Sabtu, 22 Maret 2014

RM. Tirto Adhi Soerjo Itu Bojonegoro

sastra-bojonegoro-blogspot.com






 RM  TIRTO  ADHI  SOERJO



Petikan di atas adalah sebuah kata bijak yang terkandung dalam Bumi Manusia, buku pertama dalam Tetralogi Pulau Buruh Pramudya. Berisi kisah bumiputera bernama Raden Mas Minke, tokoh dinamo pers pergerakan nasional di masa awal politik Etik kolonial. Organisasi Syarekat Priyayi ia bentuk, empat tahun setelah itu Medan Priyayi pun muncul. Koran ini dianggap sebagai koran pertama hasil keringat pribumi, sehingga Hari kelahirannya pada 7 Desember 1907 diperingati sebagai Hari Pers Nasional.

Minke pada kenyataannya bernama Tirto Adi Suryo, lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada 1880 dengan nama kecil Djokomono. Ia termasuk golongan bangsawan karena bertautan darah dengan Tirtonoto, bupati Bojonegoro. Dengan demikian, ia memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah Belanda HBS yang saat itu didominasi golongan Belanda totok dan Indo, tapi pribumi satu ini berhasil tamat dengan predikat lulusan terbaik kedua se Hindia Belanda. Tirto melanjutkan studi sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia. Namun, karena keenakan menulis di koran, pelajaran di sekolahnya menjadi tak terindahkan, sehingga berbuntut Droup Out. Meski gagal menjadi dokter, ia berhasil pada bidang lain, yaitu Jurnalistik.

2 April 1902, Tirto mendapat kehormatan menjadi redaktur Pembrita Betawi yang dipimpin F. Wiggers. Pada edisi 13 Mei 1902 No. 103, ia mengumumkan kenaikan dirinya menjadi pemimpin redaksi yang dibantu kerabatnya: Tjiong Loen Tat. Kedudukan itu hanya setahun ia duduki, lantaran berselisih dengan F.Wiggers. Setelah itu, secara mandiri ia membuat Soenda Berita, dimana ia berperan sendiri, mulai dari penulisan, layout, keuangan, sekaligus administrasi. Beragam topik ia sajikan dalam media tersebut, seperti ilmu tabib, bekteri, ilmu fotografi, kebersihan makanan, ilmu tentang binatang, dan tumbuhan yang baik untuk pagar. Ia adalah seorang kronikus pristiwa yang juga memiliki kecendrungan seorang alkemis.
Sejak Soenda Berita berdiri, ia membangun relasi hingga ke bupati-bupati Jawa Tengah dan Madura. Hasilnya, ia mendirikan Syarekat Priyayi pada 1904. Organisasi ini dianggap sebagai organisasi pertama yang bercorak modern, berwawasan bangsa ganda Hindia, dan menggunakan lingua pranca melayu sebagai bahasa bangsa-bangsa yang terperentah. Namun, karena kebanyakan anggota bermental inlander, sudah merasa mapan memakan gaji Gubermen, sehingga organisasi ini bisa dibilang tak melakukan apa pun. Meski begitu, Syarikat Priayi berhasil melahirkan Medan Priyayi pada 1907 (dan menjadi harian pada 1910), koran mula-mula pribumi yang membuat Tirto kian menonjol.

Kebijakan redaksi Medan Priyayi adalah membebaskan kepada pembacanya untuk menulis apa saja dan mengajukan hak-haknya yang telah dilanggar. Tirto memberikan komentar dan bantuan hukum terhadap pelanggaran tersebut, sehingga Medan Priyayi betul-betul menjadi wakil publik. Tercatat, Medan Priyayi telah mengurusi 225 warga yang berperkara kepada pemerintah Hindia, dari penjual ikan pindang, sultan jawa dan madura, hingga bekas pejuang Aceh yang dibuang ke Bandung secara tak wajar.
Reportase yang Tirto lakukan sangat mendalam, lantaran kedekatannya dengan sumber informasi yaitu pemerintah kolonial sendiri. Tirto disinyalir mempunyai hubungan khusus dengan Gubernur Jendral Van Heuts saat itu. Dan, sepak terjangnya itu membuat sosok Tirto digolongkan sebagai orang berbahaya bagi pemerintah, lantaran ia telah mengubah cara berkeluh kesah publik dengan cara yang paling modern, yakni lewat koran.

Selain Medan Priyayi, pada kurun yang sama Tirto juga menerbitkan media lain, seperti Soeloeh Keadilan (1907), Poetri Hindia (1909), Soeara BOW, Soeara Spoor, Soeara Pegadaian, dan Sarotomo. Dari koran-koran ini, Tirto pun terjangkiti beragam kasus.
Skandal Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak mendapat dukungan warga adalah kasus pertamanya. Mas Soerodimejo, si jago pertama malah dikenakan hukum kelakar. Dalam advokasinya, Tirto terbakar amarah dan menyebut pejabat tersebut sebaga monyet penetek. Lantaran kasus ini, Tirto dibuang ke Lampung.

Di samping kasus-kasus lain, yang paling berat berkaitan dengan Bupati Rembang. Pada Medan Priyayi edisi 17 Mei 1911, Tirto menuding Bupati Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat bersekutu dengan Raden Notowidjojo untuk menguasai kursi Tuban yang lowong. Bupati Rembang berupaya mengawinkan putranya dengan gadis bupati yang barusan mangkat itu. Hal paling parah, setelah Marko Kartodikromo, murid Tirto memberitakan fenomena foya-foya keberangkatan Gubjend Idenburg saat melayat ke Tuban.
Tirto Akhirnya dibuang ke Ambon setelah kasus pailitnya NV Medan Priyayi tak dapat ia tuntaskan. Tirto disangsi timbunan utang lantaran menyalahgunakan uang yang mestinya digunakan untuk mencetak Sarotomo di Solo, malah dipakai untuk mencetak Medan Priyayi. Setelah itu, muncul friksi di tubuh Syarekat Dagang Islam (SDI), organisasi yang dibentuknya untuk menyatukan kalangan manusia bebas dan bervisi memajukan perdagangan pribumi. Sekembali dari Ambon, ia menjadi manusia sebatangkara yang tak jelas lagi peruntungannya.

Patut dicatat bahwa lima tahun keberadaan Medan Priyayi adalah tahun-tahun perlawanan Tirto terhadap pemerintah kolonial. Ia tidak melawan dengan metode tradisional menggunakan senjata, tapi dengan tradisi cetak dengan terang-terangan. Daya cetak inilah yang meluruhkan tradisional dan menampilkan modernitas. Setelah Tirto lenyap, tak ada yang menyangka muridnya yang bernama Mas Marko Kartodikromo mewarisi keberaniannya. Pemerintah kolonial pun dibuat kewalahan olehnya.



Tak banyak yang tahu, siapa Tirto Adhi Soerjo, seorang pelopor, masterpiece dalam bidang media dan pergerakan nasional yang sesungguhnya. Kisahnya terangkum jelas dalam buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru. Yang beberapa waktu lamanya di larang beredar oleh penguasa Indonesia dan kembali muncul ketika rezim orde baru runtuh.

Raden Mas Tirto Adhi Soerjo adalah bangsawan jawa pelopor pembentuk kesadaran nasionalisme tersebut. Lewat kecakapannya sebagai primbumi terdidik, lahir organisasi modern pertama; Serikat Priayi (SP). Organisasi ini tidak berumur panjang, dan tidak pernah kelihatan memimpin kesadaran politik anti penjajah karena di dalamnya tergabung kaum priayi Jawa yang masih memegang teguh status kepriayiannya. Namun organisasi ini telah menjadi media pertama kali secara struktur kaum pribumi mendiskusikan embrio sebuah Nation. Kesadaran pembentuk nation justru sesungguhnya berasal dari koran bernama “Medan Priayi” yang didirikan Tirto Adhi suryo pada tahun 1907 dengan format 125 kali 195mm, dengan tebal 22 halaman terbit seminggu sekali. Kenapa koran ini yang menjadi peletak dasarnya? Karena lewat koran inilah gagasan nasionalisme tertulis pertama kali dan dibaca dan menjadi pembentuk kesadaran awal tentang nasionalisme melampaui perbedaan agama, suku, dan organisasi. Koran tersebut diterbitkan dengan semboyan: “Suara orang-orang yang terperintah”. Kita masih mengingat bagaimana peranan tulisan telah menentukan proses gerak sejarah bangsa termasuk pembentukan nation, karena tanpa tulisan maka betapa sulitnya menyatukan nusantara yang Terdapat lebih dari tigaratus etnik berbeda di Indonesia, masing-masing dengan identitas budayanya sendiri, dan lebih dari duaratus limapuluh bahasa berbeda yang diucapkan di kepulauan (archipelago)Indonesia.

Pelopor pers nasional
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo lahir di Bojonegoro tahun 1880 sebagai Raden Djokomono. Ia adalah siswa Stovia di Batavia yang tidak tamat menjadi “dokter Jawa”. Sejak muda, sudah mengirimkan tulisan-tulisan ke sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa. Selama dua tahun, ia ikut membantu Chabar Hindia Olanda, pimpinan Alex Regensburg, kemudian pindah menjadi redaktur Pembrita Betawi, pimpinan F. Wiggers, yang kelak digantikannya.

Setelah menikah dengan R.A. Siti Habibah, ia tinggal di Desa Pasircabe, 3 pal dari ibu kota Kabupaten Bandung. Di sinilah ia ditawari oleh Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja, untuk menerbitkan surat kabar sendiri. Terbitlah Soenda Berita pada tahun 1903. Inilah surat kabar pribumi pertama berbahasa Melayu, yang dimodali, dicetak, ditangani oleh pribumi.

Soenda Berita berhenti terbit tahun 1906. Tirto Adhi Soerjo tinggal di Bogor, kemudian bersama beberapa prijaji di Batavia, mendirikan Sarikat Prijaji dengan anggota sekira 700 orang dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Sarikat Prijaji menginginkan sebuah surat kabar untuk corong suara mereka yang lebih dari Soenda Berita yang tak mau bicara politik. Maka pada tanggal 1 Januari 1907, diterbitkanlah Medan Prijaji. Sesuai dengan namanya, Medan Prijaji merupakan suara golongan priayi.

Dalam kesibukannya, Tirto Adhi Soerjo mengadakan rapat di rumahnya, di Bogor tanggal 27 Maret 1909 untuk mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah. Perkumpulan ini dipimpin Achmad Badjenet, seorang saudagar di Bogor. Tirto Adhi Soerjo sendiri berkedudukan sebagai Sekretaris-Adviseur.

Tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo melalui Medan Prijaji membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo A. Simon. Diberitakan bahwa A. Simon yang disebutnya “snot aap” (monyet ingusan) telah bersekongkol dengan wedana dalam mengangkat seorang lurah di Desa Bapangan. Lurah yang terpilih dengan suara terbanyak malah ditangkap, dikenakan hukuman dan dibuang ke Teluk Betung Lampung.
Sepulang dari pembuangan, Tirto Adhi Soerjo membenahi NV-Medan Prijaji, H.M. Arsyad keluar dari perusahaan, kini Tirto Adhi Soerjo sendiri menjadi pemimpin perusahaan dengan komisaris Haji Anang Tajib, seorang saudagar besar, dan Haji Amir, saudagar kain, keduanya tinggal di Bandung.

Masa keruntuhan Medan Prijaji dimulai dengan pemberitaan-pemberitaan tentang Bupati Rembang, R. Adipati Djojodiningrat (suami R.A. Kartini) yang dituduh menyalahgunakan kekuasaan, pada terbitan 17 Mei 1911, kemudian pemberitaan yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putra R. Adipati Djojodiningrat menggantikan jabatan ayahnya. Tirto Adhi Soerjo pun terkena delik pers dan diputus pengadilan untuk dihukum buang ke Ambon selama 6 bulan. Sementara itu, kesalahan manajemen menyebabkan kesulitan keuangan yang berat hingga akhirnya NV Medan Prijaji dinyatakan pailit. Medan Prijaji berhenti terbit 22 Agustus 1912. Nasib lebih buruk lagi, Tirto Adhi Soerjo disandera para kreditornya sehingga baru tahun 1913 ia pergi ke tempat pembuangannya. Tirto Adhi Soerjo pergi dengan mental patah dan apa yang sudah dibangunnya ikut runtuh.

Sekembali dari Ambon, ia tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di Ambon namanya diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun 1914-1918, Tirto Adhi Soerjo sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Mula-mula ia dimakamkan di Manggadua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor tahun 1973. Di nisannya tertulis: “Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia”. Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.



Namun, gelar Perintis Pers atau Perintis Kemerdekaan saja tidak cukup. Dari jumlah 129 pahlawan nasional yang kita miliki hingga tahun 2006, hanya ada 3 orang yang tercatat pernah sebagai wartawan yaitu, Abdul Muis, Douwes Dekker, dan Adam Malik. Berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku (UU No 33 Tahun 1964, UU No 22 Tahun 1999, PP Pemerintah tahun 2000, Kep Mensos tahun 1997), Tirto Adhi Soerjo ini memenuhi syarat untuk diajukan sebagai pahlawan nasional dari Jawa Barat. Meskipun ia bukan orang Sunda, ia berkiprah di Jawa Barat, mengangkat nama Jawa Barat dalam pergerakan nasional, baik melalui pers maupun politik, bahkan kuburannya pun di Jawa Barat.


Beberapa waktu yang lalu saya mendapat bingkisan yang sangat luar biasa. Begitu luar biasanya sehingga saya bahkan menyebutnya harta karun. Mengapa? Karena yang diberikan itu adalah dokumen-dokumen tentang RM Tirto Adhi Soerjo (TAS) dan yang memberi adalah keturunannya langsung. Siapa itu TAS? Tahukah anda jika TAS itu pahlawan nasional yang rumahnya ada di Tanah Sareal dan jasadnya dimakamkan di Blender?
TAS adalah pejuang sejati, pembela rakyat kecil, dan juga pendukung emansipasi wanita. Jangkauannya tidak hanya bersifat lokal tapi tersebar di berbagai belahan nusantara. Pihak Belanda waktu itupun segan terhadapnya. Melalui koran pertama berbahasa Melayu yang dia terbitkan, dia menyebarkan ide-idenya. 

TAS adalah pendiri koran pertama Indonesia, Medan Prijaji. Dia mendapat anugerah semasa Orde Baru di tahun 1973 sebagai Perintis Pers Indonesia. Di masa pemerintahan SBY sekarang ini, selain gelar pahlawan nasional, TAS juga memperoleh tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana yang diserahkan kepada keluarganya pada 3 November 2006.
RM Tirto Adhi Soerjo yang nama kecilnya Djokomono adalah anak kesembilan dari 11 bersaudara. Dia lahir di Bojonegoro tahun 1875. Ayahnya seorang pegawai kantor pajak pada masa pemerintah Hindia Belanda bernama Raden Ngabehi Tirtodhipoero. Setelah orangtuanya meninggal, TAS kemudian ikut neneknya Raden Ayu Tirtonoto. Dari neneknya inilah TAS diajarkan untuk menjadi manusia yang mandiri. Didikan neneknya telah menumbuhkan jiwa entrepreneur dalam diri TAS.
Menyoroti tahun kelahiran TAS, sayangnya, saya menemukan adanya perbedaan dalam artikel dan berita di media, majalah, maupun buku. Banyak yang menyebutkan tahun kelahiran TAS 1880. Padahal dalam buku yang ditulis anak sulung TAS, RM Priatman, yang berjudul Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah, cetakan kedua, diterbitkan oleh Badan Penerbit Patani, Bogor tahun 1950, di situ disebutkan TAS lahir 1875. Saya rasa perbedaan itu terjadi karena sumber yang digunakan sama yaitu buku biografi RM Tirto Adhi Soerjo tulisan Pramoedya Ananta Toer berjudul Sang Pemula. Dalam buku itu dituliskan tahun kelahiran TAS adalah 1880.
1880 yang dinyatakan sebagai tahun kelahiran TAS  temukan dalam:
  1. artikel di Kompas, 1 Januari 2000, tulisan Th Sumartana,
  2. opini di Pikiran Rakyat, 27 April 2006, tulisan Prof. DR. Nina Herlina Lubis, M.S., Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unpad,
  3. reportase di Pikiran Rakyat 28 April 2006,
  4. artikel di Pikiran Rakyat, 9 November 2006, tulisan Prof DR. Nina Herlina Lubis, M.S.,
  5. reportase di Pos Kota, 16 November 2006,
  6. majalah I:BOEKOE! Edisi 1907-2007 Seabad Pers Kebangsaan, tahun 2007, halaman 14.
Penyebutan tahun kelahiran TAS yang lain lagi yaitu 1878 saya temukan dalam buku berjudul Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan karangan Ahmat Adam, Guru Besar di Universitas Malaysia Sabah. Entah dokumen mana yang digunakan oleh pak Guru Besar ini.
Nomor 1, 2, 4, 5, dan 6 juga menyebutkan tahun kematian TAS yang berbeda dengan yang ditulis oleh RM Priatman. Lima tulisan di atas menyatakan tahun kematian TAS 1918 sedangkan RM Priatman dalam bukunya menyebutkan 1917.
Bila saya disuruh memilih, sudah pasti saya akan memilih dan lebih percaya yang berasal dari keturunan TAS langsung. Bagaimana dengan anda? Biar anda tidak penasaran, berikut saya nukilkan tulisan yang berbentuk puisi yang dibuat oleh RM Priatman tentang romonya, RM Tirto Adhi Soerjo, dalam buku Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah halaman 89.
SIAPA PELOPOR DJURNALISTIK DI INDONESIA
1875 – 1917
Raden Mas Tirtoadisoerjo
Nama ketjilnja Djokomono
Keturunan Tirtonoto
Bupati Bodjonegoro.
Peladjar S.T.O.V.I.A. di Djakarta
Penulis pembela Bangsa
Membasmi sifat pendjadjah Belanda
Dengan tulisan jang sangat tadjam penanja.
Membuka sedjarah Djurnalistiknja
“Medan Prijai” warta hariannja
Suluh keadilan dan Putri Hindia
Ada dalam pegangan Redaksinja.
Tiap perbuatan dari pendjadjah,
Jang akan membuat lemah,
Terhadap Nusa dan Bangsa kita,
Diserang dan dibasmi dengan sendjata penanja.
Akibat dari sangat tadjam sendjata penanja
Pendjadjah dengan kekuasaannja
Mendjatuhkan hukumannja
Marhum Tirtoadisoerjo diasingkan dari tempat kediamannja.
Lampung adalah tempat tudjuannja
Setibanja di pengasingan terus berdjuang
Tak ada tempo jang terluang
‘ntuk membela Nusa dan Bangsanja.
Pelopor Djurnalistik Indonesia
Tahun 1875 adalah tahun lahirnja
Pada tahun 1917 wafatnja
Mangga Dua di Djakarta beliau dimakamkannja.
Setelah neneknya meninggal, TAS pindah ke rumah saudara sepupunya di Madiun. Kemudian ke Rembang untuk tinggal bersama kakaknya RM Tirto Adi Koesoemo yang menjadi Jaksa Kepala di sana. TAS selanjutnya masuk sekolah kedokteran, STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), di Batavia pada usia 14 tahun. Sayangnya pendidikan itu tidak dia rampungkan.
Walaupun pendidikannya di STOVIA berhenti, kepintaran TAS dalam jurnalisme terus berkembang. Sebelum menjalankan korannya sendiri, TAS sering mengirim tulisannya ke sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa. 17 April 1902, cerita bersambungnya yang berjudul Pereboetan Seorang Gadis dimuat pertama kali di Pembrita Betawi. Setelah itu, di bulan Mei 1902 TAS ditunjuk F Wiggers menjadi pemimpin redaksi Pembrita Betawi tetapi di tahun 1903 berhenti karena berbeda pendapat dengan Wiggers.
Masih di tahun 1903 setelah keluar dari Pembrita Betawi, TAS mendirikan koran sendiri Soenda Berita yang diterbitkan setiap hari Minggu bekerjasama dengan Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja. Koran ini merupakan surat kabar pribumi pertama yang menggunakan bahasa Melayu yang dikelola dan didanai oleh pribumi. Sayangnya Soenda Berita hanya bertahan sampai 1906. Agar anda juga bisa menikmati seperti apa tulisan yang dibuat pada masa itu, berikut saya salinkan resep masakan favorit saya yang ternyata pada saat itu sudah ada meskipun sedikit berbeda namanya. Resep Lembaran (saya menyebutnya Lembarang) ini dimuat dalam Soenda Berita terbitan hari Minggu, 14 Februari 1904. Selamat menikmati masa nostalgik bersama RM Tirto Adhi Soerjo.

LEMBARAN
olih Raden Ajoe Poerodimedjo
Ajam 1 dipotong-potong, abis dimasak sama aier klapa seprapat di bakar doeloe sabentar; bawang bakar 3 sindok makan, kemiri bakar 50, laos bakar 3 iris dan garem 2 sindok thee, ditjampoer abis ditoemboek aloes dan lantas di goreng sama minjak goerih 3 sindok makan, sampe mateng. Kaloek soedah, ajam tadi ditjaboeti toelangnja lantas daging dan boeljonnja ditjampoer sama boemboe tadi, abis di masak.
Kapan soeda masak sebentar ditambahi santen klapa setengah, sere 1 potong, daon djeroek poeroet 2 lembar dan blimbing asem (tjalintjing) belahan 4; abis di masak teroes, sampe boeket koewahnja.
Setelah Soenda Berita, TAS kemudian menerbitkan Medan Prijaji pada 1 Januari 1907. Pena TAS terkenal tajam. Tulisannya membuat takut para penguasa dan bangsawan yang korup. Di lain pihak TAS dan Medan Prijaji-nya menjadi tempat mencari keadilan bagi rakyat kecil. Karena tulisannya yang berani itulah TAS pernah dibuang sebanyak dua kali ke Teluk Betung Lampung (1910) dan Ambon (1913). Keberaniannya juga lah yang akhirnya mengakhiri Medan Prijaji pada 22 Agustus 1912. Disamping Pembrita Betawi, Soenda Berita, dan Medan Prijaji, sejumlah surat kabar lain yang pernah dikelola TAS adalah Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, dan Sarotomo.
TAS menikah pertama kali dengan putri bangsawan Cianjur bernama Raden Ayu Siti Suhaerah. Dari perkawinan itu lahirlah RM Priatman. Dalam perkawinan keduanya dengan RA Siti Habibah, TAS memiliki anak RA Julia dan RM Hasan. Setelah itu TAS menikah dengan Prinses Fatimah atau lebih dikenal dengan Prinses van Bacan yang dinikahi saat dia berada di Maluku.
Kesehatan TAS sering terganggu setelah kembali dari pembuangannya di Ambon. Pada 7 Desember 1917 TAS akhirnya meninggal. Dia awalnya dimakamkan di Mangga Dua Jakarta. Oleh keluarganya, jasadnya kemudian dipindahkan ke pemakaman Blender, Kebon Pedes, Bogor tahun 1973. Tanggal kematian itulah, 7 Desember, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pers Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepada TAS, dan tahun berdirinya Medan Prijaji, 1907, dijadikan sebagai awal tahun pers kebangsaan. Dengan demikian, saat ini usia pers kebangsaan sudah mencapai 101 tahun. Soedah tjoekoep toea boekan?



Bocah itu bernama Djokomono. Lahir di Bojonegoro tahun 1880 dengan trah bangsawan, ia berkesempatan menikmati pendidikan kolonial di Bangku HBS hingga Stovia. Meski secara intelejensia tergolong jenius, karir akademiknya berantakan. Bukan semata pengetahuan kognitif yang ia serap dari bangku pendidikan kolonial, namun lebih pada kesadaran bahwa ada banyak hal yang tak beres di negerinya. Ia menjatuhkan pilihan hidup yang tak seorangpun pribumi memikirkannya kala itu.

Dialah yang disebut sebagai Minke oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru. Untuk pertama kalinya dalam sejarah nusantara, tanpa menggunakan embel-embel apapun Tirto Adhi Soerjo, demikian nama aslinya, merintis upaya pergerakan intelektual bumiputra lewat medan kata-kata. Mulanya, ia bekerja sebagai redaktur Pembrita Betawi dan kemudian keluar karena berselisih paham dengan F. Wigers, atasannya. Lantas, secara mandiri ia menerbitkan Soenda Berita. Lewat koran mingguan ini, Tirto membangun jejaring relasi yang luas di kalangan bangsawan. Hasilnya, ia mendirikan Sarikat Priyayi pada tahun 1904, organisasi modern pertama yang berwawasan nusantara, dan menjadi cikal-bakal lahirnya pergerakan-pergerakan skala nasional pada periode selanjutnya.

Perjuangan Tirto kian mengkristal dengan lahirnya Medan Priyayi pada tahun 1907. Koran ini tampil sebagai pengawal pendapat umum. Tak hanya menyampaikan berita, Medan Priyayi juga membantu advokasi hukum pada masyarakat, mulai penjual ikan hingga bupati dan sultan. Dalam waktu sekejap, Medan Priyayi dan Tirto sendiri menjadi ancaman berbahaya bagi pemerintah kolonial.
Sejak itulah, Tirto selalu bermain dengan mara-bahaya. Tirto meluruhkan tradisi perjuangan feodal dan menggantinya dengan daya-cetak yang menyebarluaskan propaganda secara transparan. Bagi Belanda, ini jelas jauh lebih berbahaya daripada bambu runcing atau bedil. Dengan segala rekayasa, Tirto dilumpuhkan dan akhirnya meninggal dalam kondisi yang memprihatinkan. Kematiannya tak sia-sia, sebab gagasan dan pengaruhnya tertanam kuat pada murid-muridnya yang kelak menandai era kebangkitan nasional.

Ya, nama Tirto Adhi Soerjo memang berhak menempati urutan pertama dari seratus deret tokoh paling berpengaruh dalam dinamika dunia pers di Indonesia. Buku bertajuk Tanah Air Bahasa; Seratus Jejak Pers Indonesia ini membentangkan centang-perenang sejarah pers yang sangat menentukan wajah nasionalisme Indonesia. Perjuangan dengan pedang kata-kata terbukti membawa efek yang lebih luas daripada petempuran fisik.

Setelah nama Tirto, pada kisaran awal abad 20, kita dapati nama-nama seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo (dengan terbitan Retno Doemilah, 1900), Abdul Rivai (Bintang Hindia, 1901), Marthodharsono (Djawi Hiswara, 1909), Dja Endar Moeda (Pewarta Del, 1910), Datoek Soetan Maharadja (Oetoesan Melajoe, 1911), Douwes Dekker (De Expres, 1912), HOS Tjokroaminoto (Oetoesan Hindia, 1912), Siti Roehana Koeddoes (Soenting Melajoe, 1912), Tjipto Mangoenkoesoemo (Panggugah, 1919), Mas Marco Kartodikromo (Dunia Bergerak, 1914), Hadji Misbah (Medan Moeslimin, 1915), Ahmad Dahlan (Soewara Moehammadijah, 1915), Semaoen (Sinar Djawa, 1917), hingga Haji Agus Salim (Hindia Baroe, 1925).

Sosok-sosok tersebut boleh jadi mewakili garis perjuangan dan ideologi yang berbeda-beda, namun penting untuk dicatat, semuanya percaya bahwa media cetak adalah arena paling ideal untuk menyebarkan gagasan dan berdialektika. Seringkali terjadi ketegangan yang serius di antara mereka. Persoalan politik adalah sumbunya. Jika dipandang secara dialektis, maka ketegangan antara tokoh-tokoh tersebut adalah polemik intelektual yang bermutu tinggi. Perseteruan memang terkesan negatif, namun justru disitulah sintesis bernama nasionalisme mendapat pasokan bahan bakar yang paling utama.

Tak pelak, daya dobrak luar biasa yang dimiliki media ini dipahami dan dimanfaatkan betul oleh tokoh-tokoh nasional berikutnya. Kita tahu belaka, bahwa Soekarno dan Hatta sangat giat menulis di koran. Tulisan-tulisan mereka tak hanya mencerahkan nalar, tapi juga membakar semangat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar