Jumat, 28 Maret 2014

Seni Tayub dari Bojonegoro

sastra-bojonegoro.blogspot.com





Menikmati Gemulai Tayub Bojonegoro

 

KOMPAS/EDDY HASBY Tayub di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Bojonegara, Jawa Timur, Kamis (13/3/2014) malam.

 JANGAN lewatkan malam tanpa tayub di Bojonegoro, Jawa Timur. Mampirlah ke Desa Jono dan nikmatilah penari-penari cantik, gemulai bertayub ria, dengan suara merdu pula. Anda tentu saja boleh ikut menyandang sampur dan menari bersama mereka.

Malam terang bulan di Bojonegoro. Menembus gelap malam, melewati sawah dan hutan jati, akhirnya tiba juga di Desa Jono, Kecamatan Temayang, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Bojonegoro. Di pendopo balai desa yang terang benderang, gamelan bertalu-talu. Tujuh perempuan penari tayub, atau sindir, menyinden merdu sambil menari gemulai. Tubuh mereka dibalut kain kebaya warna merah jambu. Warna-warna yang menyegarkan malam. Ya, malam itu, Kamis Legi (13/3), Bojonegoro memperlihatkan salah satu sisi keindahannya dalam tayub.

Mbak Yun, salah seorang penari, dengan merdu ikut melantunkan tembang ”Caping Gunung”. Tak kurang dari Bupati Bojonegoro Suyoto atau Kang Yoto ikut tayuban. Bahkan Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, juga menjajal menari bersama lengkap dengan sampur tersampir di pundaknya. Tamu yang dipandang terhormat biasanya memang didaulat untuk ikut menari dengan ditandai dikalungkannya selendang.

Tetamu cukup duduk lesehan berteman camilan ndeso berupa jagung rebus, pisang rebus, ubi rebus, dan kacang rebus. Plus kopi panas dalam cangkir kecubung. Sementara itu, laron-laron beterbangan di pendopo mengitari terangnya sinar lampu.

Budaya agraris
Desa Jono terletak di tepian hutan jati di jalur Bojonegoro-Nganjuk. Desa Jono, atau n-Jono dalam lafal orang Jonegoro, adalah Desa Wisata Budaya. Di sini tumbuh seni tradisional, seperti jaranan, kethoprak, dan yang paling terkenal adalah tayub yang oleh warga sekitar disebut sindir. Disebut sindir atau sindiran karena lantunan syairnya bermuatan pesan atau sindiran.

Kepala Desa Jono, Dasuki, menuturkan, saat ini ada sedikitnya 22 sindir atau penari tayub. Menjadi sindir atau penari tayub merupakan profesi yang cukup menjanjikan di n-Jono. Dalam paket pergelaran lengkap, termasuk gamelan, penabuh, dan perangkat tata suara, kelompok tayub bisa mendapat bayaran Rp 10 juta-Rp 12 juta. Di luar tanggapan kelompok, para sindir tayub pun bisa ditanggap secara personal. Tarif untuk yunior atau petayub pemula sekitar Rp 500.000. Adapun petayub terkenal bisa mencapai Rp 8 juta per sindir. ”Setiap sindir bisa tanggapan 5-10 kali sebulan, apalagi pas musim wong duwe gawe,” kata Dasuki.
 

KOMPAS/EDDY HASBY Tayub di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Bojonegara, Jawa Timur, Kamis (13/3/2014) malam
Sejumlah waranggana (sinden) tayub populer di antaranya Tegowati, Rasmi, Wariyati, Mujiati, Yuyun, Prihatini, Natipi, dan Hartini. Sekali pentas sedikitnya tarif mereka manggung Rp 2,5 juta. Dalam bertayub, penari tayub atau sindir bisa tampil berdua atau bisa juga sampai belasan penari. Penonton boleh menari bersama penari tayub. Acara akan semakin ramai dan hangat ketika sindir menyanyikan gending-gending populer. Malam itu, misalnya, tampil tujuh sindir membawakan tembang ”Gambir Sawit” serta ”Praon” atau ”Prau Layar”.

Hapus citra negatif
Tayub lahir dari kehidupan masyarakat agraris. Biasanya tayub digelar sebagai tanda syukur seusai panen atau menjadi hiburan pada acara hajatan seperti khitanan. Kelompok tayub kadang juga mbarang atau mengamen dengan mangkal di emperan toko sekitar Pasar Besar Kota Bojonegoro atau Pasar Kebo. Keberadaan Tayub Janggrung memang sudah lama menjadi ikon Bojonegoro sejak tahun 1980-an dan dinikmati masyarakat kalangan bawah. Hanya dengan Rp 5.000 sudah bisa menikmati lagu yang diminta.

Para seniman tayub di Bojonegoro berupaya menghapus sementara anggapan yang mengatakan bahwa tayub identik dengan foya-foya. Ada pula yang mengatakan tayub menjadi ajang main mata dengan perempuan (penari tayub). Pimpinan Sanggar Anugerah di Desa Jono, Kapri Prasetyo, menilai tayub banyak memiliki nilai positif meskipun ada segelintir orang yang menyalahgunakan seni tayub.

Bupati Bojonegoro Suyoto memaknakan tayub dalam konteks tata kehidupan sosial masyarakat. Ia menggunakan kerata basa atau semacam otak-atik kata tayub berasal dari kata ditata agar guyub. Artinya ’menari bersama-sama yang diatur sedemikian rupa agar lebih akrab’. Jika penari tidak mengikuti irama gending dan irama gerak, ia akan mengganggu kebersamaan. ”Kalau sudah bunyi dung, kaki sudah harus melangkah. Nanti yang tidak ikuti irama akan minggir dengan sendirinya karena dianggap tidak bisa,” tutur Kang Yoto.

Tayub Desa Jono adalah jenis tayub yang sudah disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini. Norma kesopanan menjadi kunci utamanya, dengan setiap penampilan antara waranggono dan pengibing selalu ada jarak. Penari menggunakan kebaya yang rapi tertutup. ”Dulu, zaman saya masih kecil, penari menggunakan kemben, bagian atas terbuka. Dulu norak. Orang pegang-pegang penari. Sekarang nyenggol saja tidak boleh,” kata Kang Yoto.
 

KOMPAS/ADI SUCIPTO Seni tayub di Kabupaten Bojonegoro di Sanggar Anugerah Desa Jono, Kecamatan Temayang.
Penari tayub di Bojonegoro biasanya mengawali pementasan dengan membawakan tari Gambir Anom, sebuah tarian klasik dengan gaya lembut baru disusul irama-irama yang sedikit rancak dengan lagu-lagu campursari atau langgam jawa.

Sebelum dimainkan, tayub biasanya diawali dengan nguyu-uyu atau manghayu-hayu yang artinya penghormatan kepada semua tamu sebelum acara dimulai. Setelah itu, ada ritual bedhayan, berupa tarian pembuka sebelum pertunjukan tayub dimulai. Lantas disusul Talu Gending sebagai pengantar tayub akan segera dimulai.

Selanjutnya, ketika kendang memberi isyarat dengan bunyi dung, dan kaki melangkah untuk pertama kalinya, saat itulah penari dan tetamu yang ikut menari masuk dalam kehidupan yang gemulai.... (Adi Sucipto Kissawara)

Editor : I Made Asdhiana
Sumber: KOMPAS CETAK
             sastra-bojonegoro.blogspot.com                                                                                                       

Senin, 24 Maret 2014

Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo : Itu Bojonegoro

sastra-bojonegoro.blogspot.com




REKTOR UNAIR PERTAMA

 

 

 

 

 

 

Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo, Presiden Universitas (UNAIR: 1954 -1961)



24 Agustus 1904. lahir  A.G. Pringgodigdo di Desa Kasiman, Kab. Bojonegoro, Jawa Tumur, Indonesia. Putera Bupati Tuban RMAA Koesoemohadiningrat (alm) dengan Ny. R.A. Windrati Notomidjojo (alm, puteri Patih Rembang) ini. kakak kandung dari duta besar Abdoel Kareem Pringgodigdo.

Tahun 1911-1918,  A.G. Pringgodigdo merajut pendidikannya lulus Europeesche Lagere School di Tuban;

Tahun 1923, A.G. Pringgodigdo lulus Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya;

Tahun 1925, A.G. Pringgodigdo lulus Meraih pendidikan tambahan Candidaat Indisch Recht;

Tahun 1926, A.G. Pringgodigdo lulus cumlaude Candidaat Indologie.

Tahun 1927, A.G. Pringgodigdo lulus Sarjana Hukum di Rijks Universiteit di Leiden, Belanda. juga
mendapatkan sertifikat cum laude dalam ilmu Indologi.

Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo Kemudian, mengawini  Nawang Hindarti Djojo Adhiningrat.

Tahun 1934, A.G. Pringgodigdo sebagai Revrendaris (juru tulis) di Kantor Gubernur Jatim.

1 Oktober 1940 A.G. Pringgodigdo Referendaris t.b. Voorzitter Commissie tot bestudering v.Staatsrechtelijke hervormingen (Commissie visman) di Jakarta.

1 Mei 1942 sampai 28 Februari 1943, A.G. Pringgodigdo menjadi Wedana di Batur (Dataran Tinggi Dieng) -Gunseikan Banjarnegara (SK Bupati Banjarnegara);

1 Maret 1943 sampai 31 Mei 1944,  A.G. Pringgodigdo menjadi Wedana Purworejo-Klampok (Banjarnegara);

1 Juni 1944 sampai Mei 1945,  A.G. Pringgodigdo menjabat Wedana di Purwokerto (SK Gunseikan Banjarnegara);

1 Juni 1945,  A.G. Pringgodigdo menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai sekretarisnya Radjiman Widyoningrat, pemimpin BPUPKI.

1 Agustus 1945, A.G. Pringgodigdo diangkat menjadi Wakil Kepala Kantor Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Zityoo) di Jakarta (dimana Bung Hatta sebagai Kepala Kantornya). Juga menjadi anggota Panitian Lima, yang bertanggung jawab atas perumusan Pancasila.

17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 diangkat menjadi Sekretaris Negara RI yang pertama di Jakarta dan di Jogjakarta, di bawa Presiden Soekarno

1 Juni 1948, A.G. Pringgodigdo diangkat untuk merangkap menjadi Komisaris Negara Urusan Dalam Negeri di Sumatera.

1 Oktober 1948. merangkap anggota Komisaris Pemerintah Pusat di Bukittinggi (Sumatera).

Desember 1948, ketika Agresi Militer Belanda II, Pringgodigdo ditangkap dan diusir ke Bangka dengan pemimpin Indonesia lain; dia juga melaporkan bahwa arsipnya dibakar Belanda.

Tahun1949-1954, A.G. Pringgodigdo diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Negara pada Fak. Hukum Universitas Gadjah Mada.

27 Desember 1949 -7 Desember 1950, A.G. Pringgodigdo diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menkeh RI di Jogya, mewakili Masyumi.

Setelah pensiun dari politik, Prof. Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo  menjadi pengajar. Dia mulai sebagai dosen besar luar biasa di Universitas Gadjah Mada, mengajar ilmu hukum.











Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo,  Presiden Universitas (UNAIR) Masa Bhakti 1954 -1961, dibantu oleh  sekretaris Univiversitas Drs. Soemartono

10 Nopember 1954, Universitas Airlangga resmi berdiri berdasarkan PP No. 5 / 1954 yang diresmikan Presiden Soekarno;

23 Desember 1954, Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo Dilantik oleh Presiden Soekarno, untuk menduduki jabatan sebagai Presiden Universitas Airlangga I di Gubernuran Surabaya, dengan SK Presiden RI-1/11/1954. Masa Jabatan beliau sampai tahun 1961.

Tahun 1954, Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo merangkap Jabatan menjadi Guru Besar dan Ketua Fakultas Hukum Unair;

Tahun 1956-1957, Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo Juga merangkap Jabatan sebagai Acting Presiden.

Tahun1959-1961, merangkap pula sebagai Acting Ketua Fak. Kedokteran Gigi Unair  ikut merintis
berdirinya Universitas Hasanuddin Makassar . Selanjutnya bertugas sebagai presiden Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang, lalu kembali ke Surabaya dan mengajar di IKIP Surabaya. Di kemudian hari Pringgodigdo mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum bersama Kho Siok Hie dan Oey Pek Hong.

Tahun 1961-196, Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo menjadi pegawai tinggi Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta;

Tahun 1967, Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo diangkat menjadi Guru Besar Penelitian Sejarah/Ketatanegaraan RI.

Tahun 1967, Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo menjabat Ketua Balai Penelitian Pendidikan IKIP Negeri Surabaya;

Tahun 1971,  Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR RI. Setelah itu menjadi Guru Besar luar biasa pada beberapa PTS di Surabaya.

Prof. Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo  menikah dengan Nawang Hindrati Joyo Adiningrat.





Minggu, 23 Maret 2014

Roekmini Koesoemo Astoeti : Itu Bojonegoro

sastra-bojonegoro.blogspot.com























Roekmini Koesoemo Astoeti (lahir di desa Tobo, Bojonegoro, Jawa Timur, 4 September 1938  – meninggal di Jakarta, 2 September2 September 1996 pada umur 57 tahun) adalah wanita kedua yang mencapai pangkat jenderal polisi di Indonesia.

Latar belakang

Brigjen Polisi Roekmini dilahirkan sebagai anak keenam dari delapan bersaudara dari pasangan R. Soedarso dan Raden Ayu Soemina. Masa kecilnya dilaluinya dengan berat setelah ayahnya, Kepala Kehutanan Saradan, Madiun, meninggal dunia saat Roekmini baru berusia 7 tahun dan masih duduk di Sekolah Dasar.Sekolah Dasar Sepeninggal ayahnya itu, Roekmini bersama kakaknya, Palupi, ikut pamannya.
Dalam keadaan yang serba sulit itu, pada tahun 1952 ia bersama kakaknya menulis surat kepada Presiden Soekarno, meminta agar dikirimi sepeda. Enam bulan kemudian ia bersama kakaknya diminta datang ke Karesidenan Madiun karena Bung Karno akan memberikan mereka uang sebesar Rp.500 untuk membeli sepeda. Pemberian uang itu ditolaknya, karena yang mereka butuhkan bukan uang melainkan sepeda. Akirnya, presiden pun membelikan sepeda dari uang tersebut.

Mengabdi di Kepolisian

Selesai pendidikannya di SMA, Roekmini melanjutkan studinya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Setelah tamat pada 1964, atas saran sahabat dekatnya, Pater Blood, ia memilih kariernya di kepolisian.
Berbagai tugas pernah dilaluinya: menjadi Staf Asisten Intel Khusus di Polwil 096 Yogyakarta, Kepala Seksi Pengawas Keamanan Negara (PKN), Kepala Seksi Pembinaan Ketertiban Masyarakat, Kepala Seksi Psikologi, Kepala Biro Organisasi Sosial Politik Kowilhan II/Jawa Madura. Namun salah satu tugasnya yang pailng berat ialah ketika sebagai Staf Asisten Intel ia harus menangani kasus pemerkosaan Sum Kuning yang melibatkan anak-anak penggede di wilayahnya.

Menjadi anggota DPR

Berbagai prestasinya menyebabkan Roekmini kemudian ditunjuk sebagai anggota DPR untuk mewakili Polri pada 1982, sebagai satu-satunya perempuan di antara 90 anggota Fraksi ABRI saat itu. Ia sempat ditugasi di Komisi IX dan Komisi IV, dan belakangan di Komisi II yang berhadapan dengan banyak kasus yang menyangkut kehidupan rakyat kecil langsung, seperti kasus tanah.
Roekmini berkeyakinan bahwa ABRI harus bisa menyuarakan kepentingan rakyat, dan memperjuangkan agar proses pengambilan keputusan politik tidak meninggalkan rakyat. Apa yang diucapkannya dari kursi DPR juga diwujudkannya dalam kehidupan kesehariannya. Roekmini tidak segan-segan menumpang kereta api bolak-balik setiap minggu menempuh jarak Jakarta-Yogyakarta. Kalau keretanya penuh, berdiri atau tidur di lantai pun jadi," kata Roekmini."
Roekmini adalah tokoh yang unik di Gedung MPR/DPR karena sebagai anggota Fraksi ABRI keberpihakannya kepada rakyat kecil sangat jelas. Tampaknya pengenalannya secara langsung akan kehidupan rakyat kecil menyebabkan Roekmini tampil sebagai anggota DPR yang sangat vokal. Namun Roekmini mengaku bahwa semua ucapannya di istana wakil rakyat itu sudah dikonsultasikannya dengan atasannya terlebih dulu. "Tapi kalau kemudian komentar-komentar saya dinilai terlalu keras, paling kata mereka yah memang dari dulu Roekmini keras begitu. Yang jelas saya kan tidak mengkhianati UUD 45, Panca Sila dan ABRI," katanya. Betapapun juga, Roekmini harus membayar mahal untuk keberaniannya itu. Setelah dua periode akhirnya pada 1992 ia dicopot dari DPR bersama sepuluh orang rekannya dari Fraksi ABRI.

Mengabdi di Komnas HAM

Selesai menjalankan tugasnya di DPR, Roekmini dipindahkan ke Markas Besar ABRI sebagai staf yang membantu Kasospol ABRI. Namun tugas itu tidak lama dijalaninya karena pada 1993 Roekmini kemudian mendapat kepercayaan untuk duduk di Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia. Tampaknya ini adalah tempat yang sangat tepat baginya karena pada masa-masa terakhir Orde Baru Komnas HAM menjadi tumpuan pencari keadilan.
Ketika kanker di tenggorokan dan pita suaranya menggerogoti tubuhnya dan Roekmini harus dirawat intensif di RSPAD Jakarta, ia tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia. Ia sangat menaruh perhatian khususnya kasus penyerbuan Kantor Pusat PDI pada Peristiwa 27 Juli 1996. Bahkan pada saat peristiwa tersebut terjadi, beliau masih memaksakan diri untuk terus melakukan komunikasi dengan putri sulungnya yang berada di lokasi kejadian sejak tengah hari. Dari laporan-laporan langsung tersebut beliau akhirnya mendapat gambaran yang lebih jelas tentang peristiwa penyerbuan tersebut. Keprihatinannya yang sangat tinggi terhadap peristiwa penyerbuan tersebut sering membuatnya lupa akan kondisi kesehatannya yang semakin menurun. Ia sering bertanya kepada ajudannya, "Kapan Komnas HAM rapat lagi soal PDI. Saya mau kabur sebentar dari sini, ikut rapat." Ia masih ingin memberikan masukan untuk laporan akhir Komisi tersebut. Namun demikian Tuhan menentukan lain. Pada 2 September 1996 ia berpulang kepada Penciptanya.
Jenazahnya dibawa ke Desa Baerejo, Kebonsari, Madiun, untuk dimakamkan di Mangunarsan, makam keluarganya.

Keluarga

Roekmini meninggalkan suami, Ir. Mas Soejono, seorang dosen di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, dan seorang anak perempuan dan tiga laki-laki yaitu Sih Wening Wijayanti, Ardi Wijaya, Giri Wijaya Sidi, dan Bagus Aji Mandiri.

Karya tulis

Mata Hati Roekmini: Nurani untuk Hak Asasi (1996)


Sabtu, 22 Maret 2014

RM. Tirto Adhi Soerjo Itu Bojonegoro

sastra-bojonegoro-blogspot.com






 RM  TIRTO  ADHI  SOERJO



Petikan di atas adalah sebuah kata bijak yang terkandung dalam Bumi Manusia, buku pertama dalam Tetralogi Pulau Buruh Pramudya. Berisi kisah bumiputera bernama Raden Mas Minke, tokoh dinamo pers pergerakan nasional di masa awal politik Etik kolonial. Organisasi Syarekat Priyayi ia bentuk, empat tahun setelah itu Medan Priyayi pun muncul. Koran ini dianggap sebagai koran pertama hasil keringat pribumi, sehingga Hari kelahirannya pada 7 Desember 1907 diperingati sebagai Hari Pers Nasional.

Minke pada kenyataannya bernama Tirto Adi Suryo, lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada 1880 dengan nama kecil Djokomono. Ia termasuk golongan bangsawan karena bertautan darah dengan Tirtonoto, bupati Bojonegoro. Dengan demikian, ia memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah Belanda HBS yang saat itu didominasi golongan Belanda totok dan Indo, tapi pribumi satu ini berhasil tamat dengan predikat lulusan terbaik kedua se Hindia Belanda. Tirto melanjutkan studi sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia. Namun, karena keenakan menulis di koran, pelajaran di sekolahnya menjadi tak terindahkan, sehingga berbuntut Droup Out. Meski gagal menjadi dokter, ia berhasil pada bidang lain, yaitu Jurnalistik.

2 April 1902, Tirto mendapat kehormatan menjadi redaktur Pembrita Betawi yang dipimpin F. Wiggers. Pada edisi 13 Mei 1902 No. 103, ia mengumumkan kenaikan dirinya menjadi pemimpin redaksi yang dibantu kerabatnya: Tjiong Loen Tat. Kedudukan itu hanya setahun ia duduki, lantaran berselisih dengan F.Wiggers. Setelah itu, secara mandiri ia membuat Soenda Berita, dimana ia berperan sendiri, mulai dari penulisan, layout, keuangan, sekaligus administrasi. Beragam topik ia sajikan dalam media tersebut, seperti ilmu tabib, bekteri, ilmu fotografi, kebersihan makanan, ilmu tentang binatang, dan tumbuhan yang baik untuk pagar. Ia adalah seorang kronikus pristiwa yang juga memiliki kecendrungan seorang alkemis.
Sejak Soenda Berita berdiri, ia membangun relasi hingga ke bupati-bupati Jawa Tengah dan Madura. Hasilnya, ia mendirikan Syarekat Priyayi pada 1904. Organisasi ini dianggap sebagai organisasi pertama yang bercorak modern, berwawasan bangsa ganda Hindia, dan menggunakan lingua pranca melayu sebagai bahasa bangsa-bangsa yang terperentah. Namun, karena kebanyakan anggota bermental inlander, sudah merasa mapan memakan gaji Gubermen, sehingga organisasi ini bisa dibilang tak melakukan apa pun. Meski begitu, Syarikat Priayi berhasil melahirkan Medan Priyayi pada 1907 (dan menjadi harian pada 1910), koran mula-mula pribumi yang membuat Tirto kian menonjol.

Kebijakan redaksi Medan Priyayi adalah membebaskan kepada pembacanya untuk menulis apa saja dan mengajukan hak-haknya yang telah dilanggar. Tirto memberikan komentar dan bantuan hukum terhadap pelanggaran tersebut, sehingga Medan Priyayi betul-betul menjadi wakil publik. Tercatat, Medan Priyayi telah mengurusi 225 warga yang berperkara kepada pemerintah Hindia, dari penjual ikan pindang, sultan jawa dan madura, hingga bekas pejuang Aceh yang dibuang ke Bandung secara tak wajar.
Reportase yang Tirto lakukan sangat mendalam, lantaran kedekatannya dengan sumber informasi yaitu pemerintah kolonial sendiri. Tirto disinyalir mempunyai hubungan khusus dengan Gubernur Jendral Van Heuts saat itu. Dan, sepak terjangnya itu membuat sosok Tirto digolongkan sebagai orang berbahaya bagi pemerintah, lantaran ia telah mengubah cara berkeluh kesah publik dengan cara yang paling modern, yakni lewat koran.

Selain Medan Priyayi, pada kurun yang sama Tirto juga menerbitkan media lain, seperti Soeloeh Keadilan (1907), Poetri Hindia (1909), Soeara BOW, Soeara Spoor, Soeara Pegadaian, dan Sarotomo. Dari koran-koran ini, Tirto pun terjangkiti beragam kasus.
Skandal Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak mendapat dukungan warga adalah kasus pertamanya. Mas Soerodimejo, si jago pertama malah dikenakan hukum kelakar. Dalam advokasinya, Tirto terbakar amarah dan menyebut pejabat tersebut sebaga monyet penetek. Lantaran kasus ini, Tirto dibuang ke Lampung.

Di samping kasus-kasus lain, yang paling berat berkaitan dengan Bupati Rembang. Pada Medan Priyayi edisi 17 Mei 1911, Tirto menuding Bupati Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat bersekutu dengan Raden Notowidjojo untuk menguasai kursi Tuban yang lowong. Bupati Rembang berupaya mengawinkan putranya dengan gadis bupati yang barusan mangkat itu. Hal paling parah, setelah Marko Kartodikromo, murid Tirto memberitakan fenomena foya-foya keberangkatan Gubjend Idenburg saat melayat ke Tuban.
Tirto Akhirnya dibuang ke Ambon setelah kasus pailitnya NV Medan Priyayi tak dapat ia tuntaskan. Tirto disangsi timbunan utang lantaran menyalahgunakan uang yang mestinya digunakan untuk mencetak Sarotomo di Solo, malah dipakai untuk mencetak Medan Priyayi. Setelah itu, muncul friksi di tubuh Syarekat Dagang Islam (SDI), organisasi yang dibentuknya untuk menyatukan kalangan manusia bebas dan bervisi memajukan perdagangan pribumi. Sekembali dari Ambon, ia menjadi manusia sebatangkara yang tak jelas lagi peruntungannya.

Patut dicatat bahwa lima tahun keberadaan Medan Priyayi adalah tahun-tahun perlawanan Tirto terhadap pemerintah kolonial. Ia tidak melawan dengan metode tradisional menggunakan senjata, tapi dengan tradisi cetak dengan terang-terangan. Daya cetak inilah yang meluruhkan tradisional dan menampilkan modernitas. Setelah Tirto lenyap, tak ada yang menyangka muridnya yang bernama Mas Marko Kartodikromo mewarisi keberaniannya. Pemerintah kolonial pun dibuat kewalahan olehnya.



Tak banyak yang tahu, siapa Tirto Adhi Soerjo, seorang pelopor, masterpiece dalam bidang media dan pergerakan nasional yang sesungguhnya. Kisahnya terangkum jelas dalam buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru. Yang beberapa waktu lamanya di larang beredar oleh penguasa Indonesia dan kembali muncul ketika rezim orde baru runtuh.

Raden Mas Tirto Adhi Soerjo adalah bangsawan jawa pelopor pembentuk kesadaran nasionalisme tersebut. Lewat kecakapannya sebagai primbumi terdidik, lahir organisasi modern pertama; Serikat Priayi (SP). Organisasi ini tidak berumur panjang, dan tidak pernah kelihatan memimpin kesadaran politik anti penjajah karena di dalamnya tergabung kaum priayi Jawa yang masih memegang teguh status kepriayiannya. Namun organisasi ini telah menjadi media pertama kali secara struktur kaum pribumi mendiskusikan embrio sebuah Nation. Kesadaran pembentuk nation justru sesungguhnya berasal dari koran bernama “Medan Priayi” yang didirikan Tirto Adhi suryo pada tahun 1907 dengan format 125 kali 195mm, dengan tebal 22 halaman terbit seminggu sekali. Kenapa koran ini yang menjadi peletak dasarnya? Karena lewat koran inilah gagasan nasionalisme tertulis pertama kali dan dibaca dan menjadi pembentuk kesadaran awal tentang nasionalisme melampaui perbedaan agama, suku, dan organisasi. Koran tersebut diterbitkan dengan semboyan: “Suara orang-orang yang terperintah”. Kita masih mengingat bagaimana peranan tulisan telah menentukan proses gerak sejarah bangsa termasuk pembentukan nation, karena tanpa tulisan maka betapa sulitnya menyatukan nusantara yang Terdapat lebih dari tigaratus etnik berbeda di Indonesia, masing-masing dengan identitas budayanya sendiri, dan lebih dari duaratus limapuluh bahasa berbeda yang diucapkan di kepulauan (archipelago)Indonesia.

Pelopor pers nasional
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo lahir di Bojonegoro tahun 1880 sebagai Raden Djokomono. Ia adalah siswa Stovia di Batavia yang tidak tamat menjadi “dokter Jawa”. Sejak muda, sudah mengirimkan tulisan-tulisan ke sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa. Selama dua tahun, ia ikut membantu Chabar Hindia Olanda, pimpinan Alex Regensburg, kemudian pindah menjadi redaktur Pembrita Betawi, pimpinan F. Wiggers, yang kelak digantikannya.

Setelah menikah dengan R.A. Siti Habibah, ia tinggal di Desa Pasircabe, 3 pal dari ibu kota Kabupaten Bandung. Di sinilah ia ditawari oleh Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja, untuk menerbitkan surat kabar sendiri. Terbitlah Soenda Berita pada tahun 1903. Inilah surat kabar pribumi pertama berbahasa Melayu, yang dimodali, dicetak, ditangani oleh pribumi.

Soenda Berita berhenti terbit tahun 1906. Tirto Adhi Soerjo tinggal di Bogor, kemudian bersama beberapa prijaji di Batavia, mendirikan Sarikat Prijaji dengan anggota sekira 700 orang dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Sarikat Prijaji menginginkan sebuah surat kabar untuk corong suara mereka yang lebih dari Soenda Berita yang tak mau bicara politik. Maka pada tanggal 1 Januari 1907, diterbitkanlah Medan Prijaji. Sesuai dengan namanya, Medan Prijaji merupakan suara golongan priayi.

Dalam kesibukannya, Tirto Adhi Soerjo mengadakan rapat di rumahnya, di Bogor tanggal 27 Maret 1909 untuk mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah. Perkumpulan ini dipimpin Achmad Badjenet, seorang saudagar di Bogor. Tirto Adhi Soerjo sendiri berkedudukan sebagai Sekretaris-Adviseur.

Tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo melalui Medan Prijaji membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo A. Simon. Diberitakan bahwa A. Simon yang disebutnya “snot aap” (monyet ingusan) telah bersekongkol dengan wedana dalam mengangkat seorang lurah di Desa Bapangan. Lurah yang terpilih dengan suara terbanyak malah ditangkap, dikenakan hukuman dan dibuang ke Teluk Betung Lampung.
Sepulang dari pembuangan, Tirto Adhi Soerjo membenahi NV-Medan Prijaji, H.M. Arsyad keluar dari perusahaan, kini Tirto Adhi Soerjo sendiri menjadi pemimpin perusahaan dengan komisaris Haji Anang Tajib, seorang saudagar besar, dan Haji Amir, saudagar kain, keduanya tinggal di Bandung.

Masa keruntuhan Medan Prijaji dimulai dengan pemberitaan-pemberitaan tentang Bupati Rembang, R. Adipati Djojodiningrat (suami R.A. Kartini) yang dituduh menyalahgunakan kekuasaan, pada terbitan 17 Mei 1911, kemudian pemberitaan yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putra R. Adipati Djojodiningrat menggantikan jabatan ayahnya. Tirto Adhi Soerjo pun terkena delik pers dan diputus pengadilan untuk dihukum buang ke Ambon selama 6 bulan. Sementara itu, kesalahan manajemen menyebabkan kesulitan keuangan yang berat hingga akhirnya NV Medan Prijaji dinyatakan pailit. Medan Prijaji berhenti terbit 22 Agustus 1912. Nasib lebih buruk lagi, Tirto Adhi Soerjo disandera para kreditornya sehingga baru tahun 1913 ia pergi ke tempat pembuangannya. Tirto Adhi Soerjo pergi dengan mental patah dan apa yang sudah dibangunnya ikut runtuh.

Sekembali dari Ambon, ia tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di Ambon namanya diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun 1914-1918, Tirto Adhi Soerjo sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Mula-mula ia dimakamkan di Manggadua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor tahun 1973. Di nisannya tertulis: “Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia”. Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.



Namun, gelar Perintis Pers atau Perintis Kemerdekaan saja tidak cukup. Dari jumlah 129 pahlawan nasional yang kita miliki hingga tahun 2006, hanya ada 3 orang yang tercatat pernah sebagai wartawan yaitu, Abdul Muis, Douwes Dekker, dan Adam Malik. Berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku (UU No 33 Tahun 1964, UU No 22 Tahun 1999, PP Pemerintah tahun 2000, Kep Mensos tahun 1997), Tirto Adhi Soerjo ini memenuhi syarat untuk diajukan sebagai pahlawan nasional dari Jawa Barat. Meskipun ia bukan orang Sunda, ia berkiprah di Jawa Barat, mengangkat nama Jawa Barat dalam pergerakan nasional, baik melalui pers maupun politik, bahkan kuburannya pun di Jawa Barat.


Beberapa waktu yang lalu saya mendapat bingkisan yang sangat luar biasa. Begitu luar biasanya sehingga saya bahkan menyebutnya harta karun. Mengapa? Karena yang diberikan itu adalah dokumen-dokumen tentang RM Tirto Adhi Soerjo (TAS) dan yang memberi adalah keturunannya langsung. Siapa itu TAS? Tahukah anda jika TAS itu pahlawan nasional yang rumahnya ada di Tanah Sareal dan jasadnya dimakamkan di Blender?
TAS adalah pejuang sejati, pembela rakyat kecil, dan juga pendukung emansipasi wanita. Jangkauannya tidak hanya bersifat lokal tapi tersebar di berbagai belahan nusantara. Pihak Belanda waktu itupun segan terhadapnya. Melalui koran pertama berbahasa Melayu yang dia terbitkan, dia menyebarkan ide-idenya. 

TAS adalah pendiri koran pertama Indonesia, Medan Prijaji. Dia mendapat anugerah semasa Orde Baru di tahun 1973 sebagai Perintis Pers Indonesia. Di masa pemerintahan SBY sekarang ini, selain gelar pahlawan nasional, TAS juga memperoleh tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana yang diserahkan kepada keluarganya pada 3 November 2006.
RM Tirto Adhi Soerjo yang nama kecilnya Djokomono adalah anak kesembilan dari 11 bersaudara. Dia lahir di Bojonegoro tahun 1875. Ayahnya seorang pegawai kantor pajak pada masa pemerintah Hindia Belanda bernama Raden Ngabehi Tirtodhipoero. Setelah orangtuanya meninggal, TAS kemudian ikut neneknya Raden Ayu Tirtonoto. Dari neneknya inilah TAS diajarkan untuk menjadi manusia yang mandiri. Didikan neneknya telah menumbuhkan jiwa entrepreneur dalam diri TAS.
Menyoroti tahun kelahiran TAS, sayangnya, saya menemukan adanya perbedaan dalam artikel dan berita di media, majalah, maupun buku. Banyak yang menyebutkan tahun kelahiran TAS 1880. Padahal dalam buku yang ditulis anak sulung TAS, RM Priatman, yang berjudul Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah, cetakan kedua, diterbitkan oleh Badan Penerbit Patani, Bogor tahun 1950, di situ disebutkan TAS lahir 1875. Saya rasa perbedaan itu terjadi karena sumber yang digunakan sama yaitu buku biografi RM Tirto Adhi Soerjo tulisan Pramoedya Ananta Toer berjudul Sang Pemula. Dalam buku itu dituliskan tahun kelahiran TAS adalah 1880.
1880 yang dinyatakan sebagai tahun kelahiran TAS  temukan dalam:
  1. artikel di Kompas, 1 Januari 2000, tulisan Th Sumartana,
  2. opini di Pikiran Rakyat, 27 April 2006, tulisan Prof. DR. Nina Herlina Lubis, M.S., Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unpad,
  3. reportase di Pikiran Rakyat 28 April 2006,
  4. artikel di Pikiran Rakyat, 9 November 2006, tulisan Prof DR. Nina Herlina Lubis, M.S.,
  5. reportase di Pos Kota, 16 November 2006,
  6. majalah I:BOEKOE! Edisi 1907-2007 Seabad Pers Kebangsaan, tahun 2007, halaman 14.
Penyebutan tahun kelahiran TAS yang lain lagi yaitu 1878 saya temukan dalam buku berjudul Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan karangan Ahmat Adam, Guru Besar di Universitas Malaysia Sabah. Entah dokumen mana yang digunakan oleh pak Guru Besar ini.
Nomor 1, 2, 4, 5, dan 6 juga menyebutkan tahun kematian TAS yang berbeda dengan yang ditulis oleh RM Priatman. Lima tulisan di atas menyatakan tahun kematian TAS 1918 sedangkan RM Priatman dalam bukunya menyebutkan 1917.
Bila saya disuruh memilih, sudah pasti saya akan memilih dan lebih percaya yang berasal dari keturunan TAS langsung. Bagaimana dengan anda? Biar anda tidak penasaran, berikut saya nukilkan tulisan yang berbentuk puisi yang dibuat oleh RM Priatman tentang romonya, RM Tirto Adhi Soerjo, dalam buku Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah halaman 89.
SIAPA PELOPOR DJURNALISTIK DI INDONESIA
1875 – 1917
Raden Mas Tirtoadisoerjo
Nama ketjilnja Djokomono
Keturunan Tirtonoto
Bupati Bodjonegoro.
Peladjar S.T.O.V.I.A. di Djakarta
Penulis pembela Bangsa
Membasmi sifat pendjadjah Belanda
Dengan tulisan jang sangat tadjam penanja.
Membuka sedjarah Djurnalistiknja
“Medan Prijai” warta hariannja
Suluh keadilan dan Putri Hindia
Ada dalam pegangan Redaksinja.
Tiap perbuatan dari pendjadjah,
Jang akan membuat lemah,
Terhadap Nusa dan Bangsa kita,
Diserang dan dibasmi dengan sendjata penanja.
Akibat dari sangat tadjam sendjata penanja
Pendjadjah dengan kekuasaannja
Mendjatuhkan hukumannja
Marhum Tirtoadisoerjo diasingkan dari tempat kediamannja.
Lampung adalah tempat tudjuannja
Setibanja di pengasingan terus berdjuang
Tak ada tempo jang terluang
‘ntuk membela Nusa dan Bangsanja.
Pelopor Djurnalistik Indonesia
Tahun 1875 adalah tahun lahirnja
Pada tahun 1917 wafatnja
Mangga Dua di Djakarta beliau dimakamkannja.
Setelah neneknya meninggal, TAS pindah ke rumah saudara sepupunya di Madiun. Kemudian ke Rembang untuk tinggal bersama kakaknya RM Tirto Adi Koesoemo yang menjadi Jaksa Kepala di sana. TAS selanjutnya masuk sekolah kedokteran, STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), di Batavia pada usia 14 tahun. Sayangnya pendidikan itu tidak dia rampungkan.
Walaupun pendidikannya di STOVIA berhenti, kepintaran TAS dalam jurnalisme terus berkembang. Sebelum menjalankan korannya sendiri, TAS sering mengirim tulisannya ke sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa. 17 April 1902, cerita bersambungnya yang berjudul Pereboetan Seorang Gadis dimuat pertama kali di Pembrita Betawi. Setelah itu, di bulan Mei 1902 TAS ditunjuk F Wiggers menjadi pemimpin redaksi Pembrita Betawi tetapi di tahun 1903 berhenti karena berbeda pendapat dengan Wiggers.
Masih di tahun 1903 setelah keluar dari Pembrita Betawi, TAS mendirikan koran sendiri Soenda Berita yang diterbitkan setiap hari Minggu bekerjasama dengan Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja. Koran ini merupakan surat kabar pribumi pertama yang menggunakan bahasa Melayu yang dikelola dan didanai oleh pribumi. Sayangnya Soenda Berita hanya bertahan sampai 1906. Agar anda juga bisa menikmati seperti apa tulisan yang dibuat pada masa itu, berikut saya salinkan resep masakan favorit saya yang ternyata pada saat itu sudah ada meskipun sedikit berbeda namanya. Resep Lembaran (saya menyebutnya Lembarang) ini dimuat dalam Soenda Berita terbitan hari Minggu, 14 Februari 1904. Selamat menikmati masa nostalgik bersama RM Tirto Adhi Soerjo.

LEMBARAN
olih Raden Ajoe Poerodimedjo
Ajam 1 dipotong-potong, abis dimasak sama aier klapa seprapat di bakar doeloe sabentar; bawang bakar 3 sindok makan, kemiri bakar 50, laos bakar 3 iris dan garem 2 sindok thee, ditjampoer abis ditoemboek aloes dan lantas di goreng sama minjak goerih 3 sindok makan, sampe mateng. Kaloek soedah, ajam tadi ditjaboeti toelangnja lantas daging dan boeljonnja ditjampoer sama boemboe tadi, abis di masak.
Kapan soeda masak sebentar ditambahi santen klapa setengah, sere 1 potong, daon djeroek poeroet 2 lembar dan blimbing asem (tjalintjing) belahan 4; abis di masak teroes, sampe boeket koewahnja.
Setelah Soenda Berita, TAS kemudian menerbitkan Medan Prijaji pada 1 Januari 1907. Pena TAS terkenal tajam. Tulisannya membuat takut para penguasa dan bangsawan yang korup. Di lain pihak TAS dan Medan Prijaji-nya menjadi tempat mencari keadilan bagi rakyat kecil. Karena tulisannya yang berani itulah TAS pernah dibuang sebanyak dua kali ke Teluk Betung Lampung (1910) dan Ambon (1913). Keberaniannya juga lah yang akhirnya mengakhiri Medan Prijaji pada 22 Agustus 1912. Disamping Pembrita Betawi, Soenda Berita, dan Medan Prijaji, sejumlah surat kabar lain yang pernah dikelola TAS adalah Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, dan Sarotomo.
TAS menikah pertama kali dengan putri bangsawan Cianjur bernama Raden Ayu Siti Suhaerah. Dari perkawinan itu lahirlah RM Priatman. Dalam perkawinan keduanya dengan RA Siti Habibah, TAS memiliki anak RA Julia dan RM Hasan. Setelah itu TAS menikah dengan Prinses Fatimah atau lebih dikenal dengan Prinses van Bacan yang dinikahi saat dia berada di Maluku.
Kesehatan TAS sering terganggu setelah kembali dari pembuangannya di Ambon. Pada 7 Desember 1917 TAS akhirnya meninggal. Dia awalnya dimakamkan di Mangga Dua Jakarta. Oleh keluarganya, jasadnya kemudian dipindahkan ke pemakaman Blender, Kebon Pedes, Bogor tahun 1973. Tanggal kematian itulah, 7 Desember, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pers Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepada TAS, dan tahun berdirinya Medan Prijaji, 1907, dijadikan sebagai awal tahun pers kebangsaan. Dengan demikian, saat ini usia pers kebangsaan sudah mencapai 101 tahun. Soedah tjoekoep toea boekan?



Bocah itu bernama Djokomono. Lahir di Bojonegoro tahun 1880 dengan trah bangsawan, ia berkesempatan menikmati pendidikan kolonial di Bangku HBS hingga Stovia. Meski secara intelejensia tergolong jenius, karir akademiknya berantakan. Bukan semata pengetahuan kognitif yang ia serap dari bangku pendidikan kolonial, namun lebih pada kesadaran bahwa ada banyak hal yang tak beres di negerinya. Ia menjatuhkan pilihan hidup yang tak seorangpun pribumi memikirkannya kala itu.

Dialah yang disebut sebagai Minke oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru. Untuk pertama kalinya dalam sejarah nusantara, tanpa menggunakan embel-embel apapun Tirto Adhi Soerjo, demikian nama aslinya, merintis upaya pergerakan intelektual bumiputra lewat medan kata-kata. Mulanya, ia bekerja sebagai redaktur Pembrita Betawi dan kemudian keluar karena berselisih paham dengan F. Wigers, atasannya. Lantas, secara mandiri ia menerbitkan Soenda Berita. Lewat koran mingguan ini, Tirto membangun jejaring relasi yang luas di kalangan bangsawan. Hasilnya, ia mendirikan Sarikat Priyayi pada tahun 1904, organisasi modern pertama yang berwawasan nusantara, dan menjadi cikal-bakal lahirnya pergerakan-pergerakan skala nasional pada periode selanjutnya.

Perjuangan Tirto kian mengkristal dengan lahirnya Medan Priyayi pada tahun 1907. Koran ini tampil sebagai pengawal pendapat umum. Tak hanya menyampaikan berita, Medan Priyayi juga membantu advokasi hukum pada masyarakat, mulai penjual ikan hingga bupati dan sultan. Dalam waktu sekejap, Medan Priyayi dan Tirto sendiri menjadi ancaman berbahaya bagi pemerintah kolonial.
Sejak itulah, Tirto selalu bermain dengan mara-bahaya. Tirto meluruhkan tradisi perjuangan feodal dan menggantinya dengan daya-cetak yang menyebarluaskan propaganda secara transparan. Bagi Belanda, ini jelas jauh lebih berbahaya daripada bambu runcing atau bedil. Dengan segala rekayasa, Tirto dilumpuhkan dan akhirnya meninggal dalam kondisi yang memprihatinkan. Kematiannya tak sia-sia, sebab gagasan dan pengaruhnya tertanam kuat pada murid-muridnya yang kelak menandai era kebangkitan nasional.

Ya, nama Tirto Adhi Soerjo memang berhak menempati urutan pertama dari seratus deret tokoh paling berpengaruh dalam dinamika dunia pers di Indonesia. Buku bertajuk Tanah Air Bahasa; Seratus Jejak Pers Indonesia ini membentangkan centang-perenang sejarah pers yang sangat menentukan wajah nasionalisme Indonesia. Perjuangan dengan pedang kata-kata terbukti membawa efek yang lebih luas daripada petempuran fisik.

Setelah nama Tirto, pada kisaran awal abad 20, kita dapati nama-nama seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo (dengan terbitan Retno Doemilah, 1900), Abdul Rivai (Bintang Hindia, 1901), Marthodharsono (Djawi Hiswara, 1909), Dja Endar Moeda (Pewarta Del, 1910), Datoek Soetan Maharadja (Oetoesan Melajoe, 1911), Douwes Dekker (De Expres, 1912), HOS Tjokroaminoto (Oetoesan Hindia, 1912), Siti Roehana Koeddoes (Soenting Melajoe, 1912), Tjipto Mangoenkoesoemo (Panggugah, 1919), Mas Marco Kartodikromo (Dunia Bergerak, 1914), Hadji Misbah (Medan Moeslimin, 1915), Ahmad Dahlan (Soewara Moehammadijah, 1915), Semaoen (Sinar Djawa, 1917), hingga Haji Agus Salim (Hindia Baroe, 1925).

Sosok-sosok tersebut boleh jadi mewakili garis perjuangan dan ideologi yang berbeda-beda, namun penting untuk dicatat, semuanya percaya bahwa media cetak adalah arena paling ideal untuk menyebarkan gagasan dan berdialektika. Seringkali terjadi ketegangan yang serius di antara mereka. Persoalan politik adalah sumbunya. Jika dipandang secara dialektis, maka ketegangan antara tokoh-tokoh tersebut adalah polemik intelektual yang bermutu tinggi. Perseteruan memang terkesan negatif, namun justru disitulah sintesis bernama nasionalisme mendapat pasokan bahan bakar yang paling utama.

Tak pelak, daya dobrak luar biasa yang dimiliki media ini dipahami dan dimanfaatkan betul oleh tokoh-tokoh nasional berikutnya. Kita tahu belaka, bahwa Soekarno dan Hatta sangat giat menulis di koran. Tulisan-tulisan mereka tak hanya mencerahkan nalar, tapi juga membakar semangat.