghambat gerakan samin
dengan
melakukan penangkapan. Aktivitas orang-orang samin di Kedung
Tubanpun
tercium oleh Belanda ketika orang-orang samin tengah melakukan
selamatan.
Belanda lalu
melumpuhkan
aktivitas-aktivitas orang-orang
samin termasuk delapan pengikut Samin Suro Sentiko. Delapan murid
setia
samin surosentiko tersebut kemudian dibuang di luar Jawa yaitu di
Ceylon(Sailon). sedangkan penangkapan Samin Surosentiko dilakukan
setelah
dia menerima panggilan Bupati Rembang dan dibuang bersama-sama
dengan
delapan muridnya.
Namun, penangkapan dan pembuangan
tersebut tidak menyurutkan
perjuangan orang-orang Samin. Mereka tetap melakukan
perlawanan-perlawanan
terhadap Belada dan menyebarkan ajarannya.
Menilik sejarah
samin yang konsisten
dalam perjuangannya
perlu sekali untuk dicontoh. Adat samin seperti berjiwa nasionalis,
sense of
social yang tinggi, kegotong-royongan yang kental sangat dirasakan
sampai
sekarang . Jadi kalau kata "Samin" dijadikan sebagai hujatan atau
umpatan
sangatlah keterlaluan.
Sekilas Tentang Samin
Samin. Kata itu
erat kaitannya dengan
nama Ki Samin
Surosentiko, leluhur masyarakat Samin, yang lahir sekitar th 1859 di
daerah
Randublatung, Blora (Jateng). Ia bangsawan yang punya kepedulian
begitu
besar pada rakyat jelata. Samin adalah Robin Hood yang gemar
menjarah harta
orang-orang Belanda dan lintah darat, untuk dibagikan kepada
masyarakat
bawah.
Konon, tahun 1905 pengikut Samin
mencapai 5.000 orang,
tersebar di wilayah Bojonegoro, Madiun, Ngawi (Jatim), Blora, Pati,
Kudus,
dan Grobogan (Jateng). Jepang sendiri masuk di Kec Margomulyo,
kecamatan
terpencil di Kab Bojonegoro.
Hidup mereka berpegang pada Jamus
Kalimasada, sebuah kitab
geguritan (puisi) dan gancaran (prosa) bahasa Jawa, yang intinya
berisi
ajaran pengendalian diri. Pengikut Samin akan menjadi manusia
paripurna bila
mampu menjalani hidup dengan pasrah, sabar, dan menerima apa adanya.
Itulah
sebabnya mereka mengisolasi diri di tengah hutan, eksklusif, tak mau
banyak
berhubungan dengan orang luar, terutama (saat itu) kaum penjajah.
Termasuk ajaran
Saminisme, pertama, aja
drengki srei, tukar
padu, dahwen kemeren, kutil jumput, lan mbedhog colong. Artinya,
jangan
berhati jahat, bertengkar, iri hati, dan mencuri. Kedua, pangucap
saka lima
bundhelane ana pitu, lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu.
Maksudnya,
perkataan dari angka lima ikatannya ada tujuh, dan perkataan dari
angka
sembilan ikatannya ada tujuh. Maksud simbol itu agar manusia
memelihara
mulut dari tutur kata tak berguna dan menyakiti hati. Ketiga,
lakonana sabar
atau jalani hidup dengan sabar.
Orang Samin juga
punya acuan figur
bernama Puntadewa. Raja
Amarta di dunia pewayangan merupakan tipikal orang sabar, jujur,
pantang
berbohong, selalu berkata apa adanya. Tak mengherankan bila hingga
saat ini
wayang kulit masih menjadi tontonan favorit di Jepang.
Ajaran yang
disebut sebagai "Agama
Adam" di atas sangat
berpengaruh pada pola hidup sehari-hari masyarakat Samin. Dalam hal
mata
pencaharian misalnya, mereka hanya menggeluti pekerjaan petani,
penggembala
sapi atau kambing, atau sesekali nyambi sebagai tukang ojek.
"Semua penduduk
berprofesi petani.
Hanya satu orang yang
pegawai negeri," kata Sukijan (39), Kepala Dusun Jepang.
Pekerjaan
pedagang, yang kadangkala
perlu trik atau
berbohong, dijauhi orang Samin. Karena itulah di Jepang tak ada
warung.
Umpatan, sumpah serapah, hujatan, dan kata-kata yang menyakitkan,
juga
jarang terlontar dari mulut mereka. Ngerumpi pun jarang dijumpai di
sana.
Sewaktu zaman
penjajahan, mereka
benci setengah mati pada
wong Londo (bangsa Belanda). Itu antara lain dilakukan dengan
menebang kayu
jati seenaknya dan menolak bayar pajak. "Kami yang menanam kayu
itu"; atau
"Tanah ini dibuat Pangeran (Tuhan), bukan manusia," demikian
alasannya.
Kebiasaan tak bayar pajak sempat
bertahan sampai Indonesia
merdeka. Pasalnya, masyarakat Samin tak tahu kalau penjajahan telah
berakhir. Baru ketika Surokerto Kamidin (generasi penerus Ki Samin)
menghadap Bung Karno, tahu bahwa wong Jowo wis dipimpin wong Jowo
(orang
Jawa telah dipimpin orang Jawa). Sejak saat itu, mereka taat kepada
pemerintah yang dianggap bangsa sendiri.
Namun logika
khas Samin masih sering
membuat aparat
geleng-geleng kepala. Misalnya yang dilakukan Hardjo Kardi (60),
sesepuh
Samin Jepang. Ia pernah diinterogasi polisi hutan gara-gara rumah
miliknya
dibangun dari kayu curian. Ketika rumah itu akan disita, cucu Samin
Surosentiko ini enteng menjawab, "Boleh disita, tapi berikan pada
kami."
Petugas pusing juga. Rumah itu akan
dirobohkan. "Boleh, tapi
semua rumah harus dirobohkan, termasuk milik Pak Presiden," jawab
Hardjo
lagi. Tak urung, petugas pun mundur teratur.
Perubahan
Lokasi yang
terpencil menyebabkan
Jepang begitu lambat
berkembang. Pedusunan yang kini berpenduduk 600 jiwa itu terletak
sekitar 65
km arah barat daya Bojonegoro, tepatnya 5 km dari ruas jalan Cepu
(Jateng)
dan Ngawi (Jatim). Sejauh mata memandang, yang terbentang hanyalah
pepohonan
jati atau kembili (Dioscorea aculeata), berdiri kokoh di atas tanah
kapur-tandus yang sungguh tidak bersahabat dengan tanaman jenis
lain.
Ojek menjadi
sarana transportasi
paling efektif. Ongkosnya Rp
3.000,-. Tetapi kalau hujan, ban sepeda motor biasanya sulit
berputar karena
tanahnya begitu liat. Ongkosnya menjadi dua kali lipat. Jalan kaki
akhirnya
menjadi solusi yang paling tepat. Tapi warga Jepang sendiri lebih
suka
menempuhnya dengan jalan kaki. Makan waktu sejam.
Lumayan
melelahkan dan membuat perut
lapar. Dan kondisi ini
dimanfaatkan Isman (50), warga Kalimojo (sebelah utara Jepang) untuk
buka
warung di sekitar km 2,5. Kenapa bukan orang Jepang yang buka
warung? "Itu
tidak sesuai dengan ajaran Ki Samin," jelas Miran (33), tokoh pemuda
Jepang.
Hingga saat ini, kalangan tua di
Jepang memang masih sangat
kuat memegang Saminisme. Dari segi keyakinannya
Dalam hal
pakaian juga masih khas:
memakai celana
kolor-kombor-hitam, plus sarung. Kalangan tua seakan belum terasa
sreg
memakai celana panjang. Ini pula yang membedakan mereka dengan warga
kampung
lain.
Ciri lain yang masih tampak adalah
arsitektur rumah. Dari
sekitar 150 rumah yang ada, hampir semuanya berbentuk memanjang
dengan pintu
di samping. Ruangannya begitu luas dan lengang, saking sedikitnya
perabotan
yang ada. Dindingnya kayu, namun ada pula yang hanya kulit jati.
Semua rumah
sudah beratap genting, hal yang sulit ditemui sampai akhir 80-an
lalu.
Tetapi rumah tembok belum bisa dijumpai di Jepang. Hanya ada empat
rumah
berdinding batu bata, itu pun semi permanen. Pertanda betapa tingkat
ekonominya masih begitu rendah.
Syukur sekarang
generasi mudanya
lebih terbuka. Faktor
pendidikan dan pergaulan yang sudah semakin luas menyebabkan mereka
lebih
terbuka. Satu lagi, peran Islam yang membuat generasi muda Samin
lebih
dinamis. Sikap sabar, jujur, tak mau melukai hati orang lain yang
terintegrasi dalam ajaran Saminisme, menjadi kian mengkilap akibat
polesan
lembut ajaran Islam. Jika kenakalan remaja di kampung lain menjadi
hal yang
lumrah, di Jepang bisa dibilang nol.
Sikap
nonkooperatif kepada pemerintah
pun tak ada lagi.
Mereka tak pernah telat bayar pajak, meskipun kondisi ekonomi
demikian
sesak. Dulu mereka juga tak mau menikah di KUA, cukup disaksikan
kerabat dan
jadilah keluarga. Setelah diuber-uber petugas, baru mendaftar. Kini
sebaliknya. Karena begitu taat, mereka tak mau kumpul layaknya
suami/istri
apabila belum tercatat di KUA, meskipun pernikahannya telah
direstui.
Pemerintah daerah setempat juga
memberi perhatian lebih
kepada komunitas terpencil ini. "Mereka memang harus didorong,
diberi
motivasi. Kalau dibiarkan begitu saja ya susah," ujar Drs Sulistyo,
Camat
Margomulyo.
Sejak tiga bulan lalu jalan menuju
Jepang sudah halus, meski
hanya berupa taburan pasir. Bila terguyur hujan, tetap saja lengket
dan
licin. Tapi paling tidak isolasi yang membelenggu Samin mulai
tersibak.
Kabar gembira
terakhir, Pemda Tk II
Bojonegoro telah
membangun pesanggrahan Samin. Bangunan yang diresmikan 9 Juli lalu
itu
hendak difungsikan sebagai tempat penelitian budaya Samin. Di sini
tersedia
data tentang sejarah dan karakteristik kulturnya. "Selama ini banyak
penelitian ke Jepang, mahasiswa atau ilmuwan. Kami belum bisa
menyambut
dengan baik. Dengan pesanggrahan itu diharapkan aktivitas peneliti
bisa
lebih tenang," ujar Sulistyo.
Sinar listrik, insya Allah tinggal
selangkah lagi.
Tiang-tiang telah terpancang setahun lalu. Sayang, terhantam
krismon. Tiang
listrik itupun dimanfaatkan warga Jepang untuk penangkar burung
perkutut.
Perubahan seperti itulah yang
menyebabkan masyarakat Samin
seakan berontak bila tetap "divonis" terbelakang dan terisolir.
Mereka
berupaya melepaskan diri dari belenggu asumsi yang telanjur
berkembang
selama ini. "Saya ini ya Samin, tapi kan tidak beda dengan
masyarakat
lainnya kan Mas?" protes Bambang (23), seorang pemuda Jepang.
Hari merayap
senja. petang segera menyelimuti desa Jepang. Jalan
yang sudah halus di dusun itu menyebabkan getaran ojek tak begitu
terasa.
Ya, Samin memang tengah terjaga dari tidur panjangnya. (pam)
Masyarakat Samin
caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar