Minggu, 29 Agustus 2010

“PEMBERONTAKAN SUNYI” DI SASTRA REBOAN

http://komunitassastra.wordpress.com/

“Paguyuban Sastra Rabu Malam yang menyelenggarakan kegiatan Sastra Reboan bagi saya memiliki keunikan tersendiri. Paguyuban ini tidak berpretensi untuk menciptakan suatu jender tertentu yang dikendalikan oleh tokoh tertentu, dan ini menjadi sesuatu yang positif karena sebagai paguyuban terbuka terhadap berbagai kemungkinan bahkan terbuka untuk berbagai kalangan.”

“Saya kira sulit menemukan komunitas yang cair dan terbuka seperti ini,” ujar Joko Pinurbo, penyair ternama yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, dalam bincang seputar komunitas di Sastra Reboan ke-26, Rabu (26/5/2010) malam di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan. Bincang tentang komunias sastra yang dipandu oleh Akmal Nasery Basral, cerpenis yang juga wartawan, juga menghadirkan penyair Heru Emka, cerpenis Kurnia Effendi, musisi yang juga penyair Remmy Soetansyah dan penyair Aan Mansyur dari Makassar.

Jokpin, panggilan Joko Pinurbo, sendiri tak pernah masuk suatu komunitas. Tetapi penyair kelahiran Sukabumi ini sering mendapat pertanyaan seputar komunitas sastra. Di Yogyakarta, tempatnya sekarang tinggal, terdapat komunitas yang paling lama dan dianggap legendaris, yaitu Persada yang diasuh Umbu Landu Paranggi.

Saya belum pernah melihat suatu komunitas yang seperti itu, di mana visi dan corak karyanya dikendalikan dan diarahkan oleh tokoh tertentu, yaitu Umbu. Nah, itu punya sisi positif dan negatifnya. Negatifnya, komunitas yang dikendalikan oleh seorang tokoh tertentu itu ternyata menciptakan keseragaman dalam corak karya. Kalau diperhatikan pada penyair asuhan Umbu akan terlihat sesuatu yang sewarna, sampai pemenggalan baris puisi pun tampak. “Saya kira sulit menemukan komunitas seperti itu meski untuk ukuran saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,” tambahnya.

Menjawab pertanyaan Akmal lebih lanjut tentang bentuk komunitas saat ini dan mendatang, Jokpin yang pernah mencatat penjualan fenomemal atas buku puisinya (terjual 1.000 eksemplar dalam waktu sebulan) menyebut besarnya pengaruh perkembangan internet bagi suatu komunitas. Komunitas yang terbentuk belakangan ini berawal dari dunia maya yang ketika terwujud dalam dunia nyata setiap individu telah memiliki relasi antarpribadi.

Sementara Remmy Soetansyah berpendapat, soal komunitas memang ada untung dan ruginya. Tetapi ia melihat dari segi positifnya saja, misalnya komunitas yang diasuh oleh Rendra, yang melahirkan para pemberontak.

Menanggapi hal ini, ketika ditanya oleh Akmal, dengan tegas Jokpin mengatakan, “Saya melihat apa yang dilakukan oleh Paguyuban Reboan ini merupakan suatu pemberontakan juga, pemberontakan dalam sunyi. Pemberontakan terhadap kecenderungan situasi yang membuat orang tidak merasa nyaman dan akrab terhadap sastra sehingga mereka menganggap sastra terkesan eksklusif, berat, dan bahkan ‘menakutkan’.”

Bergaul
Sebelumnya, Heru Emka mengatakan, dia tumbuh dari komunitas yang cair. Heru akhir-akhir ini mengajak paguyuban sastra kampung yang dimulai dari kampung dan mengajak membaca puisi di kampung-kampung. Pada awalnya mereka takut bertanya karena menganggap sastra itu berat dan sukar, tetapi lama-kelamaan mereka berpendapat sebaliknya.

