Minggu, 19 September 2010

CERPEN: Elnisya Mahendra (1)

@Ngraho1_______________________________________________________


Dibalik Jeruji 

Oleh: Elnisya Mahendra

                 
Tuhan, bila takdir-Mu telah engkau teteskan kepadaku, kekuatan apa yang bisa membuatku menolaknya? Tidak akan ada, kecuali kepasrahan yang teramat dalam dari mahkluk-Mu yang hanya sebutir pasir diantara laut dan pantai-Mu yang maha luas.
Kulipat mukena dan sajadahku setelah do'a kupanjatkan untuk orang-orang yang aku cintai diawal pagi ini. Kulirik Amel yang masih tidur di ranjang, dengkur lembutnya seirama dengan naik turun dadanya. Amel adalah gadis Batak teman satu apartemen, bahkan satu kamar denganku. Aku tak tega membangunkannya, semalam dia pulang larut dari tempat kerja paruh waktunya, yaitu sebuah coffe shop yang berjarak hanya 2OO meter dari apartemen yang kami sewa di Amstervees, sebuah kota yang tidak jauh dari Amsterdam di Holandia utara.

Keberadaanku disini bersama Amel dan dua teman lainya, karena kami sama-sama mendapatkan bea siswa di Universiteit Van Amsterdam. Sebuah Universitas yang aku idamkan sejak aku kuliah di fakultas hukum di UGM dulu. Kekagumanku pada pada Sutan Syahrir seorang sosialis yang menentang para kapitalis membuatku teropsesi untuk mengajukan bea siswa disini, dimana Sutan Syahrir pernah mengenyam pendidikan.

Tahun lalu kutinggalkan mas Ilham suamiku bersama Bella Ayudya anakku yang kini telah berumur 5 tahun. Alhamdulilah mas Ilham mendukung program master yang aku ambil, walau aku harus meninggalkan tugasku sebagai istri dan ibu buat Bella. Bahkan sanggup aku tinggalkan dalam waktu lama. Untung saja ada ibu yang mau membantu menjaga Bella.

Pagi masih menyisakan hawa sejuk walau summer sudah diambang pintu. Aku biarkan Amel tidur sepuasnya. Hari ini adalah hari libur kami, bahkan sampai dengan satu bulan mendatang aku telah mengajukan cuti kuliah. Itu karena aku terpaksa harus pulang ke Indonesia besuk, memenuhi permintaan ibu. Apalagi aku sudah kangen dengan bidadari kecilku yang bermata bening, berbibir mungil. Ah... Bella mirip sekali mas Ilham, rambutnya juga sama mengombak seperti ayahnya.

Kuberjalan keluar kamar menuju dapur, perutku telah merindukan sesuatu untuk pengganjalnya. Kuseduh secangkir kopi instan dan ditemani 2 lembar roti plus keju. Aku lempar pandanganku ke luar jendela, dimana kehidupan di Amstervees sepagi ini sudah sedemikian sibuk. Simpang siur Metro Lijn dan Tram Lijn di depan apartemen. Ya...mungkin seperti juga simpang siurnya hatiku saat ini, selalu dalam tanda tanya.

Seminggu yang lalu ibu telepon dengan tangisnya " Tanti, pulang dulu ya nduk, ibu kangen," suara ibuku dari seberang sana. " Ada apa bu, kok tidak biasanya ibu telpon sambil nangis gitu?" jawabku. Tapi tangis ibu semakin menjadi, " Pokoknya kamu pulang dulu nduk, nanti kamu akan tau sendiri, dan bisa dirundingkan bagaimana baiknya," lanjutnya. Aku tak bisa menolak lagi permintaan ibu. Lalu kucari celah kesibukan di kampus agar aku bisa minta izin cuti. Namun pertanyaan demi pertanyaan menggelayut di otakku.

Amel keluar kamar dan duduk di seberang meja, " Pagi Tanti, kamu jadi besuk pulang Tan?" tanya Amel begitu pantatnya menyentuh kursi. Aku hanya tersenyum mengangguk. " Ada kabar apa sebenarnya dari kampung, kok mendadak gitu?" tanyanya sambil melangkah pergi. Aku masih termangu menatap keruwetan lalu lintas di bawah aparteman. Sepertinya aku harus segera beranjak ke kamar mandi, mengguyur tubuh letihku, rencananya aku akan pergi ke Winkel Centrum, pusat perbelanjaan di Amstervees membeli oleh-oleh untuk Bella. Sudah tak ada waktu lagi, besuk aku harus pagi-pagi berangkat, jadwal penerbanganku jam 12 siang waktu setempat.

Diantara gundah dan bahagia kuberangkat pagi ini ke bandara Schiphol menggunakan Metro Lijn 51. Ini pertama kalinya aku pulang, sejak setahun lalu tinggal di Amstervees. Sampai di Airport langsung cek in di Malaysia Airlines. Sungguh begitu jengah rasanya meredam berbagai pertanyaan dalam hatiku. Aku memang selalu tak bisa dalam keadaan penasaran.

Kepenatan dalam pesawat, lebih dari 15 jam dari Amsterdam - Jakarta dan sempat transit di Kuala Lumpur, kini tertebus sudah. Aku menghirup kembali oksigen tanah airku, seperti sebuah oase yang kutemukan selama 1 tahun kucari di Holand walau di sana sejuk. Sampai di Jakarta pukul 8.1O pagi, perjalanan ini kulanjutkan ke Jogja setelah sebelumnya aku membeli tiket sebuah maskapi penerbangan. Waktu tempuh Jakarta- Jogja yang hanya setengah jam memungkinkan aku tak terlalu sore sampai rumah.

" Ah... Jogja masih seramah dulu," gunamku ketika kujejakkan kaki keluar bandara. Dengan taxi aku menuju terminal, kupilih bus ber-AC yang akan membawaku ke Magelang tempat dimana aku dilahirkan. Yang jelas aku ingin segera menemui ibu, Bella dan mas Ilham. Kubayangkan Bella begitu lucunya, akan memelukku nanti. Tentu gadis kecilku akan gembira nanti saat aku keluarkan boneka Hello Kitty yang sempat kubeli kemarin di Winkel Centrum.

Suasana tampak lenggang saat kumasuki rumah berarsitektur joglo itu. Entah pada kemana semua, tak kutemukan Bella, ibu dan mas Ilham. Tapi pintu rumah terbuka, mungkin Bella lagi keluar jalan dengan papanya. Aku memang tak memberitahu mereka bila aku akan pulang hari ini. Biar menjadi kejutan buat mereka bertiga. Kulongok kamar ibu, " Ya Allah, ibu...!" jeritku. " Apa yang terjadi bu, dimana Bella dan mas Ilham, kenapa mereka tak menunggui ibu disini? Kemana mereka, kemana bu?" pertanyaanku bertubi-tubi pada tubuh membujur di ranjang itu. Sementara wanita renta yang tak lain adalah ibuku itu menangis, berusaha memelukku. " Ya Allah apa yang terjadi?" pertanyaanku selalu berulang ulang. Aku hampir tak percaya dengan kenyataan di hadapanku. Bukankah seminggu yang lalu ibu telpon katanya baik-baik saja, juga mas Ilham 3 hari yang lalu mengabarkan juga semua dalam keaadan sehat, kenapa dia tak bilang kalau ibu sakit? Entah setan mana yang akirnya menyulut api kemarahanku.

Ketika hatiku telah mampu aku kendalikan dan ibu mampu meredam tangisnya, mulailah mengalir cerita yang membuatku seperti kejatuhan benda yang berton-ton beratnya. Membuat aku lunglai terlempar pada negeri asing nan tandus tanpa kehidupan. Ya Tuhan benarkah apa yang aku dengar? Aku tak bisa bersabar lagi, kusambar tas punggungku dan aku pamit pada ibu. " Tanti, kau harus sabar nduk, hadapi dengan lapang. Ibu percaya engkau tak akan berbuat nekat, namun saran ibu, kendalikan emosimu. Banyak-banyak Istigfar, ibu yakin semua akan terselesaikan," tutur ibu sambil air mata itu merembes kembali dari matanya yang tua. " Doakan Tanti ya bu?" pamitku sambil kucium tangan ibu.

Dari sebuah alamat yang ibu berikan tadi, kutemukan rumah berpagar besi tak terkunci. Tanpa ijin pemiliknya aku masuk. " Bunda, bundaku pulang," teriak gadis kecil yang tak lain Bella anakku. Aku segera menyambut dengan bentangan tanganku untuk memeluknya. Aku dekap erat bidadari kecilku, aku ciumi wajah, kening, rambutnya, dan apa saja yang aku temui saat itu. Airmataku tumpah, aku tak tau apalagi yang akan aku ucapkan untuk keharuan ini.

Sore menjelang magrib telah membuat suasana ini lebih terdramatisir tak habis habisnya air mataku mengalir. Beberapa menit kemudian muncul dari pintu depan, sosok perempuan yang tak asing lagi buatku, dia Viona sahabat karibku, yang ternyata diam diam telah menjadi WIL mas Ilham. Dari cerita ibu, mereka menikah di bawah tangan 2 bulan lalu dan membeli rumah ini. Yang tak bisa aku maklumi kenapa harus membawa Bella ikut serta tinggal bersama mereka. " Bunda, itu mama Viona, kita akan tinggal bersama nanti," kata Bella polos. " Selamat datang Tanti, kenapa tak memberi kabar lebih dulu? Aku dan mas Ilham bisa menjemputmu," katanya Viona yang buatku adalah penghinaan. " Gak perlu, aku datang hanya akan membawa Bella pergi, kau tak usah cerita apa apa, tak usah punya alasan apa apa untuk menguasai anakku, cukup kau kuasai Ilham saja. Aku iklas, ambilah semua kecuali Bella," teriakku padanya, aku sudah benar benar marah.

Sepertinya aku tidak perlu berdebat dengan Viona, toh semuanya telah jelas. Aku sudah tidak ingin mempertahankan rumah tanggaku lagi dengan mas Ilham. Aku hanya ingin membawa pulang anakku. Kugendong segera Bella, aku ingin cepat cepat berlari dari rumah si jahanam itu. Namun Viona menghalangiku. " Sorry Tanti, Bella adalah hakku, mas Ilham menyerahkannya padaku untukku jaga. Kau tak perlu susah susah menjaganya. Kejar saja karirmu Tan," tutur Viona sambil senyum sinis. Kutampar wajah itu, wajah sahabatku yang manis namun kini menjijikkan. Namun Viona balik menamparku. Kuturunkan Bella dari gendonganku, bocah kecil itu tampak ketakutan di pojok. Sementara adu mulut antara aku dan Viona tak bisa kuhindari.

" Sampai mati kau tidak akan aku ijinkan membawa Bella pergi, dia anakku," teriak Viona. Dia mulai membabi buta menjambak rambutku, mencakar lenganku, aku tidak kalah sadis saat dengan segenap kekuatanku kutendang perutnya yang katanya telah mengandung janin mas Ilham, aku tak peduli, aku sudah benar-benar sakit hati. Viona terhuyung, sepertinya dia kesakitan dengan tendanganku tadi, dan entah dari mana datangnya dia telah menggenggam gunting. Ya Tuhan dia mau membunuhku, dia semakin kalap saja, aku-pun tak kalah. Dia coba menikamku, tapi semua luput dan dia terjatuh.

Seperti dalam arena pertandingan akulah pemenangnya, dia tak bergerak lagi. Apa yang sebenarnya dengan dia, kucoba dekati Viona yang jatuh tengkurap dilantai dan " Ya Allah, Vio.. bangun, Vio kau tak apa apa kan?" panggilku panik. Gunting yang tadi dipegangnya menancap di jantungnya, darah melebar membasahi lantai. Aku semakin panik, kucabut gunting itu, aku rasa Viona masih hidup. Dari depan pintu mas Ilham menjerit dan menamparku. " Kau telah membunuhnya," tuduhnya.

" Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya," cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, " Sumpah...! aku tak membunuhnya," aku kembali histeris. Ya Allah, Kau maha segalanya. " Apa artinya aku sekolah hukum, aku tak mampu membelaku sendiri, aku pasrah ya Allah," bisikku lirih. Sementara dua petugas berseragam memandangku dari luar jeruji besi.

Tsuen-Wan, 27 Mei 2O1O.
                     caption
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 
                                  

Disudut Kamar          

Oleh: Elnisya Mahendra


Kusibak tirai jendela kamarku, summer membuat pagi ini begitu cerah. Jam 5 pagi sudah padang njingglang istilah jawa-nya, atau bisa diartikan sudah terang benderang. Setelah gosok gigi lalu sholat subuh, pekerjaan rutin telah menunggu untuk kusentuh. Kuawali dengan membersihkan toilet, sebelum nyonya Cheung bangun. Memang toilet harus bersih dan wangi, itu aturan kerjaku sejak pertama kali kuinjakkan kakiku 3 tahun yang lalu di rumah berukuran 75O meter persegi milik nyonya Freda Cheung bersama suaminya Herman Lee.

Kubangunkan Nicole si gadis kecil bermata bening itu lebih awal. Kemarin dia berpesan supaya mengantarnya sekolah sebelum jam 8. Nicole memang telah akrab denganku. Apapun kebutuhannya selalu bilang kepadaku sebagai seorang pengasuhnya. Kudapati senyum gadis berumur 9 tahun itu begitu membuka matanya. " Faiti heisan-a mui-mui," panggilku. " Hai-lah tang-yatchan," jawabnya sambil menggosok gosok matanya dengan tangannya yang mungil. Kurapikan selimut dan tempat tidurnya setelah dia bangun dan menuju kamar mandi. Dia tak harus mandi untuk berangkat ke sekolah, hanya dengan cuci muka dan gosok gigi saja. Dikenakanya seragam sekolahnya, sementara aku menyiapkan sarapan paginya. Selembar roti panggang bersemir mentega dan segelas coklat susu yang hangat.

Di pintu kamar depan muncul Rocco, adik laki laki dari Nicole itu berjalan kearahku dengan mata masih kelihatan mengantuk. " Cosan Lisa, ngo kam-yat emsiong fanhok," katanya. Kudekati laki laki kecil itu, kuraba keningnya, sepertinya dia demam.  

" Kam-yat nei yau hausi sailo, emhoyi emfanhok," jawabkku sambil menggandengnya ke kamar mandi untuk segera gosok gigi. Bocah kecil itu menurut saja. Sementara kusiapkan sarapan untuk Rocco dengan menu yang sama seperti Nicole. Kusediakan juga Parasetamol biar diminum setelah sarapan nanti.

Setengah jam kemudian aku telah selesai mengantar Nicole dan Rocco turun ke bawah flat, dimana bus sekolah telah menunggu mereka berdua. Sekembali dari mengantar mereka aku dapati nyonya Cheung dan tuan Lee telah bangun dan menikmati sarapan yang telah mereka buat sendiri. " Cosan Thai-thai, cosan sinsang, " sapaku pada mereka berdua. Kulirik mereka hanya tersenyum dan mengangguk sambil melanjutkan membaca koran pagi tanpa membalas sapaanku.

Beberapa saat kemudian mereka berdua bersama sama berangkat kerja. Tinggal aku yang menikmati pekerjaanku dan sedikit waktu istirahat. Rencanaku hari ini setelah kuselesaikan semua pekerjaan rutinku, aku akan menulis cerpen, tugas bersama dari teman teman teater. Bila aku hitung ada sekitar waktu 3 jam untuk mengerjakan cerpen itu. " Wah ide ini bermunculan, menulis tentang seorang istri yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya, atau seorang gadis yang telah divonis mati oleh dokter akibat Limfoma yang dideritanya, keduanya bertema putus asa," gunamku sendiri.

Siang telah beranjak, hingga sore belum bisa juga kurangkai kata yang untuk membentuk paragraf paragraf cerpen. Otakku blank, entah apa yang aku pikirkan? Aku seperti dalam keadaan bingung, mungkin karena waktu yang terus mengejarku menuju deadline cerpen esuk hari yang harus kutulis dalam note facebookku. " Ah... akan aku coba nanti malam saja menulisnya, mungkin akan bisa kurangkai dengan lancar kata demi kata itu," kataku dalam hati.

Aku sudah tak sempat lagi memikirkan cerpen itu ketika kedua anak yang kuasuh telah pulang dari sekolahnya. Waktuku habis tersita oleh mereka berdua. " Lisa.....!! Sailo ho yai a," teriak Nicole dari kamar mandi. " Lisa faiti kolei," teriaknya kembali. Buru buru kusudahi pekerjaanku di dapur, kuhampiri mereka berdua. " Ya Allah, nei tei co kan matyea?" bentakku pada mereka berdua setelah kulihat lantai kamar mandi banjir dan busa dimana-mana. Beginilah jika aku sedikit saja khilaf mengawasi momonganku. Segera kuperintah mereka berdua keluar, dan mengerjakan tugas tugas sekolahnya. Sementara aku harus mengelap lagi kamar mandi yang telah kubersihkan tadi pagi. Pekerjaan tambahan yang membuatku gondok, didalam hati aku mengumpat.

Menjelang malam sekitar pukul 7, tuan dan nyonyaku telah pulang. Mereka menikmati menu makan malam bersama kedua anaknya. Semangkuk kari ayam ala japanes, sepiring sayur kangkung kutumis dengan fuyi, serta kacang kapri yang aku tumis dengan daging ikan, ditambah sup ikan yang lezat. Kulihat mereka melahapnya dengan senyum mengembang, berarti cocok dengan selera mereka hari ini.

Segera kubereskan pekerjaanku, membersihkan dapur. Aku ingin segera semua cepat selesai, mengingat aku malam ini harus lembur. Harus jadi malam ini juga tekatku. Tiba tiba saat aku ingin memasuki kamarku, nyonya Cheung memanggilku, " Lisa, kamman nei tung ghoetei fankao," sambil menunjuk ke anak anaknya. Aku mengangguk tanpa sarat ketika nyonya Cheung memintaku untuk tidur di kamar anaknya, sedang dia sendiri memilih mengungsi tidur di kamarku. Alasannya karena dia sedang kena flu dan tak ingin anak maupun suaminya tertular.

Merasakan tidur bersama anak anak akan lebih nyaman mungkin. Kamar tidur yang mewah dengan AC, semoga akan menambah semangatku begadang malam ini. Walau hanya dengan bantuan telepon seluler aku mengakses internet, sigin di Facebook dan kutulis kata demi kata di note. Namun......" Ya Allah, low batrae?" teriakku tertahan. Kukeluar dari kamar menuju kamarku sendiri untuk mengambil cas telepon gemgamku. Tapi kamarku telah dikunci dari dalam oleh nyonya Cheung yang telah terdengar dengkurannya dari luar kamar. Terpaksa aku harus kecewa lagi karena tak bisa mengerjakan tugasku. Aku harus tidur malam ini walau beban tugas itu menggelayut di otakku. Berat rasanya.

Lumayan segar ketika aku bangun pagi. Tapi pagi ini tak seperti biasanya. Nicole dan Rocco libur dari sekolahnya karena ruang kelasnya dipakai ujian kelas 6. Ah, tak apa apa, aku masih bisa saja mencuri waktu sekedar menulis cerpen. Namun sampai jam 12 siang otakku benar benar gak bisa jalan. Duh... Apa yang membebani pikiran ini? Dari kucoba tuangkan lewat note handphone terlebih dulu, tapi tetap macet otakku. Kuakali buat kerangka karangan lewat selembar kertas, namun sama saja, semua tak ada hasilnya. Aku benar benar tak ada akal lagi, " Aku menyerah.....!" teriakku histeris.

Kusingkirkan kertas dan penaku, kulempar telepon genggamku. Aku memang tak berguna, hanya membuat satu cerpen saja aku tak mampu. Kubuang semua barang barang dalam kamarku, jam beker, tumpukan buku dan novel koleksiku yang berjajar di meja kamar. " Ternyata aku tak mampu, aku tak ada gunanya sama sekali," teriakku lagi. Aku capek, duduk di sudut kamarku. Air mata ini tak bisa kubendung, aku kecewa pada diriku sendiri. Sementara Nicole dan Rocco yang sejak tadi di ruang tamu berlari ke kamarku. Kedua bocah kecil itu menghampiriku, menangis memelukku.

Tsuen-Wan, 26 Mei 2O1O

------------------------------------------------------------

Faiti heisan-a mui mui : cepat bangun adik perempuan
Hai-lah tang-yatchan : baiklah tunggu sebentar
Cosan Lisa, ngo kamyat emsiong fanhok : selamat pagi Lisa, saya hari ini tidak ingin sekolah.
Kam-yat nei yau hausi sailo, emhoyi emfanhok : hari ini kamu ujian adik laki laki, tidak boleh tidak masuk sekolah.
Lisa, kamman nei tung ghoetei fankao : Lisa malam ini kamu tidur dengan mereka
Sailo ho yai : adik laki laki nakal
Faiti
kolei : cepat datang kesini
                                                                                                                                                                                                     


_________________________________________________________________

 Senja Di Kimberley Road

Add         

Senja Di Kimberley Road

 Oleh: Elnisya Mahendra


Kumatikan pesawat televisi, tak ada berita yang menarik, apalagi siaran berbahasa kantonis yang sama sekali tak kumengerti artinya. Aku memang hanya ingin tahu ramalan cuaca hari ini, sepertinya lebih dingin dari hari kemarin. Dan kudapati 13-16 derajat untuk hari ini. Sudah cukup membuatku membekukan seluruh tubuhku. Apalagi aku ada bakat alergi dingin, seluruh tubuh terasa gatal jika suhu dibawah 2O derajat. Untung saja aku tidak dilahirkan dinegara yang mempunyai 4 musim.

Keberadaanku disini, di negri-nya Jacky Chan aktor kungfu yg mendunia, sudah 4 hari yang lalu. Tak terasa sudah 1O hari kutinggalkan Banjarmasin, kutinggalkan Nora istriku dan David anakku yang baru belajar jalan. Tugas kantor mendadak menghantarkan aku dan anak buahku Eko pergi ke Beijing, bersama beberapa teman dari kantor pusat, untuk menghadiri event pameran produc di Beijing. Dan di Hong Kong adalah bonus dari kantor pusat untuk menikmati liburan. Sungguh sangat beruntung bisa datang di negeri yang tak pernah ku impikan sebelumnya. Seandianya bisa kubawa serta Nora dan David mungkin pagi ini tak semalas sekarang.

Masih menikmati khayalku, aku jadi mengingat seseorang, yang selalu mengabarkanku tentang Hong Kong. "Aku sekarang berada di Tsim-Sha-Tsui mas," katanya suatu hari di telepon. Dan sekarang aku berpijak dikota bernama Tsim Sha Tsui, seperti apa yang pernah dia ceritakan. Ah... Dimana dia sekarang? Masihkah dia berada di Hong Kong, ataukah sudah pulang berkumpul dengan keluarganya di Bojonegoro sana? Di kota tempat aku dan dia dilahirkan. Namun feelingku berkata lain, sepertinya dia masih disini, seperti telah dekat denganku. Entahlah.... berjuta kata seandainya itu telah meracuni otakku untuk mencari cara bagaimana bisa menemukannya saat ini. Padahal aku tak mempunyai alamatnya, tidak juga mengingat nomer teleponnya. Benar benar meracuni semangatku hingga aku malas keluar dari kamar hotel pagi ini. Sampai sampai berencana tak akan ikut keluar jalan bersama teman teman. Padahal sekarang adalah minggu, sudah tentu Hong Kong yang dinamakan pintu gerbang paris ini akan ramai dikunjungi touris.

"Dingin...brrr...!!" Eko anak buahku yg juga teman sekamarku keluar dari toilet telah mengagetkan lamunanku. "Kok belum siap siap pak Gondo, gak mau jalan tah?" tanyanya. Dan akupun hanya menggeleng. "Rencananya hari ini kita kan mau ke Disney land, masak menyia nyiakan kesempatan ini?" Aku berdiri dari sofa yang sejak tadi kududuki dan berjalan menuju jendela. Kutarik gorden, tampak disana view Hong Kong yang indah. Dari ketinggian terlihat di seberang pulau sana gedung berjajar, dan laut penyekat pulau dengan kapal ferry yang bergerak lambat. Tampak pula perahu tradisional khas Hong Kong. Namun pagi ini masih berkabut, pemandangan itu seperti diselubungi tirai putih tampak meremang. Eko berjalan kearahku, ikut membuka gorden di sebelahku, menghapus embun yang menempel di jendela kaca membentuk gambar hati. Sejenak kupandang dia, kami sama sama tertawa. "Saya tau pak Gondo, pasti mau mencarinya lagi kan? Masih mau datang ke Victoria Park, tempat kemarin? Katanya kalo hari minggu banyak sekali orang Indonesia yang bekerja disini pada ngumpul di Victoria Park."

Ku duduk kembali di sofa " Akan aku coba kesana lagi Ek, walau gak yakin ketemu, tapi paling tidak aku telah berusaha mencarinya," desahku lirih. Eko merapikan pakaianya, tampaknya dia semangat sekali hari ini. "Seandainya sebulan sebelumnya kita mendapat kabar, kalo kita juga akan mampir ke sini, tentu kita bisa mengontaknya. Atau paling tidak bisa mencari nomor teleponnya. Sepertinya aku masih menyimpan, kucatat di buku telepon kantor," kata Eko. Dan aku hanya bisa mengangguk, Eko telah bisa menebak apa yang ada di hatiku. Dia bukan hanya anak buahku, tapi tempat curhatku. Kami berdua sama sama datang ke Banjarmasin untuk menjawab tantangan dari kantor pusat di Bandung, untuk mendirikan cabang distributor obat obat ternak dan melayani inseminasi buatan pada peternakan. Cuma nasibnya kalah denganku, aku yang lebih dipercaya menduduki jabatan manager di kantor. Tapi berkembangan cabang ini tak lebih karna kerja keras Eko.

Dia sudah tampak rapi dengan jaket hitam dan kopyah winternya. Dalam hati aku benar menertawakannya, tampak kelihatan takut kedinginan. Berpakaian bertupuk tumpuk, seperti robot jika berjalan. "Pak Gondo... Saya pergi dulu," kata Eko sambil menyambar tasnya berjalan menuju pintu. "Tunggu Ek... Aku nitip belikan sesuatu buat David," cegahku sambil berjalan kearahnya, kuulurkan uang 5OO dolar. "Apapun yang penting lucu, yang kira kira David suka, terpenting lagi ada logonya Disney," kataku sambil tertawa. Eko mengangguk, tertawa kecil sambil berlalu.

Masih dengan rasa malas kurebahkan tubuh ini diranjang, lamunanku tentang Nesha masih menari di otak. Rasa bersalah ini telah memojokkanku disudut kamar, seperti aku masuk ke dalam frezeer, menggigil. Padahal di kamar hotel ini telah di pasang penghangat ruangan. "Ya.... Aku harus mencarinya," tekatku.

Bila kukatakan sejujurnya kalo aku masih mencintai Nesha, siapa yang akan percaya, karna akupun mencintai istriku Nora. Tapi ini adalah kenyataan, aku tak bisa melupakan Nesha. Nesha adalah pacar pertamaku waktu SMA dulu. Karena dalam 1 kost, teman teman tak pernah menduga kalo kami pacaran. Malah seperti kakak beradik, aku menyayanginya. Sikapnya yang manja membuat aku slalu ingin melindunginya. Bukan hanya sekedar cinta monyet, tapi aku sudah mengenal keluarganya, ibunya sudah seperti bundaku sendiri. Namun sungguh klise kalo cinta kami terpisah karena keyakinan yang menghalangi. Tapi ini adalah soal prinsip, akupun menghormatinya seperti dia menghormati keyakinanku. Namun hubungan baik masih terjalin, dia masih tetap manja walo aku bukan kekasihnya. Sampai akirnya dia menikah, dan akupun setahun kemudian menyusulnya. Kesibukan dengan keluarga masing masing telah menyita waktuku sampai suatu hari Nesha meneleponku dari Hongkong, aku hampir tak percaya dia senekat itu, merantau yang misalnya aku sendiri belum tentu berani. Dan kami pun semakin akrab tanpa sepengetahuan Nora. Apa ini yang dinamakan selingkuh? Walaupun aku tak pernah membicarakan masalah cinta lagi dengannya, demikian juga dia. Tapi di dalam hati ini masih tersimpan dan tumbuh bersemi bunga kasih itu, aku yakin dalam hatinya juga.

Tapi tragedi setahun silam telah menelan tubuh mungilnya di belantara Hong Kong tanpa kabar berita lagi. Dan itu karna salahku, aku mengakui dosaku. Aku telah memakinya walau aku sadar sebenernya bukan salah dia. Masih kuingat waktu itu hari jum'at, saat aku pulang tugas luar kota, sampai rumah disambut Nora dengan menu menu uji coba dia dari beberapa majalah dan tabloid dia coba. Ku hanya manggut manggut melahap masakan istriku. Dan tiba tiba ponsel ku bergetar, tanda sms masuk. Kubiarkan Nora membuka sms diponselku, seketika mukanya berubah merah dan telepon genggamku hancur setelah dilempar ke dinding. Hampir 1bulan aku harus merelakan dia pulang kerumah orang tuanya di Samarinda. Sejak peristiwa itu semua sms dan telepon Nesha tak pernah ku hiraukan lagi, nomor teleponnya pun sudah ku hapus dari phonebookku, yang lebih sadis lagi, Nesha adalah sasaran kemarahanku, karena dia Nora pulang ke orang tuanya dan menjadi masalah keluarga besar. Dalam sms ku pada Nesha tak ingin aku di hubungi lagi. Dan diapun berjanji tak akan pernah menghubungiku, ya sampai detik ini... Aku yakin hatinya saat itu begitu hancur mendengar kemarahanku, mendengar tuduhanku tlah menhancurkan rumah tanggaku. Dan sekarang baru kusadari bahwa semuanya adalah takdir, bukan karena dia. Terbukti Nora pulang kembali bersamaku, meminta maaf atas kecemburuannya. Dan beberapa bulan kemudian David lahir, sempurna sudah kebahagiaanku.

Tak terasa sudah 1jam aku tiduran di ranjang menatap plafon putih sambil mengingat ingat kejadian yang lalu, kemudian membayangkan bisa bertemu Nesha kembali. Dan tekatku semakin kuat mencarinya hari ini ke Victoria park lagi. Kusambar handuk dan beberapa lembar T-shit lengan panjang, masuk toilet dan berendam air hangat. Kukenakan beberapa lembar t-shit sekaligus, sweeter rompi dan jaket tebal plus syal yang kubeli kemarin di pasar murah Fayin kai yang artinya pasar murah di jalan bunga, itu kata guide nya, kemarin. Lumayan murah memang, hanya dengan 5O dolar syal cantik itu sudah ada digengamanku. Kusambar tas punggungku, dengan lift kuturun dilantai dasar, sarapan sebentar di resto hotel, hanya ku ambil sepotong egg tart dan secangkir kopi. Sebenarnya hawa dingin membuat perutku lapar terus, namun hari ini terasa tak nafsu makan. Segera kusudahi sarapanku, keluar dari hotel sekitar jam sepuluh, kulangkahkan kakiku dari ujung jalan kimberly dimana letak hotel, menuju ke Natthan road, dan diujung yang lain di seberang sana tampak masjid berdiri dengan megahnya. Seperti yang pernah ku dengar dari cerita Nesha dulu, banyak juga pekerja migran muslim yang di hongkong, diantara mereka aku berharap ada dia di sana. Tapi sudah lima menit aku berdiri didepan masjid itu tak tampak ada Nesha disana. Ku berjalan lagi kearah kanan masjid, ada stasiun kereta api bawah tanah. Ku beli tiket dengan tujuan causwebay seperti kemarin. Kemarin hari sabtu guide sempat membawa kami ke Victoria park, yang katanya banyak sekali pekerja migran dari indonesia. Dan memang benar, kutemui orang orang Indonesia disana, mereka seperti tau kalo kami rombongan dari bangsa yang sama, merekapun tersenyum ramah. Setengah jam kemudian aku telah sampai. Tak bisa ku bayangkan sebelumnya, benarkah ini Hongkong? Yang ada di benakku ini adalah negara bagian Indonesia saja. Sejauh mata memandang ketika masuk di kawasan Victoria park yang ada hanyalah orang orang Indonesia. Berbicara dengan bahasa jawa, serasa berada dikampungku, sebuah desa di kabupaten Bojonegoro.

Lalu lalang penjual nasi, bakso, buah dan minuman menawarkan dagangan, mereka ada yang sempat menanyaiku saat ku beli air mineral darinya. "Liburan ya mas, dari Korea atau Taiwan?" kata penjual minuman itu, terakir kutau namanya adalah Rukiyah, dia berasal dari lampung. Aku sempat tidak tau apa yang dimaksud dia menanyaiku aku dari Korea atau Taiwan, padahal tampangku Indonesia bahkan kelihatan jawa asli. Setelah Rukiyah jelaskan baru aku ngeh apa yang dimaksud. Hongkong memang tak menerima tenaga kerja laki laki dari Indo, jadi bila ada laki laki Indo di sini kebanyakan mereka adalah TKI yang bekerja di Korea dan Taiwan yang sedang berlibur di Hongkong. "Mungkin mereka akan menemui kekasih hatinya sampai mau datang ke Hongkong mas" kata Rukiyah. Dan dia pun sempat menanyakan maksud kedatanganku ke sini. Akirnya aku sempat ngobrol panjang lebar dengannya. Agak sedikit heran waktu kukatakan aku ingin mencari mantan kekasih ku."Cisin...yang benar aja mas, mau nyari orang gak tau alamat dan nomor telepon nya.? Ya... Bagai mencari jarum di dalam jerami mas, disini BMI (Buruh Migran Indonesia) hampir mencapai 231 ribu, dan lebih dari separuhnya libur pada iari minggu, jadi keajaiban lah bila mas bisa menemukanya" katanya sambil di iringi derai tawa aku dan Rukiyah. Karna hampir satu jam aku ngobrol, rasanya kasian banget kalo aku tak membeli dagangannya. Ku beli beberapa bungkus klepon, tempe dan bakwan goreng, juga sebungkus kacang rebus. Rukiyah yang kira kira berumur 3O tahun itupun sempat memberi nomor teleponnya padaku.Kembali ku lanjutkan pencarianku, menyusuri sudut sudut Vitoria park, kusambangi tempat tempat mereka bergerombol, kupandangi satu persatu wajah mereka. Kadang aku memburu kala menemui wajah yang hampir mirip Nesha. Namun sampai jam 3 lebih aku tak menemukannya. Dalam keputus asaanku, kuputuskan kembali ke Tsim Sha Tsui, ke Kimberly di mana aku menginap.

Berjalan kearah stasiun kereta yang terdekat dengan melihat anak panah yang tertera di sepanjang jalan. Rasanya ingin cepat sampai di penginapan, tubuhku letih, tadi tidak sempat makan siang. Tubuhku menggigil, selain suhu udara sore yang semakin dingin ditambah gerimis halus mungkin juga karna perutku terasa lapar. Ku masukkan koin dolar untuk 1lembar tiket menuju Tsim Sha Tsui, namun harganya tak semahal berngkatnya tadi, buru buru kumasukan tiket kedalam mesin palang pintu, dan terbuka. Namun tiba tiba 2 laki laki menghampiriku "Emkoy pei ngo sa-fancing" kata salah satu dari mereka, aku benar benar tak tahu apa yang mereka maksud. Masih dalam keadaan kaget, seperti baru sadar dari mimpi dan disampingku telah berdiri seorang gadis, aku benar benar dalam keadaan bingung."Singsang yao meysi a? Hai mai yao manthai thui ngo bangyao,." tanya gadis disebelahku pada dua orang laki laki didepanku. Setelah berbicara sebentar dengan mereka gadis itu berpaling didepanku setengah berbisik "Anda salah membeli tiket mas" kusodorkan tiket kereta yang kubeli tadi padanya. Aku masih belum paham juga, kesalahan apa yang aku lakukan. Pasport ku juga diperiksa. Beberapa saat kemudian urusan selesai, dan tiket diberikan padaku namun tlah berganti warna. "Lily namaku" gadis itu mengulurkan tanganya. "Gondo" jawabku singkat sambil kusalami dia. "Mau kemana mas Gondo? Anda tau, kenapa tadi mas di hadang petugas dan diminta dokumen mas?" tanya Lily disertai senyum ramahnya. "aku sama sekali tak tau, apalagi mereka pake bahasa Kantonis, aku juga tak tau apa yang kau maksud aku salah membeli tiket?". Lily menarik tanganku menuruni eskalator, Dia panjang lebar tentang tiketku yang salah membeli untuk junior, yang harganya separo dari dewasa. Setiap mesin pintu tiket selalu memberi tanda dengan bunyi tiket apa aja yang masuk. Jelas petugas akan tau tiket apa yang kita pake, dan aku telah melakukan kesalahan di negeri orang. Untung mereka memaklumi aku adalah turis yang baru 3hari disini, juga bantuan Lily yang menjelaskan pada mereka kalo aku benar benar tidak tau. Dengan tiket tujuan yang sama akirnya aku dan Lily naik kereta yang sama pula.

Sama sama turun di Tsim Sha Tsui, kami jadi ngobrol banyak. Lily teman ngobrol yang enak, friendly. Kami berjalan menyusuri dermaga menikmati debur ombak. Cukup terhibur hingga aku tak merasakan letihku lagi. Lily ternyata sudah lama disini, gadis berasal dari Malang itu dari awal bertemu kukira adalah seorang mahasiswi Indonesia yang study disini. Tapi ternyata bukan, dia adalah pekerja migran biasa yang bekerja disektor rumah tangga. Wajahnya yang mirip Chinese, rambut sebahu dan pakaiannya modis membuat aku salah menebak. Memang pekerja migran di Hongkong sudah tidak seperti TKW zaman djdulu, apalagi tadi waktu aku berjalan ke Victoria Park, banyak dari mereka telah mengakses laptopnya di tengah2 lapangan, mengisi hari libur mereka.

Duduk di bangku dermaga, tiba tiba ringing ponsel Lily berbunyi, berbicara sesaat, kemudian pria berperawakan jangkung dan berambut pirang itu menghampiri Lily. Gadis itu memperkenal kalo laki itu pacarnya. Pria Swedia bernama Stevent. Setelah berbicara sebentar, mereka pamit berlalu dariku, kebebasan bergaul dinegara cosmopolitan ini telah disalah gunakan, sampai tidak ada batas dan adab kita sebagai orang timur, seperti siang tadi aku melihat gadis yang sepertinya orang indo juga, sedang berpelukan didalam kereta dengan pria bermata tajam, berhidung mancung. Aku jadi teringat Nesha kembali, semoga dia dijauhkan dari hal hal seperti itu, aku yakin didalam pribadinya yang manja ada prinsip kuat yang bertengger di hatinya, sampai akupun tak mampu mengalahkannya... Ah.. Sepertinya bayang wajahnya berarak bersama mega putih diatas sana.

Masih duduk dan kunikmati heningnya sore ini. Perutku berkali kali berbunyi memanggil empunnya untuk memasukkan sesuatu. Kukeluarkan bungkusan tempe goreng dan bakwan yang sempat kubeli dari Rukiyah tadi, lahap aku menyantapnya. Masih ada beberapa potong lagi nanti buat eko. Pasti dia akan kaget, gak akan mengira aku dapatkan tempe goreng di Hongkong, sedangkan di Banjarmasin sulit mendapatkan tempe, apalagi seenak ini. Kukemas kembali kumasukkan kedalam tas. Kukenakan kembali syal yang siang tadi sempat kulepas, kini terasa lebih dingin lagi. Kuberanjak dari tepi dermaga, berjalan diantara dua musium, Hongkong musium of Art dan Hongkong space musium yang terletak disebelah dermaga, didepan Peninsula Hotel. Tsim Sha Tsui adalah kota wisata di Hongkong, banyak musium dibangun disini, Masjid, Kwoloon park yang terletak di blakang masjid. Hotel hotel berbintang, cafe, night club, banyak bertebaran di kota ini. Sampai di Nathan road berbelok ke Cammeron road, memutar ke Carnavon road, aku sepertinya kesasar, dari tadi hanya memutar mutar pada 2 jalan itu. Aku kembali masuk ke dalam stasiun kereta, disitu ada peta, dan lebih gampang bila aku keluar dari exit A, dekat masjid yang berseberangan dengan ujung jalan Kimberly.

Lumayan juga jalan sendiri, banyak hal yang ku tahu hari ini. Lebih bebas leluasa, tidak harus nurut ma boss. Bahkan ada pengalan yang tak terlupakan, ketangkap petugas di stasiun kereta bawah tanah, geli aku mengingatnya. Tiba tiba saja ponselku bergetar, ada SMS masuk, kubuka dari Nora. "pa, kapan papa pulang? Mama ma David dah kangen" isi SMS itu. Berdiri sebelah telepon umum ku balas sms Nora
sebentar. Mengabarkan kalo baik baik saja, dan akupun merindukan mereka jg. Nomor teleponku sengaja tidak kuganti. Nomor telepon Indonesia dengan menggunakan pelayanan roaming, biar siapapun masih bisa menghubungiku. Dan aku tiap malem hari selalu mendapat laporan berupa sms maupun email dari Banjarmasin. Ternyata akupun masih punya harapan untuk bisa bertemu Nesha, berharap dia kembali menghubungiku lewat ponsel maupun email. Setidaknya aku masih punya waktu 3hari lagi untuk menemukannya sebelum aku benar benar terbang pulang.

Rasa bersalah pada Nesha tak bisa kupungkiri, tiba tiba butiran bening ini jatuh... Perih rasa ini. Ah... Sejak kapan aku cengeng seperti ini, tapi aku sekarang benar benar merindukannya. Langkahku semakin gontai meniti tangga tangga di pintu stasiun yang sebelah masjid. Ada apa sebenarnya yang terjadi padaku, aku telah mendramatisir suasana hatiku menjadi sedemikian pilu. Menunggu lampu merah di trafic light pun terasa lama. Sementara senja tembaga mengintip terhimpit diantara gedung gedung menjulang. "Tuhan berilah aku kesempatan sekali saja bertemu denganya" gunamku lirih.

Kutengadahkan wajahku keatas sesaat, untuk mencari lukisan wajahnya sebelum lampu merah menyala. Di atas sana hanya mega putih berarak yang tampak samar. Trafic light sudah menunjukkan boleh menyeberang, tampak ramai sekali seperti dikomando semua orang bergerak cepat, namun belum sampai tepi jalan, langkah ini begitu lunglai. "Nesha" yach... Gadis dari seberang itu mirip sekali Nesha, segera ku balik arah mengejarnya. "Nesha...Nesha Rahmadani" panggil ku lagi, dan sejurus gadis berjilbab pink itu menoleh kearahku. Benar dia Nesha yang ku cari, hampir ku tak percaya. Perempuan itu masih bengong ditepi jalan, dan akupun hampir tersambar kendaraan bila tak ku dengar teriakan orang di tepi maupun teriakan Nesha agar aku cepat menepi. "Benarkan kau Nesha?" tanyaku pada makhluk cantik dikeremangan senja sore ini, "Iya, mas Gondo kan? Bagaimana sampai disini, mimpikah aku?" Tanyanya, kulihat dari sorot lampu yang membias wajahnya, telaga bening itu mulai tumpah, satu tangannya menjabat tanganku, satunya lagi sibuk menghapus air matanya. Inikah keajaiban yang dimaksud Rukiyah tadi siang. Tuhan mendengar doaku sesaat setelah aku ucapkan. Berbicara dengannya sebentar, kemudian Nesha pamit ke masjid. Kuantar sampai pintu gerbang, dan aku menunggunya diluar. Dia janji akan menemuiku kembali setelah sholat Magrib.

Menunggunya hampir 15 menit ditangga Kowloon park sisi masjid, seperti tak sabar, serasa lama sekali. Beberapa menit kemudian muncul juga. Dia tampak sekali berbeda, keceriaan itu sepertinya telah sirna, entah apa yang tersimpan dalan misteri matanya yang sendu. Akirnya aku temukan tempat ngobrol yang enak bersama Nesha. Subuah cafetaria dengan memesan menu bebek bakar, walo tak seenak menu indonesia, tapi bolehlah, sehari aku tak makan nasi, apalagi ditemani seseorang yang benar2 aku rindukan. Tapi air mata perempuan diseberang meja itu tak bisa terbendung, aku ingin merengkuhnya, memeluknya seperti dulu, saat dia sakit karna tertabrak sepeda. Namun kini seperti ada sekat, semuanya telah jauh berbeda. Ketika aku ingin menggenggam tangannyapun dia buru buru menariknya. Entahlah apa yang tersembunyi dalam hatinya, aku tak mampu mengurai, mungkin senja ini atau malam yang akan membantu mengurai, jika dia tak mengijinkanku. Sementara lagu "What my heart wants to say" milik gareth gates terdengar menyayat hatiku.
                                                                                                                                                                                   caption
__________________________________________________________________  
Add           

Denting Piano Mr. Lee

Oleh: Elnisya Mahendra

Baru saja kumasuki pintu rumah, kugeletakkan begitu saja belanjaandi lantai dapur. Istirahat sebentar di sofa ruang tamu. Aktifitas berbelanja kepasar akhir-akhir ini sungguh sangat melelahkan. Sebenarnya bukan karena letak pasar yang jauh, tapi karena aku memang belum hafal di mana tempat barang barang yang aku butuhkan dijual. Apalagi pasca Imlek seperti ini, harga sayurpun melonjak 3-4 kali lipat dari harga sebelumnya, katakakan 1 ikat Choy-sam ( sawi hijau) yang dulu cuma $ 3, sekarang menjadi $ 1O per ikatnya. 1 buah bawang bombaypun harus aku beli dengan $ 7. Otomatis aku harus pintar-pintar mengatur uang belanja yang hanya $ 1OO untuk 3 hari, kalo tidak ingin dikatakan korupsi. Ini saja kadang kadang harus merogoh dompetku sendiri jika ada sayur yang kemahalan aku beli.


1O menit sudah cukup untuk membuat otakku tidak terlalu stres. Kuraih ponsel yang sedari tadi kuletakkan di sofa, di samping tempatkududuk saat ini. Ada beberapa SMS masuk dari tadi, 2 buah SMS dari temanku yang berseberangan block, yang baru kukenal seminggu yang lalu, tapi gencar sekali mengirim SMS padaku. Kadang kadang diatelepon tanpa kenal waktu, disaat kedua majikanku ada dirumah, dia gak sungkan sungkan menelepon. Untung saja dering ponselku sengaja aku silent. Dengar dari pembicaraan teman yang sama sama buruh migran juga, yang sering ngumpul di taman, kalo Rini nama temanku itu adalah seorang lesbian. Dan parahnya, dia sedang mengejar ngejar aku saat ini. Kasak kusuk itu benar benar membuatku tak nyaman. SMS yang 1 lagi dari kampung, biasa mengabarkan keadaan rumah. Semua dalam keadaan sehat, namun ujung ujungnya minta kiriman duit. Alhamdulilah Imlek kemarin dapat rejeki nomplok, bila ditotal ada $ 5OO, lumayan jika dirupiahkan bisa mencapai 6OOribu. Rencananya akan kukirim nanti agaksorean, nyuri waktu sebelum anak anak pulang sekolah.


Kuberanjak menuju dapur, membereskan smua belanjaan, beberapa harus kusimpan dalam lemari es untuk stock besuk, kucuci cepat agar aku bisa mengerjakan yang lain. Waktu luangku sekarang memang tidak banyak seperti di rumah yang dulu. Di flat yang dulu semuanya serba kecil, hanya dengan 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan akupun harus rela tidur di lantai ruang tamu dengan menggelar kasur busa tipis.
Kalo musim panas sich enak, terasa adem tidur dilantai, tapi jika musim dingin, hampir aku tidak bisa tidur. Sedang di rumah yang baru ini ada 4 kamar tidur, 3 toilet, salah satunya kamar tidur dan toilet khusus pembantu. Di rumah yang baru ini aku lebih mempunyai privasi, bisa melek sampai malam, bisa mengerjakan sholat pula dengan tidak secara sembunyi sembunyi.


Menempati rumah ini baru sekitar 2 bulan yang lalu, masih harus kerja extra untuk membenahi dan merapikan sana sini. Namun inilah bagian kerjaku, apalagi baju baju nyonya yang berantakan di kamarnya. Itu kebiasaan bos perempuanku, selalu saja mengeluarkan dan mencobanya pakaian mana yang cocok buat pergi kekantor. Hampir setiap hari memasukkan semua baju nyonya menjadi rutinitasku. Sudah hampir pukul 12 rupanya, saatnya untuk diriku istirahat. Memang tak ada aturan tertulis sebagai jadwal kerjaku, namun haruslah pintar-pintar membagi waktu. Penat terasa, kubaringkan tubuhku di dipan kamarku. Kunikmati khayalku, untuk 1 tahun mendatang. Bertemu dengan emak dan bapak dikampung, kembali membantu emak matun di sawah. Kerinduan pada kampung halamanku memang selalu kumunculkan pada siang hari, disaat aku berada di rumah sendiri, biar kesepianku ditemani khayal dalam otak tentang emak dan bapak dikampung.


Namaku sebut saja Lisa, usiaku tahun ini menginjak kepala 3,dan aku anak ragil dari 3 bersaudara. Kakak laki lakiku dan mbakku telah menikah dan tinggal diluar kota. Dan sampai saat inipun aku belum menyusul berumah tangga seperti saudara saudaraku. Itu yang membuat bapak dan emak kwatir tentang jodohku. Berkali-kali bapak menyuruh tetangga minta tolong untuk membujukku pulang. Dan aku menyanggupi menghabiskan kontrak kerjaku 1 tahun lagi.


Mata ini terasa berat, ingin rasanya memeluk guling lalu tertidur pulas, melayang bersama mimpi bertemu dengan orang orang yg aku sayang. Namun suara piano itu mengusikku kembali, seperti 1 bulan yang lalu. Sebenarnya tidak aneh mendengar piano atau biola digesek. Apalagi dengan irama yang roamantis. Tapi yang membuatku bertanya, siapakah yang memainkan nada nada itu. Aku begitu mengenali lirik yang keluar dari tuts itu. Ada lagu Ibu Kita Kartini, Padamu Negeri, sampai lagu kebangsaanku. Kadang kadang dia memainkan biola dengan Bengawan-Solonya, itu yang membuatku rindu selalu akan kampungku yang berada ditepian Bengawan Solo. Rasa penasaran membuatku otakku teraduk untuk menebak nebak siapa dia. Apakah dia seperti diriku seorang buruh migran juga disini, bukankah di flat ini banyak sekali yang mempunyai helper orang Indonesia. Tapi jika dia adalah seorang pramuwisma, tentu dia tidak akan memainkan piano pada malam hari. Mungkinkah dia orang Indonesia yang tinggal bersama keluarganya disini? Kadang akupun sempat mendengarka percakapan dengan bahasa Indonesia antara seorang laki laki dan perempuan. Mungkin juga dari arah bawah flat ini asalnya. Wah... Peduli amat...toh Alhamdulilah mendapatkan tetangga yang sama sama berasal dari negara yang sama.



Sekitar pukul 4 sore aku harus turun, ada uang yang harus kutranfer buat bapak, setelah itu jemput sekolah kedua momonganku. Mengunci pintu adalah pekerjaan yang tidak boleh terlupakan disaat keluar rumah bila tak ingin rumah dibobol pencuri. Kemarin saja dengar cerita teman kalo rumah bos nya di aduk aduk pencuri dikala mereka pergi. Untung saja temanku yang pembantu disitu ikut pergi bersama mereka, sehingga tidak ada kecurigaan pada pembantunya. Kupencet tombol pintu lift dan terdengar lift meluncur keatas ke lantai 19, flat dimana aku tinggal dan bekerja disitu. Beberapa menit kemudian pintu lift terbuka, dan kupencet tombol huruf P sebagai tanda podium. Belum ada 1 menit pintu lift itu terbuka di lantai 18, 1lantai dibawahku. Laki-laki berumur sekitar 6O an tahun masuk. Kulirik dia, karena sepertinya dia memandangiku dari atas kebawah. Lalu "Selamat sore,. Mau ke pasar?" tanyanya padaku. "Met sore, ndak om.. mau jemput anak sekolah" jawabku. Dari obrolan singkat di lift itu aku tau kalau namanya Mr Lee. Dia warga negara Hongkong juga, tapi dia lahir dan besar di Indonesia. Mr Lee kelahiran Semarang, sekolah dan kuliah di Semarang juga. Sejak saat itu, aku sering sekali bertemu Mr Lee. Kami saling bercerita, tentang apa saja, dari izu-izu buruh migran sampai perkembangan politik Indonesia. Dia orangnya ramah dan ngemong, banyak nasehat yang diberikan padaku. Seperti sore itu dia menasehatiku untuk segera pulang, mencari pasangan hidup, dan memberi cucu buat orang tuaku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. 

Ada alasan kenapa dia menginginkan aku segera pulang. Dia mencontohkan dirinya sendiri sebagai orang tua, Nicole Lee anak perempuannya, dan merupakan anak Mr Lee satu-satunya tak mau menikah. Dan si bapak merindukan kehadiran cucu yang mungkin takkan pernah datang sampai dia tiada.



Dan saat itu pula pertanyaan selama berbulan bulan tentang denting denting piano, dan gesekan biola yang mengalun merdu itu adalah Mr Lee yang memainkannya. Dia dulu adalah seorang pemain biola dan piano panggilan dari cafe ke cafe. Dia dilahirkan dari keluarga Tionghoa miskin. Ayahnya Lee Cheung Wo adalah seorang buruh pabrik, sedang ibunya mempunyai toko kelontong di pinggiran kota semarang. Sedang Mr Lee sendiri mempunyai banyak saudara. Untuk makan sehari haripun teramat susah, apalagi untuk sekolah. Tapi niatnya terlalu kuat untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan keluarga bapaknya yang tergolong sukses tidak mau membantunya. Dulu bapak dari Mr Lee tidak dikui keluarganya, dikarenakan menikah dengan wanita bersuku jawa. Ibu dari Mr Lee adalah gadis solo asli yanglembut, aku lihat dari foto yang dia perlihatkan beberapa hari yang lalu.

Karna kesalahan itulah keluarga Lee sudah seperti keluarga besarnya. Sedang Mr lee muda harus menjadi pemain biola dan piano panggilan untuk membiayai kuliah dan membantu sekolah adik adiknya. Hampir bernasib seperti ayahnya yang terusir dari keluarganya. Mr Lee juga mengalami demikian, karna hubungan cintanya dengan teman kuliahnya. Si gadis cantik yang menjadi ibu dari Nicole Lee itu mengalami nasib tragis terusir dari keluarganya, karna memilih Lee yang bukanlah dari keluarga kaya. Akirnya 2 sejoli itu terdampar di Hongkong. Entah bagaimana ceritanya, dan karena sebab apa Mr Lee dan istrinya memilih mengungsi ke negeri ini. Aku tidak berani bertanya terlalu jauh.


Keakrabanku dengan Mr Lee mengundang banyak izu dari teman teman seblock, yang katanya aku pacaran dengan dia, ataupun aku sekedar memalak duitnyalah... Ah kok seperti preman saja. Biar saja anggapan orang lain. Toh pada kenyataannya aku hanya bersahabat dengan Mr Lee, bahkan akupun akrab dengan anak perempuannya. Majikanku sempat mencurigaiku ada hubungan dengan Mr Lee, sampai sampai dia takut aku membawa masuk dia dalam rumah, dan berbuat jahat.


Siang kali ini begitu panas, sudah 2 hari ini aku tidak mendengar denting piano dari flat bawah, dimana jari jari lincah itu menari diatas tuts, atau suara violin yang menyayat hati yang, membuatku rindu pulang. Aku harus melalui 2 bulan lagi stay di sini. Baju bajuku sudah semua kupaket, tinggal 1 koper kecil saja yang akan kutentengpulang.


Aku keluarkan baju dari mesin cuci, kubuka jendela samping tempat dimana tali tali jemuran itu. Dari tempat jemuran itu aku bisa melongok dapur Mr Lee, tampak sepi, entah dimana dia. Tapi tiba tiba, upz.... baju yang ku pegang, yang sebenarnya akan aku jemur itu jatuhdan nyangkut di jemuran flat bawahku, rumah milik Mr Lee, untung saja tidak langsung meluncur kebawah. Setelah semua terjemur rapi aku akan turun 1 lantai, minta tolong Mr Lee mengambilkan baju yang nyangkut di jemurannya. Hanya dengan menuruni tangga lebih cepat dari pada menunggu lift. Semoga penghuninya ada dirumah. Kupencet bel berkali kali, tapi tak ada jawaban. Akan kucoba sekali lagi, dan beberapa detik kemudian suara gerendel pintu dibuka. "Ada apa Lisa ,Ayo masuk...," tanya Mr Lee. "Maaf om, aku mau ambil baju thai thai (nyonya : kantonise ) jatuh dan nyangkut dijemuran om" dan Mr Lee mempersilahkan aku masuk dan mengambilnya sendiri. Sementara Mr Lee duduk didepan pianonya, mulai memainkan tutz menjadi irama, aku mengenali lagu itu. Seorang temanku dulu pernah dengan gitarnyamenyanyikan lagu itu, ya kalo gak salah lagu "Melati dari jaya giri". Beberapa menit kemudian lagu itu selesai, kuberi upluse untuknya sebelum aku pamit.



Hanya beberapa menit dirumah Mr Lee sepertinya perasaanku gak enak. Rumah itu terlalu lembab, ada bau hio juga. Mungkin karena ditinggali berdua saja hingga rumah sebesar itu tak terawat. Menjadi orang yang tak terbiasa menjadi tak nyaman. Apalagi berserakan kertas kertas berisi not not lagu, violin tua, dan piano berwarna hitam tertutup sebagiannya dengan kain bludru berwarna merah. Dalam pandanganku piano itu membujur seperti keranda mayat, yang membuatku merinding. Mungkin hanya perasaanku saja.


Lega rasanya mendapatkan kembali baju bosku yang terjatuh tadi. Jelas gak akan jadi dimarahi, atau suruh ganti. Siang ini rencanaku mau buat opor ayam, pagi tadi kubeli bahannya dari pasar, dan bumbunya dari toko indonesia. Ada ide untuk mengantar sedikit untuk Mr Lee, tentu dia suka. Rasanya belum telat untuk bila kuantar buat makan siang dia, itung itung buat tanda terima kasihku untuk baju yang nyangkut tadi.



Sudah terasa mantap opornya..hmmm.... Kuambil separuh kumasukkan dalam kotak tubperware. Dan segera kuberlari kebawah. Memencet bell, tapi kali ini yang membukakan pintu Nicole, anak Mr Lee. Kusodorkan opor itu pada Nicole "ini buat om, kok sudah pulang kak Nicole?" tanyaku. Ada kekagetan diwajah Nicole dan seperti ada selimut duka di situ. Dia menerima 1 kotak opor dari tanganku, "aku dari rumah duka Lisa, papa meninggal 2 hari yang lalu" jawabnya. Aku benar benar tak percaya, tapi mana mungkin Nicole bohong, foto Mr Lee dan beberapa batang lidi hio itu telah tertancap di meja ruang tamu itu. Bergegas aku pamit pulang, tubuh ini terasa melayang. Siapakah 2 jam yang lalu yang membukakan pintu, siapa juga yang memainkan lagu Melati dari jaya giri tadi dengan denting pianonya. Kuterduduk lemas dilantai, Mr Lee selamat jalan. Semoga kau bahagia disana.
_________________________________________________________________
__________________Elnisya Mahendra ________________________

2 komentar: