sastra-bojonegoro-blogspot.com
 |
RM TIRTO ADHI SOERJO |
| | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |
|

Petikan di atas adalah sebuah kata bijak yang terkandung dalam Bumi Manusia,
buku pertama dalam Tetralogi Pulau Buruh Pramudya. Berisi kisah bumiputera
bernama Raden Mas Minke, tokoh dinamo pers pergerakan nasional di masa awal
politik Etik kolonial. Organisasi Syarekat Priyayi ia bentuk, empat tahun
setelah itu Medan Priyayi pun muncul. Koran ini dianggap sebagai koran pertama
hasil keringat pribumi, sehingga Hari kelahirannya pada 7 Desember 1907
diperingati sebagai Hari Pers Nasional.
Minke pada kenyataannya bernama Tirto Adi Suryo, lahir di Bojonegoro, Jawa
Timur, pada 1880 dengan nama kecil Djokomono. Ia termasuk golongan bangsawan karena
bertautan darah dengan Tirtonoto, bupati Bojonegoro. Dengan demikian, ia
memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah Belanda HBS yang saat
itu didominasi golongan Belanda totok dan Indo, tapi pribumi satu ini berhasil
tamat dengan predikat lulusan terbaik kedua se Hindia Belanda. Tirto
melanjutkan studi sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia. Namun,
karena keenakan menulis di koran, pelajaran di sekolahnya menjadi tak
terindahkan, sehingga berbuntut Droup Out. Meski gagal menjadi dokter, ia
berhasil pada bidang lain, yaitu Jurnalistik.
2 April 1902, Tirto mendapat kehormatan menjadi redaktur Pembrita Betawi yang
dipimpin F. Wiggers. Pada edisi 13 Mei 1902 No. 103, ia mengumumkan kenaikan
dirinya menjadi pemimpin redaksi yang dibantu kerabatnya: Tjiong Loen Tat.
Kedudukan itu hanya setahun ia duduki, lantaran berselisih dengan F.Wiggers.
Setelah itu, secara mandiri ia membuat Soenda Berita, dimana ia berperan
sendiri, mulai dari penulisan, layout, keuangan, sekaligus administrasi.
Beragam topik ia sajikan dalam media tersebut, seperti ilmu tabib, bekteri,
ilmu fotografi, kebersihan makanan, ilmu tentang binatang, dan tumbuhan yang
baik untuk pagar. Ia adalah seorang kronikus pristiwa yang juga memiliki
kecendrungan seorang alkemis.
Sejak Soenda Berita berdiri, ia membangun relasi hingga ke bupati-bupati Jawa
Tengah dan Madura. Hasilnya, ia mendirikan Syarekat Priyayi pada 1904.
Organisasi ini dianggap sebagai organisasi pertama yang bercorak modern,
berwawasan bangsa ganda Hindia, dan menggunakan lingua pranca melayu sebagai
bahasa bangsa-bangsa yang terperentah. Namun, karena kebanyakan anggota
bermental inlander, sudah merasa mapan memakan gaji Gubermen, sehingga
organisasi ini bisa dibilang tak melakukan apa pun. Meski begitu, Syarikat
Priayi berhasil melahirkan Medan Priyayi pada 1907 (dan menjadi harian pada
1910), koran mula-mula pribumi yang membuat Tirto kian menonjol.
Kebijakan redaksi Medan Priyayi adalah membebaskan kepada pembacanya untuk
menulis apa saja dan mengajukan hak-haknya yang telah dilanggar. Tirto
memberikan komentar dan bantuan hukum terhadap pelanggaran tersebut, sehingga
Medan Priyayi betul-betul menjadi wakil publik. Tercatat, Medan Priyayi telah
mengurusi 225 warga yang berperkara kepada pemerintah Hindia, dari penjual ikan
pindang, sultan jawa dan madura, hingga bekas pejuang Aceh yang dibuang ke
Bandung secara tak wajar.
Reportase yang Tirto lakukan sangat mendalam, lantaran kedekatannya dengan
sumber informasi yaitu pemerintah kolonial sendiri. Tirto disinyalir mempunyai
hubungan khusus dengan Gubernur Jendral Van Heuts saat itu. Dan, sepak
terjangnya itu membuat sosok Tirto digolongkan sebagai orang berbahaya bagi
pemerintah, lantaran ia telah mengubah cara berkeluh kesah publik dengan cara
yang paling modern, yakni lewat koran.
Selain Medan Priyayi, pada kurun yang sama Tirto juga menerbitkan media lain,
seperti Soeloeh Keadilan (1907), Poetri Hindia (1909), Soeara BOW, Soeara
Spoor, Soeara Pegadaian, dan Sarotomo. Dari koran-koran ini, Tirto pun
terjangkiti beragam kasus.
Skandal Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang
mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak mendapat dukungan warga adalah kasus
pertamanya. Mas Soerodimejo, si jago pertama malah dikenakan hukum kelakar.
Dalam advokasinya, Tirto terbakar amarah dan menyebut pejabat tersebut sebaga
monyet penetek. Lantaran kasus ini, Tirto dibuang ke Lampung.
Di samping kasus-kasus lain, yang paling berat berkaitan dengan Bupati Rembang.
Pada Medan Priyayi edisi 17 Mei 1911, Tirto menuding Bupati Rembang, Raden
Adipati Djojodiningrat bersekutu dengan Raden Notowidjojo untuk menguasai kursi
Tuban yang lowong. Bupati Rembang berupaya mengawinkan putranya dengan gadis
bupati yang barusan mangkat itu. Hal paling parah, setelah Marko Kartodikromo,
murid Tirto memberitakan fenomena foya-foya keberangkatan Gubjend Idenburg saat
melayat ke Tuban.
Tirto Akhirnya dibuang ke Ambon setelah kasus pailitnya NV Medan Priyayi tak
dapat ia tuntaskan. Tirto disangsi timbunan utang lantaran menyalahgunakan uang
yang mestinya digunakan untuk mencetak Sarotomo di Solo, malah dipakai untuk
mencetak Medan Priyayi. Setelah itu, muncul friksi di tubuh Syarekat Dagang
Islam (SDI), organisasi yang dibentuknya untuk menyatukan kalangan manusia
bebas dan bervisi memajukan perdagangan pribumi. Sekembali dari Ambon, ia
menjadi manusia sebatangkara yang tak jelas lagi peruntungannya.
Patut dicatat bahwa lima tahun keberadaan Medan Priyayi adalah tahun-tahun
perlawanan Tirto terhadap pemerintah kolonial. Ia tidak melawan dengan metode
tradisional menggunakan senjata, tapi dengan tradisi cetak dengan
terang-terangan. Daya cetak inilah yang meluruhkan tradisional dan menampilkan
modernitas. Setelah Tirto lenyap, tak ada yang menyangka muridnya yang bernama
Mas Marko Kartodikromo mewarisi keberaniannya. Pemerintah kolonial pun dibuat
kewalahan olehnya.
Tak banyak yang tahu, siapa Tirto Adhi Soerjo, seorang pelopor, masterpiece
dalam bidang media dan pergerakan nasional yang sesungguhnya. Kisahnya
terangkum jelas dalam buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Tetralogi Pulau
Buru. Yang beberapa waktu lamanya di larang beredar oleh penguasa Indonesia dan
kembali muncul ketika rezim orde baru runtuh.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo adalah bangsawan jawa pelopor pembentuk kesadaran
nasionalisme tersebut. Lewat kecakapannya sebagai primbumi terdidik, lahir
organisasi modern pertama; Serikat Priayi (SP). Organisasi ini tidak berumur
panjang, dan tidak pernah kelihatan memimpin kesadaran politik anti penjajah
karena di dalamnya tergabung kaum priayi Jawa yang masih memegang teguh status
kepriayiannya. Namun organisasi ini telah menjadi media pertama kali secara
struktur kaum pribumi mendiskusikan embrio sebuah Nation. Kesadaran pembentuk
nation justru sesungguhnya berasal dari koran bernama “Medan Priayi” yang
didirikan Tirto Adhi suryo pada tahun 1907 dengan format 125 kali 195mm, dengan
tebal 22 halaman terbit seminggu sekali. Kenapa koran ini yang menjadi peletak
dasarnya? Karena lewat koran inilah gagasan nasionalisme tertulis pertama kali
dan dibaca dan menjadi pembentuk kesadaran awal tentang nasionalisme melampaui
perbedaan agama, suku, dan organisasi. Koran tersebut diterbitkan dengan
semboyan: “Suara orang-orang yang terperintah”. Kita masih mengingat bagaimana
peranan tulisan telah menentukan proses gerak sejarah bangsa termasuk
pembentukan nation, karena tanpa tulisan maka betapa sulitnya menyatukan
nusantara yang Terdapat lebih dari tigaratus etnik berbeda di Indonesia,
masing-masing dengan identitas budayanya sendiri, dan lebih dari duaratus
limapuluh bahasa berbeda yang diucapkan di kepulauan (archipelago)Indonesia.

Pelopor pers nasional
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo lahir di Bojonegoro tahun 1880 sebagai Raden
Djokomono. Ia adalah siswa Stovia di Batavia yang tidak tamat menjadi “dokter
Jawa”. Sejak muda, sudah mengirimkan tulisan-tulisan ke sejumlah surat kabar
dalam bahasa Belanda dan Jawa. Selama dua tahun, ia ikut membantu Chabar Hindia
Olanda, pimpinan Alex Regensburg, kemudian pindah menjadi redaktur Pembrita
Betawi, pimpinan F. Wiggers, yang kelak digantikannya.
Setelah menikah dengan R.A. Siti Habibah, ia tinggal di Desa Pasircabe, 3
pal dari ibu kota Kabupaten Bandung. Di sinilah ia ditawari oleh Bupati
Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja, untuk menerbitkan surat kabar sendiri. Terbitlah
Soenda Berita pada tahun 1903. Inilah surat kabar pribumi pertama berbahasa
Melayu, yang dimodali, dicetak, ditangani oleh pribumi.
Soenda Berita berhenti terbit tahun 1906. Tirto Adhi Soerjo tinggal di Bogor,
kemudian bersama beberapa prijaji di Batavia, mendirikan Sarikat Prijaji dengan
anggota sekira 700 orang dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Sarikat
Prijaji menginginkan sebuah surat kabar untuk corong suara mereka yang lebih
dari Soenda Berita yang tak mau bicara politik. Maka pada tanggal 1 Januari
1907, diterbitkanlah Medan Prijaji. Sesuai dengan namanya, Medan Prijaji
merupakan suara golongan priayi.
Dalam kesibukannya, Tirto Adhi Soerjo mengadakan rapat di rumahnya, di Bogor
tanggal 27 Maret 1909 untuk mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah. Perkumpulan
ini dipimpin Achmad Badjenet, seorang saudagar di Bogor. Tirto Adhi Soerjo
sendiri berkedudukan sebagai Sekretaris-Adviseur.
Tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo melalui Medan Prijaji membongkar skandal yang
dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo A. Simon. Diberitakan bahwa A. Simon yang
disebutnya “snot aap” (monyet ingusan) telah bersekongkol dengan wedana dalam
mengangkat seorang lurah di Desa Bapangan. Lurah yang terpilih dengan suara
terbanyak malah ditangkap, dikenakan hukuman dan dibuang ke Teluk Betung
Lampung.
Sepulang dari pembuangan, Tirto Adhi Soerjo membenahi NV-Medan Prijaji, H.M.
Arsyad keluar dari perusahaan, kini Tirto Adhi Soerjo sendiri menjadi pemimpin
perusahaan dengan komisaris Haji Anang Tajib, seorang saudagar besar, dan Haji
Amir, saudagar kain, keduanya tinggal di Bandung.
Masa keruntuhan Medan Prijaji dimulai dengan pemberitaan-pemberitaan tentang
Bupati Rembang, R. Adipati Djojodiningrat (suami R.A. Kartini) yang dituduh
menyalahgunakan kekuasaan, pada terbitan 17 Mei 1911, kemudian pemberitaan yang
dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh
menghalangi putra R. Adipati Djojodiningrat menggantikan jabatan ayahnya. Tirto
Adhi Soerjo pun terkena delik pers dan diputus pengadilan untuk dihukum buang
ke Ambon selama 6 bulan. Sementara itu, kesalahan manajemen menyebabkan
kesulitan keuangan yang berat hingga akhirnya NV Medan Prijaji dinyatakan
pailit. Medan Prijaji berhenti terbit 22 Agustus 1912. Nasib lebih buruk lagi,
Tirto Adhi Soerjo disandera para kreditornya sehingga baru tahun 1913 ia pergi
ke tempat pembuangannya. Tirto Adhi Soerjo pergi dengan mental patah dan apa
yang sudah dibangunnya ikut runtuh.
Sekembali dari Ambon, ia tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di
Ambon namanya diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun
1914-1918, Tirto Adhi Soerjo sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada tanggal
7 Desember 1918. Mula-mula ia dimakamkan di Manggadua Jakarta kemudian
dipindahkan ke Bogor tahun 1973. Di nisannya tertulis: “Perintis Kemerdekaan;
Perintis Pers Indonesia”. Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.

Namun, gelar Perintis Pers atau Perintis Kemerdekaan saja tidak cukup. Dari
jumlah 129 pahlawan nasional yang kita miliki hingga tahun 2006, hanya ada 3
orang yang tercatat pernah sebagai wartawan yaitu, Abdul Muis, Douwes Dekker,
dan Adam Malik. Berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku (UU No 33 Tahun
1964, UU No 22 Tahun 1999, PP Pemerintah tahun 2000, Kep Mensos tahun 1997),
Tirto Adhi Soerjo ini memenuhi syarat untuk diajukan sebagai pahlawan nasional
dari Jawa Barat. Meskipun ia bukan orang Sunda, ia berkiprah di Jawa Barat,
mengangkat nama Jawa Barat dalam pergerakan nasional, baik melalui pers maupun
politik, bahkan kuburannya pun di Jawa Barat.

Beberapa waktu yang lalu saya
mendapat bingkisan yang sangat luar biasa. Begitu luar biasanya sehingga saya
bahkan menyebutnya harta karun. Mengapa? Karena yang diberikan itu adalah
dokumen-dokumen tentang RM Tirto Adhi Soerjo (TAS) dan yang memberi adalah
keturunannya langsung. Siapa itu TAS? Tahukah anda jika TAS itu pahlawan
nasional yang rumahnya ada di Tanah Sareal dan jasadnya dimakamkan di Blender?
TAS adalah pejuang sejati, pembela
rakyat kecil, dan juga pendukung emansipasi wanita. Jangkauannya tidak hanya
bersifat lokal tapi tersebar di berbagai belahan nusantara. Pihak Belanda waktu
itupun segan terhadapnya. Melalui koran pertama berbahasa Melayu yang dia
terbitkan, dia menyebarkan ide-idenya.
TAS adalah pendiri koran pertama
Indonesia, Medan Prijaji. Dia mendapat anugerah semasa
Orde Baru di tahun 1973 sebagai Perintis Pers Indonesia. Di masa pemerintahan
SBY sekarang ini, selain gelar pahlawan nasional, TAS juga memperoleh tanda
kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana yang diserahkan kepada keluarganya
pada 3 November 2006.
RM Tirto Adhi Soerjo yang nama
kecilnya Djokomono adalah anak kesembilan dari 11 bersaudara. Dia lahir di
Bojonegoro tahun 1875. Ayahnya seorang pegawai kantor pajak pada masa pemerintah
Hindia Belanda bernama Raden Ngabehi Tirtodhipoero. Setelah orangtuanya
meninggal, TAS kemudian ikut neneknya Raden Ayu Tirtonoto. Dari neneknya inilah
TAS diajarkan untuk menjadi manusia yang mandiri. Didikan neneknya telah
menumbuhkan jiwa entrepreneur dalam diri TAS.
Menyoroti tahun kelahiran TAS,
sayangnya, saya menemukan adanya perbedaan dalam artikel dan berita di media,
majalah, maupun buku. Banyak yang menyebutkan tahun kelahiran TAS 1880. Padahal
dalam buku yang ditulis anak sulung TAS, RM Priatman, yang berjudul Perdjoangan
Indonesia dalam Sedjarah, cetakan kedua, diterbitkan oleh Badan Penerbit
Patani, Bogor tahun 1950, di situ disebutkan TAS lahir 1875. Saya rasa
perbedaan itu terjadi karena sumber yang digunakan sama yaitu buku biografi RM
Tirto Adhi Soerjo tulisan Pramoedya Ananta Toer berjudul Sang Pemula.
Dalam buku itu dituliskan tahun kelahiran TAS adalah 1880.
1880 yang dinyatakan sebagai tahun
kelahiran TAS temukan dalam:
- artikel di Kompas, 1 Januari 2000, tulisan Th
Sumartana,
- opini di Pikiran Rakyat, 27 April 2006, tulisan Prof.
DR. Nina Herlina Lubis, M.S., Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
Unpad,
- reportase di Pikiran Rakyat 28 April 2006,
- artikel di Pikiran Rakyat, 9 November 2006, tulisan
Prof DR. Nina Herlina Lubis, M.S.,
- reportase di Pos Kota, 16 November 2006,
- majalah I:BOEKOE! Edisi 1907-2007 Seabad Pers
Kebangsaan, tahun 2007, halaman 14.
Penyebutan tahun kelahiran TAS yang
lain lagi yaitu 1878 saya temukan dalam buku berjudul Sejarah Awal
Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan karangan Ahmat Adam, Guru
Besar di Universitas Malaysia Sabah. Entah dokumen mana yang digunakan oleh pak
Guru Besar ini.
Nomor 1, 2, 4, 5, dan 6 juga
menyebutkan tahun kematian TAS yang berbeda dengan yang ditulis oleh RM
Priatman. Lima tulisan di atas menyatakan tahun kematian TAS 1918 sedangkan RM
Priatman dalam bukunya menyebutkan 1917.
Bila saya disuruh memilih, sudah pasti
saya akan memilih dan lebih percaya yang berasal dari keturunan TAS langsung.
Bagaimana dengan anda? Biar anda tidak penasaran, berikut saya nukilkan tulisan
yang berbentuk puisi yang dibuat oleh RM Priatman tentang romonya, RM Tirto
Adhi Soerjo, dalam buku Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah halaman 89.
SIAPA PELOPOR DJURNALISTIK DI
INDONESIA
1875 – 1917
Raden Mas Tirtoadisoerjo
Nama ketjilnja Djokomono
Keturunan Tirtonoto
Bupati Bodjonegoro.
Peladjar S.T.O.V.I.A. di Djakarta
Penulis pembela Bangsa
Membasmi sifat pendjadjah Belanda
Dengan tulisan jang sangat tadjam
penanja.
Membuka sedjarah Djurnalistiknja
“Medan Prijai” warta hariannja
Suluh keadilan dan Putri Hindia
Ada dalam pegangan Redaksinja.
Tiap perbuatan dari pendjadjah,
Jang akan membuat lemah,
Terhadap Nusa dan Bangsa kita,
Diserang dan dibasmi dengan sendjata
penanja.
Akibat dari sangat tadjam sendjata
penanja
Pendjadjah dengan kekuasaannja
Mendjatuhkan hukumannja
Marhum Tirtoadisoerjo diasingkan
dari tempat kediamannja.
Lampung adalah tempat tudjuannja
Setibanja di pengasingan terus
berdjuang
Tak ada tempo jang terluang
‘ntuk membela Nusa dan Bangsanja.
Pelopor Djurnalistik Indonesia
Tahun 1875 adalah tahun lahirnja
Pada tahun 1917 wafatnja
Mangga Dua di Djakarta beliau
dimakamkannja.
Setelah neneknya meninggal, TAS
pindah ke rumah saudara sepupunya di Madiun. Kemudian ke Rembang untuk tinggal
bersama kakaknya RM Tirto Adi Koesoemo yang menjadi Jaksa Kepala di sana. TAS
selanjutnya masuk sekolah kedokteran, STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen), di Batavia pada usia 14 tahun. Sayangnya pendidikan itu tidak dia
rampungkan.
Walaupun pendidikannya di STOVIA
berhenti, kepintaran TAS dalam jurnalisme terus berkembang. Sebelum menjalankan
korannya sendiri, TAS sering mengirim tulisannya ke sejumlah surat kabar dalam
bahasa Belanda dan Jawa. 17 April 1902, cerita bersambungnya yang berjudul Pereboetan
Seorang Gadis dimuat pertama kali di Pembrita Betawi. Setelah itu,
di bulan Mei 1902 TAS ditunjuk F Wiggers menjadi pemimpin redaksi Pembrita
Betawi tetapi di tahun 1903 berhenti karena berbeda pendapat dengan
Wiggers.
Masih di tahun 1903 setelah keluar
dari Pembrita Betawi, TAS mendirikan koran sendiri Soenda Berita
yang diterbitkan setiap hari Minggu bekerjasama dengan Bupati Cianjur RAA
Prawiradiredja. Koran ini merupakan surat kabar pribumi pertama yang
menggunakan bahasa Melayu yang dikelola dan didanai oleh pribumi. Sayangnya Soenda
Berita hanya bertahan sampai 1906. Agar anda juga bisa menikmati seperti
apa tulisan yang dibuat pada masa itu, berikut saya salinkan resep masakan
favorit saya yang ternyata pada saat itu sudah ada meskipun sedikit berbeda
namanya. Resep Lembaran (saya menyebutnya Lembarang) ini dimuat
dalam Soenda Berita terbitan hari Minggu, 14 Februari 1904. Selamat menikmati
masa nostalgik bersama RM Tirto Adhi Soerjo.
LEMBARAN
olih Raden Ajoe Poerodimedjo
Ajam 1 dipotong-potong, abis dimasak
sama aier klapa seprapat di bakar doeloe sabentar; bawang bakar 3 sindok makan,
kemiri bakar 50, laos bakar 3 iris dan garem 2 sindok thee, ditjampoer abis
ditoemboek aloes dan lantas di goreng sama minjak goerih 3 sindok makan, sampe
mateng. Kaloek soedah, ajam tadi ditjaboeti toelangnja lantas daging dan
boeljonnja ditjampoer sama boemboe tadi, abis di masak.
Kapan soeda masak sebentar ditambahi
santen klapa setengah, sere 1 potong, daon djeroek poeroet 2 lembar dan
blimbing asem (tjalintjing) belahan 4; abis di masak teroes, sampe boeket
koewahnja.
Setelah Soenda Berita, TAS
kemudian menerbitkan Medan Prijaji pada 1 Januari 1907. Pena TAS
terkenal tajam. Tulisannya membuat takut para penguasa dan bangsawan yang
korup. Di lain pihak TAS dan Medan Prijaji-nya menjadi tempat mencari
keadilan bagi rakyat kecil. Karena tulisannya yang berani itulah TAS pernah
dibuang sebanyak dua kali ke Teluk Betung Lampung (1910) dan Ambon (1913).
Keberaniannya juga lah yang akhirnya mengakhiri Medan Prijaji pada 22
Agustus 1912. Disamping Pembrita Betawi, Soenda Berita,
dan Medan Prijaji, sejumlah surat kabar lain yang pernah dikelola TAS
adalah Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, dan Sarotomo.
TAS menikah pertama kali dengan putri bangsawan Cianjur
bernama Raden Ayu Siti Suhaerah. Dari perkawinan itu lahirlah RM Priatman.
Dalam perkawinan keduanya dengan RA Siti Habibah, TAS memiliki anak RA Julia
dan RM Hasan. Setelah itu TAS menikah dengan Prinses Fatimah atau lebih dikenal
dengan Prinses van Bacan yang dinikahi saat dia berada di Maluku.
Kesehatan TAS sering terganggu setelah kembali dari
pembuangannya di Ambon. Pada 7 Desember 1917 TAS akhirnya meninggal. Dia
awalnya dimakamkan di Mangga Dua Jakarta. Oleh keluarganya, jasadnya kemudian
dipindahkan ke pemakaman Blender, Kebon Pedes, Bogor tahun 1973. Tanggal
kematian itulah, 7 Desember, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pers
Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepada TAS, dan tahun berdirinya Medan
Prijaji, 1907, dijadikan sebagai awal tahun pers kebangsaan. Dengan demikian,
saat ini usia pers kebangsaan sudah mencapai 101 tahun. Soedah tjoekoep toea
boekan?
Bocah itu bernama
Djokomono. Lahir di Bojonegoro tahun 1880 dengan trah bangsawan, ia
berkesempatan menikmati pendidikan kolonial di Bangku HBS hingga Stovia. Meski
secara intelejensia tergolong jenius, karir akademiknya berantakan. Bukan
semata pengetahuan kognitif yang ia serap dari bangku pendidikan kolonial,
namun lebih pada kesadaran bahwa ada banyak hal yang tak beres di negerinya. Ia
menjatuhkan pilihan hidup yang tak seorangpun pribumi memikirkannya kala itu.
Dialah yang disebut sebagai Minke oleh Pramoedya Ananta Toer dalam
Tetralogi
Pulau Buru. Untuk pertama kalinya dalam sejarah nusantara, tanpa
menggunakan
embel-embel apapun Tirto Adhi Soerjo, demikian nama
aslinya, merintis upaya pergerakan intelektual bumiputra lewat medan kata-kata.
Mulanya, ia bekerja sebagai redaktur
Pembrita Betawi dan kemudian
keluar karena berselisih paham dengan F. Wigers, atasannya. Lantas, secara
mandiri ia menerbitkan
Soenda Berita. Lewat koran mingguan ini, Tirto
membangun jejaring relasi yang luas di kalangan bangsawan. Hasilnya, ia
mendirikan
Sarikat Priyayi pada tahun 1904, organisasi modern pertama
yang berwawasan nusantara, dan menjadi cikal-bakal
lahirnya
pergerakan-pergerakan skala nasional pada periode selanjutnya.
Perjuangan Tirto kian mengkristal dengan lahirnya
Medan Priyayi pada
tahun 1907. Koran ini tampil sebagai pengawal pendapat umum. Tak hanya
menyampaikan berita, Medan Priyayi juga membantu advokasi hukum pada
masyarakat, mulai penjual ikan hingga bupati dan sultan. Dalam waktu sekejap,
Medan Priyayi dan Tirto sendiri menjadi ancaman berbahaya bagi pemerintah
kolonial.
Sejak itulah, Tirto selalu bermain dengan mara-bahaya. Tirto meluruhkan
tradisi perjuangan feodal dan menggantinya dengan
daya-cetak yang
menyebarluaskan propaganda secara transparan. Bagi Belanda, ini jelas jauh
lebih berbahaya daripada bambu runcing atau bedil. Dengan segala rekayasa,
Tirto dilumpuhkan dan akhirnya meninggal dalam kondisi yang memprihatinkan.
Kematiannya tak sia-sia, sebab gagasan dan pengaruhnya tertanam kuat pada
murid-muridnya yang kelak menandai era kebangkitan nasional.
Ya, nama Tirto Adhi Soerjo memang berhak menempati urutan pertama dari
seratus deret tokoh paling berpengaruh dalam dinamika dunia pers di Indonesia.
Buku bertajuk
Tanah Air Bahasa; Seratus Jejak Pers Indonesia ini
membentangkan
centang-perenang sejarah pers yang sangat menentukan
wajah nasionalisme Indonesia. Perjuangan dengan pedang kata-kata terbukti
membawa efek yang lebih luas daripada petempuran fisik.
Setelah nama Tirto, pada kisaran awal abad 20, kita dapati nama-nama seperti
Dr. Wahidin Sudirohusodo (dengan terbitan
Retno Doemilah, 1900), Abdul
Rivai (
Bintang Hindia, 1901), Marthodharsono (
Djawi Hiswara,
1909), Dja Endar Moeda (
Pewarta Del, 1910), Datoek Soetan Maharadja (
Oetoesan
Melajoe, 1911), Douwes Dekker (
De Expres, 1912), HOS
Tjokroaminoto (
Oetoesan Hindia, 1912), Siti Roehana Koeddoes (
Soenting
Melajoe, 1912), Tjipto Mangoenkoesoemo (
Panggugah, 1919), Mas
Marco Kartodikromo (
Dunia Bergerak, 1914), Hadji Misbah (
Medan
Moeslimin, 1915), Ahmad Dahlan (
Soewara Moehammadijah, 1915),
Semaoen (
Sinar Djawa, 1917), hingga Haji Agus Salim (
Hindia Baroe,
1925).
Sosok-sosok tersebut boleh jadi mewakili garis perjuangan dan ideologi yang
berbeda-beda, namun penting untuk dicatat, semuanya percaya bahwa media cetak
adalah arena paling ideal untuk menyebarkan gagasan dan berdialektika.
Seringkali terjadi ketegangan yang serius di antara mereka. Persoalan politik
adalah sumbunya. Jika dipandang secara dialektis, maka ketegangan antara
tokoh-tokoh tersebut adalah polemik intelektual yang bermutu tinggi.
Perseteruan memang terkesan negatif, namun justru disitulah sintesis bernama
nasionalisme mendapat pasokan bahan bakar yang paling utama.
Tak pelak, daya dobrak luar biasa yang dimiliki media ini dipahami dan
dimanfaatkan betul oleh tokoh-tokoh nasional berikutnya. Kita tahu belaka,
bahwa Soekarno dan Hatta sangat giat menulis di koran. Tulisan-tulisan mereka
tak hanya mencerahkan nalar, tapi juga membakar semangat.