Pembelajaran ini juga disepakati oleh Kurnia Effendi, cerpenis kawakan yang juga Ketua Asosiasi Penulis Cerita Anita. Ia bertutur tentang kegiatan masa mahasiswa dengan turut dalam Grup Apresiasi Sastra (GAS) dan ekstrakurikuler di ITB bersama Nirwan Dewanto, Fajroel Rachman, dan Aria Gunawan. Saat itu ada perasaan megaloman karena menganggap merekalah yang menghidupkan GAS dan bukan sebaliknya. Tetapi seiring waktu berbeda misi yang ada, saat ini misinya adalah saling berbagi pengalaman, memberikan pencerahan bagi para penulis lainnya.

Senada dengan Kurnia Effendi, Jokpin juga menggarisbawahi bahwa salah satu peran penting komunitas adalah tempat berbagi bagi berbagai kalangan. Kita akan menjadi epigon (peniru) pada awalnya, tetapi nantinya akan melepaskan diri dan menemukan diri sendiri. Karena itu, ia mengusulkan agar sastrawan lebih banyak bergaul dalam arti tidak hanya dengan banyak orang, tetapi juga dengan ilmu dan berbagai informasi.

Penyair Aan Mansyur yang di Makassar bergiat di komunitas Panyingkul berbicara pendek saja tentang perkembangan di daerahnya. Di Makassar, ujarnya, komunitas yang ada adalah kumpulan orang dari berbagai profesi yang menulis sastra bukan sekelompok sastrawan.

Sandikala
Sastra Reboan ke-26 ini dimulai terlambat karena hujan yang mengguyur Jakarta, di beberapa tempat banjir dan macet, sekitar pukul 19.45. Rich Band membuka acara dengan lagu “Yang Ada di Sudut Hati” dan mendapat sambutan hangat. Pengunjung mulai berdatangan memenuhi ruangan.

Musik terus mengalun dengan penampilan Jodhi Yudhono yang juga penyair dan wartawan dengan sebuah lagu cinta serta satu lagu bagi para anggota Gerwani yang ditangkap dan disiksa di masa tragedi tahun 1965.

Puisi pertama yang kemudian hadir dibawakan oleh Paquita Wijaya, artis dan penyanyi yang membawakan “Aku Tak Lagi Berdoa” karya Premita Fiti Widhiawati (Fifi), novelis yang karyanya dibahas di Sastra Reboan kemarin. Paquita didampingi putrinya saat membaca puisi itu. “Maaf nih buru-buru, dia harus sekolah besok pagi,” ujar Paquita saat berpamitan tak lama setelah membaca di panggung.

Novel Fifi yang dibahas dan sekaligus pre-launching berjudul “Sandikala” terbitan Akoer, menampilkan Qaris Tadjudin, Redaktur Tempo, dan dimoderatori Dian Ilenk dari Reboan. Bagi Qaris, novel ini dapat dikatakan sebagai novel romantis, juga mistis karena ada kleniknya serta surealis dengan adanya hal-hal gaib di tengah gambaran hubungan manusia dengan Tuhan. Tagline pertama sangat kuat seperti puisi yang dibaca oleh Paquita.

Qaris juga menyinggung termasuk genre apa “Sandikala” ini. Dengan tenangnya Fifi mengatakan, “Kenapa sibuk dengan genre, selama karya itu bisa dinikmati oleh pembaca.”

Menurut Fifi, menulis novel baginya merupakan kesenangan pribadi selain puisi. Dalam tulisan ia merenung dan berpikir. “Novel ini sengaja tak bersentuhan dengan hukum. Mungkin karena bosan ya?” kata praktisi hukum yang juga pendiri dan pengurus Yayasan Lembaga Edukasi, Bantuan dan Advokasi Hukum Jurist Makara (Lebah Jurist Makara).

Isi novel ini, lanjut Fifi, perlu disimak dengan cermat agar tak terjadi salah baca kok sepertinya menghujat Tuhan. Padahal, tokoh Jeni yang ditampilkan justru mempertanyakan tak hanya Tuhan, tetapi juga setan. Di sini tergambar jelas, kita selalu butuh akan Tuhan. Manusia terus mencari dan bertanya, bergelut dengan keserakahannya yang makin meningkat.

Acara terus bergulir. Sastra Reboan kali ini juga mendapat perhatian dari sastrawan Bojonegoro, Jawa Timur, lewat penampilan Arieyoko yang ketua KSMB (Kelompok Seniman Muda Bojonegoro) bersama anggotanya, Anisa, yang bergiat di Sukabumi. Anisa membacakan puisi “Rumah Kita” dan Arieyoko dengan geguritan “Pemilu”. Penyair muda yang masih mahasiswa, Pringadi Abdi Surya, membaca “Gigi Angin”-nya Hanna Fransiska dan puisinya sendiri, “Seseorang dengan Beberapa Adegan di Tubuhnya”.

Usai pembacaan puisi yang makin menghanyutkan pengunjung, Dian Balqis yang sedang mempersiapkan album solonya membawakan dua lagu karyanya, “Kepastian” dan “Tanya” diiringi gitar Dian. Penampilan perdana Dian yang juga penggemar puisi ini mampu memukau dengan suaranya yang menawan.

Kembali acara menampilkan deretan puisi, kali ini karya Heru Emka dengan “Elegi Hujan”, disusul “Hijau” yang dimusikalisasikan oleh Sintha Miranda dengan apiknya, lalu “Karonse” oleh Heru, “Moonlight Sonata” oleh Susy Ayu, dan “Lagu Putih” oleh Ari Rachmawati.

Penampilan sastrawan yang juga wartawan Koran Tempo, Mustafa Ismail, membaca puisi status Facebook dengan kocak dan interaktifnya mampu meramaikan suasana. Disusul penampilan Johannes Sugianto, penyair yang juga Ketua Paguyuban Sastra Rabu Malam dengan karyanya, “Ini Mei, Sayang”, dan penggiat Sasrta Reboan, Hujan Tarigan bersama Nani Tanjung.
Usai selingan musik terakhir oleh The Rich Band dengan membawakan dua lagu, salah satunya “Who am I”, Idaman Andarmasoko yang penggiat Institute for Global Justice ini membacakan dua puisinya tanpa teks, “Aku Ingin jadi Kupu-Kupu Kuning” dan “Balasan Surat Cinta Kepada Penyair”. Penampilannya mampu membuat suasana segar di tengah malam yang makin laur.

Klimaks gairah Reboan yang dinanti penonton dipuaskan oleh Joko Pinurbo yang mengawali dengan puisinya yang dikenal luas “Mei”, dilanjutkan dengan membacakan karya Hanna Fransiska “Puisi Mei”. “Membicarakan peristiwa Mei 1998 tak bisa lepas dari ingatan akan Tionghoa, dan puisi ini ditulis oleh penyair berdarah Tionghoa,” katanya.

Tak hanya dua puisi dihadirkan oleh Jokpin yang lulusan Sanata Dharma Yogyakarta ini. “Saya akan membawakan sajak-sajak yang ringan,” ujarnya sebelum membaca “Naik Bus di Jakarta”, puisinya untuk Joni Arya Dinata, seorang tukang becak yang menjadi pengarang terkenal “Penumpang Terakhir”, “Penjual Bakso”, “Dengan Kata Lain”, dan “Telepon Tengah Malam”.

Sastra Reboan ke-26 ditutup dengan penampilan spontan dari Dwi Ayu, aktivis Komnas Perempuan, yang dengan berapi-api membawakan puisinya, “Mei ’98 Dua Belas Tahun Lalu”. (ochi/gie)

Tulisan ini pernah dipublikasikan di http://oase.kompas.com, 29 Mei 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar