Kamis, 30 September 2010

Puisi-Puisi: Arieyoko Ksmb


                                             
                                                             Arieyoko ksmb
" Sajak Sabdopalon - Noyogenggong "

Sebagai gedhibal alam, Sabdo dan Noyo terus menunggang angin.
Melayang bersama kabut, antara Gunung Semeru, Lawu, Merapi,
Slamet sampai Tangkuban Perahu. Ke duanya berdzikir pada tanah,
pada air, pada kayu, pada burung, pada bara
dan api.

"Aku tak hendak menagih janji, atas kesepakatan alam ruh dan
alam nyata, ketika itu. Aku hanya mengabarkan pada semua,
bahwa janji selalu menepati dirinya sendiri," begitu mereka berbisik lirih.
Dari ujung kulon sampai ujung wetan.
Dari walang  sampai kijang di hutan.

Di roda zaman, sebuah janji alam tak pernah berarti apa-apa.
Kecuali hanya sebuah pengertian tentang sejarah. Tanpa mau
mengerti, bahwa alam yang mencatatkan perjanjian
di tangga langit, selalu menyinarkan kebenaran atas janji
yang terlupa itu.

Sabdo dan Noyo terus berputar-putar di atas-atas rumah kita.
Mereka membawa obor kencana, yang bakal ditancap-tancapkan,
di pekarangan hati yang terbuka.
Siapa saja.


 Jonegoro, 11/8/2010.                                                                                                                                                                                                                                                                                  
" Republik Kata - Kata "

Kita berdiri di negara kata-kata. Semuanya saling berebut kata-kata.
Tak peduli apakah itu bermakna atawa hanya sekadar membuat kata-kata.
Yang seluruhnya demikian terkesima dan memakan kata-kata,
dan meniru kata-kata, dan mendogma kata-kata.
Tanpa jeda....

Sebagai negara kata-kata, maka keadilan hanya ada di dalam kata-kata.
Kemakmuran hanya ada di kata-kata. Kesejahteraan pun cuma dalam kata-kata.
Kemanusiaan cukuplah sampai di kata-kata. Jangan tanyakan kata-kata lainnya.
Kerna tak ada.....

Anak-anak kita diajari ilmu kata-kata. Karena setelah dewasa yang paling diperlukan
adalah kata-kata. Sebab selain kata-kata, itu disebut sebagai dosa dan berhala.
Yang pantas untuk ditumpas, tak perlu dikembangsuburkan dalam kata-kata.....

Pintar berkata-kata adalah kebudayaan baru. Berkata-kata salah dan keliru,
itu tak apa. Yang penting, sudah berkata-kata. Di rapat-rapat kerja.
Di peraturan-peraturan. Di sidang-sidang. Di ranjang-ranjang.
Mari saling mengobral kata-kata.....

Bungkuslah apik kata-kata sebagai agama kita. Niatkan dan laksanakan
sepenuh-penuhnya sebagai hajat hidup yang luar biasa. Marilah membangun
Republik Kata-Kata dengan kata-kata. Toh semuanya telah sepakat,
bahwa kata-kata adalah prinsip-prinsip dasar bersama dalam
bernegara kata-kata....

Ayolah,
Teruslah berkata-kata.
Jangan berfikir yang lain, selain hanya kata-kata.
Hanya dengan begitulah, kita dapat kenyang
di Republik Kata-Kata.

( Aku menatah angin,
  tak lagi mampu
  berkata-kata )



Jonegoro, 8 Juli 2010                                                                                                                                                                                         

" Perempuan Batu "

layaknya tanda tanya dalam sebuah tanda baca
engkau selalu berkerut-kerut saat menakar matahari
saban hari…

entah tanpa sebab atawa hanya sekadar tanda-tanda semata
engkau mengaku luka pada siapa saja yang kebetulan bersua :
sejenak di hatimu…

tak jelas, kerap luka muncul begitu tiba-tiba
pada wajah, pada hati dan pada lidahmu
yang menjadi teramat tajam mengutuk-kutuk

apakah benar itu kamu?
yang kukenal gemulai di jejak-jejak tegar
ketika pertama saling :
menyapa…

benarkah itu dirimu yang demikian rapat
kamu sembunyikan pepat jiwamu :
dulu…

kamu menjadi mahluk asing
yang terlelap diketiakku
tadi malam…

semarang, 29 mei 2010
                                                                                                                                                                                                                                       caption


Add             
" Perempuan Haha Hihi "

Ada gambuh berdesingan nyaring berputaran, perempuan paruh baya
terpelanting di teras jumawa penuh gaya. Roknya melambai layaknya
bendera, menawarkan harum paha, sembari merentang gigi-gigi
timun wanginya yang haha....hihi.....

Bilah kakinya melompati waktu, ranjang, kamar mandi dan televisi.
Meruap helai rambutnya ditabrak tradisi, yang hanya sebagai gincu pemikat,
saban pagi, jika pergi. Lengking suaranya tetap saja tajam dan laknat,
menghardik yang dianggap pengkhianat, meski tak jelas jluntrungnya,
dicucupi yang dimauinya, sambil haha..... hihi.....

Di kota-kota, antara etalase-etalase dan kembang kemangi,
kemanusian cuma menjadi pelengkap pasamuan dan arisan.
Jerit kanak-kanak di kebun teh tak lebih dari nyanyian bebek di kandang,
yang hanya layak disantap-santap pada pesta keluarga. Selebihnya,
atas nama agama, semua menjadi halal untuk haha..... hihi.....

Perempuan haha hihi, adalah perempuan yang selalu melewati pintu hati
saban pagi. Lantas memunguti kerikil-kerikil sejarah milik siapa pun,
yang berceceran. Dikumpulkan pada sebuah janji, dan menjejak
pergi meninggalkan bau kentut haha..... hihi.....

Perempuan haha hihi, bukan perempuan durhaka pada keluarganya.
Ia hanya tak mampu menakar hatinya. Bahwa hidup tak sekadar memuaskan
nafsi-nafsi, sambil menghiba-hiba haha hihi mencari kudapan
untuk makan malamnya.

Perempuan haha hihi
terus menari tralala trilili
sepanjang-panjang matahari
dari pagi ke pagi kembali.



Jonegoro, 15/9/2010



                                                                                                                                                       caption                                                                                                                                                     
" Kue dan Sepatu "

Kamu anggap cintamu selezat kue
nikmat mengecap kamu suka
pahit melegit kamu lupa.

Aku anggap cintaku layaknya sepatu
membongkar hidup tegar melaju
membajak sejarah tanpa kelu.

Kue dan sepatu tak melangkah
pada ujung matahari yang melempuh.

 Jonegoro, 14/9/2010
 
                                                                                                                                                                         caption





Tidak ada komentar:

Posting Komentar